IPDN Bergerak: dari Feodalisme Alumni ke Profesionalisme Nasional

1 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Dana Pendidikan di dana pensiun
Iklan

Tudingan adanya diskriminasi agama juga tidak lebih dari tafsir subjektif yang sengaja dibesar-besarkan

***

Plaza Rektorat IPDN akan menjadi saksi sebuah prosesi penting: pelantikan pejabat akademik. Di balik hiruk pikuk opini liar yang berusaha menggiring persepsi publik, sesungguhnya agenda ini adalah bagian dari transformasi besar yang tengah dijalankan IPDN sebagai lembaga pendidikan pamong praja berskala nasional.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Alih-alih simbol degradasi, pelantikan ini justru menandai keberanian IPDN menata ulang tradisi internal agar tetap relevan dengan tantangan zaman. Selama bertahun-tahun, ada anggapan bahwa jabatan strategis di kampus ini hanya layak diisi oleh lingkaran alumni semata. Pandangan tersebut, meski berakar pada romantisme sejarah, berpotensi menutup ruang kompetisi sehat dan mengekang prinsip meritokrasi.

Kini, dengan membuka peluang yang lebih luas, IPDN sedang menegaskan diri bahwa kompetensi, integritas, dan profesionalitas jauh lebih penting dibanding sekadar garis keturunan kelembagaan.

Tudingan adanya diskriminasi agama juga tidak lebih dari tafsir subjektif yang sengaja dibesar-besarkan. Mutasi dalam birokrasi adalah hal yang wajar dan rutin terjadi, bukan cerminan sentimen terhadap keyakinan tertentu. Justru menyusupkan isu agama ke dalam rotasi jabatan hanya akan mempersempit cara pandang dan merusak esensi kebangsaan yang sejatinya menjadi ruh IPDN. Lembaga ini berdiri untuk merajut Indonesia yang bhinneka, bukan untuk dikebiri oleh prasangka sektarian.

Begitu pula dengan isu nepotisme yang digembar-gemborkan. Mengaitkan asal-usul daerah pejabat dengan pimpinan hanyalah reduksi dangkal terhadap proses seleksi yang sebenarnya berbasis kinerja dan rekam jejak. Jika setiap kesamaan daerah otomatis dicap sebagai nepotisme, maka meritokrasi tidak akan pernah mendapat tempat. Yang lebih penting bagi IPDN adalah memastikan bahwa jabatan diisi oleh figur yang mampu membawa institusi ini ke arah yang lebih profesional dan berintegritas.

Isu mengenai rotasi figur Sunda juga sebaiknya tidak dipersempit dalam bingkai kedaerahan. IPDN memang berdiri di tanah Sunda, tetapi mandatnya jelas: mencetak pamong praja untuk seluruh Indonesia. Membatasi jabatan strategis hanya demi representasi daerah justru bertentangan dengan semangat nasionalisme. Sebaliknya, keputusan yang diambil hari ini adalah upaya untuk menempatkan IPDN sebagai rumah bersama, bukan milik eksklusif satu kelompok atau etnis tertentu.

Sementara itu, rumor mengenai gaya hidup mewah segelintir oknum juga tidak bisa serta-merta dipukul rata menjadi cermin lembaga. Integritas IPDN tidak ditentukan oleh gosip, tetapi oleh langkah-langkah nyata yang dilakukan untuk memperkuat tata kelola, memperbaiki sistem, dan membentuk kader pamong praja yang siap menghadapi dinamika Indonesia ke depan.

Pelantikan pejabat akademik kali ini harus dibaca sebagai sebuah momentum: IPDN sedang bergerak keluar dari belenggu feodalisme dan keberpihakan sempit menuju tata kelola modern yang mengedepankan transparansi dan kompetensi. Dengan langkah ini, IPDN menegaskan diri sebagai kawah candradimuka yang tidak hanya merawat kebhinekaan, tetapi juga mempersiapkan pamong praja yang tangguh, berintegritas, dan mampu menjadi perekat bangsa.

Sejarah tidak akan mencatat isu-isu miring yang dilemparkan untuk menggoyang, melainkan langkah berani sebuah lembaga untuk berubah. Dan di IPDN, perubahan itu sedang berlangsung—dengan penuh kesadaran bahwa masa depan Indonesia membutuhkan pamong praja yang lebih kuat dari sekadar simbol, lebih kokoh dari sekadar tradisi.(*)

Ā 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler