Dampak Siklus Haid yang Tidak Teratur pada Wanita
5 jam lalu
Siklus menstruasi merupakan sebuah proses biologis fundamental yang secara alami terjadi setiap bulan pada tubuh wanita.
***
Wacana ini ditulis oleh Zulpiani Br Sipayung, Luthfiah Mawar M.K.M., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Aisyah Umaira, Andieni Pratiwi, Andine Mei Hanny, Dwi Keisya Kurnia, dan Naila Al Madina dari IKM 6 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.
Siklus menstruasi merupakan sebuah proses biologis fundamental yang secara alami terjadi setiap bulan pada tubuh wanita. Mekanisme ini berlangsung melalui rangkaian perubahan hormonal yang kompleks, yang pada akhirnya menyebabkan peluruhan lapisan endometrium atau dinding rahim, kemudian keluar dari tubuh sebagai perdarahan melalui vagina. Siklus ini tidak hanya menandai fungsi reproduksi yang sehat, tetapi juga mempersiapkan tubuh wanita untuk kemungkinan terjadinya kehamilan. Durasi siklus pada setiap individu berbeda, umumnya berkisar antara 21 hingga 35 hari. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan menstruasi tidak teratur sebagai siklus yang terjadi kurang dari 21 hari atau lebih dari 35 hari, ketiadaan menstruasi selama tiga bulan berturut-turut, maupun perdarahan berlebihan di luar periode normal. Kondisi tersebut kerap menjadi indikator adanya gangguan kesehatan seperti sindrom ovarium polikistik (PCOS), kelainan tiroid, atau tekanan psikologis yang berkepanjangan, sehingga membutuhkan evaluasi medis yang tepat.
Siklus haid sendiri terbagi dalam empat fase utama yang saling berkesinambungan. Fase pertama adalah fase menstruasi, umumnya berlangsung pada hari pertama hingga ketujuh, ditandai dengan luruhnya endometrium akibat tidak terjadinya pembuahan. Proses ini disertai dengan keluarnya darah melalui vagina selama tiga hingga tujuh hari, diiringi kadar hormon estrogen dan progesteron yang menurun ke titik terendah. Fase berikutnya adalah fase folikuler, yang berlangsung sejak hari pertama menstruasi hingga menjelang ovulasi. Pada tahap ini, kelenjar pituitari di otak melepaskan hormon perangsang folikel untuk menstimulasi ovarium menghasilkan folikel baru. Peningkatan kadar estrogen kemudian mendorong pematangan folikel sekaligus menebalkan lapisan rahim sebagai persiapan kehamilan. Memasuki fase ovulasi, yang biasanya terjadi pada hari ke-14, lonjakan estrogen yang tajam memicu kelenjar pituitari melepas hormon luteinizing (LH). Peningkatan LH ini menyebabkan folikel matang pecah dan melepaskan sel telur menuju tuba falopi. Periode ini merupakan masa paling subur, di mana sel telur hanya memiliki waktu 12 hingga 24 jam untuk dapat dibuahi oleh sperma. Setelah itu, fase luteal berlangsung dari hari ke-15 hingga ke-28, ditandai dengan pembentukan korpus luteum dari folikel yang pecah. Korpus luteum menghasilkan progesteron yang menebalkan dinding rahim guna menciptakan lingkungan ideal bagi implantasi sel telur. Apabila tidak terjadi pembuahan, korpus luteum menyusut, kadar hormon estrogen dan progesteron menurun, dan siklus pun kembali pada fase menstruasi berikutnya.
Seluruh proses ini diatur oleh kerja harmonis sejumlah hormon, antara lain hormon perangsang folikel yang mengawali perkembangan sel telur, hormon luteinizing yang memicu pelepasan ovum, estrogen yang menyiapkan rahim melalui penebalan lapisan dindingnya, serta progesteron yang mempertahankan kondisi rahim setelah ovulasi. Ketidakseimbangan salah satu hormon ini dapat berakibat langsung pada keteraturan siklus haid. Menstruasi yang tidak teratur ditandai dengan periode yang sulit diprediksi, baik terlalu panjang maupun terlalu pendek, serta variasi durasi yang berubah setiap bulan. Faktor penyebabnya beragam, mulai dari kondisi medis seperti PCOS, gangguan tiroid, endometriosis, ketidakseimbangan hormon, hingga gaya hidup seperti stres berkepanjangan, perubahan berat badan drastis, kelelahan, atau penggunaan kontrasepsi hormonal. Kondisi ini tidak boleh dianggap sepele, sebab dapat menimbulkan komplikasi berupa anemia akibat perdarahan berat, masalah kesuburan, gangguan metabolisme, serta penurunan kualitas hidup secara menyeluruh.
Dalam konteks medis, sejumlah penyebab umum siklus haid yang tidak teratur sering dikaitkan dengan ketidakseimbangan estrogen dan progesteron, adanya PCOS yang ditandai pembentukan kista pada ovarium, serta kelainan fungsi tiroid yang berperan penting dalam metabolisme tubuh. Selain itu, stres psikis yang tinggi dan kurangnya istirahat juga terbukti memengaruhi regulasi hormonal. Perubahan berat badan, baik obesitas maupun kekurangan gizi, memiliki kontribusi signifikan dalam mengganggu keseimbangan siklus, di samping adanya gangguan reproduksi seperti endometriosis, fibroid, dan infeksi panggul. Beberapa jenis kontrasepsi, khususnya pil dengan dosis rendah, dapat pula menimbulkan efek samping berupa perubahan pola haid. Oleh karena itu, seorang wanita perlu waspada dan segera berkonsultasi dengan tenaga medis apabila mengalami siklus haid yang tidak muncul selama 90 hari, siklus yang terlalu singkat atau panjang, menstruasi yang berlangsung lebih dari tujuh hari, perdarahan antarperiode, maupun haid yang terasa sangat menyakitkan dan berlebihan.
Risiko yang muncul akibat siklus haid tidak teratur sangat beragam, mulai dari anemia yang dipicu perdarahan kronis, gangguan kesuburan yang menghambat kemungkinan kehamilan, hingga ketidakseimbangan hormonal yang berdampak pada kesehatan tubuh secara keseluruhan. Tidak jarang kondisi ini juga menimbulkan gangguan fisik seperti nyeri kronis dan gangguan psikologis berupa perubahan suasana hati yang signifikan. Walaupun sebagian penyebabnya relatif ringan, ketidakteraturan haid dapat pula menjadi gejala awal dari penyakit serius yang memerlukan penanganan medis mendalam. Oleh karena itu, diagnosis yang akurat melalui pemeriksaan ginekologi menjadi langkah penting agar terapi yang diberikan sesuai dengan kondisi pasien.
Pengendalian siklus haid yang tidak teratur tidak semata bergantung pada intervensi medis, tetapi juga menuntut perubahan gaya hidup yang lebih sehat. Upaya seperti menjaga berat badan ideal, mengonsumsi makanan bergizi, mengelola stres, memastikan waktu tidur yang cukup, dan menghindari olahraga yang berlebihan merupakan langkah preventif yang efektif. Dalam kasus yang berkaitan dengan gangguan hormonal, dokter dapat meresepkan terapi hormon, termasuk penggunaan pil kontrasepsi atau obat antiandrogen, serta memberikan pengobatan terhadap kondisi dasar seperti PCOS. Konsultasi rutin dan kesadaran untuk memperhatikan tanda-tanda abnormalitas pada siklus menstruasi menjadi kunci dalam menjaga kesehatan reproduksi wanita secara optimal.
Corresponding Author: Zulpiani Br Sipayung
(email: [email protected])

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler