Menjaga Kesehatan Mental Mahasiswa di Tengah Tuntutan Akademik

8 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Menjaga Kesehatan Mental Mahasiswa di Tengah Tuntutan Akademik
Iklan

Pernahkah Anda merasa kewalahan di hadapan tumpukan tugas kuliah, jadwal ujian yang seakan tidak berkesudahan, atau ekspektasi orang tua dan lin

***

Wacana ini ditulis oleh Khaila Salsabila, Luthfiah Mawar M.K.M., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Aisyah Umaira, Andieni Pratiwi, Andine Mei Hanny, Dwi Keisya Kurnia, dan Naila Al Madina dari IKM 6 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pernahkah Anda merasa kewalahan di hadapan tumpukan tugas kuliah, jadwal ujian yang seakan tidak berkesudahan, atau ekspektasi orang tua dan lingkungan yang terasa menekan? Jika iya, Anda tidak sendirian. Laporan WHO tahun 2023 mencatat lebih dari 30 persen mahasiswa di seluruh dunia mengalami stres, kecemasan, atau depresi selama masa studi mereka. Angka ini memperlihatkan bahwa kesehatan mental tidak dapat dipandang semata sebagai persoalan pribadi, melainkan isu kolektif yang memengaruhi mutu pendidikan sekaligus arah masa depan bangsa.

Tekanan akademik sejatinya bukanlah fenomena baru, namun kini dampaknya semakin terlihat nyata dalam keseharian mahasiswa. Rutinitas padat dari pagi hingga sore, beban tugas yang menumpuk, ditambah tanggung jawab organisasi maupun pekerjaan sampingan, membuat banyak mahasiswa akhirnya mengorbankan ketenangan batin mereka.

Tanda-tanda awal seperti gangguan tidur, mudah tersulut emosi, atau kehilangan minat pada hal-hal yang dulu menyenangkan sering kali dianggap sepele. Padahal, gejala kecil ini dapat berkembang menjadi kelelahan mental serius yang berujung pada menurunnya motivasi, kesulitan berkonsentrasi, bahkan depresi klinis. Karena itu, menjaga kesehatan mental semestinya dipandang sama pentingnya dengan menjaga capaian akademik. Predikat cumlaude akan kehilangan makna jika diraih dengan mengorbankan kebahagiaan dan kesejahteraan diri.

Upaya menjaga kesehatan mental dapat dimulai dari langkah sederhana. Mengatur waktu belajar dengan proporsional, berolahraga secara teratur, atau sekadar berjalan kaki terbukti memberi pengaruh signifikan terhadap kewarasan. Data Kementerian Kesehatan RI tahun 2022 menunjukkan mahasiswa yang berolahraga minimal tiga kali seminggu memiliki risiko depresi 20 persen lebih rendah dibandingkan mereka yang jarang bergerak. Aktivitas fisik bukan hanya meredakan stres, tetapi juga meningkatkan kualitas tidur. Latihan pernapasan, meditasi, atau menulis jurnal merupakan strategi sederhana lain untuk mengelola tekanan. Sering kali hal-hal kecil seperti ini terabaikan, padahal dampaknya nyata. Demikian pula menjaga pola makan seimbang serta tidur yang cukup, dua aspek yang kerap dikorbankan mahasiswa demi mengejar tenggat.

Kesehatan mental juga memerlukan dukungan eksternal. Teman sebaya dapat menjadi ruang aman untuk berbagi cerita, keluarga dapat memberikan penerimaan tanpa syarat, sementara dosen memiliki peran untuk menciptakan atmosfer belajar yang lebih suportif. Institusi pendidikan pun wajib menghadirkan solusi konkret.

Universitas idealnya menyediakan layanan konseling yang profesional, mudah diakses, dan responsif terhadap kebutuhan mahasiswa. Beberapa perguruan tinggi di Indonesia, seperti Universitas Gadjah Mada, telah merintis layanan konseling daring yang memungkinkan mahasiswa mencari bantuan tanpa harus hadir secara fisik. Inisiatif semacam ini seharusnya diperluas agar isu kesehatan mental tidak lagi dipandang tabu.

Namun, tidak dapat diabaikan bahwa teknologi memiliki wajah ganda. Media sosial kerap memperparah tekanan melalui budaya perbandingan hidup yang tidak sehat, di mana melihat teman tampak lebih berhasil sering menimbulkan perasaan kurang berharga. Meski demikian, teknologi juga membuka peluang baru, mulai dari aplikasi konseling daring, kelompok dukungan digital, hingga konten edukasi seputar kesehatan mental yang tersedia luas di media sosial. Mahasiswa dapat memilih memanfaatkan sisi positifnya sebagai penopang di luar kampus.

Selain itu, budaya akademik sendiri perlu ditinjau ulang. Sistem penilaian yang menitikberatkan pada angka semata berisiko memicu kecemasan berlebihan. Sebaliknya, model pembelajaran berbasis proyek dan diskusi kolaboratif mendorong keterampilan berpikir kritis sekaligus membangun rasa kebersamaan.

Menurut hemat saya, universitas yang hanya berorientasi pada peringkat tanpa memperhatikan kesejahteraan mental mahasiswanya telah gagal menjalankan fungsi pendidikan secara menyeluruh. Sudah waktunya perguruan tinggi menempatkan keseimbangan hidup sebagai bagian integral dari kurikulum, bukan sekadar jargon. Mahasiswa perlu diyakinkan bahwa menjaga tubuh tetap sehat merupakan bagian tak terpisahkan dari menjaga pikiran tetap waras. Peran keluarga juga sangat penting.

Meski berstatus dewasa, mahasiswa tetap membutuhkan dukungan emosional dari orang tua dan saudara. Komunikasi terbuka, penerimaan penuh kasih, dan dorongan moral akan sangat membantu mereka menghadapi tekanan. Saat mahasiswa gagal ujian atau menghadapi hambatan akademik, keluarga yang merangkul akan lebih menyembuhkan dibandingkan keluarga yang justru menambah beban dengan tuntutan berlebihan. Kontribusi masyarakat luas juga tidak kalah besar.

Media massa maupun media sosial dapat menjadi kanal penyebaran pengetahuan positif. Konten edukatif tentang kesehatan mental terbukti menjangkau mahasiswa lebih luas, bahkan satu artikel inspiratif atau video singkat sering kali lebih berdampak dibandingkan brosur formal yang jarang disentuh.

Pada akhirnya, menjaga kesehatan mental mahasiswa adalah tanggung jawab bersama. Individu perlu belajar mengenali batas diri, keluarga harus menyediakan dukungan emosional, universitas wajib menghadirkan fasilitas yang memadai, sementara masyarakat berperan menyebarkan pesan positif. Dengan kolaborasi semua pihak, kita dapat membentuk generasi yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga tangguh secara emosional. Kesehatan mental bukan semata urusan pribadi, melainkan fondasi untuk melahirkan generasi yang produktif, bahagia, dan berdaya saing.

Mahasiswa yang sehat mental adalah investasi nyata bagi masa depan bangsa. Pertanyaannya, sudahkah kita menyediakan ruang yang cukup untuk menjaga kewarasan di tengah derasnya tuntutan akademik? Perlu selalu diingat, kesehatan mental tidak dapat dipisahkan dari kesehatan fisik dan sosial. Ketiganya terikat erat, sehingga merawat tubuh, menjaga relasi, dan memberi ruang bagi diri sendiri merupakan strategi penting dalam pencegahan. Jika mahasiswa mampu memahami hal ini sejak dini, perjalanan studi dapat dijalani dengan lebih sehat, seimbang, dan penuh makna.

Corresponding Author: Khaila Salsabila (email: [email protected])

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler