Menjaga Kesehatan di Era Digital
7 jam lalu
Penelitian menunjukkan relais antara durasi penggunaan media sosial dengan meningkatnya kecemasan, stres, hingga depres, di kalangan remaja.
***
Wacana ini ditulis oleh Taufik Hidayat Hasibuan, Luthfiah Mawar M.K.M., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Aisyah Umaira, Andieni Pratiwi, Andine Mei Hanny, Dwi Keisya Kurnia, dan Naila Al Madina dari IKM 6 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.
Perkembangan teknologi digital telah menghadirkan kemudahan luar biasa dalam kehidupan modern, namun pada saat yang sama memunculkan tantangan serius terhadap kesehatan fisik maupun mental. Salah satu dampak yang sering terabaikan adalah munculnya Computer Vision Syndrome (CVS), yakni kondisi yang ditandai dengan mata kering, penglihatan kabur, dan sakit kepala akibat terlalu lama menatap layar. Gejala ini sering tidak disadari karena konsentrasi penuh pada aktivitas digital membuat seseorang lupa memberi jeda pada mata.
Menjaga Kesehatan di Era Digital
Kebiasaan duduk berjam-jam di depan komputer atau ponsel pun meningkatkan risiko gangguan sistem gerak, khususnya pada leher, bahu, dan punggung. Lebih jauh lagi, paparan cahaya biru pada malam hari menghambat produksi melatonin yang berfungsi mengatur ritme tidur, sehingga banyak orang mengalami kesulitan beristirahat, mudah lelah, dan kehilangan konsentrasi di siang hari. Dampaknya tidak hanya dirasakan pada tubuh, tetapi juga pada kesehatan mental.
Selain aspek fisik, gaya hidup digital juga memengaruhi pola konsumsi. Banyak orang lebih memilih makanan cepat saji karena terhimpit rutinitas daring, padahal pilihan tersebut miskin gizi dan dapat menurunkan daya tahan tubuh. Tubuh yang terpapar aktivitas digital intensif sejatinya membutuhkan dukungan asupan seimbang berupa buah, sayuran, protein, air putih, serta pembatasan konsumsi gula, kafein, dan makanan olahan. Pola makan bergizi bukan hanya menopang energi, tetapi juga menjaga stabilitas suasana hati dan ketahanan mental. Tanpa hal itu, tubuh dan pikiran lebih mudah rapuh menghadapi tuntutan digital yang semakin padat.
Di sisi lain, penggunaan media sosial yang berlebihan membawa implikasi psikologis yang nyata. Berbagai penelitian menunjukkan keterkaitan antara durasi penggunaan media sosial dengan meningkatnya kecemasan, stres, hingga depresi, terutama pada kalangan remaja. Ketergantungan pada notifikasi dan kebutuhan akan validasi digital memicu kecemasan sosial yang dikenal sebagai Fear of Missing Out (FOMO). Arus informasi yang tak terbendung justru menimbulkan kejenuhan mental, membuat seseorang sulit fokus, serta meningkatkan risiko stres berkepanjangan. Alih-alih menjadi sumber pengetahuan, banjir informasi sering kali justru merongrong daya pikir dan kestabilan emosional.
Untuk menjaga kesehatan di tengah arus digitalisasi, kesadaran diri menjadi kunci utama. Mengatur waktu penggunaan gawai dengan prinsip digital detox, seperti berhenti dari layar satu jam sebelum tidur atau mengambil jeda penuh di akhir pekan, mampu memberi kesempatan bagi tubuh dan pikiran untuk beristirahat. Praktik sederhana seperti aturan 20-20-20, yaitu mengalihkan pandangan setiap 20 menit ke objek sejauh 20 kaki selama 20 detik, terbukti efektif mengurangi ketegangan mata.
Menjaga postur duduk yang benar, menyesuaikan posisi layar dengan pandangan, dan menggunakan kursi ergonomis dapat mencegah gangguan tulang belakang. Aktivitas fisik teratur, meski hanya berupa peregangan, berjalan kaki, atau olahraga ringan selama 30 menit per hari, memberi dampak signifikan pada kebugaran fisik sekaligus menurunkan tingkat stres. Begitu pula dengan kebiasaan tidur teratur, meditasi ringan, membaca buku, atau sekadar berinteraksi langsung dengan orang terdekat dapat membantu memulihkan energi yang terkuras akibat paparan digital.
Selain menjaga fisik, literasi digital menjadi bagian tak terpisahkan dalam strategi menjaga kesehatan di era modern. Literasi digital yang sehat mencakup kemampuan memilah informasi, menghindari hoaks, serta menggunakan teknologi secara bijak. Banyak orang terjebak dalam informasi kesehatan keliru di media sosial, sehingga mengambil keputusan yang berbahaya, seperti diet ekstrem atau konsumsi obat tanpa pengawasan medis.
Di samping itu, literasi digital juga menyangkut kesadaran akan privasi dan keamanan data pribadi. Korban perundungan siber atau pencurian data sering mengalami tekanan mental yang berat, yang pada akhirnya mengganggu kualitas hidup. Dengan pemahaman digital yang matang, risiko ini dapat diminimalkan sekaligus membuka peluang untuk memanfaatkan teknologi secara positif.
Pada akhirnya, menjaga kesehatan di era digital bukan sekadar soal membatasi penggunaan perangkat, tetapi lebih pada bagaimana menyeimbangkan kebutuhan teknologi dengan pola hidup sehat. Tubuh dan pikiran memerlukan ruang bebas dari paparan layar, sebagaimana mereka membutuhkan nutrisi, olahraga, dan istirahat.
Dengan komitmen untuk mengatur waktu, menjalani gaya hidup sehat, serta memperkuat literasi digital, seseorang tidak hanya dapat mempertahankan produktivitas, tetapi juga melindungi kualitas hidup secara menyeluruh. Teknologi seharusnya menjadi mitra dalam meningkatkan kesejahteraan, bukan sumber penderitaan baru. Oleh sebab itu, kesehatan harus ditempatkan sebagai investasi utama yang dijaga secara berkesinambungan meskipun dunia terus bergerak menuju digitalisasi. Era digital, dengan segala peluang dan tantangannya, pada hakikatnya dapat menjadi sahabat yang memperkaya kehidupan apabila dikelola dengan bijaksana dan seimbang.
Corresponding Author: Taufik Hidayat Hasibuan
(email: [email protected])

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Menjaga Kesehatan di Era Digital
7 jam laluBaca Juga
Artikel Terpopuler