Menyoroti Peran Pemerintah dalam Konflik Agraria Nasional
3 jam lalu
***
***
Agraria di Indonesia bukan hanya persoalan tanah dan sertifikat. Ia adalah gambaran kompleksitas hubungan antara hak masyarakat, kepemilikan lahan, kebijakan publik, praktik bisnis, dan keadilan sosial. Dari konflik-konflik di Mesuji, Kendeng/Rembang, Wadas, hingga kasus di Papua, terlihat bahwa pemerintah memiliki peran penting dan tidak bisa dikesampingkan — namun sejauh mana peran itu efektif dan adil?
Pola Konflik Agraria
Konflik agraria di Indonesia muncul dalam berbagai bentuk: sengketa lahan antara petani lokal dengan perusahaan perkebunan, masalah izin dan lingkungan, hak masyarakat adat, pengambilan tanah untuk proyek infrastruktur, dan penggunaan aparat keamanan dalam penyelesaian konflik. Contoh khas:
- Mesuji (Lampung/Sumatera Selatan): petani vs konsesi perkebunan—benturan sosial, intimidasi aparat, klaim tumpang tindih.
- Kendeng / Rembang (Jawa Tengah): pabrik semen di kawasan karst yang mengancam sumber air dan ekosistem; warga melakukan aksi protes; kemudian Mahkamah Agung terlibat melalui putusan pembatalan izin.
- Wadas (Purworejo, Jawa Tengah, 2022): warga menolak lokasi tambang material (andesit) untuk proyek Bendungan Bener; terjadi tuduhan penggunaan kekerasan dan pelanggaran proses konsultasi.
- Papua (berkelanjutan): pelepasan kawasan hutan, konflik dengan masyarakat adat, perizinan tidak transparan dan minim konsultasi.
Semua kasus menunjukkan bahwa konflik agraria bukan kasus satu-dua, melainkan sistemik: terkait regulasi, institusi, ekonomi, dan ekologi.
Kebijakan Pemerintah
Pemerintah pusat dan daerah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan dan regulasi untuk merespons konflik agraria:
1. Undang-undang dan Peraturan Presidensial
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 tetap menjadi dasar hukum agraria meskipun kritik bahwa ia sudah kurang cocok dalam praktik kontemporer.
Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria — sebagai payung kebijakan untuk redistribusi tanah, legalisasi aset, pengakuan hak masyarakat adat, dan penyelesaian konflik agraria.
Perpres No. 62 Tahun 2023 sebagai upaya percepatan pelaksanaan reforma agraria.
2. Institusi dan mekanisme administrasi
Kementerian ATR/Badan Pertanahan Nasional (BPN) berperan dalam pendaftaran, sertifikasi, dan legalisasi tanah.
Gugus tugas reforma agraria dan tenaga ahli di tingkat pusat diangkat untuk mempercepat realisasi kebijakan.
3. Upaya hukum dan pengadilan
Mahkamah Agung mengeluarkan putusan dalam beberapa kasus (misalnya Kendeng) yang membatalkan izin lingkungan atau izin terkait, sebagai respon terhadap tuntutan masyarakat.
Komnas HAM ambil bagian dalam penyelidikan kasus kekerasan aparat (misalnya Wadas), memberi rekomendasi atau klarifikasi, publikasi temuan.
4. Dialog publik dan seminar akademik
Pemerintah dan lembaga terkait sesekali mengadakan seminar, diskusi publik, seminar nasional dengan akademisi sebagai narasumber untuk membahas arah dan bagaimana praktik reforma agraria seharusnya dijalankan.
Publikasi data konflik agraria lewat lembaga pemantau seperti Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga menekan pemerintah agar lebih transparan dan bertanggung jawab.
Kritik dan Rekomendasi Akademisi
Salah satu akademisi yang aktif muncul di media massa dalam konteks agraria adalah Prof. Dr. Herawan Sauni, Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Bengkulu. Di seminar politik hukum agraria pada FH Unib (5 Desember 2024), beliau menyampaikan:
“Padahal, dalam UUPA dan peraturan tentang HGU sudah sangat jelas semuanya. Jika tujuan HMN dalam UUPA dan aturan HGU dilaksanakan dengan baik, maka konflik mampu diredam dan diselesaikan. Akan tetapi, banyak pihak menutup mata dengan aturan-aturan itu dan lebih mementingkan ego sektoral.”
Ucapan beliau menunjukkan dua hal: di satu sisi regulasi yang diperlukan sudah ada, sudah jelas dalam UUPA dan aturan HGU (Hak Guna Usaha). Di sisi lain, implementasi tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena ada kepentingan sektor, birokrasi, kekuasaan lokal dan nasional yang menghambat.
Sejauh Mana Pemerintah Efektif?
Menggunakan data-temuan dan laporan kasus, kita dapat melihat beberapa capaian dan kelemahan:
Capaian
- Legal dasar dan kerangka kebijakan sudah tersedia: UUPA, peraturan-peraturan pendukung, Perpres reforma agraria. Ini memberikan payung hukum untuk tindakan pemerintah.
- Putusan pengadilan — Mahkamah Agung secara hukum bisa membatalkan izin atau membatalkan praktik yang melanggar regulasi. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga hukum bisa jadi alat kontrol terhadap pelanggaran.
- Peningkatan kepedulian publik dan akademis — seminar, petisi akademisi, diskusi, media massa menyoroti konflik agraria. Tekanan publik ini memaksa pemerintah pusat dan daerah untuk memperhatikan masalah, membuka dialog, serta kadang mengambil tindakan.
Kelemahan
- Pelaksanaan di lapangan yang beragam dan sering tidak konsisten: Kebijakan reforma agraria di beberapa daerah berjalan lambat, tidak sampai ke akar masalah seperti pengakuan hak adat, legalisasi hak ulayat, penyelesaian klaim tumpang tindih.
- Proses perizinan yang masih dipertanyakan: konsultasi masyarakat sering formalitas, minim partisipasi nyata; izin besar kadang tiba-tiba muncul; regulasi lingkungan kadang lemah ditegakkan.
- Penggunaan aparat dan tindakan kekerasan: di kasus seperti Wadas, laporan Komnas HAM menunjukkan tindakan aparat yang dianggap berlebihan dan pelanggaran prosedur. Ini memperlihatkan bahwa pendekatan keamanan masih dipakai dalam konflik agraria, seringkali memperburuk situasi.
- Ketidakterpaduan regulasi dan tumpang tindih kewenangan: banyak regulasi lintas sektor (lingkungan, kehutanan, pertanian, perkebunan, perizinan) yang tidak sinkron, menyebabkan konflik izin, kebingungan dalam tanggung jawab pemerintah pusat & daerah.
Sejauh Mana Pemerintah Bertanggung Jawab?
Berdasarkan data dan kutipan akademis, pemerintah telah mengambil beberapa langkah positif, tapi belum cukup dalam memenuhi janji keadilan agraria. Berikut analisis seberapa jauh peran pemerintah dalam aspek-aspek kunci:
Aspek Peran Pemerintah Sudah Dilakukan Kekurangan/Hambatan
- Regulasi & Kebijakan Ada UUPA, Perpres reforma agraria, beberapa regulasi terkait HGU, lingkungan, hak adat; legitimasi hukum tersedia. Beberapa regulasi tidak diperbarui atau belum memadai; adaptasi terhadap kondisi lokal lemah; regulasi sering bersifat umum tanpa detail pelaksanaan di daerah.
- Pengakuan Hak Masyarakat Adat / Hak Ulayat Ada pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum adat di beberapa daerah; program legalisasi aset dan TORA (tanah obyek reforma agraria). Pengakuan masih “setengah hati” — seperti yang disampaikan Prof. Nurhasan Ismail dalam diskusi buku oleh STPN (Desember 2018): pengakuan belum secara penuh dan belum konsisten di semua pemerintahan daerah.
- Penyelesaian Konflik Melalui pengadilan dan Komnas HAM; ada upaya kebijakan sentral dan daerah untuk menangani konflik aset negara; beberapa konflik berhasil dibatalkan izin atau dihentikan proyek. Banyak kasus tetap belum terselesaikan, atau penyelesaian tidak menyentuh akar: aspek hukum, restitusi (pengembalian), kompensasi, perubahan administratif.
- Penegakan dan Keamanan Pemerintah kadang menghentikan proyek atau hukuman administratif jika ada pelanggaran; aparat keamanan dilibatkan untuk memastikan proyek berjalan. Penggunaan aparat sering kontroversial; laporan adanya kekerasan, intimidasi; pendekatan keamanan sering dianggap mengabaikan dialog dan hak warga.
- Keterlibatan Publik dan Transparansi Seminar, akademisi ikut petisi, media massa menyoroti konflik; peraturan dibuat di atas kertas dengan pelibatan publik dalam beberapa proyek. Banyak masyarakat lokal menyatakan bahwa konsultasi hanya formalitas; dokumen izin tidak mudah diakses; informasi publik tidak selalu lengkap atau tepat waktu.
Kesimpulan
Dari seluruh data dan kasus yang ada, kita bisa menyimpulkan bahwa peran pemerintah sangat penting — regulasi, kebijakan, perangkat kelembagaan, dan peradilan semuanya dibutuhkan agar konflik agraria bisa diatasi. Pemerintah memang sudah membuat dasar hukum, mengeluarkan Perpres, melakukan upaya administrasi, dan terkadang mengambil tindakan remedial.
Namun, sejauh ini banyak aspek masih belum dijalankan dengan konsisten atau adil:
- Banyak konflik agraria belum tersentuh secara struktural atau menyeluruh.
- Regulasi yang bagus di atas kertas sering kali terkendala implementasi di daerah.
- Kepentingan perusahaan, investasi, dan proyek infrastruktur kadang menjadi prioritas dibanding keadilan agraria dan keberlanjutan lingkungan atau hak masyarakat lokal/adat.
- Penggunaan pendekatan keamanan dan aparat dalam beberapa kasus justru memperburuk konflik.
- Ketidakjelasan definisi masyarakat adat, hak ulayat, batas bidang hukum, serta tumpang tindih regulasi menjadi akar masalah yang belum dipenuhi oleh tindakan pemerintah.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler