Junior researcher with a background in Islamic Economics. Research interests span various fields of economics, including Economics, Islamic Economics, Macroeconomics, Microeconomics, Monetary Economics, Development Economics, and Risk Management of Halal Supply Chains.

Kredit Bukan Jalan Pintas, Pentingnya Perbaikan Pasar Riil dalam Stabilitas

5 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Suasana Pasar Tradisonal
Iklan

Pemerintah jangan lupakan perbaikan pasar riil; benahi akar masalah ekonomi, bukan sekadar menyuntik dana dari atas.

***
Di tengah dinamika ekonomi Indonesia saat ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah penyaluran kredit tambahan dapat menjadi solusi efektif untuk membantu pertumbuhan?
 
Realitas di lapangan menunjukkan kompleksitas yang tidak sederhana. Dari sisi psikologis dan sosial, sebagian masyarakat terbiasa mengalokasikan uang pada aktivitas non-produktif seperti judi online, sementara akses ke kredit formal semakin terbatas akibat catatan BI checking yang bermasalah.
 
Kondisi ini mencerminkan sisi permintaan (demand side) yang tidak sehat. Alhasil, meskipun pemerintah menyalurkan kredit tambahan, belum tentu kredit tersebut digunakan secara produktif untuk konsumsi atau investasi riil. Sebaliknya, aliran dana justru berisiko mandek atau bahkan berubah menjadi kredit bermasalah (non-performing loan) yang dapat membebani sektor perbankan.
 
Iklim pasar juga memperlihatkan distorsi serius. Harga barang di tingkat konsumen relatif tinggi, sehingga melemahkan daya beli masyarakat. Sebaliknya, harga di tingkat produsen justru rendah dan tidak terserap, mencerminkan terganggunya rantai distribusi.
 
Situasi itu mengindikasikan adanya market failure. Jika pasar barang tidak diperbaiki lebih dahulu, penyaluran kredit hanya akan menambah likuiditas tanpa menghasilkan multiplier effect. Produsen tidak berani menambah kapasitas produksi karena lemahnya permintaan, sementara konsumen tetap tidak memiliki kemampuan belanja meskipun dana segar beredar.
 
Dalam kerangka kebijakan, perlu dibedakan antara peran fiskal dan moneter. Instrumen fiskal harus difokuskan pada pemulihan pasar riil: perbaikan struktur harga barang, pemberian subsidi yang tepat sasaran, serta pengurangan pajak agar daya beli masyarakat pulih. Instrumen moneter berupa penyaluran kredit hanya akan efektif apabila pasar sudah lebih sehat, sebab kredit membutuhkan keyakinan terhadap kemampuan bayar konsumen sekaligus kepastian pasar bagi produsen.
 
Tanpa dukungan fiskal yang kuat—subsidi pangan, insentif perpajakan, dan stabilisasi harga—penyaluran kredit tidak akan mampu menstimulasi pertumbuhan secara berkelanjutan, malah berpotensi memperbesar risiko krisis perbankan.
 
Pemberian kredit tanpa memperbaiki pasar terlebih dahulu pada dasarnya ibarat pisau bermata ganda. Kredit menambah jumlah uang beredar di masyarakat. Apabila pasar berfungsi normal, tambahan likuiditas itu dapat menjadi katalis bagi konsumsi, investasi, dan produksi. Namun, dalam situasi pasar yang terdistorsi, peredaran uang justru akan mendorong inflasi lebih tinggi, memperlemah nilai mata uang, dan menggerus daya beli masyarakat. Alih-alih menjadi stimulus pertumbuhan, kredit berpotensi menambah beban terhadap stabilitas ekonomi.
 
Dengan demikian, strategi yang lebih berkelanjutan adalah memperbaiki pasar terlebih dahulu. Pemerintah perlu memastikan harga-harga kebutuhan pokok terkendali, mengurangi beban pajak yang menekan konsumsi dan usaha kecil, serta memberikan subsidi strategis pada sektor-sektor produktif.
 
Dalam kondisi pasar yang lebih sehat, konsumsi dapat meningkat secara merata, produsen terdorong untuk memperluas kapasitas produksi, dan penciptaan lapangan kerja menjadi lebih signifikan. Pertumbuhan ekonomi pun berpotensi bergerak lebih tinggi, tidak hanya bertahan pada kisaran lima persen tetapi mampu mencapai 5,5–6 persen, dengan inflasi yang tetap terkendali.
 
Oleh karena itu, penyaluran kredit yang digembar-gemborkan saat ini tidak boleh dipandang sebagai instrumen tunggal utama penyelamat ekonomi. Kredit hanya akan menjadi katalis yang efektif apabila fondasi pasar riil sudah kokoh. Prioritas utama kebijakan harus diarahkan pada stabilisasi harga, penguatan distribusi, subsidi tepat sasaran, serta reformasi pajak.
 
Setelah itu tercapai, kredit dapat berfungsi optimal: memperluas konsumsi, menghidupkan produksi, menurunkan pengangguran, dan memperkuat daya tahan ekonomi Indonesia. Sayangnya, arah kebijakan Indonesia selama ini cenderung terlalu condong pada stimulus dari pasar uang ke pasar barang tanpa terlebih dahulu memastikan apakah pasar barang benar-benar siap menerima aliran dana tersebut. Akibatnya, kebijakan moneter sering kali mendahului kesiapan sektor riil, sehingga efektivitas stimulus berkurang dan justru memperbesar risiko distorsi di dalam perekonomian.
 
Selain itu, penyaluran kredit pun kerap terkesan eksklusif, lebih mudah diakses oleh kelompok masyarakat tertentu, sementara lapisan akar rumput yang justru paling membutuhkan dorongan likuiditas produktif sering kali tidak terjangkau. Ketimpangan akses inilah yang membuat kebijakan kredit semakin kehilangan daya ungkit dalam menggerakkan ekonomi secara menyeluruh.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Dini Anggreini K

Master\x27s student in Islamic Economics at UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler