Ketua Program Studi S2 Magister Perencanaan Wilayah dan Kota (Planologi) Fakultas Teknik Unissula Semarang. Juga sebagai Sekretaris I Bidang Penataan Kota, Pemberdayaan Masyarakat Urban, Pengembangan Potensi Daerah, dan Pemanfaatan SDA, ICMI Orwil Jawa Tengah. Selain itu juga sebagai Sekretaris Umum Satupena Jawa Tengah.

Pertumbuhan Permukiman Kumuh: Tantangan Urbanisasi tanpa Industrialisasi

5 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Penulis Indonesiana
Iklan

Permasalahan permukiman kumuh di Indonesia, butuh pendekatan terpadu melibatkan aspek sosial, ekonomi, lingkungan, dan peran stakeholder.

Permasalahan perumahan dan kawasan permukiman merupakan isu krusial yang dihadapi oleh kota-kota besar di negara berkembang, termasuk Indonesia. Dalam beberapa dasawarsa terakhir, permukiman kumuh telah menunjukkan pertumbuhan yang sangat cepat, menimbulkan keprihatinan berbagai pihak karena dampaknya yang negatif terhadap kualitas hidup masyarakat dan lingkungan. Meskipun sudah terdapat berbagai kebijakan dan program penanganan permukiman kumuh, belum ada pendekatan yang menyeluruh dan terpadu yang mampu mengatasi permasalahan ini secara efektif.

Analisis permasalahan perumahan dan kawasan permukiman harus memperhatikan karakteristik unik dari setiap wilayah. Setiap kota memiliki dinamika pertumbuhan dan kondisi sosial-ekonomi yang berbeda, sehingga penanganan permukiman kumuh tidak bisa menggunakan metode tunggal atau kebijakan yang sama untuk semua daerah. Perbedaan situasi antara urbanisasi di negara berkembang seperti Indonesia dengan negara-negara Barat sangat signifikan, terutama dalam konteks ekonomi, teknologi, dan penyediaan lapangan kerja. Fenomena "Urbanisasi tanpa Industrialisasi" yang terjadi di Indonesia menyebabkan munculnya permukiman kumuh sebagai konsekuensi dari permintaan hunian yang tidak terlayani oleh sektor formal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Permukiman kumuh merupakan hasil dari urbanisasi yang tinggi namun tidak disertai industrialisasi yang memadai, sehingga pendekatan teori Barat yang sering diterapkan tidak selalu efektif. Misalnya, kebijakan penggusuran tanpa penyediaan alternatif hunian yang layak justru memperparah permasalahan, karena memunculkan permukiman kumuh baru di lokasi lain. Penting untuk memahami bahwa perumahan bukan hanya sekadar komoditas yang diperjualbelikan, tetapi juga merupakan proses dan aktivitas yang memiliki makna sosial dan ekonomis bagi penghuninya. Sebagaimana ditegaskan oleh J.F.C. Turner (1976), perumahan harus dipahami sebagai sebuah tindakan, bukan hanya objek fisik semata.

Kebijakan Penyediaan Perumahan Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Perumahan bukan hanya berfungsi sebagai tempat berlindung, melainkan juga sebagai kebutuhan sosial yang berpengaruh pada kesehatan, kesejahteraan, dan dinamika keluarga. Kebijakan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah harus memberikan berbagai alternatif solusi, seperti program peremajaan kota, penyediaan kavling siap bangun (site and services), serta pembangunan infrastruktur pendukung. Namun, pasokan perumahan formal oleh pemerintah dan swasta masih belum memadai untuk menjangkau kelompok berpenghasilan rendah, meskipun telah ada regulasi seperti PP No 80 Tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun (KASIBA) dan Lingkungan Siap Bangun (LISIBA).

Pendekatan alternatif dalam penanganan permukiman kumuh perlu mempertimbangkan status legal kepemilikan lahan dan kesesuaian peruntukan ruang dengan rencana tata ruang daerah. Jika permukiman tersebut berada di lahan legal dan sesuai peruntukan, maka dapat dilakukan upaya perbaikan lingkungan melalui program seperti bedah kampung, peremajaan kota, atau bedah rumah. Namun, untuk permukiman liar (squatter), pendekatan relokasi atau resettlement menjadi pilihan yang lebih tepat.

Perumahan harus dapat merespons perubahan siklus kehidupan keluarga dan peningkatan status sosial ekonomi penghuninya. Oleh sebab itu, pengadaan perumahan dan perbaikan lingkungan harus menyediakan berbagai alternatif yang beragam. Pemerintah memiliki peran penting yang harus terus berkembang dari penyedia langsung menjadi pengatur dan motivator, dengan menggerakkan lembaga swadaya masyarakat, koperasi perumahan, yayasan sosial, organisasi profesi, serta masyarakat itu sendiri sesuai dengan potensi dan kapasitas masing-masing.

Pembangunan perumahan dan permukiman merupakan proses multisektor yang melibatkan berbagai tahapan, mulai dari persiapan, perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi, hingga pemanfaatan dan pemeliharaan. Dokumen perencanaan seperti Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP) menjadi acuan dalam melaksanakan pembangunan yang terstruktur.

Tahapan Utama Pembangunan Perumahan dan Kawasan Permukiman

Tahapan utama pembangunan meliputi:

  • Persiapan: pengumpulan data, studi kelayakan, dan penentuan lokasi yang strategis sesuai rencana tata ruang.
  • Perencanaan: penyusunan desain, penyediaan lahan, perhitungan kebutuhan infrastruktur dasar, serta pengurusan perizinan.
  • Pelaksanaan: pematangan lahan, pembangunan rumah dan fasilitas dasar seperti jalan, sanitasi, dan air bersih.
  • Pengendalian dan Evaluasi: pengawasan kualitas bangunan, uji kelayakan, dan evaluasi dampak lingkungan.
  • Pemanfaatan dan Pemeliharaan: pengelolaan kawasan agar tetap layak huni, aman, nyaman, serta pelaksanaan pemeliharaan rutin infrastruktur.

Karakteristik dan Kompleksitas Permukiman di Berbagai Wilayah

Karakteristik permukiman sangat bervariasi tergantung pada tipologi dan lokasinya, antara lain:

  • Permukiman nelayan pesisir dan kepulauan dengan rumah panggung atau terapung yang linier mengikuti garis pantai.
  • Permukiman sekitar cagar budaya dengan upaya pelestarian warisan budaya dan arsitektur tradisional.
  • Permukiman di daerah pertanian dan perkebunan yang berkembang mengikuti pola lahan produksi.
  • Permukiman dekat hutan yang kecil dan terpencar, dengan ketergantungan pada hasil hutan non-kayu.
  • Permukiman di sekitar waduk dan daerah aliran sungai yang memiliki desain rumah panggung dan sistem sanitasi yang fleksibel.
  • Permukiman di kawasan rawan bencana yang memerlukan desain adaptif, mitigasi risiko, serta sistem peringatan dini dan akses evakuasi.

Peran Pemangku Kepentingan dan Pentingnya Pendekatan Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan

Faktor kunci dalam pembangunan permukiman meliputi ketersediaan air bersih dan sanitasi, akses jalan dan transportasi, keamanan lingkungan, fasilitas kesehatan dan umum, serta keterlibatan masyarakat dalam pemilihan lokasi dan pemeliharaan kawasan. Pertimbangan biaya dan kondisi geografis juga sangat penting dalam proses pembangunan.

Peran berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah pusat dan daerah, sektor swasta, dan masyarakat sangat strategis. Kebijakan pembangunan harus mengacu pada peraturan tata ruang dan pengendalian pemanfaatan lahan untuk menjamin keamanan, kelestarian lingkungan, serta mewujudkan permukiman yang layak, inklusif, berkelanjutan, dan memberdayakan masyarakat.

Dengan demikian, pembangunan perumahan dan kawasan permukiman merupakan proses terpadu yang tidak hanya berfokus pada pembangunan fisik, tetapi juga mengelola aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan secara simultan demi meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara menyeluruh.

Dr. Ir. Mohammad Agung Ridlo, M.T.

Ketua  Program Studi S2 Magister Perencanaan Wilayah dan Kota (Planologi) Fakultas Teknik UNISSULA. Juga sebagai Sekretaris I Bidang Penataan Kota, Pemberdayaan Masyarakat Urban, Pengembangan Potensi Daerah, dan Pemanfaatan SDA, ICMI Orwil Jawa Tengah. Selain itu juga menjadi Ketua Bidang Teknologi Tradisional, Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Provinsi Jawa Tengah. Serta sebagai Sekretaris Umum Satupena Jawa Tengah.

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler