Praktisi ISO Management System and Compliance

Mengajar di Bawah Bayang Cemilan, Gaji Guru Tak Cukup untuk Hidup Layak

2 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Guru Honorer
Iklan

Gaji guru honorer tak cukup bertahan hidup. Banyak yang jualan cemilan di kelas demi sesuap nasi. Ini realita memilukan dunia pendidikan kita.

***

Pagi itu, sebelum bel masuk berbunyi, Ibu Rina sudah sibuk membuka tas kecil berwarna cokelat. Di dalamnya bukan hanya buku pelajaran dan daftar absen, tapi juga tiga bungkus keripik kentang, dua plastik permen lolipop, dan satu dus minuman kemasan kecil. “Lagi jualan ke anak-anak dulu, biar bisa nutup ongkos transport hari ini,” katanya sambil tersenyum getir.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Rina, guru honorer di sebuah SD negeri di pinggiran Yogyakarta, bukan satu-satunya yang menjalani realitas seperti ini. Di banyak penjuru Indonesia, dari pedalaman Papua hingga pelosok Jawa, tak sedikit guru yang mengajar dengan bayangan dagangan cemilan di meja depan kelas. Bukan karena hobi berdagang, tapi karena gaji mereka tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Angka yang Menyakitkan

Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) 2024 mencatat, masih ada sekitar 700 ribu guru honorer non-ASN di seluruh Indonesia. Mayoritas dari mereka menerima upah antara Rp800 ribu hingga Rp1,5 juta per bulan, tergantung daerah dan jenis sekolah. Bahkan di beberapa kabupaten, gaji tersebut dibayar secara tidak rutin — kadang terlambat hingga tiga bulan.

Sementara itu, rata-rata harga sewa kos di kota kecil saat ini berkisar antara Rp600–900 ribu per bulan. Belum termasuk listrik, air, konsumsi, dan transportasi. Artinya, dari gaji seorang guru honorer, nyaris tidak tersisa uang untuk tabungan, pendidikan lanjutan, atau bahkan pengobatan ketika sakit.

“Saya sempat kerja paruh waktu jadi kasir di warung makan malam hari. Tapi setelah dua bulan, saya menyerah. Badan sudah tidak kuat lagi. Anak-anak butuh guru yang segar, bukan yang mengantuk sepanjang pelajaran,” ujar Dedi, guru SMP di Garut, Jawa Barat.

Honorer Tanpa Harapan?

Yang lebih menyedihkan, meski telah mengabdi puluhan tahun, status honorer sering kali tidak menjamin jalan masuk menjadi ASN. Seleksi PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) yang digulirkan pemerintah sejak 2021 belum mampu menyelesaikan persoalan akar rumput.

Dalam laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), ribuan guru honorer yang lulus seleksi PPPK justru tidak mendapatkan SK karena keterbatasan anggaran daerah. Mereka disebut sebagai “guru siluman” — lulus tes, tapi tidak diangkat.

Di sisi lain, para guru yang sudah menjadi ASN pun tak selalu hidup sejahtera. Meskipun mendapat tunjangan profesi dan gaji pokok sesuai golongan, inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok membuat daya beli mereka terus menurun. “Gaji saya naik tiap lima tahun, tapi harga beras dan bensin naik tiap bulan,” keluh Siti, guru PNS di Malang.

Dari Kelas ke Pasar: Guru yang Harus Jadi Wirausaha

Untuk bertahan, banyak guru yang memilih jalan alternatif: membuka les privat, jualan produk UMKM, menjadi driver ojol saat libur, hingga menjadi konten kreator edukasi di media sosial.

Fitri, guru bahasa Inggris di Bandung, kini memiliki akun TikTok dengan 300 ribu pengikut. “Awalnya cuma buat ngasih soal latihan, eh malah dapat endorse dari aplikasi belajar online. Itu yang bikin saya bisa bayar kuliah anak,” katanya.

Namun, haruskah nasib seorang pendidik ditentukan oleh kemampuan berjualan atau viral di medsos? Seorang guru seharusnya fokus pada pengembangan kurikulum, inovasi pembelajaran, dan pendampingan siswa, bukan sibuk mikir stok cemilan habis atau live Instagram jam 9 malam.

Negara dan Tanggung Jawab Sosial

Konstitusi kita jelas: Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (5) menyebut bahwa “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.” Dan siapa ujung tombak dari kemajuan itu kalau bukan guru?

Fenomena guru yang harus berdagang untuk bertahan hidup adalah preseden buruk bagi sistem pendidikan nasional. Ini bukan sekadar isu ekonomi, tapi soal harga diri profesi mulia.

Negara perlu hadir dengan:
- Anggaran pendidikan yang benar-benar menyentuh level lapangan, bukan hanya di laporan keuangan.
- Percepatan integrasi guru honorer ke PPPK/ASN tanpa syarat yang memberatkan.
- Skema insentif daerah terpencil dan zona merah pendidikan.
- Perlindungan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan dan dana pensiun bagi guru non-ASN.

Mengajar Adalah Pengabdian, Bukan Derita

Guru bukan superhero yang harus rela makan nasi dingin demi muridnya. Mereka adalah pekerja profesional yang layak mendapat penghargaan, perlindungan, dan kesejahteraan yang adil.

Ketika seorang guru harus memilih antara membeli buku ajar atau membeli beras, maka kita semua — sebagai bangsa — sedang gagal. Karena bagaimana mungkin kita ingin menciptakan generasi emas, jika sang pencetak emasnya sendiri hidup di bawah garis kemiskinan?

Mengajar di bawah bayang-bayang cemilan bukanlah romantika profesi. Itu adalah alarm darurat yang harus segera kita dengar.

Sebab, masa depan Indonesia tidak ditentukan di gedung DPR atau Istana. Ia dimulai dari meja kecil di ruang kelas, tempat seorang guru lelah mencoba bertahan — sambil tetap mengajar tentang harapan.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler