J.B Sumarlin, Krisis Moneter dan Menteri Purbaya

6 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa (kedua kiri) didampingi Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara (kiri), Thomas A. M. Djiwandono (kedua kanan) dan Anggito Abimanyu (kanan) memberikan keterangan pers di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, 8 September
Iklan

Keduanya berangkat dari landasan paradigmatik yang sama yakni supply-side economics perspective.

***

Masa kejayaan itu dimulai dari meletusnya perang Arab–Israel atau biasa disebut dengan istilah perang Yom Kippur pertengahan Oktober 1973. Sata itu negara-negara Arab membalas invasi Israel yang merebut sejumlah wilayah, yakni Sinai Peninsula di Mesir, dataran tinggi Golan (Suriah), serta Tepi Barat dan Yerusalem Timur (Yordania). Israel menang besar, dan negara-negara Arab merasa dipermalukan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Maka tak lama, tantara Mesir dan Suriah melancarkan serangan mendadak terhadap Israel. Pasukan mereka pun berhasil menembus pertahanan Israel dan merebut kembali beberapa wilayah. Namun, Amerika Serikat segera mengirim bantuan militer besar-besaran kepada Israel. Hingga Israel berhasil melakukan serangan balik dan merebut kembali wilayah yang hilang. Bahkan pasukan Israel berhasil menyeberangi Terusan Suez dan mengepung pasukan Mesir.

Perang yang dilancarkan tepat saat hari suci umat Yahudi; hari raya Yom Kippur ini pun berakhir dengan kebuntuan militer (stalemate). Gencatan senjata dilakukan; tak ada pemenang mutlak.

Negara-negara Arab yang notabene anggota OAPEC (Organization of Arab Petroleum Exporting Countries) merasa tak puas dan diperlakukan tak adil. Mereka --dipimpin Arab Saudi-- lalu menggunakan minyak sebagai senjata politik. Mereka memberlakukan embargo minyak terhadap negara-negara yang mendukung Israel, utamanya Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Jepang dan Kanada.

Pasokan minyak dunia pun turun drastis dan dunia mengalami oil shock pertama; harga minyak naik lebih dari US$ 12 per barel dalam beberapa bulan saja (naik 4 kali lipat) dan inilah awal Oil Boom 1973–1974. Negara-negara eksportir minyak pun berpesta pora, pendapatan dari devisa ekspor minyak meningkat tajam yang membuat ekonomi negara-negara “petrodollar” kaya-raya.

Indonesia juga mengalami hal itu. Sebab, Indonesia menjadi salah satu negara net eksportir minyak terbesar di dunia yang tergabung dalam OPEC. Sekitar 70% penerimaan negara berasal dari ekspor minyak. Pemeritah Orde Baru dengan giat melakukan pembangunan infrastruktur layaknya jalan, waduk, listrik, sekolah Inpres, puskesmas hinga swasembada beras. Pertumbuhan ekonomi Indonesia melonjak sekitar 7–8% per tahun dan inilah awal masa keemasan Orde Baru.

Namun dipertengahan 1986, negara anggota OPEC melanggar batas kuota produksi untuk mengejar pendapatan ditambah negara non-OPEC seperti Inggris, Norwegia, dan Meksiko meningkatkan produksi besar-besaran. Akhirnya, Arab Saudi muak hingga memutuskan menaikkan produksinya dari 2 juta menjadi 5 juta barel per hari. Pasokan minyak dunia pun membanjir, harga minyak dunia pun terjun bebas; jatuh lebih dari 70% dari puncaknya. Dunia masuk ke dalam era oil price collapse.

Pendapatan dari devisa ekspor minyak pun anjlok, dan banyak negara anggota OPEC mengalami krisis fiskal. Belanja publik dipotong, nilai tukar merosot dan utang luar negeri kian membengkak. Anggaran negara mengalami defisit berat. Akhirnya, Menteri Keuangan Orde Baru waktu itu, JB Sumarlin mengambil serangkaian kebijakan reformasi besar yang dikenal sebagai Kebijakan Penyesuaian dan Deregulasi Ekonomi.

Dalam paket kebijakan ekonominya, Sumarlin mengeluarkan kebijakan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM), yang membuat Bank Indonesia menurunkan persentase cadangan wajib yang harus disimpan bank di BI. Artinya, bank memiliki lebih banyak uang bebas untuk dipinjamkan ke masyarakat. Kredit dilonggarkan dan suku bunga acuan BI diturunkan. Dan semua kebijakan ini adalah upaya menambah likuiditas perbankan dan mempercepat ekspansi kredit walau ekonomi sedang lesu. Sebuah kebijakan moneter ekspansif klasik yang bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan basis moneter dan memperluas kredit.

Sistem keuangan berjalan dinamis, sektor privat pun cukup bergeliat. Namun, kebijakan Sumarlin menyimpan “api dalam sekam” dimana membuat sistem rentan terhadap credit crunch saat arus modal keluar, yang diawali dengan rasio kredit macet kian meningkat hingga overlanding dan utang valas berlebihan yang semua ini menjadi “bom waktu” ketika rupiah terdepresiasi tajam pada 1997. Ekonomi Indonesia pun dengan mudah koyak diterjang gelombang krisis keuangan Asia tahun 1997-1998. Dan krisis ekonomi pun menjalar menjadi krisis politik, hingga menjatuhkan Soeharto dari kursi kekuasaan.

Akhir-akhir ini, Menteri Purbaya menempatkan dana pemerintah Rp200 triliun yang selama ini “parkir” di Bank Indonesia ke lima bank Himbara, yang menurutnya bertujuan untuk mendorong penyaluran kredit perbankan ke sektor riil. Dengan tambahan likuiditas, bank juga diharapkan dapat menurunkan suku bunganya. Menurut Purbaya, sistem keuangan Indonesia saat ini tengah mengalami kekeringan likuiditas.

Seperti yang kita tahu, APBN 2024 defisit 2,29% yang artinya negara “tekor” sekitar Rp 507,8 triliun karena harga batu bara saat ini anjlok kisaran 25% hingga 30% dibandingkan sebelumnya. Padahal devisa ekspor batu bara menopang 85% dari total penerimaan negara bukan pajak (PNB) minerba. Ekonomi Indonesia pun lesu, IMF telah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 menjadi 4,7% dari sebelumnya; 5,1%. Dampaknya, jumlah kelas menengah kian menyusut bahkan mereka masuk ke dalam kategori kelas “rentan miskin”. Padahal mereka adalah penopang ekonomi Indonesia yang berbasis konsumsi rumah tangga.

Dan Purbaya pun mengulang apa yang dilakukan oleh J.B Sumarlin hanya berbeda zaman, instrumen dan konteks namun memiliki inti yang sama yakni menambah atau melonggarkan likuiditas perbankan agar kredit ke sektor riil meningkat. Keduanya berangkat dari landasan paradigmatik yang sama yakni supply-side economics perspective: “kalau uang tersedia dan bunga turun, sektor swasta akan bergerak”. Mereka sama-sama “menggeser fokus” dari pengetatan (anti-inflasi) ke relaksasi (pro-pertumbuhan). “Membuka kran uang” agar ekonomi bergerak cepat tanpa menunggu reformasi struktural yang lama.

Mereka sama-sama menambah uang mengalir di sistem perbankan, sama-sama meningkatkan kapasitas lending bank tanpa menambah basis modal dan sama-sama mengandalkan perbankan sebagai motor transmisi kebijakan. Artinya, keduanya sama-sama memilih jalur keuangan (financial channel), bukan jalur fiskal murni (belanja APBN) yang dianggap bisa menciptakan “multiplier effect”.

Dan keduanya punya resiko yang sama; sama-sama menyimpan risiko credit misallocation, sama-sama berisiko over-expansion of credit dan sama-sama punya potensi penggunaan dana tak sesuai tujuan; moral hazard dan insider lending. Maka juga sama-sama punya resiko menjadi “api dalam sekam” yang bisa menyeret ekonomi Indonesia ke dalam credit bubble dan kerentanan sistemik yang sama-sama bisa membawa ekonomi ke dalam jurang krisis moneter jilid ke-2.

Namun saat ini, orang banyak memilih beruforia dengan gimik Menteri Purbaya yang kerap disebut “koboi”, membela mati-matian layaknya ia seperti “satria piningit” yang akan membebaskan ekonomi Indonesia keluar dari kesusahan. Masalahnya, monetarist liquidity preference theory milik Milton Friedman yang kerap dikatakan Manteri Purbaya walau tampak logis dan elegan seringkali gagal bekerja penuh sesuai dalilnya.

Dalam dunia nyata, kredit seringkali justru diciptakan endogenously oleh permintaan, bukan supply uang. Dan seperti pada umumnya resep ekonomi monetaris ala Chicago, kerap tidak memperhitungkan struktur sosial dan kelembagaan sektor keuangan di negara berkembang. Akhirnya, yang mulanya ingin menciptakan pergerakan pasar yang bergeliat, yang terjadi justru distorsi atas pasar hingga terjadi bubble dan krisis. Apalagi jika relasi kuasa dan hubungan politik mendistorsi keputusan kredit. Maka yang terjadi justru pengingkaran atas doktrin utama yang digaungkan Milton Friedman, “kebebasan pasar dan negara minimalis”.

Untuk itu, Manteri Purbaya tak perlu lagi bersembunyi dibalik dogma Milton Friedman demi melayani kepentingan praktik perburuan rente ekonomi, hanya perlu melihat realitas dan kondisi rakyat Indonesia, serta bekerja sebagai “oikonomos”, yang mengelola dengan prudent penerimaan dan pengeluaran negara serta memastikan distribusi sumber daya yang tepat.

Bagikan Artikel Ini
img-content
arjunaputra aldino

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler