Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia. Menjadi Pemerhati aspal Buton sejak 2005.

Buton Bertanya: Mengapa Negeri Ini Mengkhianati Warisan Sumber Daya Sendiri?

3 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Aspal. Ilustrasi Pembangunan Jalan
Iklan

Aspal Buton bertanya bukan untuk menyalahkan, tetapi untuk menagih akal sehat bangsa.

***

Ada sebuah suara dari tanah Buton yang seharusnya jadi kebanggaan nasional, tetapi suaranya berubah menjadi pertanyaan getir: mengapa kami dibiarkan terkubur? Tanah itu menyimpan cadangan aspal alami yang sangat besar, diperkirakan mencapai ratusan juta ton, yang mestinya jadi modal panjang bangsa. Namun selama puluhan tahun, kita justru membeli aspal dari pelabuhan asing. Fenomena ini bukan sekadar soal ekonomi; ia soal harga diri nasional yang dipertaruhkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Data lapangan menyuarakan ironi yang keras: kebutuhan aspal nasional rata-rata sekitar 1,1–1,3 juta ton per tahun, sedangkan produksi aspal minyak domestik jauh di bawah angka itu. Selisih kebutuhan itu ditutup oleh impor, ratusan ribu ton setiap tahun, yang mengalirkan devisa keluar negeri. Dengan cadangan Buton yang besar, logika sederhana berkata: mengapa kita tidak mengubah struktur pasokan itu? Pertanyaan ini bukan retorika, melainkan tantangan teknis dan kebijakan yang harus dijawab. 

Angka perdagangan terbaru memperlihatkan kenyataan pahit: Indonesia mengimpor bitumen/asphalt dalam jumlah besar, hampir satu juta hingga lebih dari satu juta ton pada tahun-tahun terakhir, dengan nilai impor yang mencapai ratusan juta dolar. Tiap kapal impor yang berlabuh adalah bukti bahwa kita sedang “menyewakan” pondasi jalan nasional kepada pihak luar. Setiap ton impor berarti rupiah yang seharusnya berputar di dalam negeri kini melintasi samudra. Itu bukan hanya masalah ekonomi mikro; itu luka strategis pada neraca kedaulatan.

Pemerintah sebenarnya sudah memetakan jalan: Kementerian Perindustrian telah meluncurkan Peta Jalan Hilirisasi Aspal Buton dengan target menjadikan Buton sebagai penyedia utama aspal nasional pada 2030. Itu peta jalan menandai pengakuan resmi bahwa Buton bisa jadi solusi. Namun antara peta di meja kementerian dan pabrik yang berdiri di tanah Buton masih terbentang jurang waktu dan kebijakan. Peta jalan tanpa pabrik adalah peta yang hanya indah di kertas. 

Di lapangan, produksi aspal alami masih sangat kecil dibanding potensi; kontribusi Aspal Buton terhadap pasokan nasional tercatat masih di kisaran puluhan ribu ton per tahun, sementara Pertamina memproduksi sebagian dari kebutuhan dengan aspal minyaknya. Perbedaan besar antara potensi dan realisasi menunjukkan ada masalah hilirisasi dan investasi. Jika Aspal Buton hanya menyumbang persentase kecil terhadap kebutuhan, itu bukti kegagalan pengelolaan, bukan kelangkaan sumber daya. Negara harus menjelaskan jurang ini secara transparan. 

Ada elemen teknis yang sering dijadikan kambing hitam: kualitas, teknologi ekstraksi, ataupun sifat alami aspal Buton yang variatif. Faktanya, penelitian menunjukkan kandungan bitumen Aspal Buton bisa relatif tinggi (dengan variasi) dan teknologinya sudah diuji oleh banyak lembaga riset, sehingga alasan “teknis murni” tidak lagi cukup untuk menutup kelambanan kebijakan. Kalau teknologi ada di meja, maka yang hilang adalah kemauan politik dan keberpihakan industri hilir. Ini bukan sekadar klaim akademis; itu catatan riset yang berulang.

Mari kita bicara biaya dan manfaat: setiap rupiah yang kita keluarkan untuk impor aspal seharusnya dapat diinvestasikan untuk membangun pabrik, menyerap tenaga kerja lokal, dan mengembangkan rantai nilai di Buton. Implikasi ekonomi lokal akan sangat besar dari lapangan kerja hingga multiplier effect di sektor jasa dan logistik. Kendati investasi awal besar, proyeksi pasar domestik, kebutuhan tahunan di kisaran jutaan ton, menjadikan proyek hilirisasi sangat beralasan secara ekonomi. Jika pemerintah ragu, rakyat berhak bertanya tentang prioritas nasional. 

Ada pula masalah regulasi dan tata kelola: izin, insentif investasi, harmonisasi antar-kementerian, serta lipatan birokrasi daerah sering menjadi hambatan. Tanpa payung kebijakan yang tegas, misalnya instrumen kebijakan yang menyamakan level playing field antara aspal impor dan aspal lokal, inisiatif satu dua perusahaan akan selalu kalah oleh arus impor yang sudah terjalin. Hilirisasi memerlukan kepemimpinan terpadu, bukan hanya pernyataan program di satu kementerian. Ini bukti bahwa masalahnya bukan hanya teknis, melainkan struktural.

Kita juga harus mengakui adanya kepentingan ekonomi yang kuat di belakang impor aspal: rantai pasokan lama, kontrak jangka panjang, dan lobby yang menguntungkan pihak tertentu. Ketika struktur itu sudah mengakar, perubahan memerlukan keberanian politik yang besar. Itulah mengapa suara Buton terasa seperti tangisan yang sulit didengar oleh lingkaran kekuasaan. Jika pemimpin tidak memilah antara kepentingan rakyat dan kepentingan kelompok, kerugian jangka panjang akan terus menumpuk.

Dampak lingkungan dan sosial dari tidak memanfaatkan Aspal Buton secara optimal juga nyata: limbah aspal yang tidak termanfaatkan, kesempatan kerja lokal yang hilang, dan ketergantungan logistik pada produk impor yang meningkatkan emisi. Sementara beberapa skema ekstraksi modern mempromosikan teknologi yang lebih ramah lingkungan, ketidakpastian kebijakan menunda adopsi itu. Maka argumentasi “kita memilih impor demi efisiensi” harus diuji ulang ketika efisiensi itu mengorbankan kedaulatan dan peluang lokal.

Ada contoh negara lain yang mengamankan sumber dayanya sebagai pelajaran: negara maju mengembangkan hilirisasi, mengendalikan rantai nilai, dan memproteksi industri strategis. Indonesia yang besar juga punya hak dan kewajiban untuk berbuat serupa. Aspal Buton bukan komoditas remeh, ia adalah input infrastruktur yang berpengaruh pada seluruh aspek pembangunan. Mengizinkan impor tanpa kontrol berarti meminjam masa depan infrastruktur pada pihak lain.

Dari perspektif kebijakan publik, solusi nyata harus mencakup: percepatan izin pabrik, skema insentif untuk investor hilir, jaminan offtake (pasar), transfer teknologi, dan program pembangunan kapasitas lokal. Keppres atau Perpres yang memberi payung hukum dan mandat lintas-kementerian bisa mempercepat implementasi peta jalan. Namun payung tanpa pelaksanaan di lapangan hanyalah janji politik. Pemerintah harus menanggungbeban  akuntabilitas ini.

Kritik juga perlu diarahkan kepada DPR dan pengawasan publik: wakil rakyat punya peran mengawal implementasi peta jalan agar tidak tersesat di koridor kepentingan. Transparansi data produksi-konsumsi-impor harus dibuka secara berkala supaya publik tahu sejauh mana kemajuan. Tanpa mekanisme publik yang kuat, peta jalan bisa jadi hiasan meja rapat. Kedaulatan sumber daya tidak tumbuh di ruang tertutup; ia butuh pengawasan terbuka. 

Jika pemerintah bersungguh-sungguh, skenario cepat bisa dilakukan: pilot plant, dukungan pembiayaan blended finance, kemudahan akses modal kerja, dan jaminan pasar melalui proyek infrastruktur BUMN dan K/L. Kombinasi kebijakan fiskal dan kebijakan industri akan membuat hilirisasi bukan sekadar wacana. Namun jika negara tetap memilih terus diam dan menunda, generasi mendatang akan menilai ini sebagai pilihan pengkhianatan terhadap potensi nasional. Pilihan itu ada di meja para pembuat kebijakan sekarang.

Aspal Buton bertanya bukan untuk menyalahkan, tetapi untuk menagih akal sehat bangsa: apakah kita mau merdeka benar-benar, sampai pada kemampuan membangun jalan bangsa dengan bahan sendiri, atau terus puas menjadi konsumen oleh produk impor? Jawaban praktisnya jelas: jalankan peta jalan, bangun pabrik, melindungi pasar domestik, dan bebaskan jalur investasi dari rentetan kepentingan sempit. Jika kata “kedaulatan” masih bermakna, bukti nyatanya ada di tindakan, bukan semboyan. Aspal Buton telah menunggu cukup lama; kini bangsa harus menjawab, dengan kerja nyata, bukan alasan.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler