Ketika Kedaulatan Rakyat Tersumbat, Perlu Diterapkan Constitutional Recall
1 hari lalu
Peristiwa penjarahan rumah anggota DPR bukan sekadar letupan sosial, tetapi sinyal bahwa kedaulatan rakyat teralienasi dari ruang representasi.
***
Terkadang masyarakat dibuat bingung soal prinsip keterwakilan: bagaimana sesungguhnya perwakilan politik bekerja, dan kepada siapa seorang wakil rakyat harus mempertanggungjawabkan jabatannya. Dalam praktik demokrasi elektoral, rakyat hanya diberi ruang menentukan wakilnya lima tahun sekali melalui pemilu, tetapi setelah itu kendali berpindah sepenuhnya ke partai politik.
Presiden I Philippina (1935-1944) yakni Manuel Luis Quezon berkata, “My loyalty to my party ends, where my loyalty to my country begins” yang secara tersirat menegaskan bahwa ketika seseorang anggota partai politik yang sebelumnya mengabdi untuk kepentingan partai sekarang terpilih untuk masuk dalam parlemen, maka timbul kewajiban baru yakni kewajiban terhadap negara yang tingkatan jauh lebih tinggi. Serupa pula dengan yang disampaikan Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 008/PUU-IV/2006 bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat tidak boleh bergeser menjadi Dewan Perwakilan Tegas”
Adanya pemikiran tentang mengapa wakil rakyat lebih tunduk terhadap partainya tentu tidak lahir tanpa sebab. Salah satu penyebab utamanya ialah karena partai politik memiliki kendali yang sangat besar terhadap karier politik kadernya melalui hak recall sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Secara formal, recall sering dibenarkan atas dasar disiplin organisasi, tetapi dalam praktiknya, mekanisme ini kerap digunakan untuk mengontrol kesetiaan politik, bukan integritas representasi. Salah satu kasus yang paling dikenal dalam konteks ini menimpa Lily Chadidjah Wahid, (Lily-Effendy di Ambang Recall, 2011). Konstruksi seperti ini jelas menimbulkan paradoks konstitusional: di satu sisi, UUD 1945 menegaskan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat”, tetapi di sisi lain, pelaksanaan mandat rakyat dapat dihentikan oleh lembaga (partai) yang tidak memperoleh mandat langsung dari rakyat.
Sehingga dalam rangka mencegah pergeseran makna DPR menjadi Dewan Perwakilan Partai tersebut, maka seharusnya ketentuan recall yang dimiliki oleh partai politik juga diberikan kepada rakyat selaku pemilih dari kader-kader yang sekarang duduk di parlemen. Seperti yang diungkapkan oleh Jimly Asshiddiqie bahwa sistem demokrasi sistem party recall semestinya sudah dihilangkan berganti dengan constituent recall. Praktik ini pun sudah dikenal di negara seperti Amerika Serikat (Negara Bagian California), Kanada, dan Venezuela.
Indonesia sesungguhnya dapat mengadopsi sistem serupa dengan menyesuaikannya pada struktur perwakilan yang berbasis daerah pemilihan (dapil). Artinya, pengajuan recall hanya dapat dilakukan oleh konstituen di dapil tempat anggota DPR tersebut dipilih.
Mekanisme awalnya berupa petisi recall yang diajukan oleh masyarakat pemilih di dapil yang bersangkutan dengan jumlah dukungan minimal tertentu. Petisi tersebut kemudian diajukan kepada lembaga yang berwenang, bisa berupa Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau lembaga khusus independen. Lembaga inilah yang berperan melakukan verifikasi atas keabsahan dukungan, memastikan tidak ada manipulasi data, serta menilai apakah alasan pengajuan recall memenuhi parameter konstitusional. Setelah proses verifikasi selesai dan dinyatakan memenuhi syarat, maka dilaksanakan pemungutan suara rakyat (recall voting) di dapil tersebut untuk menentukan apakah mayoritas konstituen sepakat dengan pemberhentian wakilnya.
Dengan adanya mekanisme constituent recall, rakyat akan memiliki jalur konstitusional untuk mengoreksi dan bahkan mencopot wakilnya yang dianggap gagal menjalankan mandat. Melalui mekanisme ini, rakyat tidak lagi harus menunggu lima tahun untuk menilai representasi politiknya, karena constituent recall memungkinkan dilakukan pemilihan ulang terbatas (by-election) atas dasar kehendak konstituen di daerah pemilihan yang bersangkutan. Secara sosiologis, kehadiran mekanisme ini juga dapat meredam potensi tindakan anarkis seperti penjarahan rumah anggota DPR yang belakangan terjadi. Tindakan destruktif semacam itu muncul karena masyarakat merasa frustrasi dan kehilangan saluran koreksi yang sah terhadap perilaku wakilnya.
Kedaulatan rakyat tak boleh berhenti di bilik suara — ia harus hidup dalam mekanisme kontrol

Penulis Indonesiana | Associate Leo and Partners Law Firm
2 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler