x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Membangun Merek Global a la Stan Shih

Acer dimulai oleh seorang insinyur muda yang penuh semangat dengan berbekal 25 ribu dolar AS dan 11 karyawan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejak usia muda, Stan Shih prihatin atas ketertinggalan bangsa-bangsa Asia dari Eropa dan Amerika, terutama dalam teknologi komputer. Bagaimana agar bangsa Asia bisa bertindak sebagai produsen komputer, dan bukan sebatas konsumen. Keinginan inilah yang melecut tekad Shih muda untuk terjun di industri setelah ia lulus dari National Chiao Tung University dan menyelesaikan pendidikan masternya di perguruan tinggi yang sama. Shih melihat, dengan memadukan chip yang murah dengan pembuatan yang efisien, maka komputer dapat disebarluaskan pada konsumen yang lebih luas.

Untuk mewujudkan impiannya, mula-mula ia menimba ilmu dengan bekerja sebagai karyawan di Unitron Industrial Corp. Di perusahaan ini ia mendesain kalkulator desktop dan produk ini laku di pasar. Melihat sukses yang dicapai perusahaan tempatnya bekerja, Shih tergerak untuk mendirikan perusahaan sendiri. Pada 1976, dalam usia 32 tahun, dia mendirikan perusahaan dengan modal awal 25 ribu dolar AS, bersama istri dan empat orang kawannya. Perusahaan yang mempekerjakan Multitech International Corp ini mula-mula hanya mempunyai 11 karyawan.

Saat itu, bisnis perakitan personal computer di seluruh dunia ditangani oleh sedikit perusahaan. Komputer-komputer itu hasil rakitan tangan. Shih melihat ini sebagai peluang. Hasilnya pada awal 1986, Acer—nama pengganti Multitech—mampu memproduksi PC berbasis mikroprosesor Intel 386 hanya satu bulan setelah Compaq, yang ketika itu merupakan produsen PC nomor satu di dunia, mengeluarkan PC berbasis mikroprosesor yang sama.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Agar mampu menciptakan komputer yang relatif murah dibandingkan komputer yang beredar di pasar saat itu, Shih fokus pada upaya optimalisasi rantai pasokan dan menyuburkan ekosistem yang bersemangat untuk memacu para pemasok komponennya. Namun ia bukan hanya mengandalkan harga murah untuk bersaing, melainkan terus membawa Acer menemukan inovasi baru. “Being big is not good enough,” ujar Shih. Ia ingin Acer bisa berkembang sebagai bisnis yang juga unggul dalam desain produk dan inovatif.

Shih telah merintis model rantai-pasokan-terpadu (integrated-supply-chain) yang kini dipakai dalam pembuatan PC di dunia. “Dialah alasan utama harga sebuah PC, umpamanya, bukan $10.000, tapi $1.000,” tulis Paul S. Otellini, CEO Intel, kepada majalah Time. Di bawah pengawalannya, Acer tumbuh menjadi salah satu dari lima besar merek PC. Tapi inovasi Shih tidak berhenti di situ.

Lini produk Acer kini mencakup laptop, desktop system, server dan storage, peripheral, display, layanan e-business untuk bisnis, pemerintahan, pendidikan, dan bahkan pemakai rumahan, serta personal digital assistants (PDA). Menghadapi produk pabrikan China yang menjual dengan harga murah, alih-alih bersaing secara langsung, Shih justru secara bertahap memindahkan rantai nilai Acer untuk lebih fokus pada desain dan inovasi.

Hingga akhirnya, pada 2000, Acer memutuskan untuk melepas operasi manufakturingya kepada Winstron Corporation dan memusatkan perhatiannya pada branding business. Acer menerapkan model bisnis baru dengan fokus memasarkan dan mendistribusikan produk-produknya, sedangkan proses produksinya diserahkan pada perusahaan manufakturing yang dikontrak.

Jumlah tenaga kerjanya terus meningkat, dan Acer tumbuh menjadi perusahaan kelas dunia.Untuk penjualan lini produknya digunakanlah strategi pemasaran yang memanfaatkan saluran distribusi yang tersedia. Dua tahun kemudian, jumlah karyawan Acer mencapai 40 ribu orang yang menyediakan dukungan bagi distributor dan penjual di lebih dari 100 negara. Pada tahun itu, pendapatan perusahaan mencapai $12,9 miliar. Acer terus tumbuh lebih besar dan lebih baik.

Upaya perombakan sesungguhnya sudah dimulai sejak 1998 ketika Acer mereorganisasi diri menjadi lima grup: Acer International Service Group, Acer Sertek Service Group, Acer Semiconductor Group, Acer Information Products Group, dan Acer Peripherals Group. Dua tahun kemudian restrukturisasi tersebut tidak memperlihatkan dampak yang signifikan pada perusahaan secara keseluruhan. Malah, harga sahamnya turun.

Shih lalu melakukan restrukturisasi kembali. Shih membagi dua unit utama saja: brand name sales dan contract manufacturing. Tanda-tanda awal keberhasilan strategi ini mulai terlihat, terutama di Eropa di mana Acer manjadi merek PC yang popular. Pada 2003, penjualan meningkat 48 persen menjadi $8,4 miliar, dan membantu Acer melampaui Toshiba dan NEC, menjadikan Acer pembuat PC terbesar kelima di dunia.

Acer meningkatkan penjualannya sembari mengurangi tenaga kerjanya dengan menggunakan strategi pemasaran yang memanfaatkan dengan sangat baik saluran distribusi yang ada. Pada 2005, Acer mempekerjakan 7.800 orang di dunia. Pendapatan naik dari $4,9 miliar pada 2003 menjadi $11,31 miliar pada 2008. Namun Shih dihadapkan pada persoalan lain: pangsa pasar Acer di Amerika Utara turun, meskipun pangsa pasar di Eropa naik.

Pada 2007, Acer mengumumkan rencanannya untuk mengakuisisi Gateway Inc. senilai $710 juta. Chairman Acer, JT Wang, mengatakan bahwa akuisisi tersebut melengkapi jejak global Acer dengan memperkuat kehadirannya di AS. Merek eMachines termasuk yang diakuisisi. Pada 2008, Acer mengambil 76% saham PackardBell, dilanjutkan dengan pada 2009 Acer mengakuisisi E-TEN dan 29,9% saham Olidata. Pada Oktober 2009, Acer melewati Dell sebagai pembuat PC nomor 2 di dunia.

Banyak pemuka industri bertanya-tanya apa sebenarnya yang dilakukan oleh Shih dalam membangun Acer? Prestasi ini berhasil dicapai karena, menurut kolomnis Geoffrey James, Acer memiliki budaya penjualan (sales culture) yang impresif. Shih bekerja bertahun-tahun untuk menciptakan budaya perusahaan yang dinamis di Acer. Budaya ini memadukan nilai-nilai teknologi tinggi dengan nilai-nilai dunia bisnis Asia.

Ketika Shih ditanya perihal “bagaimana mendorong entrepreneurisme di sebuah perusahaan?”, Shih menjawab dengan mengutip perumpamaan yang berlaku dalam masyarakat Taiwan. Bunyinya: “Lebih baik menjadi kepala ayam daripada menjadi ekor sapi.” Maknanya ialah, lebih suka menjalankan bisnis kecil mereka sendiri daripada bekerja untuk perusahaan besar. Kunci untuk merekrut entrepreneur seperti itu, kata Shih, adalah filosofi manajemen yang menghargai independensi, lalu kepemilikan perusahaan dipunyai bersama dengan karyawan. “Dalam perusahaan yang benar-benar efektif, setiap karyawan harus menjadi pemegang saham,” tutur Shih.

Loyalitas karyawan dapat dibangun melalui visi dan strategi bersama. Loyalitas diupayakan dengan mengadopsi kepentingan bersama, yang berarti, kata Shih, orang harus memperoleh insentif, opsi saham, dan profit-sharing yang sesuai dengan tingkat risiko mereka. Dengan melindungi kepentingan dan posisi para manajer dan karyawan ketika mereka berbuat kesalahan, menurut Shih, loyalitas juga dapat dibangun. Sebab, kata Shih, “Orang benar-benar menghargai kesempatan untuk belajar dari kesalahan mereka.”

Namun Shih mengingatkan bahwa pelanggan tetap yang pertama, baru kemudian karyawan, dan selanjutnya pemegang saham. Sebagian perusahaan menempatkan pemegang saham sebagai yang pertama. Itu membuat investor berbahagia, tetapi perusahaan tersebut tidak akan mampu bertahan selama 10, 20, atau 30 tahun. Mereka terlalu memperhatikan keuntungan jangka-pendek.

Shih mengingatkan bahwa siapapun memiliki sumberdaya talenta dan kapital yang terbatas. Nah, cara terbaik untuk menjadi perusahaan global ialah dengan melokalisasi, dalam pengertian mengintegrasikan sumberdaya talenta dan kapital lokal serta mengintegrasikannya dengan perusahaan induk. Dalam istilah yang digunakan Shih, “global brand, local touch”. Bagaimana memadukan dua hal ini? “Anda harus mempunya visi dan sasaran bersama, tetapi implementasinya harus didasarkan pada gaya manajemen pemimpin lokal,” ujar Shih, yang mengundurkan diri dari Acer dalam usia 60 tahun (2004).

Sebagian orang menganggap pengunduran diri Shih itu terlampau cepat. Namun itulah cara Shih menunjukkan kepercayaannya kepada orang-orang yang lebih muda untuk memimpin Acer. Ia menganggap orang lain juga mempunyai kemampuan seperti yang ia miliki, bahkan melebihi dirinya. Shih ingin agar Acer tetap muda dan tetap bersemangat untuk menemukan inovasi-inovasi baru tanpa bergantung kepada dirinya. Ia tak ragu menyerahkan tampuk kepemimpinan Acer kepada orang lain.

Kepemimpinan merupakan aspek vital. Dalam pandangan Shih, kepemimpinan adalah proses mencapai impian bersama-sama, terutama ketika impian tersebut terlihat mustahil untuk dicapai. Pemimpin harus bersikap terbuka-pikiran, dan harus menerima gagasan-gagasan orang lain, bahkan ketika membawa ke arah yang salah. “Latihan terbaik bagi kepemimpinan ialah belajar dari kesalahan-kesalahan Anda,” tutur Shih.Ini berarti bahwa para pemimpin yang baik tidak pernah menimpakan kesalahan kepada orang lain. Ketika sesuatu yang salah terjadi, seorang pemimpin selalu bertanya, “apa yang salah dengan saya,” bukan “apa yang salah dengan mereka.” (sumber foto: wantchinatimes.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler