x

Bersepeda. Gambar dari Pixabay,com

Iklan

purwanto setiadi

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 9 Mei 2024 08:03 WIB

Pelesiran Membawa Sepeda

Di Indonesia, intermodal travel belum diintegrasikan secara menyeluruh. Padahal ia memudahkan dan menaikkan level suatu perjalanan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Buat bersepeda ke tujuan yang bukan sekadar warung di sekitar rumah, misalnya ke Stasiun Gambir dari kawasan Sawangan, Depok, yang berjarak 30-an kilometer, siang adalah ibarat obat pahit: kita harus tetap menelannya sekalipun suara hati ogah melakukannya. Tapi saya harus menjalaninya pada Selasa pekan lalu demi sebuah trip, yang kesekian kalinya, ke beberapa tujuan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang menjanjikan kegembiraan, penyegaran, dan “cas baterai”.

Maka, dengan membuhulkan niat dan keyakinan bahwa cuaca (dan lalu lintas) bakal mendukung, saya mengayuh sepeda yang telah saya siapkan--saya cuci, saya pastikan kondisinya layak--perlahan-lahan, menikmati setiap meter jarak yang terlampaui, meninggalkan rumah. Sinar matahari sedang panas-panasnya menyengat kulit. Tapi, tanpa bergegas melaju, saya bisa mencegah berkeringat lebih awal atau bahkan berlebihan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sepeda dan kereta dalam intermodal travel.

Kenapa bersepeda ke stasiun? Sebab, lebih dari sekadar sebagai sarana untuk perjalanan first mile, bagian dari akses ke lokasi pemberangkatan (stasiun kereta atau halte/terminal bus), sepeda itu--sebuah sepeda lipat--akan saya bawa dalam perjalanan. Saya berniat menggunakannya di tempat tujuan, untuk sekadar sight seeing, cuci mata, juga untuk mengunjungi sejumlah tempat dan bersilaturahmi ke beberapa teman serta mungkin termasuk kerabat. Raun-raun semacam ini tergolong dalam intermodal travel, bepergian dengan memadukan dua atau lebih moda transportasi.

Beberapa tahun yang lalu siapa mengira bahwa intermodal travel, terutama yang menggabungkan sepeda dan kereta, bisa dilakukan di Indonesia, terutama hampir di mana saja di Jawa. Tapi, begitulah, sekarang begini adanya: bukan saja intermodal travel itu mungkin, khususnya dengan menggunakan sepeda lipat, ia juga menaikkan level pelancongan.

Saya sudah melakukannya berkali-kali dan ia secara memuaskan memenuhi kebutuhan untuk mendapatkan mobilitas yang menyambung, saling terkoneksi, serta pengalaman pelesir ke tempat-tempat atau obyek menarik dengan merdeka. Inilah yang berlaku kalau tujuan saya adalah kota serta areanya yang ada dalam jangkauan kayuhan pedal secara santai maupun sedikit bergegas.

Solusi intermodal travel bukan hal baru, sebetulnya. Tapi hingga saat ini, di Indonesia, ia belum diintegrasikan secara menyeluruh. Sepeda tidak ada dalam radar sistem transportasi kita sekarang. Yang mendominasi pikiran para pembuat kebijakan kita adalah bahwa mobil yang dimiliki individu merupakan sarana utama untuk transportasi--dan karenanyalah jadi penting membangun jalan maupun jalan tol untuk mengakomodasi penggunaan mobil. Operator jasa penerbangan, kereta api, dan bus tak punya insentif untuk mengambil manfaat dari adanya cara bepergian yang berbeda-beda dan, karenanya, cenderung menawarkan jasa berdasarkan sikap mental seperti itu.

Hanya mereka yang mengenali potensi intermodal travel yang secara sengaja memilih mengambil manfaat dari hal itu. Dan, meski saya tidak ingin mengklaim diri sebagai salah satu dari mereka yang benar-benar mentransformasikan hal itu sebagai seni bepergian, saya telah dengan nyaman melakukannya sebagai kebiasaan. Buat saya, tidak ada peluang untuk “balik badan”.

Dalam perjalanan mutakhir tersebut, sewaktu di Yogyakarta, saya dan seorang teman bisa memanfaatkan kesempatan dolan ke Pasar Ngasem untuk menyantap jajanan pasar, lalu mengelilingi sebagian area di sekitar keraton sambil mampir di satu sudut jalan untuk menikmati semangkuk es dawet, sebelum “melambung” ke Kragilan untuk makan siang dengan menu sop empal di warung Sop Empal Bu Haryoko. Sorenya dua kedai kopi sekaligus roastery jadi tujuan untuk menjelajahi eksotisme biji-biji kopi arabika yang penyeduhannya diperlakukan layaknya karya seni.

Dua hari di Solo, sendirian, saya melanjutkan wisata kuliner itu dan sedikit berkeliling untuk bernostalgia dengan masa kuliah. Selingannya: saya dapat mengunjungi Museum Lokananta untuk, terutama, melihat hasil dari sedikit keterlibatan saya dalam mengerjakan teks narasi yang dipajang di ruang pamer, khususnya di bagian sejarah (lini masa). Dulu, ketika hasil renovasi museum diresmikan, saya tidak berkesempatan hadir.

Singkat kata, meski waktunya pendek, dan tidak kelewat banyak tempat yang bisa saya datangi, termasuk ketika berada di kampung halaman saya, perlawatan kali ini tetap merupakan sesuatu yang tak mungkin dijalani dengan membawa kendaraan bermotor sendiri. Tidak ada halangan yang merepotkan di jalan; nihil waktu terbuang untuk merasakan kejemuan di tengah kemacetan lalu lintas atau untuk mencari tempat parkir.

Agar bisa melakukan hal yang persis seperti itu, mula-mula, jangan pernah mendengarkan siapa saja yang mempersoalkan, mengolok-olok, atau bahkan merendahkan sepeda sebagai sarana transportasi dan mobilitas. Nikmatilah saja tripnya bahkan sejak dari rumah menuju stasiun pemberangkatan.

Ikuti tulisan menarik purwanto setiadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler