x

Iklan

Ardi Winangun

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sebuah Novel: Sarmini Wanita Terlarang

Mendengar kata meninggal, sontak Sobar, Kudir, Warso, dan Miko langsung tergelagap dari tidurnya. Dengan sontak mereka langsung mencari cangkul, sekop, lin

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hembusan angin sepoi-sepoi dari puluhan pohon bambu semakin melelapkan Sobar, Kudir, Warso, dan Miko. Sejak pukul 11.00 tadi siang, keempat orang itu tertidur di samping makam Mbah Jati Kramat. Makam orang paling kaya di Dusun Gunung Getih itu dijadikan tempat klesetan oleh para penggali kubur karena berlantaikan marmer dari Italia dan beratap genting tahan lama. Hal demikianlah yang membuat makam itu sangat teduh dan nyaman. Mbah Jati Kramat dulu adalah juragan beras kesohor.

Makam Mbah Jati Kramat terletak di dekat pintu gerbang Kuburan Gondo Arum. Kuburan seluas 2 hektar itu pernah dijadikan tempat pembantaian orang-orang yang dituduh anggota PKI. Bangunan makam Mbah Jati Kramat terlihat paling menonjol di antara makam-makam yang lain. Ratusan makam lainnya nampak tak terurus, nisan-nisannya tercerabut dari tanah.

Tanah yang mengering membuat kuburan itu menjadi tandus sehingga sebagaian tanahnya retak. Retakan itu mengular. Bila diamati ke dalam retakan itu, terlihat selubung gelap sehingga pandangan orang yang melihat ke bawah tak tembus hingga ke dalam. Tak tahu siapa yang terkubur di bawah sana.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kriiiit,” bunyi pintu gerbang kuburan terdengar setelah didorong oleh Soleh. Dengan buru-buru, kuncen Kuburan Gondo Arum itu menuju ke arah makam Mbah Jati Kramat. Begitu berada di dekat Sobar, Soleh langsung menggoyang-goyangkan tubuhnya. “Bar, Bar, bangun,” katanya. Belum tersadar dari tidurnya Soleh mengulangi lagi tindakan itu dengan lebih keras. “Bar, Bar, Mbah Slamet sesepuh Dusun Kali Nanah meninggal dunia,” Soleh mengatakan demikian sambil memegang kaki Sobar.

Mendengar kata meninggal, sontak Sobar, Kudir, Warso, dan Miko langsung tergelagap dari tidurnya. Dengan sontak mereka langsung mencari cangkul, sekop, linggis, dan sabit milik mereka. “Tenang, tenang,” Soleh menenangkan keempat laki-laki itu. “Kita cari tanah yang kosong di kuburan ini dulu,” Soleh mengatakan demikian sambil beranjak dari tempat Sobar tidur. “Yo, yo,” Sobar menimpali.

Kelima orang itu pun berputar di kuburan untuk mencari tanah kosong di sela makam-makam untuk membaringkan jenazah Mbah Slamet. Setelah berputar sambil celingak-celinguk, akhirnya Soleh menemukan sela tanah di antara makam. Tanah seluas 1 kali 2 meter yang hendak digali itu berada di samping pohon kamboja yang bercabang lima. “Di sini tempatnya,” Sobar menunjukkan tempat itu kepada Sobar, Kudir, Warso, dan Miko.

Tanpa banyak bicara, Sobar menyabit rumput dan tumbuhan liar lainnya. Setelah tanah itu dirasa bersih dari tanaman yang biasanya dicari warga sekitar untuk makanan kambing dan sapi, Sobar langsung memerintahkan Kudir untuk menggali. Tanpa banyak cakap, Kudir langsung mengayunkan cangkulnya. Setelah beberapa puluh ayunan, Warso langsung mengangkat tanah-tanah itu dengan sekopnya. Kudir kembali mengayunkan cangkul besi itu.

Jreg, jreg, jreg, jreg, jreg,” Kudir mengayunkan cangkul kelima kali. Namun begitu cangkulan keenamnya dihujamkan ke tanah terdengar bunyi benturan agak keras, “trang.” Para penggali kubur itu tahu bahwa cangkul itu menghantam batu besar sehingga secara spontan Miko ganti bertindak. Dihujamkan linggis tepat di samping batu itu dan selanjutnya digerakkan ke kanan dan kiri agar batu itu goyah dari tanah yang mendekapnya. Apa yang dilakukan itu berhasil dan batu sebesar bola kaki itu dapat dicongkel dan diangkat.

Ganjalan berhasil disingkirkan, Kudir langsung melanjutkan pekerjaan. Dirasa Kudir lelah, Warso menggantikan. Tak sampai 1 jam, lubang kubur dan liang lahat yang siap untuk dijadikan tempat pembaringan abadi Mbah Slamet itu selesai digali.

Sambil menunggu jenazah, keempat orang kembali menuju ke makam Mbah Jati Kramat. Sesampai di tempat itu, Joko, salah satu keluarga Mbah Slamet mendatangi keempat orang itu sambil membawa bungkusan nasi dan seteko teh manis. Bungkusan nasi dan seteko teh manis itu diserahkan kepada Sobar. “Matur suwun yo, terima kassih ya mas,” ujar Sobar. “Podo, podo, sama-sama mas,” Joko menimpali. “Mas uang rokoknya habis pemakaman selesai ya,” Joko berujar kembali. Mendapat penjelasan yang demikian, Sobar dengan tersenyum mengatakan, “Wis nggak usah dipikir mas, sampeyan kan masih saudara dengan saya.” Uang rokok adalah istilah upah bagi para penggali kubur yang sudah membuatkan liang lahat.

Bungkusan nasi itu dilahap keempat orang itu. Seteko teh pun habis diteguknya. Selepas mengisi perut dan mengusir rasa haus, Kudir dan Warso menghisap rokok  yang dilintingnya sendiri. Sedang Sobar dan Miko nampak leyeh-leyeh kekenyangan. Di tengah asyiknya suasana itu, terlihat Soleh dengan sedikit berlari mendekati mereka. “Jenazah sudah tiba,” ujarnya. Mendengar kabar yang demikian, sontak keempat laki-laki itu segera mengambil alat-alat galinya dan bergegas menuju ke tempat di mana ia menggali liang lahat tadi.

Soleh, Sobar, Warso, Miko, dan Kudir melihat iring-iringan penghantar jenazah Mbah Slamet memasuki Kuburan Gondo Arum. Di depan keranda jenazah terlihat istri Mbah Slamet, Mbah Karti,  yang didampingi Heru, Sumiati, dan Cahyo. Ketiga orang itu adalah anak Mbah Slamet. Mata merah dan linangan air mata terlihat pada istri dan ketiga anak Mbah Slamet.

Iring-iringan jenazah yang menghantar Mbah Slamet terlihat cukup panjang, banyak orang yang menghantar kepergian sesepuh desa itu ke tempat peristirahatan terakhir. Tiba di dekat liang lahat, keranda diturunkan. Sebelum jenazah itu dimasukkan ke liang lahat, Pak Toha, ketua rukun warga, memberikan sambutan perpisahan. Di tengah sambutan itu terdengar suara sesunggukkan tangis yang terdengar jelas.

Istri dan anak Mbah Slamet sepertinya tak rela berpisah dengannya. Selepas Pak Modin membacakan doa dan mengumandangkan adzan, maka jenazah dimasukkan ke liang lahat. Mbah Karti dan ketiga anaknya langsung histeris dan meraung-raung. “Pake…, pake,” aku ojo, jangan, ditinggal,” Mbah Karti histeris. Untungnya saudara Mbah Slamet lainnya segera memegangi tubuh perempuan berumur 60 tahun itu sehingga tak mengganggu proses pemakaman.

Sobar, Kudir, Warso, dan Miko langsung menguruk liang lahat itu dengan tanah bekas galian tadi. Pacul dan sekop memindahkan tanah bekas galian itu perlahan-lahan ke dalam liang lahat hingga liang lahat itu tertutup tanah. Gundukan  tanah sekarang terlihat di atas makam kuburan Mbah Slamet. Gundukan tanah itu pun ditabur dengan bunga tiga warna.

Selesai sudah prosesi pemakaman, satu per satu pengantar meninggalkan makam itu. Mbah Karti dan ketiga anaknya diajak beranjak oleh saudaranya untuk meninggalkan peristirahatan terakhir orang yang dicintainya. Dengan berat hati, Mbah Karti dan ketiga anaknya ikhlas mengangkat kakinya. Hanya Sobar, Kudir, Warso, dan Miko yang masih berada di samping makam Mbah Slamet.

Tak lama kemudian, Joko mendekati mereka. “Ini Mas uang rokoknya,” ujar Joko. “O, yo matur suwun, terima kasih ya mas,” Sobar tersenyum saat pegawai negeri sipil kecamatan itu menyelipkan uang puluhan ribu ke tangannya. “Sudah ya mas aku mulih, pulang,” kata Joko sambil meninggalkan tempat itu, “Yo mas,” jawab serempak keempat orang itu. Kuburan pun kembali sepi. Dalam suasana sepi itu mereka berempat membagi uang tadi dengan adil. Nampak wajah puas pada muka-muka para penggali kubur itu.

***

Di serambi rumahnya yang sederhana, Sobar duduk di sebuah kursi kayu yang sudah melapuk. Di tempat itu dirinya biasa menikmati sore hingga magrib. Bila ada orang melintas di depan rumah, orang itu menyapa Sobar, dirinya pun terkadang juga lebih dahulu menyapa orang yang melintas di depannya.

“Pak, piye, bagaimana hari ini ada rejeki,” ujar istrinya. Pertanyaan itu mengagetkan Sobar. Dirinya pun tersenyum, “Syukur mbok,” jawabnya dengan ala kadar. “Ya pak, mudah-mudahan rejeki kita banyak karena kebutuhan sehari-hari meningkat,” papar istrinya. “Anak kita mau masuk SMA, terus yang kedua minta baju sekolah yang baru,” istrinya kembali mengoceh. “Belum lagi bahan bakar minyak naik pak, apes, sial, kita nggak tercatat sebagai penerima kartu jaminan dari pemerintah,” istrinya terus berseloroh.

“Iya, iya mbok, sabar saja, rejeki pasti akan datang pada kita,” Sobar menimpali ocehan istrinya itu. “Sabar piye, bagaimana, to pak, wong anake butuh sekolah kok kon, disuruh, sabar,” ujar istrinya yang mulai tak sabar dengan jawaban suaminya itu. “Dulu saat mau nikahi aku katanya mau menjamin hidupku luwih enak, mana bukti omonganmu itu,” istrinya tambah ngomel.

Merasa tersinggung dengan omongan istrinya itu, Sobar dengan emosi dan spontan mengatakan, “Nanti kalau ada lima orang mati, kebutuhanmu itu baru bisa terpenuhi.” Setelah berkata demikian, Sobar baru sadar bahwa apa yang dikatakan itu tak pantas.

Sebagai penggali kubur tentu rejekinya datang bila ada orang meninggal dunia. Dengan menggali kubur, dirinya bisa mendapat uang dari jasa yang diberikan. “Aduh Gusti, ya Tuha, mengapa hidupku seperti ini, mendapat rejeki bila ada orang meninggal,” dirinya merenung. “Aduh Gusti, ya Tuhan, mengapa rejeki datang di tengah orang menerima kesedihan,” renungannya itu belum putus.

Di tengah anak dan istrinya yang sudah lelap dalam tidur, Sobar baru bisa menunaikan sholat isya. Selesai salam sholat, dirinya berdoa kepada Allah, “Ya Allah berikan keluarga kami rejeki yang banyak agar kebutuhan keluarga kami bisa makan dan minum serta bersekolah. Dengan rejekiMu kami bisa melaksanakan ibadah untuk menyekolahkan anak dengan baik.”

Selepas berdoa, ia pun menuju ke serambi rumah dan menduduki kursi yang biasa tempati untuk merenung. Heningnya malam membuat Sobar merasa lebih nyaman duduk di tempat itu. Tak lama setelah berada di kursi itu, dirinya baru sadar akan doa yang habis ia panjatkan kepada Tuhan. “Saya tadi minta rejeki yang banyak kepada Tuhan,” angan-angannya mulai menjalar. “Tapi memang saya butuh rejeki yang banyak karena untuk menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak,” angan-angannya membenarkan doanya. Sebagai penggali kubur rejeki datang bila ada orang meninggal. “Ya Gusti, ya Tuhan, tadi berarti saya berdoa agar banyak orang mati?” suara hatinya keluar dengan penuh keheranan.

****

            Pintu rumah Samiun digedor-gedor oleh Slamet, seorang babinsa (Bintara Pembina Desa). Tangannya yang kekar membuat suara gedoran itu demikian kerasnya. Gedoran itu dirasa kurang sehingga Slamet masih menambahi dengan berkata lantang, “Un, Samiun, kowe, kamu, di mana?!” Meski sudah berteriak namun tak ada respon dari dalam rumah. Slamet mengulangi apa yang dilakukan itu sehingga pintu yang sudah lapuk dan rusak itu bertambah parah keadaannya.

            Suara gedoran dan teriak itu rupanya terdengar hingga ke belakang rumah. Samiun yang tengah mengunduh buah pohon kelapa, sayup-sayup mendengar namanya disebut-sebut. Dirinya yang sedang nangkring di pucuk pohon kelapa yang menjulang ke langit segera turun. Naik dan turun pohon kelapa bagi Samiun sering dilakukan, sehingga saat ia menuruni pohon itu, gerakannya sangat cekatan, tak lama untuk berpindah dari pucuk pohon ke tanah yang membenamkan pangkal pohon kepala yang menjadi sumber penghidupannya itu.

            Begitu kakinya menginjak ke bumi, ia segera berlari menuju ke halaman rumah. “E lha dhalah,” begitu melihat Slamet berada di depan pintu rumahnya. Melihat Samiun muncul, mata Slamet langsung mendelik, kumis baplang-nya menegang, dan langsung mengeluarkan ketidaksabarannya, “goblok kamu. Dicari dari tadi baru muncul.”

            “Ke mana kamu?!”

            Didamprat Slamet, Samiun langsung ciut nyalinya. Ia tidak mau membantah sebab bila membantah pasti akan ditampar. Untuk menjelaskan dirinya tidak tahu kalau dicari maka ia dengan jujur mengatakan, “tadi di pucuk pohon kelapa.” Mendapat penjelasan yang demikian, Slamet sepertinya bisa memaklumi sebab dirinya tahu Samiun adalah penjualan buah pohon kelapa.

            “Sudah nggak usah banyak ngomong,” Slamet berkata demikian sambil menghampiri.

            “Sekarang bawa cangkul dan ikut saya.”

            Mendengar perintah seperti demikian, Samiun kaget. Ia tak mungkin menolak apa yang dimaui oleh Slamet. Kalau menanyakan pasti akan digampar sama Slamet sebab ia suka melakukan hal yang demikiana kepada para penduduk desa bila banyak bertanya. Samiun setengah berlari menuju ke ke belakang rumah. Tak lama kemudian Samiun kembali dengan memanggul cangkul.

            “Ayo ikut aku,” ujar Slamet dengan nada tegas.

            Slamet langsung meninggalkan rumah itu dengan melangkah cepat. Samiun mengikuti dari belakang, membuntuti, sebab tak bisa mengimbangi langkah Slamet yang lebar, membuat Samiun setengah berlari. Disusuri, jalan bebatuan di dusun itu. Mendung hitam menaungi dusun  di kaki gunung itu.

            Samiun heran mengapa Slamet melangkah ke arah ke balik bukit. Daerah itu dianggap oleh orang-orang dusun sebagai tempat keramat dan angker. Konon di tempat itu bersemayam raja jin. Menurut kepercayaan masyarakat, raja jin yang berperawakan menakutkan itu setiap malam jumat kliwon gentayangan menyusuri dusun. Wajahnya yang menyeramkan, tubuhnya seperti raksasa, kulitnya hitam legam, dan rambut gondrong  yang acak-acakan membuat masyarakat menghindari pertemuan dengan raja jin itu.

            Agar tidak mengganggu, masyarakat pada setiap malam jumat kliwon memberi sesajen kepada raja jin itu. Makanan tradisional berupa nasi putih, lalapan, jenang merah, ayam panggang, yang berada di tampah, baki, dari anyaman bambu, dipersembahkan kepada raja jin di balik bukit itu. Dengan dipimpin tetua dusun, sesajen-sesajen itu diletakkan di bawah pohon besar dan didoakan dengan kalimat-kalimat yang banyak orang tidak tahu.   

            Dengan kepercayaan seperti itu membuat raja jin tidak mengganggu masyarakat. Kepercayaan itu pula yang membuat masyarakat tidak berani ke arah balik bukit. Hanya orang tertentu saja yang memberani pergi ke tempat itu.

            “Kok menuju ke balik bukit mas?” tanya Samiun dengan suara gemetar.

            Slamet memandang wajah Samiun yang terlihat pucat. “Nggak usah banyak tanya, yang penting ikuti saya,” ujar Slamet.

            Kedua orang itu terus menyusuri jalan dusun. Hingga akhirnya tiba di balik bukit. Samiun terkejut melihat tempat itu. Di situ sudah ada puluhan orang. Dirinya semakin terkejut saat melihat ada sekitar 20 orang yang tangannya diikat dengan tali. Di antara mereka, satu dengan yang lainnya, disatukan dalam sebuah ikatan tali yang panjang.

            Mereka duduk di bawah tebing bukit itu. Pandangan mereka sepertinya pasrah. Samiun memandang mereka. Setelah memandangi ke-20 orang itu satu persatu, dirinya mengenal bahwa mereka adalah aktivis PKI. Mereka adalah penggerak partai di desa-desa namun mengapa mereka diikat dengan tali seperti itu. Apakah ada hubungannya dengan gegeran di Jakarta yang terjadi pada beberapa waktu yang lalu di mana beberapa jenderal tentara terbunuh oleh pengawal Presiden.

            Di tengah berbagai pertanyaan seperti itu, tiba-tiba Slamet berteriak, “hai semua yang bawa cangkul, gali tanah di bawah pohon itu.” Mendengar perintah yang demikian, Samiun tampak kebingungan. Buat apa tanah di bawah pohon itu digali. “Heh, kamu dengar tidak apa yang saya perintah,” bentak Slamet kepada Samiun. Samiun pun menuju ke tempat itu. Rupanya dirinya tidak sendiri. Sudah ada beberapa orang yang seperti dirinya. Mereka juga membawa cangkul. Samiun berpikir bahwa orang-orang itu juga didatangkan Slamet untuk diajak ke balik bukit.

            Para pembawa cangkul itu pun segera mengayunkan alat itu ke tanah. Benturan yang keras membuat tanah itu pecah permukaannya. Lamban laun tanah yang sebelumnya rata dengan permukaan bumi, sekarang menjadi lubang yang menganga. Lubang itu seluas 3 x 3 meter dengan kedalaman 4 meter.

            “Cukup,” teriak Slamet begitu tanah yang dihujani cangkul itu sudah membentuk lubang yang cukup dalam dan lebar. “Sekarang kamu semua minggir,” teriaknya lagi. Dengan buru-buru, para lelaki yang membuat lubang menganga itu langsung minggir dan menjauh dari tempat itu.

            Selanjutnya Slamet melihat lubang itu dengan seksama. Sorot matanya tajam melihat lubang yang dalam. Diinjaknya tanah di dekat lubang itu. Injakan itu kuat dan tanah tak bergerak. Hal demikian menunjukkan lubang itu dikelilingi tanah yang keras.

            Tak dikomandoi, Nusiron dari GP Ansor dan Badak, julukan Kateno, preman kampung, menuju ke lubang itu. Samiun heran mengapa dua pria itu membawa pedang dan klewang. Mereka biasa membawa senjata tajam hanya di saat Hari Raya Idhul Adha. Kedua orang itu biasanya yang menyembelih sapi dan kambing pada hari raya qurban itu.

            Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba Slamet menggelandang salah satu orang dari 20 orang yang diikat tangannya tadi. Dengan kasar, Babinsa itu menyeret orang itu menuju lubang yang telah digali. Sampai di pinggir lubang, orang itu di suruh menghadap ke lubang. Saat orang itu menatap lubang ke bawah, tiba-tiba Nusiron menebaskan pedang yang dibawa ke arah leher. Sabetan yang keras dan tajamnya membuat kepala orang itu putus dari badan. Dari lehernya muncrat darah dengan tekanan yang keras. Darah itu muncrat ke muka Nusiron. Secara reflek ia menendang tubuh itu hingga tersungkur ke dalam lubang menyusul kepalanya yang sudah jatuh lebih duluan.

Melihat pembantaian itu, Samiun kaget. “Apa salah mereka,” ujarnya dalam hati sambil menutup matanya ketika pedang itu membabat leher.

Setahun sebelumnya di kampung, memang sering terjadi perkelahian antarwarga. Samiun tidak tahu apa masalahnya para warga berkelahi. Mereka yang berkelahi itu antara aktivis PKI dengan para santri. Biasanya perkelahian itu selesai bila salah satu di antara kelompok itu ada yang kalah atau lari terbirit-birit meninggalkan arena.

Bahkan yang lebih mengerikan ada penyerbuan dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Akibatnya suasana kampung menjadi tegang dan mencekam. Suasana lebih mencekam setelah ada pembunuhan dan penculikan jenderal yang dilakukan oleh pasukan pengamanan Presiden. Setelah kejadian itu, para Babinsa, Ansor, dan kelompok masyarakat lainnya menggeruduk orang-orang PKI. Mereka yang saat itu berada di rumah atau bertemu di jalan, langsung diciduk, diikat dengan tali, dan diarak di tengah masyarakat. Selanjutnya mereka dinaikkan ke dalam sebuah truk.

Satu persatu dari 20 orang itu digelandang, diseret, dan ditebas dengan pedang atau klewang oleh Nusiron dan Badak secara bergantian. Dari ke-20 orang, saat orang ke-6, digelandang, ia tiba-tiba berontak. Gerakan tubuhnya itu rupanya cukup kuat sehingga ia lepas dari genggaman Slamet. Begitu lepas, meski dengan tangan terikat, ia langsung lari. Slamet kaget tahu orang yang diciduk lari, ia segera mengambil pistol yang tesarung di pinggang. Setelah pistol itu ditangan, dibidikkan ke arah orang yang melarikan diri itu. “Dooorrrr....” Bunyi letupan keras keluar dari pistol diiringi sebuah pelor dimuntahkan. Tembakan itu rupanya tepat sasaran, terbukti pemuda yang lari terbirit-birit itu tersungkur sebelum dirinya masuk dalam semak-semak. 

Begitu mayat itu tergeletak, Slamet menyuruh salah seorang di antara yang berada di dekatnya untuk menyeret mayat itu dan melemparkan ke lubang pembantaian. Mayat itu diseret, bekas seretannya membekas membentuk sebuah garis-garis kasar di tanah.   

Setelah ke-20 orang itu nyawanya dihabisi, Slamet menyuruh para penggali kubur dadakan itu untuk menguruk lubang pembantaian. Samiun dan yang lain berjalan menuju ke lubang itu. Dirinya langsung muntah begitu melihat apa yang terjadi di lubang, kepala-kepala yang terpisah dari badan terbaring bertumpuk dengan darah membanjiri tubuh-tubuh itu. Tumpak tindih dengan tak teratur tubuh-tubuh itu seperti tak mempunyai arti.

Samiun menahan muntahnya. Ia segera memindahkan tanah yang menggunung di sisi lubang untuk ditimbunkan pada mayat-mayat yang berserak. Secara perlahan tanah menimbuni orang-orang yang dipenggal sampai secara perlahan mereka ditelan oleh bumi untuk selamanya. Hingga akhirnya lubang besar dan menganga itu tertutup tanah.

Tanah itu dipadatkan agar tidak digarong oleh binatang buas. Terlihat Samiun dan penggali kubur lainnya menginjak-nginjak tanah agar padat dan kuat. Untuk memberi tetenger, Samiun mengangkat sebuah batu besar dan meletakkan di atas kuburan pembantaian itu.

***

Di blandongan, kamar mandi, Samiun membersihkan diri. Tubuhnya yang dibasahi oleh keringat dan cipratan tanah basah menguarkan bau tak sedap dan rasa kecut. Air yang ditimba dan selanjutnya dituang ke blandongan itu telah mengguyur tubuhnya lewat pancuran.

Digosok-gosok badannya dengan tumbukkan batu bata. Perih rasanya namun hal itu tak dirasakan demi menghilangkan kotoran yang hinggap di tubuhnya. Setelah lumuran batu bata itu memoles tubuh, Samiun membilas kembali dengan air yang muncrat dari blandongan itu. Derasnya air yang mengucur itu tak hanya membilas tubuh dari lumuran batu bata namun juga membuat badannya terasa segar.

Setelah merasa badannya bersih, blandongan itu disumbat dengan sebatang kayu yang ujungnya dibalut dengan kain. Samiun mengambil kaos yang digantung di sebuah cagak, tiang, bambu. Kaosnya yang kumal itu digesek-gesekkan ke badan untuk mengeringkan dari air yang masih menempel. Gesekkan yang berulang itu mampu menghilangkan sisa air yang berada di badan.

Pintu yang sudah reyot itu dibuka, Samiun keluar dari blandongan menuju ke dalam rumah. Ia langsung menuju dapur. Dilihat, apakah masih ada sepiring nasi, sepotong tempe, dan serantang sayuran. “Allhamdulillah masih ada,” dirinya bersyukur sisa masakan yang diolah masih ada.

Samiun adalah anak tunggal Pak Tedjo dan Mbok Siyo. Kedua orangtua itu petani kelapa di dusun. Hidup keluarga Pak Tedjo datar-datar saja, makan sehari-hari bisa dipenuhi setelah ia menjual beberapa butir kelapa di pasar desa. Hasil dari jual kelapa itu kemudian digunakan untuk membeli sekilo beras, tempe, serta minyak minyak goreng. Sayuran bisa diperoleh dari kebun yang berada di kanan dan depan rumah. Sedang untuk memasak nasi dan sayur serta menggoreng tempe, ia menggunakan kayu bakar dari patahan ranting atau pohon tumbang di hutan yang tak jauh dari rumahnya. Dengan cara seperti itu, keluarga Pak Tedjo bisa menyambung hidup.  

Suatu hari, seperti biasa, Pak Tedjo hendak ke pasar untuk menjual buah kelapa. Sebelum dirinya meninggalkan rumah itu, ia menemui istrinya. “Mbok aku berangkat ke pasar dulu ya,” ujarnya.

“Kalau di rumah tak usah bekerja terlalu keras, kamu kan lagi menggandung anak kita to.

“Biar aku saja nanti yang masak nasi dan membikin sayuran.”

Mendengar suaminya mengatakan demikian, Mbok Siyo tak mengucapkan sepatah kata. Ia hanya diam dan menatap suaminya. Dalam hatinya mengakui bahwa di tengah dirinya mengandung, rasa lelah sering mendera pada tubuhnya sehingga hal demikian mengakibatkan ia malas bergerak namun kalau suaminya nanti yang memasak nasi dan membikin sayuran, hal demikian tentu akan membuat suaminya semakin bertambah beban kerjanya.

Diakui oleh Mbok Siyo, menjual buah kepala di pasar tidak mudah. Harus bersaing dengan penjual buah kelapa yang lain yang jumlahnya tidak sedikit. Pinter-pinternya pedagang buah kelapa saja yang bisa memikat pembeli. Dan selama ini diakui suaminya bisa menjual buah kelapanya meski tak semua habis dibeli orang yang membutuhkan.

“Sudah nggak usah dipikir pak,” kata Mbok Siyo dengan nada pelan.

“Ya nanti kalau aku nggak kuat, saya akan ngomong.”

Yo wis, ya sudah, cepat berangkat ke pasar, mumpung masih pagi.”

Mendengar istrinya berkata penuh semangat, Pak Tedjo merasa senang. Hal demikian menunjukan ia pengertian. Ia tahu suaminya kerja cukup berat sehingga tidak mau bebannya ditambah. Untuk itu Mbok Siyo ingin tetap bisa melakukan rutinitas sehari-hari sebagai ibu rumah tangga.

Yo wis, ya sudah, kalau begitu aku berangkat ke pasar ya,” ucap Pak Tedjo.

Setelah pamitan, Pak Tedjo meninggalkan rumah itu untuk ke pasar. Puluhan buah kelapa itu teronggok di dua keranjang. Dua keranjang itu dikaitkan dengan selonjor pikulan. Pikulan itu kemudian diletakkan di bahu sehingga dua keranjang itu terangkat. Dengan menggotong dua keranjang berisi buah kelapa, Pak Tedjo menyusuri jalan-jalan dusun. Jalan dusun masih berupa hamparan tanah, terkadang terjal, sehingga membuat nafas yang harus dihela semakin kuat.

Demi hidup yang ditanggung, pria yang rambutnya sudah memutih itu tak kenal menyerah. Rasa capek dan haus saat dirinya menggotong keranjang dan jauhnya jarak rumah ke pasar tak menyurutkan semangat untuk mencari rejeki.

Selepas melewati jembatan kayu, keramaian orang sudah dirasakan. Hal demikian menunjukkan pasar sudah dekat. Pak Tedjo bertambah semangat ketika pasaran di pasar kampung itu ramai. Orang-orang dari berbagai dusun berbondong-bondong pergi ke pasar selain untuk membeli barang dan perlengkapan yang dibutuhkan juga untuk mencari hiburan.

Sesampai di pasar, Pak Tedjo meletakkan keranjang yang dibawa. Diatur dan dipilah buah kelapa itu untuk menarik para pembeli. Rupanya di dekatnya sudah ada pedagang buah kelapa yang lain. Pak Tedjo merasa tak tersaingi dengan pedagang itu. Setelah menarik nafas dalam-dalam, ia siap menyambut pembeli. Untuk menarik perhatian pengunjung pasar, ia berteriak, “mari, mari, buah kelapa yang sedap untuk membuat santan masakan.”

Apa yang dikatakan itu rupanya manjur, terbukti banyak pengunjung pasar yang meliriknya. Beberapa di antaranya menghampiri dan menawar berapa harga per biji. Silat lidah dari Pak Tedjo mampu meluluhkan kekakuan pembeli yang menawar sehingga mereka mau mengiyakan harga yang ditentukan oleh Pak Tedjo. Satu persatu buah kelapa yang ada dibawa terjual.

Hari semakin siang, pasar pun mulai sepi. Orang-orang dusun sudah banyak yang meninggalkan tempat jual beli paling ramai di kampung itu. Rasa capek di mulut dan kaki pun dirasakan Pak Tedjo. Ketika sudah tak ada pengunjung pasar yang melintas. Dilihatnya buah kelapa yang tersisa. “Lima buah,” desisnya setelah melihat sisa yang ada.

Allhamdulillah,” Pak Tedjo mengucapkan syukur sebab dagangan yang dibawa laku banyak. Dengan demikian, dirinya membawa keuntungan lebih dan tak perlu mengeluarkan tenaga lagi untuk menggotong pulang ke rumah.

Saat pasaran di pasar sudah sepi, dagangan dan keranjang itu dirapikan. Selanjutnya diangkat keranjang itu untuk meninggalkan tempat yang dari pagi digunakan untuk menjajakan buah kelapa itu. Pak Tedjo tidak langsung pulang. Lebih dahulu ia berbelanja kebutuhan sehari-hari. Ia membeli beras dan yang lain dengan uang yang diperoleh dari hasil penjualan buah kelapa. Sebab hasil penjualan lari maka hari itu ia membeli telur ayam. Telur ayam bagi warga dusun adalah lauk yang jarang dikonsumsi, masih terbilang barang mewah, sehingga tak semua warga dusun bisa menikmati. Warga dusun tak banyak yang mengkonsumsi telur, selain harga per butirnya terbilang mahal, sebab mereka masih banyak yang miskin, juga karena stock telur sangat terbatas.

“Membeli telur untuk kesehatan anak yang dikandung istriku,” gumamnya dalam hati ketika melihat tumpukan telur yang berada di depan matanya.

“Beli tiga ya mbak,” ujar Pak Tedjo kepada penjual telur yang terbilang masih muda itu. Tanpa banyak bertanya, penjual telur itu membungkus benda bulat lonjong berwarna kuning buram itu di sebuah plastik dan langsung menyerahkan setelah Pak Tedjo menyerahkan uang.

Setelah membeli telur, ia langsung bergegas menuju ke Mbok Bero. Mbok Bero adalah pedagang beras yang terkenal di pasar itu. Di tokonya, beras berkarung-karung. Banyak warga kampung yang membeli beras di Mbok Bero. Bahkan ada warga kampung yang memberanikan diri ngutang beras bila tak mempunyai uang.

Saat berada di toko itu, kesibukan terlihat. Jongos Mbok Bero sibuk melayani pembeli, ada pula yang memindahkan beras dari satu karung ke karung yang lain. Melihat Pak Tedjo datang, Mbok Bero langsung menyapa, “Djo piye kabarmu, bagaimana kabarmu?”

“Buah kelapamu laku semua ya?”

Disapa dan mendapat pertanyaan yang demikian, Pak Tedjo tersenyum dan mengatakan, “Alhamdulillah.”

“Semua berkat doa Mbok Bero.”

Pak Tedjo langsung melihat beras-beras yang menggunduk di sebuah papan kayu yang berukuran 1 x 1 meter itu. Dijumputnya butiran-butiran beras itu. Ia ingin memilih beras yang bagus agar rasanya enak saat dinikmati. Setelah dirasa cocok dengan pilihannya, ia langsung membisiki pada salah satu jongos. “Saya pilih beras yang ini ya,” ujarnya dalam bisikan itu.

“O iya mas,” ujar jongos setelah mendengar bisikan itu. Si jongos menakar beras itu dalam timbangan. Setelah timbangan itu menunjukkan ukuran 1 kilo, jongos langsung menyerahkan beras yang berada dalam tas plastik warna hitam itu pada Pak Tedjo. Setelah berada di tangan, Pak Tedjo langsung menghampiri Mbok Bero.

“Mbok ini duitnya, beras 1 kilo,” ujar Pak Tedjo sambil menyodorkan uang kertas.

Tahu Pak Tedjo berada di depannya dan menyodorkan uang, Mbok Bero terperanjat. “O kamu beli beras jenis itu ya,” ujar Mbok Bero.

“Ya memang beras jenis itu memang enak.”

“Ya mbok,” sahut Pak Tedjo.

“Sudah ya mbok, aku buru-buru mau pulang.”

Tahu Pak Tedjo ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu, Mbok Bero berbasa-basi, “kenapa buru-buru to le.”

Mbok yo ngobrol dulu sama saya.”

“Kapan-kapan saja ya mbok ngobrolnya,” sahut Pak Tedjo sambil bergegas meninggalkan Mbok Bero yang tengah asyik menghitung uang.

***

            Keranjang yang sebelumnya disesaki buah kelapa sekarang dipenuhi oleh barang belanjaan Pak Tedjo. Di keranjang itu ada beras, sayuran, minyak goreng, dan telur. Keranjang itu digotong dengan pikulan yang berada di pundak. Saat menuju ke pasar, keranjang itu terasa berat, sekarang terasa ringan. Tak heran bila Pak Tedjo jalannya terlihat santai.

            Langkahnya yang panjang membuat pasar itu semakin jauh ditinggalkan. Di sebuah jalan yang sepi, Pak Tedjo melihat di depan ada 4 orang. Mereka ada yang duduk-duduk di sebuah bongkahan batu besar, ada pula yang berdiri. Pak Tedjo tak mempunyai firasat buruk. Ia terus melangkah.

            Saat ia dekat dengan keempat orang itu, Pak Tedjo menjadi cemas sebab mereka menghadang. Dilihat wajah mereka satu persatu. Ia mengamati lebih seksama satu dari keempat orang itu. Wajah pria yang satu itu terlihat pendek, kate, mata sipit, dan kulit kuning. Pak Tedjo menyimpulkan bahwa pria itu adalah orang Jepang.

Pada masa itu tanah Jawa sedang dikuasai oleh tentara Jepang. Kehadiran mereka awalnya disambut baik oleh warga kampung dengan gembira sebab mampu menyingkirkan tentara Belanda namun lama kelamaan kehadiran orang-orang kate itu membikin masyarakat resah. Mereka tidak hanya berbuat brutal tetapi juga suka mengambil apa saja yang berada di sawah dan ladang masyarakat.

            “Maaf saya numpang lewat,” ujar Pak Tedjo kepada empat orang tadi.

            “Siapa namamu?” tanya salah seorang di antara mereka.

            “Tedjo,” jawabnya dengan nada datar.

            “Pekerjaan kamu?” orang itu bertanya lagi.

            “Petani kelapa,” Pak Tedjo menjawab kembali.

            Mendengar jawaban itu, orang Jepang memandang dengan seksama. Dilihat seluruh badan Pak Tedjo dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sorot mata tajam dari orang Jepang sepertinya menginginkan Pak Tedjo.

            “Tangkap dia,” teriak orang Jepang.

            Serta merta ketiga orang itu langsung meringkus Pak Tedjo. Mendapat perlakuan yang demikian, Pak Tedjo langsung berteriak, ”salah saya apa, salah saya apa?!” Teriakan yang demikian tak dipedulikan.

“Lepaskan saya, saya masih punya keluarga,” Pak Tedjo terus berteriak.

“Istri saya mengandung anak pertama, tolong lepaskan saya.”

Semua alasan itu tak didengar oleh keempat orang tadi. Pak Tedjo diringkus dan digelandang menyusuri jalan dusun yang sepi. Di sebuah pertigaan ada sebuah truck perang Jepang dengan di beberapa bagian terlihat bendera hinomaru, matahari terbit, bendera Jepang. Setelah berada di bagian truck, tubuh Pak Tedjo diangkat dan dilempar ke dalam. “Braakkkk...” Tubuh itu membentur lantai besi truck itu. Pak Tedjo meraba punggungnya yang terasa sakit. Ia merintih. Rintihannya terhenti saat ia melihat di tempat itu ada puluhan laki-laki yang meringkuk.

“Ada apa ini, ada apa ini?” tanya Pak Tedjo dengan nada yang kalap dan cemas. Pertanyaan itu tak dijawab, semuanya terlihat pasrah bahkan di antara mereka terlihat wajah-wajah bonyok yang sepertinya habis kena siksaan yang cukup kejam.

Setelah Pak Tedjo berada di truck itu, tak lama kemudian terdengar mesin truck menderu dengan keras. Dirasa truck itu secara perlahan meninggalkan tempat mangkalnya.

***

Mbok Siyo terlihat gelisah, waktu semakin sore namun suaminya belum pulang. Biasanya selepas suara bedug sholat dhuhur dari musholla, Pak Tedjo sudah menginjakkan kakinya di halaman rumah. Sekarang, bedug sholat ashar sudah terdengar tetapi suaminya itu belum pulang.

Mbok Siyo berdiri di depan pintu, sesekali ia berjalan tak karuan. “Ke mana to pak, jam segini belum pulang?” ujar Mbok Siyo.

“Apa saya harus menyusul ke pasar?” gumamnya dalam hati.

“Tapi kandungan ini sudah semakin besar bagaimana saya harus pergi ke pasar?”

“Mudah-mudahan saja tidak ada apa-apa dengan suamiku.”

Mbok Siyo teringat bahwa sekarang merupakan jaman Jepang. Jaman di mana masanya wong londo, orang Belanda, telah usai dan diganti dengan orang-orang kate, sebutan bagi orang Jepang yang pendek. Pada masa itu keadaannya tak berubah bahkan suasananya lebih menyeramkan dan menakutkan. Bila orang-orang Jepang keliling desa, ia akan minta apa saja ke masyarakat. Bila tak dipenuhi, ia akan melakukan tindak kekerasan.

Meski pikirannya berada dalam suasana yang menakutkan di masa pendudukan Jepang namun bayangan Mbok Siyo tidak sampai menghubungkan nasib suaminya dengan marabahaya yang dialami.

“Mungkin suamiku ke rumah saudaranya yang lagi ada acara,” Mbok Siyo masih berpikir positif.

“Besok paling dia pulang selepas acaranya selesai.”

Mbok Siyo kembali ke dalam rumah dan melakukan pekerjaan rutin, memasak dan berbenah.

****

Di balai kelurahan terjadi kegaduhan, perangkat desa bingung bagaimana menjelaskan ketika banyak ibu-ibu yang bertanya ke mana suaminya kok belum pulang ke rumah. Padahal biasanya, suami mereka segera kembali ke rumah selepas bekerja di sawah atau berdagang di pasar.

“Sabar, sabar ya. Saya juga tidak tahu ke mana suami kalian,” ujar Pak Lurah sambil menenangkan ibu-ibu yang berkerumun di depan ruang kantor desa itu.

“Saya akan suruh Jogoboyo, bagian keamanan desa, untuk mencari informasi ke mana para suami itu berada.”

“Nanti kalau sudah ada informasi, secepatnya saya akan menghubungi ibu-ibu.”

“Sekarang kalian pulang dulu, uruslah apa yang ada di rumah.”

Mendengar apa yang dikatakan Pak Lurah, di antara mereka ada yang merasa tenang namun ada pula yang masih merasa kurang puas. “Sampai jam berapa kami harus menunggu?” tanya salah seorang di antara mereka.

Mendapat pertanyaan yang demikian, Pak Lurah  terlihat tenang. Sambil tersenyum ia mengatakan, “secepatnya.” Mendengar kata secepatnya, sepertinya perkataan itu bisa membuat semuanya tenang dan mereka pun bubar meninggalkan balai kelurahan.

Kegaduhan ibu-ibu yang berada di balai kelurahan menanyakan di mana suami mereka terdengar di telinga Mbok Siyo. Mbok Siyo tersentak, rupanya tidak hanya dirinya yang mencari suaminya di mana berada. Banyak ibu yang lain mengalami nasib sama di mana suaminya belum pulang ke rumah.

“Sepertinya ada yang aneh di desa ini,” ujar Mbok Siyo dalam hati.

“Ke mana suamiku dan suami mereka kok hingga saat ini belum pulang.”

“Saya lagi hamil besar, jadi tidak bisa bersama mereka pergi ke balai kelurahan untuk menanyakan di mana suami berada.”

Wis moga-moga selamat semua,” dirinya mengharap.

Mbok Siyo seperti kesehariannya kembali melakukan rutinitas, memasak dan berbenah.

***

            Menjelang jam kerja, ibu-ibu menggrundug balai kelurahan. Mereka ke sana untuk menanyakan kembali nasib suaminya. Tahu balai kelurahan didatangi oleh puluhan ibu, Pak Lurah jadi pucat. Bagaimana menghadapi mereka sebab Jogoboyo belum memperoleh informasi di mana para lelaki yang dicari itu berada. Jogoboyo memang sudah putar-putar keliling desa namun belum ada keterangan yang bisa dijadikan titik awal keberadaan orang-orang yang dicari.

            “Pak Lurah, Pak Lurah, di mana suami saya,” teriak ibu-ibu itu saat berada di balai kelurahan. Mendengar teriakan secara bersama, Pak Lurah membisu dan diam di dalam ruangan. Sebelumnya ia mengatakan akan memberi informasi secepatnya di mana suami mereka berada.

            “Cilaka kalau begini jadinya,” ujar Pak Lurah dengan nada datar.

            “Jogoboyo sudah keliling desa tapi kok belum ada jejak yang ditemukan.”

            “Akan saya pecat nanti,” ungkapnya dengan kesal.

            Di tengah pergulatan batin, teriakan ibu-ibu semakin kencang bahkan ada yang menggendor-gendor pintu balai kelurahan. “Pak Lurah mana janjimu, katanya mau memberi informasi secepatnya,” teriak mereka.

            “Sekarang sudah mau sore, di mana suamiku.”

            Kegaduhan itu semakin keras. Tak ada pilihan bagi Pak Lurah untuk tidak menemui mereka. Ia terpaksa keluar dari ruangan. Begitu berada di depan ibu-ibu, mereka langsung mengurung. “Pak gimana, pak gimana, pak gimana,” kata-kata itu bersahut-sahutan muncul dari mulut ibu-ibu. Mereka tidak sabar untuk mengetahui keadaan suaminya.

            Dengan keadaan terdesak, Pak Lurah mengatakan, “ibu-ibu sabar dulu ya.” Mendengar kata yang demikian semua serentak menreiakkan, “huuuuu....”

“Sampai kapan sabar,” ujar di antara mereka.

“Katanya secepatnya,” kata yang lain.

Mendapat protes yang demikian, Pak Lurah dengan muka yang ditenang-tenangkan menjelaskan, “begini ibu-ibu, seharian Jogoboyo sudah keliling desa untuk mencari informasi di mana suami ibu-ibu berada namun hingga saat ini Jogoboyo belum mendapat keterangan yang cukup untuk mengetahui di mana jejak suami ibu-ibu berada.”

“Jadi kita tunggu kabar selanjutnya dari Jogoboyo ya.”

“Huuuu....” ibu-ibu berteriak begitu mendapat penjelasan itu.

“Apa sih kerjaan Jogoboyo?” tanya di antara mereka.

“Paling kerjaannya judi dan nglonte,” seorang di antara mereka jengkel dan spontan mengatakan yang demikian.

“Jangan begitu,” ujar Pak Lurah menenangkan keadaan.

“Percayalah pada aparat desa, mereka kerja untuk masyarakat.”

“Beri kesempatan pada kami untuk mengetahui di mana suami ibu berada.”

“Sekarang kembalilah ke rumah masing-masing, hari sudah menjelang maghrib. Di desa ini listrik belum ada, jadi biar aman cepatlah pulang.”

Mendapat penjelasan yang demikian, ibu-ibu itu sepertinya terhipnotis dan tanpa dikomandoi mereka bubar meninggalkan balai keluarahan itu.

***

Juminah berjalan mengendap-ngendap menuju ke sebuah rumah kayu yang bangunannya sepertinya sudah reyot. Rumah kayu yang berdiri di samping pohon nangka besar itu tampak menyeramkan. Kayu-kayu yang menyusunnya terlihat berwarna hitam. Warna hitam tergores dari jelaga, buah dari pembakaran kayu yang dilakukan oleh penghuni.

Pohon nangka yang berdiri kekar di samping rumah dengan daun yang rimbun, menurut orang dusun disebut sebagai tempat tinggal gondoruwo, makhluk tinggi besar, berkulit hitam, berambut gimbal, berwajah seram, dan bergigi taring tajam. Gondoruwo itu konon katanya suka menculik anak kecil di dusun dan dibawa ke pohon nangka.

Dari cerita itulah membuat orang-orang dusun tidak mau mengganggu dan mengusik pohon nangka dan penghuni rumah kayu itu. Juminah percaya dengan omongan itu sehingga saat menuju ke rumah itu, hatinya tak tenang, was-was menyelimuti perasaan. Jangan-jangan gondoruwo tiba-tiba berada di depan dirinya.

Malam itu malam jumat kliwon, malam yang dianggap oleh semua orang sebagai malam keramat. Senyap terasa malam itu, seolah-olah semua sedang menahan nafas. Mbak Kiro dengan memegang obor di tangan kanan menuju ke rumah kayu itu. Di tengah kecemasan itu hatinya bertambah ciut saat anjing liar menggonggong panjang. Menurut kepercayaan bila ada anjing menggonggong itu pertanda melihat setan atau makhluk halus.

Jalan setapak menujur rumah kayu terus disusuri hingga akhirnya berada di depan pintu rumah pintu itu. Diketuknya pintu kayu dengan pelan-pelan, “tok, tok, tok.” Tak ada jawaban, diulangi lagi. Hasilnya rupanya sama. Mbok Siyo penasaran mengapa penghuni rumah kayu tak menjawab. Ia mencoba mengintip ke dalam, kebetulan di pintu itu ada lubang kecil. Dari lubang kecil itu ia bisa melihat ke dalam dengan jelas. Dirinya terperanjat ketika Mak Sampir, penghuni rumah kayu, sedang duduk membelakangi dirinya. Di depan Mak Sampir sepertinya ada sesajen beraneka rupa, ada telur putih, kembang telon, ayam, dupa, dan lain sebagainya.

Bau kemenyan menyeruak di hidung. Juminah menduga Mak Sampir sedang membaca mantra dan tengah berkomunikasi entah dengan siapa. Suasana menjadi mencekam saat Mak Sampir membaca mantra dengan keras, tiba-tiba angin bertiup dengan kencang. Juminah merunduk saat angin kencang itu menerpa dirinya. Saat merunduk dirinya menyenggol sebuah tiang kayu yang berada di sampingnya. Tiang kayu itu oleng sehingga roboh. Bunyi robohnya demikian keras sehingga suaranya sampai terdengar di dalam.

Mendengar ada sesuatu yang roboh di rumahnya, Mak Sampir langsung menoleh ke arah pintu dan menghentikan bacaan mantranya. Bangkit dari duduknya, Mak Sampir dengan dibantu tongkatnya berjalan terseok-seok ke arah pintu. Tongkatnya panjang di mana ujungnya terpasang kepala tengkorak. Tongkat itu dihentakkan ke lantai kayu sehingga menimbulkan dentum kuat. Hal demikian membuat Juminah menjadi takut bukan kepalang, takut sangat. Ia takut apa jadinya bila Mak Sampir marah padanya.

Juminah hanya bisa pasrah bila berhadapan dengannya.

“Krieeetttttttt....” suara menderit saat pintu itu dibuka.

Juminah langsung lemas saat Mak Sampir menatapnya tajam. Di tengah rasa takut yang membuat dirinya lemas, tiba-tiba perempuan tua itu tertawa cekikikan. Tawanya melengking membuat telinga Juminah seperti tertusuk sapu lidi. “Hi hi hi..... Hi hi hi.. Hi hi hi.... “

Mak Sampir tertawa melengking sebab tahu Juminah ketakutan.

“Ada apa nduk kamu ke sini?” tanya Mak Sampir pelan dengan sorot mata seperti elang.

“Kamu mengganggu acaraku saja.”

“Malam jumat kliwon seharusnya saya harus berhubungan batin dengan Nyi Roro Kidul.”

“Maaf mbah, saya telah mengganggu hubungan batin Mak Sampir dengan penguasa laut selatan,” ujar Juminah dengan nada ketakutan.

 “Saya ke sini hendak minta  tolong pada mbah.”

Mendengar apa yang dikatakan itu, Mak Sampir tertawa cekikikan. Ditatap wajah Juminah dengan sorot tajam. “Kamu minta tolong saya? Memangnya saya dukun,” kata Mak Sampir sambil menggoyangkan tongkatnya yang bentuk ukirannya seperti ular.

“Saya bukan dukun, cari saja dukun yang lain,” Mak Sampir mengatakan demikian sambil meninggalkan Juminah sendirian di dekat pintu.

“Mbah tolong dong saya,” ujar Juminah sambil membuntuti Mak Sampir. Menurut banyak orang yang sudah pernah bertemu dengan perempuan tua itu, perempuan itu gila pujian sehingga Juminah merayu sekaligus memuji agar mau menolong dirinya.

“Mbah tolonglah saya, mbah kan lebih di atas dukun. Ilmu mbah di atas ilmu dukun,” ujar Mbok Kiro.

Mendapat pujian yang demikian, Mak Sampir langsung tertawa cekikikan.

“Ya betul katamu, aku lebih di atas dukun,” ujar Mak Sampir dengan sombong.

“Kamu minta tolong apa?”

Juminah tersenyum dalam hati. Siasatnya agar Mak Sampir mau menolongnya dengan cara memuji telah ia lakukan dan berhasil. Ia menceritakan kepada nenek tua itu bahwa suaminya telah 2 hari tidak pulang rumah.

“Kamu tidak melayani dengan baik suamimu,” Mak Sampir membentak.

“Tidak, tidak, tidak mbah,” Juminah membalasnya dengan buru-buru.

“Saya melayani dengan baik bahkan setiap malam saya melayani nafsunya.”

“Kalau seperti itu mengapa dia minggat?” Mak Sampir kembali bertanya.

“Makanya saya ke sini mau bertanya pada mbah mengapa dia minggat,” ucap Mbok Kiro.

“Orangtua ini sepertinya sudah pikun,” gumam Juminah dalam batin. Kedatangan ke rumahnya pasti untuk bertanya, kok malah ditanya apa maunya.  

Mak Sampir kembali duduk di depan sesajen yang dipersembahkan entah untuk siapa. Matanya terpejam dan mulutnya mulai komat-kamit. Tiba-tiba di atap rumah kayu itu terdengar suara gaduh yang demikian hebatnya. Juminah menengadah ke atas, dirinya terperanjat melihat sebuah makhluk yang bentuknya menakutkan, berbentuk hewan bukan, manusia bukan, sepertinya makhluk itu campuran di antara keduanya. Makhluk itu menyeringai dan berlari berputar di atap dengan cepat.

Gerakan yang demikian menimbulkan energi di ruangan sehingga benda-benda ringan yang ada bergoyang-goyang. Gelas yang terletak di atas lemari jatuh pecah di lantai kayu begitu energi yang dihempaskan makhluk menyeramkan itu bergerak cepat.

Semakin cepat Mak Sampir berkomat-kamit semakin cepat makhluk itu bergerak tak karuan seperti makhluk yang sedang kepanasan. “Nyiaahhhhh....” Mak Sampir berteriak. Seiring itu pula makhluk itu terserap dalam sebuah kendi yang berada di depannya.

Terlihat tubuh Mak Sampir basah dengan keringat. Sepertinya ia mengeluarkan energi yang dahsyat agar bisa menaklukan makhluk mengerikan itu. Kendi itu dipegang erat-erat dan dari mulutnya keluar sebuah perkataan yang tidak didengar oleh Mbok Kiro. Kendi itu lalu bergetar. Getarannya kuat. Saking kuatnya tangan Mak Sampir bergetar. “Nyiaahhhh...,” teriaknya kembali. Teriakan itu menghentikan getaran yang sangat kuat dari kendi yang dipegangnya.

Nafas perempuan tua itu terlihat ngos-ngosan, seluruh tubuhnya basah oleh keringat. Sepertinya perempuan tua itu selepas melakukan pertarungan dengan setan. Setan yang berkeliaran di alam dipanggilnya dan disuruh untuk mencuri rahasia-rahasia Tuhan. Untuk menaklukan setan tentu tak mudah. Ilmu yang dikuasai ditarungkan dengan ilmu setan. Dalam pertarungan itu, terkadang Mak Sampir kalah, di saat yang lain ia menang.

Melihat pertarungan itu, Juminah mengalami ketakutan yang luar biasa. Ia berpegangan pada balok besar yang menopang rumah kayu itu. Benturan dan dentuman ilmu Mak Sampir dengan kekuatan setan menimbulkan suara yang memekakan telinga dan getaran yang mengguncang.

“Aku berhasil menaklukan setan,” ujar Mak Sampir dengan suara yang mantap.

“Kalau setan yang menang mungkin kamu yang menjadi tumbal.”

Mendengar apa yang dikatakan itu, Juminah kaget. Apa jadinya kalau perempuan tua kalah, ia pasti sudah menjadi budak setan. Sebagai budak setan ia harus melayani sampai dunia kiamat dan pasti ia akan masuk neraka.

“Benar kamu mau tahu suamimu di mana?” pertanyaan Mak Sampir itu membuyarkan lamunan Juminah yang menjelajah entah ke mana. Dengan tergagap, ia langsung menjawab, ”iya, iya, iya mbah.”

Mak Sampir tertawa cekikikan melihat Juminah bernafsu untuk mengetahui rahasia Tuhan yang telah dicuri setan taklukannya itu. Mak Sampir tersenyum. Selanjutnya ia menatap tajam kendi yang mengurung setan itu. Muka Mak Sampir menyeringai tajam saat menatap tajam kendi berwarna hitam legam itu. Tak lama menatap kendi itu, selanjutnya ia mengusapnya.

“Gimana mbah hasilnya?” tanya Mbok Kiro.

“Heemmmm.....,” Mak Sampir menggumam panjang.

“Wahai jagad kegelapan, kabarkan kepada kami di mana laki-laki itu,” Mak Sampir sepertinya mengumandangkan mantra.

Mak Sampir diam sejenak, sepertinya ia berkonsentrasi. Tiba-tiba ia mendongak ke atas. “Wooo.....”

Nduk, Mbok Kiro. Suamimu telah diculik oleh gerombolan setan kate.”

“Suamimu akan dijadikan budak oleh setan-setan kate itu.”

“Setan kate itu bentuknya pendek seperti orang-orang cebol.”

“Setan kate itu suka memakan manusia. Ia telah banyak membunuh manusia.”

Mendengar apa yang dikatakan itu, Juminah kaget, gugup, dan cemas. Diculik setan kate dan dijadikan budak tentu nasib suaminya itu dalam keadaan bahaya.

“Terus bagaimana mbah nasib suamiku kelak?”

Mendapat pertanyaan itu, Mak Sampir hanya diam termangu, sepertinya ia tidak bisa menjawab. “Sudahlan Nduk, kamu pulang saja. Sebentar lagi matahari akan terbit.”

“Matahari terbit berarti saya tidak bisa berhubungan lagi dengan alam kegelapan.”

****

            Di balai kelurahan terjadi kegaduhan. Ibu-ibu kembali berkumpul di balai itu. Kedatangan mereka diundang oleh Pak Lurah. Pak lurah mengundang mereka sebab Jogoboyo sudah mendapat informasi di mana keberadaan suami mereka.

            “Ibu-ibu sekalian, syukur hari ini kita bisa berkumpul,” ujar Pak Lurah seperti memberi sambutan.

            “Menurut informasi Jogoboyo telah mendapatkan informasi di mana keberadaan suami ibu-ibu sekalian.”

            “Di mana suamiku,” teriak ibu-ibu secara serempak.

            “Cepat kasih tahu,” ujar yang lain tampak buru-buru.

Juminah yang berada di antara mereka terlihat diam. Sepertinya ia pasrah dengan apa yang terjadi pada suaminya. Ia sepertinya percaya dengan apa yang dikatakan oleh Mak Sampir kalau suaminya diculik setan kate.

“Iya, iya sabar,” ujar Pak Lurah menahan emosi mereka.

“Pak Jogoboyo silahkan memberi kabar kepada ibu-ibu.”

Mendapat perintah dari Pak Lurah, Jogoboyo yang duduk di sampingnya langsung berdiri. Ditatap siapa yang di depannya dengan mata tajam. Kumis baplang yang melintang membuat wajah Jogoboyo terlihat seram. Hal demikianlah yang mungkin membuat ia diangkat menjadi Jogoboyo, orang yang diberi kepercayaan untuk menjaga keamanan desa.

“Hemmm...,” ia berdehem.

Deheman itu membuat kaum perempuan menjadi bergidik. Tidak hanya melihat wajahnya yang seram namun juga tubuh yang kekar dan kumis baplang melintang.

“Ibu-ibu sekalian, setelah dua hari saya keliling desa dan mencari informasi keberadaan suami anda, akhirnya saya memperoleh informasi di mana mereka,” ujarnya.

Mendengar kabar penting itu kegaduhan terjadi di balai desa. Di antara mereka saling pandang dan merespon.

“Di mana mereka,” ujar ibu-ibu serentak.

Sebelum menjelaskan kabar yang diterima, Jogoboyo menatap ibu-ibu dengan tajam.

“Saya sedih mengatakannya,” ujarnya.

Mendapat ungkapan itu wajah kaum perempuan itu terlihat cemas dan was-was. Mereka menunggu kalimat lebih lanjut Jogoboyo.

“Suami kalian diculik tentara Jepang untuk dijadikan romusha,” ungkapnya.

Romusha berasal dari bahasa Jepang yang mempunyai arti buruh atau pekerja. Dalam masa pendudukan Jepang di Asia Tenggara, banyak orang Indonesia, Thailand, dan Myanmar yang dijadikan romusha. Pemuda-pemuda dan kaum laki-laki diculik dan dipaksa untuk dijadikan romusha. Kebanyakan romusha dari kalangan petani sebab pekerjaan romusha banyak digunakan untuk membangun infrastruktur kapal terbang, jalan, pelabuhan, benteng, dan semua keperluan Jepang untuk peperangan melawan tentara Sekutu.

Romusha yang diculik dan diambil dari desa tidak hanya dibawa di kota-kota tempat pembangunan insfrastruktur perang di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan namun juga di Thailand dan Myanmar. Jumlah romusha yang diperbudak Jepang mencapai kisaran antara 4 juta hingga 10 juta jiwa.

“Haaahhh....” Seluruh kaum perempuan itu sontak kaget. Bahkan di antara mereka ada yang histeris menangis sebab ia tahu bahwa tentara Jepang terkenal sadis dan kejam. Apa yang dikatakan Jogoboyo itu memperjelas apa yang dimaksud oleh Mak Sampir. Mak Sampir menyampaikan pesan samar-samar pada Juminah bahwa suaminya diculik oleh setan kate. Bila dihubungkan dengan bentuk tubuh tentara Jepang yang pada masa itu bentuknya pendek, seperti ayam kate, sehingga cocok kalau Mak Sampir menyebutnya dengan setan kate.

Juminah menganggap wajar kalau di antara mereka histeris sebab Mak Sampir mengungkapkan setan kate itu suka makan manusia. Ia telah banyak membunuh manusia.

Balai kelurahan yang awalnya senyap itu menjadi gaduh akibat kesedihan yang diekpresikan oleh ibu-ibu. Melihat hal yang demikian, Pak Lurah, Jogoboyo, dan perangkat desa yang lain berusaha menenangkan dan menguatkan hati mereka. 

***

            Berita penculikan pria-pria di desa itu oleh tentara Jepang masuk ke telinga Mbok Siyo. Dengan demikian suaminya salah satu di antara mereka sebab hingga detik ini ia belum kembali. “Aduh Gusti mengapa ini bisa terjadi,” ratap Mbok Siyo sambil mengelus perutnya yang semakin besar.

            Air mata berlinang di pipinya. Ia pasti sedih sebab orang yang dicintai itu pergi entah dibawa ke mana oleh tentara Jepang. Badannya lunglai ketika pikirannya bertanya kapan ia kembali. “Mungkinkah ia kembali?” pertanyaan itu langsung membuatnya pingsan. Mbok Siyo sepertinya harus menghadapi kenyataan yang sangat pahit. Berada di tangan Jepang berarti mereka akan mati, tinggal matinya secara cepat atau perlahan-lahan.

***

Begitu mata Mbok Siyo terbuka, di depannya sudah bersimpuh beberapa orang, di antara Mbah Jayeng, Mbah Tondo, dan Pak Kero. Begitu tahu Mbok Siyo sadar, mereka langsung berujar, “Wis nduk yang sabar ya.”

“Ini semua bisa jadi cobaan bagi kamu agar kamu tabah,” tutur Pak Kero.

“Sekarang kamu tak perlu khawatir. Di sini ada kami semua,” ujar Mbah Tondo.

Mendapat motivasi dan wejangan yang demikian, Mbok Siyo hanya diam. Pikirannya melayang kepada suaminya. Suaminya itu tak hanya dicintai namun dari ialah kehidupan dirinya ditopang. Bagaimana kelanjutan hidupnya, hal itulah yang saat ini direnungkan.

Nduk ini teh hangat, diminun ya,” kata Mbah Jayeng sambil menyodorkan teh manis dalam gelas yang sudah terlihat kusam.

“Wis sudah nggak usah dipikir masalahmu.”

“Yang penting anakmu bisa lahir dengan selamat.”

Mendengar apa yang dikatakan Mbah Jayeng, pikiran Mbok Siyo langsung tertuju pada apa yang berada di isi perutnya. Ia sadar bahwa kandungannya sudah besar dan tinggal beberapa hari lagi ia akan melahirkan anak pertamanya itu. Apa yang dikatakan Mbah Jayeng itu pula yang membuat dirinya berusaha untuk kuat. Dirinya merasa kalau bersedih terus tentu akan mempengaruhi janinnya. Segera ia minum teh yang yang disuguhkan agar dirinya menjadi lebih segar.

Tahu Mbok Siyo minum teh, mereka yang menunggui merasa senang sebab dengan minum air yang mengandung gula itu membuat tumbuh energi pada tubuh. Mereka pun langsung menyiapkan makanan. Mbok Siyo pasti membutuhkan asupan makanan tidak hanya untuk dirinya namun juga untuk jabang bayi yang dikandung.

***

            Selakangan Mbok Siyo terasa nyeri. Ia mengaduh. Tahu hal yang demikian, Mbah Jayeng dan Mbah Tondo segera berunding. Sepertinya kedua orang itu paham kalau Mbok Siyo mau melahirkan. “Kamu panggil Mbah Shinto dukun bayi di desa ini ya,” ujar Mbah Tondo kepada Mbah Jayeng. Tanpa banyak bicara Mbah Jayeng mengangguk. Ia langsung bergegas menuju rumah Mbah Shinto yang berada di ujung desa.

            Mbah Tondo segera menenangkan Mbok Siyo, “tenang ya nduk, sebentar lagi Mbah Shinto datang menolong kelahiran anakmu.”

            Meski sudah ditenangkan demikian, namun rasa nyeri di selakangan semakin sakit. Ia pun mengaduh. Melihat hal yang demikian, Mbah Tondo terus menenangkan dan berulang kali mengatakan, “sabar ya nduk.”

            Berita Mbok Siyo mau melahirkan menyebar ke penjuru dusun, tak heran bila beberapa orang berduyun-duyun menuju ke rumah itu sehingga teras disesaki orang. Tak lama kemudian, Mbah Jayeng terlihat memasuki halaman rumah itu. Ia tidak sendirian namun bersama dengan Mbah Shinto. Di mata penduduk desa, sosok Mbah Shinto tak asing lagi sebab ia adalah dukun bayi yang kesohor. Setiap ibu-ibu yang mau melahirkan pasti ditolong olehnya.

Meski banyak yang tahu Mbah Shinto dukun bayi namun hanya beberapa orang yang tahu kalau ia adalah saudara kembar Mak Sampir. Perbedaan ngelmu, ilmu, antara keduanyalah yang membuat mereka berbeda jalan.

            Begitu di dalam rumah, Mbah Shinto langsung mendekati Mbok Siyo. Dipandangi wajahnya yang penuh keringat. Mbah Shinto langsung mengambil tindakan. Ia sepertinya mengurut-ngurut perut yang buncit itu sambil mengatakan, “ayo nduk terus, ayo nduk.”

            Entah karena kepiawaiannya atau karena memang sudah waktunya melahirkan, tak lama kemudian mbronjol, lahir, jabang bayi dari tubuh Mbok Siyo. Terdengar lengkingan tangis bayi. Mendengar tangis bayi, semuanya secara serentak mengatakan, “Alhamdulillah.”

            Bayi itu segera digendong oleh Mbah Shinto dan dibersihkan. Agar tubuhnya terus berdenyut, pantat bayi yang baru memasuki dunia itu ditepuk-tepuk secara perlahan. Bayi itu terus menangis hingga perempuan yang sudah berumur 60 tahun itu mengatakan, “cep, cep, cep.”

            Mbok Siyo terlihat lemas setelah menghentakkan energinya untuk mendorong jabang bayi mbronjol dari badannya. Mukanya basah oleh keringat dingin yang mengucur meski demikian terlihat rasa bahagia di mukanya.

****

            Di hari ketujuh kelahiran anak Mbok Siyo, di rumah itu terlihat puluhan orang berkumpul. Ada yang tua, muda, anak-anak, laki-laki dan perempuan menyesaki rumah yang tak begitu besar itu.

            Di hari ketujuh Mbok Siyo dibantu oleh saudara dan para tetangga mengadakan slametan, syukuran, atas kelahiran anaknya yang pertama dengan selamat. Berkat bantuan saudara dan tetangganya maka saat syukuran terhidang daging ayam, kulupan, telur, serta jajanan pasar. Makanan seperti itu merupakan makanan yang mewah dan langka sehingga para warga sangat berharap bisa ikut merayakan.

            Setelah semua warga berkumpul di ruang tengah, Pak Kiai mendoakan agar jabang bayi dan acara slametan itu bisa mendapat berkah dari Gusti Allah. Setelah doa dibacakan, Pak Kiai menghaturkan sambutan, “saudara-saudara semua. Malam ini kita berbahagia sebab bisa mengadakan slametan hari ketujuh lahirnya anaknya Mbok Siyo.”

            “Mudah-mudahan anak pertama ini bisa menjadi anak yang sholeh.”

            “Tapi ngomong-ngomong namanya siapa?” Pak Kiai berbisik kepada Pak Kero yang berada di sampingnya. Pak Kero glagapan. Ia tidak tahu siapa nama anak itu, bisa pula memang anak itu belum dinamai. Ia bangkit dari duduknya dan melangkah menuju ke belakang mencari Mbok Siyo. Sampai di belakang, dicarinya perempuan itu, toleh kanan dan kiri tak ditemukan.

            “Mencari siapa kang?” tanya Mbah Tondo begitu melihat Pak Kero kebingungan.

            Melihat Mbah Tondo, ia langsung mengatakan, ”mencari Mbok Siyo. Pak Kiai menanyakan nama anak itu.”

            “Oalah, ia lagi menyusui,” ujar Mbah Tondo dengan santai.

“Kalau begitu kamu tunggu di sini. Aku tanyakan pada dia siapa nama anaknya itu.”

Mbah Tondo meninggalkan Pak Kero. Ia menuju kamar di mana Mbok Siyo sedang menyusui anaknya. Tak lama kemudian ia  keluar dari kamar dan menghampiri Pak Kero. “Ternyata belum punya nama,” ujar Mbah Tondo datar.

“Dia pesan agar Pak Kiai menamakan anaknya.”

“O, ya sudah kalau begitu,” ujar Pak Kero sambil meninggalkan perempuan tua itu untuk menuju ke ruang tengah. Sesampai di ruang tengah, ia membisiki Pak Kiai, “anaknya belum punya nama.”

Mendengar apa yang dibisikan itu, Pak Kiai tetap tenang. “Tidak apa-apa.”            “Pada hari ketujuh merupakan hari yang juga diperkenankan untuk memberi nama.”

“Mbok Siyo nitip pesan agar anaknya diberi nama oleh Pak Kiai,” ujar Pak Kero.

“Baiklah kalau begitu,” ujar Pak Kiai langsung menyambut pesan itu.

“Anak itu kuberi nama Samiun.”

“Dengan nama itu mudah-mudahan ia menjadi manusia yang baik dan berguna bagi semua.”

***

Dengan segala daya dan upaya, Mbok Siyo membesarkan Samiun. Sepeninggal suaminya yang dijadikan romusha, Mbok Siyo banting tulang mencari nafkah untuk menghidupi diri dan anaknya. Sebenarnya banyak laki-laki yang ingin menikahi namun ia menolak.

Entah karena sudah tak bersemangat atau memang cintanya untuk Pak Tedjo, Mbok Siyo sudah tak berniat menikah kembali. Dalam pikiran dan hatinya adalah agar anaknya semata wayang itu bisa hidup mandiri.

Dari waktu ke waktu, Mbok Siyo semakin tua dan Samiun semakin tumbuh besar. Apa yang dicita-citakan Mbok Siyo tercapai, anaknya yang sudah besar sudah bisa mencari penghidupan sendiri. Ia meneruskan apa yang sudah dikerjakan oleh ayahnya, Pak Tedjo, menjadi petani kelapa.

Saat menutup mata, Mbok Siyo tersenyum. Kepergian untuk selamanya itu tidak meninggalkan penderitaan bagi anaknya. Anaknya yang pertama sudah bisa mandiri dan mengolah kebun yang dimiliki.

Mbok Siyo tersenyum saat pergi untuk selamanya. Sedang Samiun terlihat menangis sesunggukan saat ditinggal oleh orangtuanya yang telah membesarkan dirinya.

****

Pintu kayu itu digedor-gedor dengan keras. Suaranya hingga ke belakang rumah. Mendengar hal yang demikian, Samiun langsung bergegas ke arah suara itu. Dirinya berpikir, siapa pagi-pagi sudah mencari. Saat melihat siapa orang yang mencari, Samiun langsung menghela nafas panjang, “yiaah...,” gumamnya. “Ini lagi, ini lagi,” ucapnya begitu melihat Babinsa, Slamet.

Slamet yang tahu Samiun celingukan, langsung memanggilnya, “hai Un ke mana saja kamu.”

“Dicari dari tadi nggak muncul-muncul.”

Samiun tersenyum kecut mendengar hal yang demikian. Ia merasa tidak bersalah sebab pagi hari dirinya harus bekerja untuk mencari buah pohon kelapa yang akan dijualnya. Dirinya juga berpikir mengapa Slamet pagi-pagi mencarinya.

“Un ikut aku, bawa cangkulmu,” ujar Slamet dengan nada tinggi. Apa yang dikatakan itu membuyarkan lamunan Samiun. Apa yang dikatakan itu juga membuat dirinya menjadi muak. Dengan perintah itu sepertinya akan melihat pembantaian lagi pada orang-orang PKI dan dirinya diperintah untuk menggali dan menguruk lubangnya.

“Hai, dengar nggak apa yang saya katakan!” Slamet membentak.

Sebab dibentak oleh tentara, Samiun menjadi ciut nyalinya. “Iya, iya,” ucapnya dengan rasa takut. Ia langsung bergegas ke belakang rumah untuk membawa cangkul. Cangkul yang tergeletak di pojok rumah bagian belakang itu masih diselimuti dengan bekas-bekas tanah galian lubang pembantaian beberapa waktu yang lalu. Samiun belum membersihkan sehingga tanah yang mengeras itu menempel di cangkul.

Dibopong cangkul itu dan ia kembali menghadap Slamet. Saat Samiun sudah berada di depan Slamet, ia langsung mengatakan, “ayo jalan.” Samiun membuntuti Slamet. Di depan rumah, Samiun melihat sepeda motor. Dipikir sepeda motor siapa itu. Pertanyaan itu terjawab saat Slamet mendekati dan memasang kunci pada tempatnya.

“Kamu saya bonceng menuju ke Kali Keyang,” ujar Slamet.

Tidak pernah naik sepeda motor tentu Samiun bergembira saat dibonceng Slamet. Pertama kali naik sepeda motor membuat dirinya kagok sehingga bingung bagaimana cara berpegangan.

“Goblok kamu,” ujar Slamet saat Samiun salah pegang saat dibonceng.

“Maaf, maaf pak,” balas Samiun dengan buru-buru.

“Saya baru pertama kali naik sepeda motor.”

“Ya sudah, kamu pegang di belakang saya,” ucap Slamet.

Setelah sudah siap, Slamet menyalakan mesin sepeda motor itu dengan ongkelan yang ada. Diongkel sepeda motor yang sudah terbilang tua itu beberapa kali hingga akhirnya mesin menyalak. Setelah mesin menderu, Slamet langsung memasukan gigi satu dan gas serta kopling dilepas dengan padu hingga akhirnya secara perlahan kendaraan yang masih langka di desa itu meninggalkan rumah Samiun.

Jalan naik turun dan belum diaspal membuat Samiun terguncang-guncang. Takut dimarahi Slamet, ia pun memegang pegangan yang ada dengan erat-erat. Sepanjang jalan yang dilintasi suasana desa terlihat sepi padahal biasanya orang pada berlalu lalang. Samiun melihat sepertinya orang-orang memilih berada di rumah pada hari itu, terbukti ia melihat beberapa kepala menyembul di jendela melihat keadaan di luar.

Setelah setengah jam menunggang sepeda motor yang suara mesinnya nylekit di telinga, tibalah dua orang itu di tepi Kali Keyang. Di kali yang di atasnya menjulur jalur kereta api bikinan Belanda itu sudah ada banyak orang. Nusiron dan Badak sebagai jagal pembantaian di balik bukit juga tampak. Dua orang itu berdiri dan menenteng pedang dan klewang panjang. Di samping dua orang itu terlihat juga tiga orang yang menenteng pedang, klewang, dan clurit. Wajah mereka terlihat dingin.

Air sungai Kali Keyang saat itu tak penuh namun alur air di bagian tengah cukup deras. Derasnya air kali terlihat mampu menghanyutkan batang-batang pohon pisang dan  kayu-kayu yang tak berguna.

“Ayo ke sana,” Slamet mengajak Samiun menuju ke arah kerumunan orang itu. Dengan meniti pelan-pelan jalan ke kali, kedua orang itu menuju ke tengah kerumunan. Saat sudah mendekati kerumunan, Samiun kaget begitu melihat ada puluhan orang yang diikat dengan tali. Mereka duduk di bawah pohon bambu yang miring ke kali. Mereka dijaga oleh beberapa pemuda seperti Nusiron dan Badak.

Seketika itu, badan Samiun menjadi lemas. Sebentar lagi dirinya akan melihat puluhan itu orang itu akan dibantai. Samiun saat sudah berada di tempat itu namun belum disuruh menggali lubang. Ia hanya diam tak melakukan apa-apa sampai menunggu perintah Slamet atau yang lain.

Setelah semuanya siap, satu di antara puluhan orang yang diikat itu digelandang ke tepi di mana arus sungai mengalir deras. Orang itu disuruh duduk dengan kepala menekuk. Saat posisi sudah demikian, Nusiron menghampiri. Pedang yang dtenteng diusap dengan kain yang dibawa. Setelah itu diayunkan, “wusss...” ayunan itu menuju ke arah leher bagian belakang orang itu, “blasss....” pedang itu memenggal leher hingga membuat kepala dan badan terpisah. Kepala itu menggelinding di dekat kaki Nusiron. Nusiron langsung menendang ke arah kali di mana airnya mengalir deras, “plung...” kepala itu menjebur ke air yang berwarna coklat dan hanyut. Badan yang masih tergelak, didorong dan menjebur, “byuurrr...” Dan hanyut terbawa air dengan keadaan mengapung.

Satu persatu dari puluhan orang itu diperlakukan seperti itu, Nusiron, Badak, dan yang lain bergantian menjadi algojo. Hingga selesai sudah acara pembantaian orang-orang itu. Samiun yang dari tadi duduk hanya melongo. Tenaganya tidak digunakan sebab mayat-mayat yang korban pembantaian itu tidak dikubur namun dibuang ke sungai.

Satu persatu orang yang berada di Kali Keyang meninggalkan tempat. Slamet pun juga hendak pergi dari tempat itu. Samiun buru-buru menghampir, “pak kembali ke rumah saya kan?” Ia mengatakan demikian sebab tadi dijemput, pastinya pulangnya akan diantar.

Mendengar pertanyaan itu, Slamet melotot memandang Samiun.

“Enak saja minta diantar,” ujar Slamet dengan nada sinis.

“Kamu tadi kerjanya cuma duduk-duduk saja.”

“Lha kan saya tidak disuruh kerja pak,” Samiun membela diri.

Alasan itu dirasa benar oleh Slamet namun dirinya tak menggubris.

“Jalan saja, saya masih ada urusan dengan komandan,” ujar Slamet.

Mendengar kata-kata kasar dan nylekit, badan Samiun yang sudah lemas karena melihat pembantaian massal, menjadi tambah lemas. Ia membayangkan jarak antara rumah dan Kali Keyang tidak dekat. Bila dirinya jalan kaki tentu memerlukan waktu yang tak sebentar. Dibonceng naik sepeda motor saja memerlukan waktu setengah jam, apalagi kalau mengayunkan kaki.

Slamet meninggalkan Samiun dengan tak peduli. Dengan muka kesal, Samiun meninggalkan tempat itu. Sebelum beranjak, ia sempat melihat tempat pembantaian. Darah segar tercecer meruah di pasir basah yang sesekali tergerus oleh limpahan air sungai. Untuk tidak menimbulkan suasana yang menakutkan, Samiun menghampiri tempat itu dan menguruk dengan pasir yang ada. Cangkul diayunkan untuk memindahkan pasir yang ada ke ceceran darah segar itu. Setelah ceceran darah itu tertimbun tanah, Samiun meninggalkan tempat itu. Ia menatap ke atas, matahari sudah melewati batas hari.

***

            Selangkah dua langkah kaki Samiun mengayun. Ia mencoba untuk jalan santai untuk pulang. Jalan santai agar bisa menikmat suasana desa yang masih asri dan berudara segar. Pulang menuju ke rumah, Samiun harus melintasi kali dari terusan Kali Keyang. Kali Keyang beralur melingkar hingga menuju lintasan yang akan dilewati Samiun.

            Sasak, jembatan dari bambu, yang menghubungkan dua daratan sudah diinjak. Lewat sasak ia menuju desanya. Sasak itu bergoyang ditindih oleh berat badan Samiun yang sebenarnya tak seberapa. Dirinya cemas sebab merasa sasak itu sudah lapuk. Untuk itu ia berpegangan pada pagar sasak. Di bawah terlihat arus deras kali mengalir dengan pelan.

            Saat berada di tengah sasak, Samiun berhenti dan memandang air kali. Arus yang ada menghanyutkan kotoran-kotoran alam seperti batang pohon, ranting, dedaunan, dan kotoran manusia. Di tengah menikmati air sungai yang menghanyutkan kotoran alam, tiba-tiba dirinya melihat sesuatu mengapung dan bergerombol. Dirinya menerka-nerka, apa yang mengapung itu.

            Air yang menghayutkan itu terus bergerak sehingga semakin membuat pandangan Samiun semakin jelas dari apa yang mengapung itu. Begitu sudah dilihat dengan jelas, ia langsung berujar, “ya Allah.” Apa yang mengapung dan bergerombol itu ternyata mayat-mayat dari orang yang dibantai tadi. Mayat-mayat itu mengapung tanpa kepala terbawa oleh arus kali. Lehernya sudah tak memuncratkan darah karena sudah tersapu oleh air kali.

            Setelah melintasi sasak, mayat-mayat itu makin lama mengecil dipandang hingga akhirnya hilang ditelan oleh rerimbunan pohon bambu yang tunbuh di kanan kiri kali.

            Tubuh Samiun lemas setelah melihat mayat-mayat itu namun dirinya harus meninggalkan tempat ia berdiri. Dengan tenaga yang masih ada, ia melanjutkan perjalanan.

            Sasak pun sudah dilewati. Sekarang ia harus menyusuri jalan setapak yang kanan kirinya sawah yang tengah tumbuh padi. Dirinya tahu di antara petak sawah itu adalah milik orang-orang yang dibantai tadi sehingga muncul pikirannya, siapa yang mengurus petak sawah itu.

            Seharusnya tanaman padi itu harus sudah dipupuk namun tak terurus sehingga membuat tanaman itu terlihat layu. “Kalau banyak sawah tak terurus, bisa-bisa nanti akan masyarakat akan kekurang pangan,” gumamnya.

            “Bisa terjadi paceklik.”

            Samiun bingung memikirkan hal yang demikian. Dirinya terus melangkah menyusuri jalan. Tak terasa hamparan sawah telah dilewati. Selanjutnya ia memasuki hutan. Senyap dan sepi saat di bawah kungkungan pohon-pohon besar. Sesekali terdengar suara burung yang berkicau di pucuk-pucuk pohon.

            Saat berada di sebuah persimpangan jalan di hutan, Samiun sekilas melihat seseorang yang tengah berlari. Ia berlari dan kemudian menghilang di balik pohon besar. Ia berpikir mengapa ia berlari, apakah ada macan, babi hutan, atau gerombolan kera yang mengancam jiwanya. “Hai siapa kamu!?” teriak Samiun. Teriakan itu menggema sehingga menimbulkan gaung. Diulangi lagi dan menimbulkan gaung kembali.

            Tak ada respon dari orang yang berlari dan bersembunyi itu. Agar tidak curiga, Samiun mengubah kalimatnya, “saya orang baik-baik.”

            “Saya akan menolongmu bila ada yang mau berbuat jahat.”

            Mengubah kalimat yang demikian, rupanya bisa menimbulkan respon. Di balik pohon besar, orang itu sepertinya memberi kode, tangannya dilambaikan, bertanda ia berada di tempat itu dan bersembunyi.

Samiun tahu ia tidak mau diketahui oleh orang sehingga dirinyalah yang menghampiri. Sebelum menuju ke balik pohon besar, ia celingak celinguk kanan kiri. Dirinya khawatir langkahnya diikuti oleh orang lain. Merasa aman, tak ada orang, ia bergegas menuju ke balik pohon yang ujungnya seperti hendak menggapai langit.

Semak-semak dan pohon kecil diterabas hingga akhirnya ia berada di samping pohon itu. Segera Samiun menengok siapa yang berada di balik pohon itu. Dirinya mengendapngendap ke balik pohon dan dirinya kaget begitu melihat seorang gadis dengan dengan wajah cemas, bibirnya bergetar, badannya seperti orang menggigil, dan menunjukkan rasa ketakutan yang luar biasa. Meski demikian dari wajahnya terpancar kecantikan.

“Tolong saya, tolong saya,” ujarnya mengiba.

Melihat yang demikian, Samiun langsung iba dan kasihan. Sepertinya gadis itu sedang mengalami masalah yang berat sehingga membuat dirinya dalam kondisi yang seperti demikian.

Samiun mendekati dan bertanya, “siapa kamu?”

Gadis itu dengan nada yang lemah menjawab, “saya Sarmini, gadis dari desa sebelah.”

****

            Di rumah juragan beras, Pak Menggolo, terlihat kerumunan orang. Mereka berkerumun di rumah paling mewah di desa itu untuk menjadi saksi akad nikah antara Sarmini dengan Mas Pranoto.

Di ruang tengah rumah Pak Menggolo terlihat hadir keluarga Pak Sumoko. Pak Sumoko orangtua Sarmini. Di ruang tengah itu ada meja kecil yang diselimuti dengan kain sutra berwarna merah bermotif batik parang. Meja itu dikeliling oleh puluhan orang.

Pak Menggolo dan Pak Sumoko memeriksa persyaratan pernikahan yang hendak dilakukan pada kedua anaknya itu. Wajahnya terlihat sumringah begitu surat-surat yang dibutuhkan sudah lengkap.

Setelah penghulu datang, acara akad nikah pun dimulai. Kiai Imron yang saat itu diundang untuk memberi khutbah nikah telah siap menyampaikan wejangan dan petuah-petuahnya. Setelah dirinya dipersilahkan memberi khutbahnya, kiai itu pun dengan bersemangat menyampaikan pesan-pesannya. Sarmini, Mas Pranoto, dan yang lainnya tampak khusuk menyimak hingga tak sadar bahwa khutbah yang itu selesai.

Setelah khutbah yang mengajak kepada semuanya untuk bisa saling melindungi dan menyayangi, acara ijab-qabul pun dilakukan. Penghulu sudah berada di depan Sarmini dan Mas Pranoto. Di antara mereka dibatasi oleh meja kecil.

Penghulu berdehem, “hemmm.” Deheman itu merupakan isyarat agar kedua mempelai mempersiapkan mentalnya. “Baik mari bapak-bapak, ibu-ibu, dan semuanya, acara ijab-qabul ini kita mulai,” ujar penghulu dengan khimad.

Ngiiiih,” sahut mereka yang berada di ruangan itu dengan serentak.

Penghulu pun mulai melakukan prosesi ijab-qabul.

“Saya nikahkan engkau, Mas Pranoto bin Menggolo dengan ananda Sarmini binti Sumoko, dengan mas kawin perhiasan emas 18 karat seberat 20 gram dibayar tunai.”

Pernyataan dari penghulu itu langsung disahut oleh Mas Pranoto dengan kalimat, “Saya terima nikahnya Sarmini binti Sunoko dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”

Setelah ungkapan itu saling sahut, penghulu mempersilahkan saksi untuk mengecek apakah ijab-qabul itu sudah memenuhi syarat. Tak lama, saksi mengatakan, “sah.” Apa yang dikatakan saksi itu diikuti oleh yang lain, “sah, sah, sah.” Suara yang mengatakan sah itu saling sahut menyahut.

Mereka mengatakan demikian secara sahut menyahut sebagai wujud ikut rasa senang.

Penghulu pun menjabat tangan Mas Pranoto dan Sarmini. Pak Menggolo dan Pak Sumoko juga saling menjabat tangan. Dengan demikian mereka sudah secara sah menjadi besan dan menjadi keluarga besar.

***  

            Pak Menggolo selain juragan beras di desa itu, ia adalah Ketua PKI. Sebagai elit desa tak heran pernikahan ramai dan didatangi banyak orang. Anaknya, Mas Pranoto adalah anak pertama dari Pak Menggolo. Ia kuliah di salah satu perguruan tinggi di Jogjakarta. Di kota pelajar itu, ia aktif di CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), organisasi kemahasiswaan yang dekat dengan PKI.

            Meski belum lulus kuliah, Pak Menggolo ingin agar Mas Pranoto cepat menikah. Pak Menggolo ingin anaknya menikah dengan Sarmini selain karena untuk mendekatkan hubungan dengan Pak Sumoko, juga karena anak Pak Sumoko itu sebagai bunga desa. Disuruh cepat menikah dengan gadis desa tentu Mas Pranoto tidak menolak. “Mana ada yang menolak Sarmini,” gumam Mas Pranoto.

            “Sarmini kan gadis desa yang cantik dan seksi.”

            Kesibukan kuliah dan organisasi yang selama ini digiati, ditinggalkan demi Sarmini.

            Senang pada Mas Pranoto tidak bagi Sarmini. Sarmini sebenarnya tidak ingin nikah pada saat itu. Sarmini bercita-cita kuliah di fakultas kedokteran. Tak hanya itu alasannya yang dikatakan, dirinya juga tak suka sikap Mas Pranoto yang sombong. Sebagai anak juragan beras, Mas Pranoto suka merendahkan warga desa yang lain. Tak hanya Sarmini yang tak suka kelakuan Mas Pranoto, pemuda dan gadis desa yang lain juga demikian.

            “Kamu harus mau jadi istrinya Mas Pranoto,” bentak orangtuanya, Pak Sumoko.

            “Pak Menggolo sudah banyak membantu kita.”

            “Mereka sudah memberi ayah sawah 2 ha.”

            Kalimat itulah yang selalu dikenang Sarmini dari orangtua yang mengharuskan dirinya menikah dengan laki-laki yang tak dicintai.

“Saya ingin kuliah di fakultas kedokteran, ayah,” Sarmini membela diri.

“Setelah jadi dokter, Sarmini baru menikah.”

“Tidak bisa, tidak bisa,” Pak Sumoko bersikekeh agar anaknya mau menikah.

“Mengapa wanita harus sekolah tinggi-tinggi. Paling-paling nanti juga kembali ke dapur.”

“Ibumu itu dulu juga tidak sekolah.”

“Pokoknya kalau kamu tidak mau, kamu jangan tinggal di rumah ini.”

Sepertinya orangtuanya itu sudah mulai main kasar. Ia mengancam akan mengusir Sarmini bila menolak kemauannya.

“Nduk, kamu harus tahu, ayah sudah diberi sawah 2 ha,” ujar Pak Sumoko.

“Bila nanti ayah kembalikan dan menolak kemauan Pak Menggolo, nasib keluarga kita bisa hancur.”

“Mereka punya Pemuda Rakyat, organisasi yang dekat dengan PKI, yang bisa berbuat kasar pada kita.”

Mendengar apa yang diungkapkan ayahnya, Sarmini membisu, tak mengucap sepatah katapun. Hanya bisa pasrah menghadapi keadaan yang demikian.

***

Mas Pranoto tengah berada di antara puluhan anggota Pemuda Rakyat. Mereka berkumpul di dekat balai pertemuan untuk melakukan aksi. Mereka sepakat untuk mengambil tanah yang dikelola Suwiryo. Tanah itu menurut mereka harus direbut sebab Suwiryo dianggap memiliki tanah yang sangat luas. “Mari kita rebut tanah itu,” ujar Mas Pranoto sambil mengepalkan tangan. Ajakan itu langsung disambut pekik oleh para anggota Pemuda Rakyat. “Hidup rakyat,” teriak mereka secara serentak.

Mereka menggerudug menuju ke rumah Suwiryo. Rumah yang berada dekat pasar itu didatangi. Di tengah perjalanan mereka menenteng clurit. Orang-orang yang berpapasan dengan mereka menjauh untuk mencari selamat atau menghindari agar tidak kena getah.

Sampai di rumah Suwiryo, terlihat rumah itu sepi. Pintu dan jendela tertutup rapat. Mereka tak peduli dan terus merengsek mendekati. Begitu di depan pintu, Mas Pranoto mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Pintu pun digedor. Kesal tak ada respon, salah seorang anggota Pemuda Rakyat yang bernama Kateno maju dan mengayunkan cluritnya ke pintu yang terbuat dari kayu. “Cranggg...” Begitu suara benturan antara clurit dengan pintu yang terbuat dari kayu.

Melihat hal yang demikian Mas Pranoto tidak marah. Ia diam. Sepertinya ia membenarkan apa yang dilakukan oleh Kateno itu. Merasa tak masalah, Kateno pun meneruskan membacokkan cluritnya itu sehingga pintu itu berlubang. Setelah lubang itu menganga, tanpa disuruh Samiyo maju dan menendang pintu itu dengan kakinya yang kekar, “braakkkk...”

Pintu itu langsung terbuka, serta merta Mas Pranoto dan puluhan Pemuda Rakyat masuk ke rumah tanpa permisi sambil berteriak, “Wir kamu di mana! Wir Kamu di mana!”

“Wir jangan rakus dengan tanahmu!”

“Tanahmu harus diserahkan pada rakyat.”

Mereka seperti capek berteriak-teriak di tempat itu, sementara siapa yang dicari tidak ada. “Gimana ini mas?” tanya Kateno pada Mas Pranoto. Mas Pranoto diam. Ia sepertinya berpikir. Selanjutnya sambil memandang puluhan anggota Pemuda Rakyat, ia mengatakan, “kita cari ke sawah.”

“Saat-saat ini, biasanya ia di sana.”

Mereka secara spontan langsung menuju ke tempat di masa Suwiryo dirasa berada. Mereka melintasi jalan-jalan desa untuk menuju ke sawah. Sama seperti sebelumnya, orang yang berpapasan dengan mereka, lebih memilih menghindar atau menundukkan kepala seolah tak melihatnya. Bila bertemu dengan mereka terus menatap, tatapan itu seolah-olah seperti tantangan dan itu akan membahayakan sebab mereka akan main keroyok.

Tibalah mereka di sawah yang digarap Suwiryo. Di tempat itu terlihat Suwiryo dan beberapa buruh tani sedang menggarap lahan. “Hai Wiryo,” teriak Kateno. Teriakan Kateno itu membuat Suwiryo menengadahkan kepalanya dan menuju ke arah teriakan itu. Ia langsung terperanjat begitu tahu puluhan Pemuda Rakyat yang dipimpin Mas Pranoto tak jauh darinya.

“Ada apa gerangan mereka ke sini?” gumam Suwiryo dalam hati.

“Mereka selalu cari gara-gara.”

Di tengah pertanyaan-pertanyaan itu yang muncul dalam hati, mereka menghampiri dan mengepung Suwiryo. Buruh tani yang tadi bersama dirinya langsung lari terbirit-birit.

“Ada apa mas?” tanya Suwiryo dengan tenang kepada Mas Pranoto.

“Gini Wir,” ujar Mas Pranoto yang hendak menjelaskan.

“Sawahmu kan banyak, ada 10 ha. Jadi sebaiknya sebagaian diserahkan pada rakyat.”

“Tahu kan tanah itu buat rakyat.”

Mendengar yang demikian, Suwiryo tersenyum kecut.

“Saya setuju pendapatmu mas,” balas Suwiryo.

“Memang tanah itu buat rakyat namun mintanya jangan kepada saya.”

“Kalau mau minta tanah, mintalah kepada negara.”

“Tanah ini tanah warisan orangtua saya. Orangtua saya memiliki tanah ini secara sah, dengan cara membeli.”

“Jadi saya tidak akan memberikannya tanah ini secara cuma-cuma.”

Mendengar yang demikian, Mas Pranoto dan puluhan Pemuda Rakyat terlihat tegang mukanya. Nafasnya menderu dan otot-otonya menegang.

“Anda itu gimana sih,” ujar Mas Pranoto.

“Masak tidak tahu kalau rakyat sekarang butuh tanah.”

“Yang kelebihan tanah harus menyerahkan pada yang lain.”

“Soal tanah harus sama rata.”

“Bila tidak mau maka rakyat akan merampasnya.”

“Serahkan sebagaian tanahmu kepada kami.”

Mendengar apa yang dikatakan itu, Suwiryo berusaha tidak gentar sebab itu adalah tanahnya, hak dirinya untuk mempertahankan.

“Tidak bisa mas, tanah ini milik saya secara sah,” balas Suwiryo.

“Saya tidak akan menyerahkan tanah ini kepada siapapun secara cuma-cuma.”

Ketika Suwiryo bersikukuh tak akan menyerahkan tanahnya maka puluhan Pemuda Rakyat itu marah.

“Ayo serahkan,” bentak Kateno sambil mengacung-acungkan cluritnya.

Tak pateni. saya bunuh, kalau nggak mau menyerahkan,” Samiyo menimpali.

Mereka memepet Suwiryo, krah bajunya dipegang. Diperlakukan secara kasar, Suwiryo pun melawan. Dihempaskan tubuh-tubuh yang menjamahnya. Ia mundur beberapa langkah. Merasa Suwiryo melawan maka puluhan pemuda itu semakin beringas hingga akhirnya mereka mengeroyok. Suwiryo terus membela diri hingga akhirnya terjadilah pergumulah yang tak seimbang.

Di sela perkelahian yang tak imbang, Mas Pranoto melihat ada cangkul tergeletak. Cangkul itu sepertinya milik Suwiryo yang tadi untuk mengaduk tanah. Cangkul itu diambil dan dipegang erat-erat. Ia mendekati pergumulan itu, ketika ada kesempatan, di saat Suwiryo lengah dan terdesak, tiba-tiba Mas Pranoto menghantamkan cangkul itu tepat di kepalanya.

Suara benturan keras antara besi dengan kepala terdengar. Benturan itu membuat Suwiryo oleng, limbung. Dari kepalanya muncrat darah. Tak lama kemudian Suwiryo roboh. Melihat hal yang demikian, tidak ada raut muka takut atau penyesalan. Tubuh yang roboh di lumpur sawah itu lalu diseret menuju ke tepi sawah. Di tepi sawah, tubuh itu diinjak-injak sehingga tubuh yang tak berdaya itu menjadi memar. Puas dengan penganiayaan, mereka langsung begitu saja meninggalkan tubuh yang sudah tak bernafas.   

***

Selepas acara ijab-qabul, orang-orang berhamburan menuju ke tempat-tempat makanan disajikan. Mereka ada yang memilih soto, lontong sate, rawon, jajanan pasar, wedang jahe, kopi, teh manis serta makanan dan minuman yang lain.

Di tengah acara perjamuan yang nikmat itu, terlihat Pak Menggolo dan Pak Sumoko berbincang. “Aku senang kita sudah jadi keluarga,” ujar Pak Menggolo sambil meneguk wedang jahe dalam cangkir yang dibawanya.

Pak Sumoko hanya tersenyum mendengar apa yang dikatakan itu. Batinnya kurang lapang sebab melihat anaknya, Sarmini, lebih banyak murung pada acara akad-nikah. Dirinya memang dalam kondisi serba salah, di satu sisi ia ingin memiliki sawah sebagai harta benda dan lahan pekerjaan namun di sisi yang lain ia telah mengorbankan anaknya untuk memperoleh sawah.

Awalnya Pak Sumoko adalah orang yang terbilang kaya namun ia jatuh miskin setelah ikut pemilihan kepala desa. Harta yang dimiliki semuanya digunakan untuk membiayai pencalonan dirinya menjadi kepala desa. Agar dirinya dipilih oleh warga desa, Pak Sumoko harus menjamu banyak warga desa setiap malam. Tak hanya menjamu tetapi juga mengamplopi, memberi uang, pada mereka.

Mendapat makan minum dan uang gratis tentu warga desa senang. Mereka setiap hari pergi ke rumah Pak Sumoko. Semua yang datang ke rumah selalu mengatakan, “nggih, nggih, nggih, ya, ya, ya” ketika dianjurkan memilih Pak Sumoko dengan menusuk gambar pepaya sebagai simbol Pak Sumoko dalam pemilihan kepala desa.

Apa yang dikatakan warga desa yang datang ke rumah Pak Sumoko itu rupanya banyak bohongnya sebab saat coblosan, ternyata Pak Sumoko kalah dengan Pak Rosyid, calon kepala desa yang tinggal di dusun sebelah.

Selidik punya selidik ternyata Pak Rosyid lebih royal dalam menghamburkan makanan, minuman, dan uang kepada warga desa. Menghadapi kekalahan tersebut, Pak Sumoko sempat shock. Hartanya sudah habis, ditambah dirinya dibohongi warga desa. Pak Sumoko sempat seminggu terbaring di kamarnya, sakit akibat tidak menerima kenyataan itu.  

“Kapan enaknya kita rayakan secara besar-besaran pernikahan ini,” kata Pak Menggolo. Apa yang dikatakan itu membuyarkan lamunan Pak Sumoko.

“Terserah Mas Menggolo saja,” ucap Pak Sumoko singkat.

“Kalau begitu kita ramaikan pada pertengahan bulan, saat bulan purnama,” ucap Pak Menggolo menimpali.

“Nanti kita akan nanggap reog dan wayang kulit.”

“Kalau saya sih nurut apa yang Mas Menggolo maui,” balas Pak Sumoko. 

***

Sore hari pada pertengahan bulan, di halaman rumah Pak Menggolo yang luas, terdengar bunyi kendang yang menghentak. Hentakan kendang itu diiringi kenong, terompet, gong, dan angklung sehingga terpadu suara yang harmoni dan padu. Di tengah perpaduan alat-alat musik tradisional itu, dua reog menari-nari. Di sela-sela reog yang mengibasngibaskan dadak merak-nya, terlihat dua bujang ganong melompat-lompat menari-nari, tak jauh darinya empat jaranan juga menggoyang-goyangkan kaki dan badannya.

Sore itu Reog Ponorogo pentas menunjukkan kebolehannya untuk memeriahkan pernikahan Mas Pranoto dan Sarmini. Paguyuban reog yang diasuh oleh Pak Misdi itu di-tanggap oleh Pak Menggolo untuk menghibur warga desa. Diharapkan warga desa ikut merasa senang dengan acara pernikahan itu.

Menjelang maghrib, pagelaran reog itu usai, seluruh pemain kesenian itu beristirahat, mereka dijamu makan oleh Pak Menggolo. Selepas ashar hingga menjelang maghrib, paguyuban reog itu mengerahkan seluruh tenaganya untuk menghibur. Tak heran mereka menikmati makan-makanan yang tersaji. Puluhan gelas teh diteguknya untuk membuang rasa haus.

Selepas maghrib, halaman rumah Pak Menggolo terang benderang. Lampu yang disuplai dari PLN, mesin jenset, serta obor saling mendukung untuk menerangi pentas wayang kulit. Malam itu dalang kondang, Ki Sabdo, akan memperlihatkan kepiawaiannya dalam membeberkan kisah Petruk Dadi Ratu.

Sebelum pentas dimulai, para warga desa berdatangan. Ada yang datang sendiri, ada pula yang bergerombol. Mereka datang dari dusun-dusun yang jauh. Malam yang menguarkan udara dingin membuat mereka membungkus dirinya dengan sarung. Untuk menghangatkan diri, mereka ada yang membeli wedang jahe atau bandrek.

Setelah purnama mulai meninggi, Ki Sabdo naik ke panggung. Para penabuh gamelan mengiringi dan sinden mengikuti. Setelah dalang kondang itu mengangkat gunungan, spontan suara gamelan terdengar mengiringi. Para sinden langsung menembangkan tembang-tembang pengiring.

Cerita Petruk Dadi Ratu pun mulai bergulir. Kisah itu bermulai saat  Dewi Mustakaweni, putri dari Kerajaan Imantaka, berhasil nyolong Jamus Kalimasada, sebuah jimat yang ampuh. Mustakaweni sukses nyolong jimat itu karena menyamar sebagai Gatotkaca.

Jimat sakti itu hilang maka terjadi kegemparan di banyak kerajaan. Semua berusaha untuk mencari, ada yang ingin menyelamatkan jimat itu, ada pula yang ingin memiliki dengan tujuan tertentu. Tak disangka dan dinyana, Petruk melihat Jamus Kalimasada itu. Kemudian diambilnya dan disembunyikan.

Aura Jamus Kalimasada rupanya sangat luar biasa, buktinya aura itu mampu membuat Petruk menjadi raja di Kerajaan Lojitengara dan bergelar Prabu Welgeduwelbeh. Aura Jamus Kalimasada tak hanya membuat Petruk bisa jadi raja namun juga membuat dirinya sakti. Kesaktiannya itu mampu membongkar rahasia siapa sebenarnya Raja Kerajaan Trancanggribig. Raja dari kerajaan itu dibongkar oleh Petruk dan ternyata Nala Gareng, bukan lain dan tidak adalah kakaknya sendiri. Petruk rupanya kena karma, siapa dirinya akhirnya dibongkar oleh Bagong. Bagong tahu Petruk menyembunyikan Jamus Kalimasada. Di tangan Bagong-lah, Petruk diturunkan dari tahtanya dan jimat itu dikembalikan ke Prabu Puntadewa.

Cerita itu lebih banyak jenakanya sebab Petruk, Gareng, dan Bagong adalah tokoh punakawan yang menjadi abdi dan penasehat Pandawa. Mereka memberi nasehat dengan cara cengengesan, guyonan.

Dari pentas wayang kulit semalam itu membuat warga desa terhibur. Mereka tertawa terbahak-bahak saat pertunjukkan itu digebyar. Karena jalan cerita yang lucu maka selama pertunjukkan, penonton penuh, jarang yang berpindah tempat untuk pulang.

Saat Ki Sabdo menancapkan gunungan di tengah layar, penonton langsung berhamburan meninggalkan tempat. Gunungan ditancapkan di tengah layar sebagai simbol pentas sudah selesai.

****

            Di tepi ranjang Mas Pranoto duduk di pinggir ranjang. Sementara Sarmini terbaring dengan posisi memunggungi. Sarmini belum ikhlas menerima pria itu menjadi suaminya sehingga dirinya tidak mau melayani. Hal demikian membuat Mas Pranoto menjadi gundah. Dirinya sebenarnya ingin segera menjamah tubuh istrinya itu secepatnya. Tubuh yang molek, kulit kuning, dan wajah yang manis membuat nafsu Mas Pranoto menggelora.

            Sayang, Sarmini bersikap dingin dan tak peduli. Mas Pranoto menyoba menyapa namun apa yang dilakukan itu sepertinya percuma sebab tak mencairkan kebekuaan Sarmini.

            “Dik,” Mas Pranoto menyapa dengan nada lembut pada istrinya itu.

            “Kita kan sudah menjadi pasangan yang sah.”

            “Yang haram sekarang menjadi halal.”

            “Saya sebagai suamimu sah untuk bersentuhan denganmu.”

            “Tetapi mengapa kamu tak peduli pada diriku.”

            Mendengar perkataan itu, Sarmini tetap membujur kaku. Ia tidak merespon sedikit pun. Mendapat kenyataan yang demikian, Mas Pranoto memberanikan diri untuk menyentuh punggung Sarmini. Saat disentuh, perempuan itu diam. Mas Pranoto semakin memberanikan diri dengan lebih aktif dan nakal. Apa yang dilakukan itu rupanya membuat Sarmini merasa risih sehingga ia menepis tangan laki-laki itu sambil mengatakan, “apaan sih.”

            “Saya nggak mau.”

            Mendapat respon yang demikian, Mas Pranoto merasa senang sebab istrinya itu sudah mengeluarkan kata-kata. “Kan kita sudah sah,” pria itu dengan pelan.

            “Jadi saya sah untuk memegangmu.”

            Meski sudah berulang kali mengatakan demikian Sarmini tetap diam dan tak menggubris. Sarmini sepertinya pasang harga mati pada Mas Pranoto. Sebab kesekian kalinya dirayu namun tak mempan maka itu semua membuat Mas Pranoto berang. Darahnya mulai mendidih.

            “Kamu itu gimana sih,” bentaknya.

            “Sudah dikasih enak tapi tetap tidak peduli!”

            “Orangtuamu sudah diberi tanah oleh orangtuaku!”

            “Jadi kamu sudah kami beli!”

            Walau sudah dikasari, Sarmini tetap diam, tak merespon. Hal demikian membuat darah Mas Pranoto sudah tak mendidih lagi namun menggelora sehingga ia langsung menubruk tubuh perempuan itu dan langsung menindih. Mendapat perlakuan seperti itu, Sarmini berontak, ia berusaha mendorong tubuh yang menidih itu agar menjauh darinya. Mendapat penolakan, Mas Pranoto semakin beringas. Di tengah pergumulan itu, tiba-tiba di depan rumah terdengar teriakan, ”hai, keluar kamu, orang PKI keluar.”

            Dari luar rumah itu tak hanya terdengar teriakan namun juga terdengar suara pintu digendor-gendor. Mendengar hal yang demikian Mas Pranoto kaget dan segera melepas dekapan tubuh Sarmini. “Ada apa ini,’ gumamnya dalam hati.

            Setelah mendengar teriakan lagi, “hai orang PKI keluar kamu!” Keringat dingin mengucur dari tubuh Mas Pranoto. “Orang-orang Ansor,’ gumamnya. Ia langsung keluar dari kamar dan sepertinya hendak bersembunyi namun di saat yang sama para pemuda Ansor menerobos masuk rumah. Mereka menggeledah isi rumah.

            Mas Pranoto yang tengah berada di ruang tengah dan hendak mencari persembunyian langsung diringkus. Para pemuda Ansor terus menyisir rumah itu. Pak Menggolo yang berada di dalam kamarnya yang tengah terlelap tidur tersentak saat pintunya didobrak. “Ada apa ini,” ujarnya kepada para pemuda yang mengepung itu.

            “Tidak usah banyak tanya,” ujar salah satu di antara pemuda itu.

            Mereka langsung menarik tubuh tambun itu dari ranjangnya dan menggelandangnya keluar. Sesampai di ruang tengah, Pak Menggolo melihat anaknya, Mas Pranoto, juga tengah mengalami hal yang sama. Diikat tangannya dan dikelilingi beberapa pemuda.

            Mendengar keributan itu, Sarmini cemas dan khawatir. Ia menduga apakah ada perampokan atau ada penculikan pada orang-orang PKI. Perampokan bisa terjadi sebab pemilik rumah adalah juragan beras yang kesohor orang kaya di desa itu. Entah perampokan atau penculikan orang-orang PKI, Sarmini berpikir dirinya harus menyelamatkan diri. Bila tidak meninggalkan tempat itu, jangan-jangan keselamatan dirinya terancam.

Ia merasa bersyukur di samping ranjangnya ada jendela. Dengan pelan-pelan jendela itu dibuka. Suara derit jendela terdengar lirih saat dibuka. Sarmini membuka pelan-pelan agar tidak terlalu dicurigai. Ia melongok keluar. Jarak antara jendela dengan tanah sekitar dua meter. Tak terlalu tinggi. Setelah dirasa aman, ia lalu melompat. “Bruukkk...” Dirinya jatuh ke tanah setelah melompati jendela.

Suara itu memancing seseorang pemuda Ansor yang berdiri di luar rumah. Tahu ada orang melangkah menuju padanya, Sarmini langsung berdiri dan segera berlari. Saat pemuda itu sampai di tempat dan melihat ada seorang perempuan berlari, ia kaget dan spontan berteriak, “hai, ada Gerwani.”

“Jangan lari....”

Pemuda itu sambil mengejar berteriak, “hai Gerwani, Gerwani, Gerwani...”

Arah Sarmini berlari banyak pepohononan dan semak belukar. Kondisi yang demikianlah yang bisa menolong dirinya dari kejaran. Ia terus berlari dengan tujuan entah ke mana dirinya tidak tahu.

****

Dalam hati Samiun muncul rasa iba setelah Sarmini menceritakan kisahnya itu. Ia merasa kasihan sebab gadis yang sekarang di depannya mengalami nasib yang tragis, menikah dengan pria yang tidak dicintai dan dituduh sebagai anggota Gerwani, organisasi perempuan yang sehaluan dan memiliki kedekatan dengan PKI.

Terlihat air mata Sarmini berlinang membasahi pipi. Tatapannya kosong. Ia bingung entah ke mana hendak pergi sebab pasti keluarganya dalam keadaan yang tidak aman. Suaminya dan mertuanya telah diciduk pemuda Ansor. Tuduhan kedekatan dengan orang-orang PKI, bisa jadi juga membuat Pak Sumoko, ayahnya, ikut keciduk.

Mendengar cerita tentang suami serta mertuanya yang telah diciduk membuat pikiran Samiun melayang di Kali Keyang. Ia saat itu mengamati salah seorang pemuda yang sepertinya terlihat cerdas tengah duduk di samping seorang yang telah berumur dengan tubuh yang tambun. Kedua orang itu adalah puluhan orang itu tengah antri untuk dipenggal lehernya oleh para jagal.  “Jangan-jangan itu Mas Pranoto dan Pak Menggolo,” gumamnya dalam hati.

Angan-angan Samiun lenyap saat sebuah ranting jatuh tepat di belakangnya. “Brukkkk...” Demikian bunyi ranting itu menghantam bumi.

“Terus kamu mau ke mana?” tanya Samiun pada Sarmini.

Mendapat pertanyaan itu, tatapan Sarmini kosong ia membisu namun tak lama kemudian ia menjawab, “saya tidak tahu mau ke mana.”

“Kalau saya kembali ke rumah, keselamatan jiwa saya terancam sebab saya sudah bersuami dan bermertua dengan kader aktif PKI.”

Setelah jawaban itu, suasana menjadi hening. Samiun bingung apa yang hendak dilakukan. Bila dirinya membawa Sarmini ke rumahnya, bisa-bisa ia juga dianggap orang PKI namun sangat tidak manusiawi kalau membiarkan ia menggelandang di hutan. Kedua hal tadi ditimbang-timbang dalam hatinya. Akhirnya ia mempunyai pilihan untuk membawa Sarmini ke rumah meski demikian ia harus menawarkan apakah ia mau.

“Sudikah kamu ke rumahku untuk beberapa hari,” ujarnya pada Sarmini.

“Setelah merasa aman kamu boleh meninggalkan rumahku.”

Mendapat tawaran yang demikian, Sarmini tak menjawab. Ia diam. Dirinya berpikir amankan bersama dengan pemuda yang menawari itu. Dirinya bimbang, bila ia tidak menerima tawaran itu, hidupnya mungkin akan lebih susah, tidak menentu, dan tidak ada tempat berlindung dari perubahan alam dan ancaman orang. “Ya aku mau ke rumahmu untuk berlindung.”

“Bila sudah aman, aku secepatnya akan meninggalkan rumahmu.”

Tak lama kemudian, kedua orang itu meninggalkan pohon besar yang berdiri tegak di hutan. Samiun mencari jalan pintas dan tak biasanya. Tujuannya untuk menghindari bertemu dengan orang. Setelah diselusuri akhirnya tiba di rumah, sebab jalan yang ditempuh tak biasanya, maka mereka tiba di bagian belakang rumah.

“Tunggu di sini,” ujar Samiun. Setelah itu dirinya menuju ke depan rumah. Kunci rumah hanya dipasang di depan sehingga dari pintulah ia keluar masuk bila hendak atau setelah bepergian jauh. Pintu itu dibuka dan ia segera masuk. Ia langsung menuju ke dapur untuk membuka pintu yang berada di belakang rumah. Kunci pintu belakang rumah itu terbuat dari pasangan kayu. Digesernya kayu yang mematok. Begitu terbuka, ia segera menyuruh Sarmini masuk. Sarmini yang berdiri tak jauh dari pintu itu langsung bergegas ke dalam.

***

            Samiun menyerahkan jarik dan beberapa pakaian wanita. Jarik dan beberapa pakaian perempuan itu bekas milik Mbok Siyo, ibunya. Meski sudah lama namun jarik dan pakaian itu masih cerah warnanya sebab oleh ibunya jarang dipakai. Jarik dan pakaian itu diberikan pada Sarmini agar ia berganti pakaian sebab pakaian yang dikenakan terlihat sudah kotor sebab sudah beberapa hari dikenakan.

            “Mandilah biar badanmu segar dan gantilah pakaianmu,” ujar Samiun.

            Sarmini mengangguk kemudian mengambil pakaian itu dan selanjutnya pergi ke mblandongan, kamar mandi. Suara gemericik air terdengar merdu saat Sarmini mandi. Samiun sendiri terlihat sibuk mempersiapkan makanan. Perutnya kosong setelah menempuh perjalanan dari Kali Keyang hingga rumahnya.

            Nasi putih masih tersedia, sayur terong cukup namun sudah dingin sehingga dirinya menghangatkan dulu agar terasa nikmat saat disantap. Sayur terong yang berada dalam panci itu diletakkan di atas tempat biasanya dirinya memasak. Tempat itu terbuat dari tumpukan tanah liat. Di tengahnya ada lubang untuk kayu-kayu sebagai bahan bakar.

            Api yang warnaya merah dan di ujungnya biru itu menjilat-jilat pantat panci. Kobaran itu mampu mendidihkan kuah sayur terong. Agar terong tidak melebur maka Samiun segera mengangkat panci itu. Perapian untuk menghangatkan sayur dirasa sudah cukup. Panci itu lalu diletakkan di atas meja berdampingan dengan nasi putih.

            “Mana lauknya?” pikir Samiun.

            Nasi putih dan sayur terong dirasa kurang bagi Samiun. Matanya melihat apa yang ada di dapur. Dilihatnya ada beberapa tempe terserak di lemari. “Itu dia,” gumamnya dalam hati. Tempe yang terserak diambil dan bungkusnya dibuka. Diambilnya sebuah piring. Di piring itu ditaburi garam dan selanjutnya dikucurkan air. Piring digoyang-goyang agar garam melarut. Setelah itu dicolek. Tangannya yang mencolek dimasukkan di dalam mulut, “sudah asin,” ujarnya. Selanjutnya tempe yang sudah dibuka itu dibasahi dengan air garam itu.

            Samiun pun mengambil wajan yang tergantung di dinding dapur. Diletakkan wajah yang terbuat dari besi di atas perapian. Di atasnya dikucurkan minyak goreng yang masih ada. Kobaran api yang menyulut dari bawah membuat minyak goreng bergolak, mendidih panas. Tahu hal yang demikian, Samiun langsung mengambil tempe yang ada di piring dan memindahkan di atas wajah, “sreeengggg....” Suara tempe saat berada di atas wajan dengan minyak goreng yang mendidih.

            Lumatan minyak goreng yang mendidih itu membuat tempe mentah yang berwana putih menjadi coklat. Agar tak menjadi gosong, Samiun segera mengangkatnya dari wajan. Seluruh tempe itu akhirnya matang dan siap saji. Tempe yang sudah matang itu diletakan di piring yang berada di antara nasi putih dan sayur terong.

***

            Saat Samiun duduk di kursi di samping meja makan, suara pintu mblondangan terbuka. Hal demikian menunjukkan Sarmini telah selesai mandi. Suara langkahnya terdengar. Tak lama kemudian ia masuk menghampiri Samiun. Samiun yang duduk membelakangi tak tahu Sarmini berada di belakangnya.

“Mas,” sapa Sarmini.

Mendengar sapaan itu, Samiun menoleh. Dirinya terperanjat perempuan itu berada di belakangnya dan lebih terperanjat melihat sosok yang ditemukan di hutan itu begitu cantiknya. Kulitnya yang tadi kusam karena dibalut oleh debu dan kotoran terlihat begitu kuning selepas dibilas oleh air.

“Mas,” sapanya lagi.

Samiun yang bengong melihat kecantikan Sarmini terhentak oleh sapaan yang kedua kalinya itu.

“Mas baju yang kotor ditaruh di mana?” Sarmini bertanya kembali.

Mendapat pertanyaan yang demikian, Samiun gelagapan. Ia kikuk di depan Sarmini. Kecantikannya membuat dirinya serba salah padahal sebelumnya Samiun biasa-biasa saja bahkan tak peduli saat ia bingung menentukan pilihan antara ikut ke rumah atau tidak.

“Di taruh di ember saja,” ucap Samiun.

Sarmini langsung menuju di mana ember itu berada. Selanjutnya ia duduk tak jauh dari Samiun. Samiun senang Sarmini duduk di dekatnya. Rasa laparnya berkurang saat ada perempuan cantik di sampingnya. Meski demikian perutnya terus menandakan perlu diisi. Tahu dirinya tidak sendiri, Samiun langsung menawari makan, “mari makan dulu.”

“Tapi sayur dan lauknya seadanya.”

Sarmini tersenyum menerima tawaran itu. Ia tidak mengatakan iya namun mengangguk. Samiun mengambil nasi, sayur, dan tempe selanjutnya memberikan sajian itu pada Sarmini. Selanjutnya Samiun mengambil sendiri nasi putih, sayur, dan lauk yang ada di depannya. Sebab mereka lapar, kedua orang itu menikmati makanan yang ada meski sederhana.

***

            Malam menjelang larut. Di ruang tengah ada Samiun dan Sarmini. Mereka tengah berbincang dengan serius. “Tadi siang aku sedang menyaksikan pembunuhan orang-orang,” ungkap  Samiun.

            “Para penjanggal itu membunuh dengan keji.”

            “Setelah dibunuh mereka dibuang begitu saja di sungai.”

            “Di antara mereka mungkin ada suami dan mertuamu.”

            Mendengar cerita yang demikian Sarmini hanya diam. Sepertinya tak ada raut kesedihan ketika disebut suami dan mertuanya menjadi korban penjanggalan itu. Ia tak bersedih sebab dirinya tak mencintai suaminya.

Sarmini hanya berpikir pada masa itu hanya ada dua pilihan, membunuh atau dibunuh. Pria yang sempat menjadi suaminya itu juga pernah melakukan hal yang sama, melakukan pembunuhan.

            “Ah, sudahlah mas,” ujar Sarmini dengan nada datar.

            “Biarlah semua terjadi. Kita tak bisa menghentikan tragedi ini.”

            “Di antara kita banyak yang menjadi korban meski tak ikut dalam konflik.”

            “Besok siapa yang akan dibunuh dan siapa yang membunuh, kita tak tahu.”

            Mendengar apa yang dikatakan Sarmini, Samiun diam. Ia membenarkan apa yang dikatakan itu. Pada masa itu, semuanya tidak menentu. Semuanya bisa berubah begitu cepat.

            “Mas malam sudah larut. Saya sudah mengantuk,” kata Sarmini dengan pelan.

            “Di mana saya boleh merebahkan diri?”

            “Badan ini terasa sudah capek.”

            Mendapat pertanyaan itu, Samiun gugup. Ia celingak-celinguk. Dirinya tak sadar bahwa rumah itu memiliki dua kamar. Satu kamar sekarang ditempati, satunya lagi kamar bekas tempat ibunya kosong sejak ia meninggal. Meski kosong kamar itu sering dibersihkan oleh Samiun.

            Saat celingak-celinguk itu, dirinya baru ingat, kamar ibunya kosong dan layak ditempati. Serta merta, ia mengatakan, “tidur di kamar yang itu ya.” Dirinya sambil menunjuk kamar yang dimaksud.

            “Silahkan kalau mau istriahat.”

            “Di kamar sudah ada selimut dan bantal.”

            Mendengar kamar itu masih layak dan perlengkapan ada, Sarmini tersenyum dan terlihat senang. “Maaf ya mas, saya sudah mengganggu.”

            “Saya menjadi tidak enak.”

            Apa yang dikatakan Sarmini membuat Samiun merasa tersanjung. Hatinya berbunga-bunga. “Oh nggak papa,” sahut Samiun.

            “Santai saja. Saya merasa senang sudah bisa membantu.”

            “Baiklah mas kalau begitu saya istirahat dulu,” balas Sarmini. Sarmini langsung bergegas menuju kamar. Pintu selambu yang ada dibuka dan selanjutnya diturunkan kembali untuk menghalangi pandangan.

            Saat perempuan itu sudah masuk ke dalam kamar. Samiun masih duduk di ruang tengah. Meski dirinya sudah lelah namun rasa capek itu belum membuat ia ngantuk. Pikirannya masih melayang ke kejadian tadi siang di mana puluhan orang dibabat mati secara kejam. Dirinya yang sebelumnya menjadi penggali kubur, pada siang itu pekerjaan yang demikian tidak dibebankan padanya. Sebab orang-orang yang dibunuh tidak perlu dimakamkan, mayat-mayat mereka dihanyutkan ke sungai.

            Di tengah lamunannya itu, tiba-tiba terdengar suara lengukan burung hantu. Burung hantu yang bertengger di pohon itu selanjutnya terbang. Suara kepakan sayapnya terdengar ringan.

            Burung hantu yang aktif di saat malam hari itu mengingatkan dirinya bahwa besok ia harus mengunduh buah pohon kelapa yang ada di ladangnya. Dari buah kelapa itulah dirinya bisa hidup. Buah pohon kelapa itu dijual ke pasar dan hasilnya digunakan untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Beban hidup Samiun bisa jadi tak berat sebab selama ini dirinya masih bujang. Semua penghasilan yang diperoleh selama ini digunakan untuk keperluan dirinya sendiri.

            Pikirannya yang bergentanyangan itu rupanya membuat dirinya mengantuk. Ia pun menguap. Agar tidak bangun kesiangan, Samiun langsung menuju kamar yang biasa ia tempati. Di kamar itu tubuhnya direbahkan di atas kasur yang sudah menipis kapasnya.

****

            Buah-buah pohon kelapa yang sudah diunduh oleh Samiun sudah dimasukan ke dalam keranjang. Dua keranjang yang terbuat dari jalinan bambu itu penuh dengan buah yang berbentuk bulat lonjong. Sebelum membawa ke pasar, Samiun masuk ke dalam rumah dan menemui Sarmini, “saya mau ke pasar, berdagang buah kelapa.”

            “Kamu jaga rumah ini.”

            Sarmini hanya mengangguk mendengar ucapan itu. Selanjutnya Samiun keluar rumah. Dua keranjang yang penuh dengan buah kelapa itu diangkat dengan sebilah batang bambu. Terasa berat di pundaknya namun sepertinya ia tak peduli. Kaki diayunkan dan selangkah demi langkah menghilang di jalan depan rumah.

            Sarmini menghela nafas panjang saat Samiun hilang ditelan rerimbunan semak dan pohon. Sarmini sepertinya merasa bebas setelah ditinggal laki-laki pemilik rumah. Dalam kesendiriannya itu ia melihat apa saja yang ada di rumah itu. Ia berjalan dari ruang tengah, kamar, hingga dapur. Sarmini merasa Samiun adalah orang yang sederhana. Semua peralatan ada di rumah itu meski tak sebagus barang yang dimiliki keluarganya.

            Di tengah kesendirian, dalam pikiran muncul untuk meninggalkan rumah itu. Pikirannya mengatakan, “saya tidak bisa lama-lama di sini. Terlalu lama di rumah ini bisa membuat aku menderita.” Ia beranjak dari kursi yang menyangga pantatnya. Ia mengemasi pakaian yang pernah dipakai dan dimasukkan ke dalam tas. Sebuah tas bekas yang tengah menggantung di dinding. “Biarlah pakaian yang diberikan laki-laki itu yang saat ini aku kenakan, aku bawa,” gumamnya dalam hati.

            Setelah merasa siap, perempuan itu menuju pintu keluar. Daun pintu dipegang dan selanjutnya digerakkan agar membuka, pintu terdorong hingga apa yang di luar bisa ditatap namun secara spontan ketakutan muncul, pintu segera didorong agar menutup rapat. Keringat dingin mengucur dari tubuh, wajahnya pucat.

            Apa gerangan yang membuat Sarmini merasa ketakutan? Rupanya ia melihat, di jalan depan rumah, beberapa puluh pemuda tengah menggelandang beberapa laki-laki dan satu orang perempuan. Para pemuda itu membawa pedang, klewang, dan clurit. Tak hanya menggelandang, para pemuda itu berteriak-teriak, “ini orang PKI, ini perempuan Gerwani.”

            “Kita tangkap mereka karena dulu suka merebut tanah dan memberontak.”

            “Selanjutnya kita penggal lehernya.”

            Setelah pintu itu dikunci, Sarmini berlari mencari tempat persembunyian. Ia berlari ke mblandongan, kamar mandi. Ia meringkuk di sebuah sudut tempat itu. Badannya menggigil. Setelah meringkuk bersembunyi di tempat itu, Sarmini secara pelan bangkit. Dalam hati bertanya, apakah di luar sudah aman atau belum. Senyap terasa, hal demikian membuat ia berpikir bahwa di luar sudah tak ada lagi gerombolan pemuda pencari orang-orang PKI dan pendukungnya.

            Rasa takut dan traumanya berusaha didepak dari jiwa. Setelah suasana dirasa aman, niat untuk kabur dari rumah masih menggelora. Ia segera melangkah menuju pintu keluar. Pintu pun dibuka, kakinya mulai melangkah keluar. Nafas panjang dihela sebagai bentuk dirinya bebas seperti orang yang keluar dari kungkungan. Jalan setapak yang menghubungkan rumah itu dengan jalan disusuri namun tiba-tiba keringat dingin mengalir dari tubuh, wajahnya pucat. Ketakutan yang demikian membuat darahnya berhenti mengalir sehingga kakinya susah digerakkan padahal ia ingin segera berlari.

            Perempuan itu berusaha agar aliran darahnya normal sehingga ia bisa menggerakkan kaki dan badan. Upaya yang dilakukan itu berhasil, begitu darah mengalir normal, kakinya langsung diayunkan secepatnya kembali ke rumah. Pintu dibuka lalu masuk ke dalam dan selanjutnya pintu ditutup rapat-rapat. Dengan buru-buru dan tergopoh-gopoh, ia masuk ke dalam kamar yang tadi malam ditempati. Badannya langsung diselusupkan di bawah ranjang.

              Apa gerangan yang membuat Sarmini merasa ketakutan? Rupanya ia melihat di rumah tetangga, ada gerombolan pemuda yang lain tengah menggendor-gendor sebuah rumah. Di tangan pemuda itu terhunus pedang, clurit, dan klewang. Di antara mereka juga ada yang membawa balok panjang. Pintu di rumah itu digendor dan berteriak, “hai PKI, keluar kamu.”

            “Rumah ini sudah dikepung.”

            “Orang-orang PKI akan ditangkap.”

            Sarmini selanjutnya tidak tahu apa yang terjadi di rumah itu sebab dirinya keburu lari menyelamatkan diri. Di tengah ketakutan yang membekap, dirinya mendengar suara puluhan kaki menuju rumah yang ditempati. Tak lama kemudian terdengar suara yang keras. Balok kayu membentur pintu berulang-ulang. “Duk, duk, duk,” begitu bunyi balok kayu itu menendang-nendang pintu.

            Suara benturan balok kayu dan pintu itu berhenti namun selanjutnya terdengar teriakan, “hai PKI keluar kamu.”

            “Tidak usah bersembunyi.”

            “Kita tahu di dalam ada seorang Gerwani.”

            Merasa keberadaan dirinya diketahui, tubuh Sarmini langsung lemas. Apa yang dialami itu mengulang peristiwa saat di rumah Pak Menggolo, di mana rumah itu didatangi puluhan pemuda dan selanjutnya menciduk Mas Pranoto dan Pak Menggolo. Peristiwa yang kedua kalinya membuat tatapan Sarmini menjadi kosong, badannya terkulai tak berdaya, dan nafasnya putus nyambung. Kejadian yang mencekam untuk kedua kalinya itu mengakibatkan dirinya seperti hidup di dua alam, mati atau hidup.

            “Akankah hari ini aku mati?” gumamnya dalam ruang pikirannya yang masih tersisa.

            “Mengapa mereka menuduh aku PKI atau Gerwani?”

            “Aku adalah orang yang membenci komunis tetapi mengapa saya malah dituduh menjadi bagian PKI.”

            “Aku tidak bersalah, aku bukan PKI.”

            Ruang yang tersisa dalam otak Sarmini memberontak. Sisa pikirannya seolah-olah hendak menjelaskan bahwa dirinya bukan orang yang dicari. Di tengah berkecamuk pikirannya masih terdengar suara teriakan dan gedoran agar dirinya keluar.

            Tiba-tiba suara hening. Di tengah suasana itu, terdengar suara, “oh kita salah, di sini bukan rumah orang PKI.” Selanjutnya puluhan pemuda itu meninggalkan tempat itu.

***

            Samiun melangkah meninggalkan pasar. Usai sudah jualan buah kelapa hari itu. Meski tak semua laku namun penjualannya sudah dirasa untung. Keuntungannya bisa dibelikan kebutuhan sehari-hari. Samiun berpikir karena ada Sarmini maka belanja kebutuhan harus ditambah. Ia membelikan kebutuhan lain yang diperuntukkan buat perempuan itu seperti handuk.

            Di tengah perjalanan pulang, dirinya merasa heran mengapa suasana desa terlihat sepi padahal di hari biasanya orang lalu lalang. “Ada apa ini?” batin Samiun berkata. Ia terus melangkah dan berjalan cepat agar segera tiba di rumah. Sesampai di pertigaan, di mana di tempat itu berdiri sebuah gubuk, terdengar suara orang memanggilnya, “Samiun, Samiun.”

            Panggilan itu membuat dirinya celingak-celinguk, siapa yang menyebut nama dirinya itu. Setelah memalingkan muka ke belakang, terlihat Nusiron. Nusiron menghampiri dengan buru-buru. “Ada apa mas?” Samiun lebih dahulu bertanya sebelum Nusiron menyapa.

            “Mas ikut kami,” jawab Nusiron dengan tegas.

            “Ke mana?” Samiun kembali bertanya.

            “Biasa, yang biasanya kamu diajak Pak Slamet,” papar Nusiron.

            “Walah,” gumam Samiun dalam hati dengan perasaan jengkel.

            Ajakan itu membuat Samiun harus ikut dengan para pemuda untuk menggali lubang besar untuk mengubur orang-orang PKI yang dibantai. Nusiron rupanya tahu kalau Slamet yang biasanya menjemput dirinya. “Terus ke mana Slamet,” gumamnya dalam hati Samiun.

            “Saya tidak membawa cangkul mas,” Samiun mencoba menolak dengan alasan seperti itu.

            “Halah, gampang. Di antara kita ada yang membawa cangkul,” papar Nusiron.

            “Lha buah kelapa dan barang belanjaku ini gimana?” Samiun kembali berkilah.

            “Ah, taruh saja di gubuk itu,” ujar Nusiron sambil menunjuk gubuk yang tak jauh darinya.

            “Kamu banyak ngomong,” ucap Nusiron dengan nada sinis.

            Samiun dengan ogah-ogah mengangkat keranjangnya ke gubuk itu. Sampai di gubuk, ia meletakkan di bagian pojok dengan tujuan untuk agar barangnya aman. Setelah barangnya teronggok di tempat itu, ia keluar gubuk dan menghampiri Nusiron.

            Melihat Samiun menghampiri, ia langsung mengatakan, “ayo jalan.”

            Samiun membuntuti Nusiron. Dirinya tidak tahu ke mana arah yang hendak di tuju. Sepertinya tempat yang dituju bukan di balik bukit atau di Kali Keyang dengan demikian ada tempat baru untuk mengubur orang-orang yang hendak dibantai itu. Di mana tempat baru yang akan dijadikan lubang masal, terjawab saat perjalanan dirinya mengarah ke Kuburan Bibis.

            Kuburan Bibis sebagai kuburan yang sangat luas, di tengah areal itu berdiri sebuah pohon besar, pucuknya menjulang, rantingnya bercabang ke mana-mana, dan daunnya tergantung musim, bila musim hujan rimbun pohon itu tapi bila musim kemarau, tak ada daun sehelaipun. Meski menjulang tinggi namun tubuhnya sudah rapuh, usianya sudah lebih dari 100 tahun, tak heran orang sering menyebut pohon itu seperti raksasa tua. 

            Konon di kuburan itu digunakan untuk membantai orang-orang komunis yang terlibat dalam Pemberontakan PKI tahun 1948 di Madiun.

            Samiun melihat ke kuburan, di tempat  itu sudah ada puluhan orang. Di antara mereka menenteng senjata tajam. Semua berkerumun berteduh di bawah pohon. Sinar matahari masih terasa menyengat sehingga pancarannya dihindari. Kedatangan Nusiron sepertinya ditunggu-tunggu, terbukti saat kedua orang itu datang, semuanya memberi salam. Nusiron sepertinya komando untuk melakukan pembantaian sehingga sebelum dirinya datang, pembantaian belum dimulai meski orang-orang yang hendak dibantai sudah digiring ke tempat itu sejak pagi.

            “Gimana mas acaranya?” tanya salah seorang di antara mereka.

            Nusiron memandang kerumunan pemuda itu. “Penggali kubur ketiga sudah ada, ya sudah kita mulai,” ujarnya.

Samiun sadar bahwa dirinya adalah penggali kubur ketiga. Berarti dua penggali kubur sudah ada sejak tadi. Samiun merasa senang ada penggali kubur yang lain sehingga hal demikian meringankan kerjanya. Ia membayangkan bila ia sendiri menggali tanah untuk dibuat lubang besar dan dalam. Berapa lama hal demikian bisa diselesaikan.

“Ayo kerja,” ujar Nusiron sambil melihat Samiun dan dua penggali kubur lainnya.

Dua orang segera bergegas menuju tanah kosong yang ada. Samiun ogah-ogahan melangkah. Tanah kosong itu berada di bawah pohon besar. Radius sepuluh meter dari tanah kosong itu, berjibun makam. Meski berupa tanah kosong namun semak berduri menjalar menutupi tanah yang di saat kemarau itu pada retak. Tak heran sebelum tanah itu digali, semak berduri itu ditebas. Clurit yang dibawa oleh dua penggali kubur, diayun-ayunkan untuk memotong semak berduri.

Setelah meleyapkan tumbuhan yang ada, para penggali kubur mengayunkan cangkul. Ayunan demi ayunan cangkul sedikit demi sedikit telah membuat bagian dari bumi itu menjadi sebuah lubang menganga. Hasil galian membuat tanah hitam menumpuk di sekeliling lubang itu.

“Sudah belum?” Nusiron berteriak menanyakan apakah pekerjaan menggali lubang sudah selesai.

“Sedikit lagi,” ujar salah satu penggali kubur itu.

Mereka mengayunkan kembali cangkul dan sebagaian memindahkan tanah ke luar lubang. “Sudah, sudah, ini sudah dalam,” ujar Samiun kepada dua penggali kubur lainnya.

“Kurang dalam mas,” ujar salah satu dari mereka.

“Nanti kalau dalamnya cuma segini, bisa digangsir oleh anjing-anjing liar.”

Samiun diam mendengar kata itu. Apa yang diungkapkan bisa jadi benar sebab beberapa waktu yang lalu, ada mayat yang digangsir oleh anjing liar. Penyebabnya kubur yang digali kurang dalam sehingga bau tak sedap muncul. Bau itu mengundang anjing-anjing liar untuk datang hingga cakarnya mengoyak-goyak tanah kubur dan selanjutnya menyeret mayat yang masih terbungkus kafan putih dari liang lahat.

“Gimana mas?” tanya penggali kubur itu.

Pertanyaan itu membuyarkan lamunan Samiun yang membayangkan peristiwa yang menggegerkan desa.

“Lanjut kalau begitu,” kata Samiun.

Mereka bertiga gotong royong kembali memperdalam lubang yang sudah menganga itu. Waktu pun sudah semakin sore. “Sudah belum?” Nusiron kembali bertanya.

Ketiga penggali kubur itu saling pandang dan selanjutnya mengangguk sebagai tanda bahwa tanah yang mereka keruk sudah selesai. “Sudah,” jawab Samiun.

“Kalau sudah, kalian minggir,” balas Nusiron.

Ketiga orang itu keluar dari lubang dan selanjutnya menjauh dari tempat yang akan dijadikan untuk kuburan massal.

***

            Duduk di bawah pohon waru, Samiun dan dua penggali kubur lainnya melihat satu per satu orang yang tangannya diikat itu digelandang menuju ke tepi lubang kubur yang digalinya. Mereka dipaksa untuk duduk dengan kepalanya dicondongkan ke depan, menghadap lubang, setelah posisi yang demikian, para janggal yang ada langsung mengayunkan pedang tepat ke leher sehingga antara kepala dan badan terpisah.

            Begitu kepala itu lepas, darah muncrat dengan deras dari leher. Serta merta badan orang yang dipenggal itu didorong jatuh ke lubang menyusul kepala yang sudah berada di dalam. Tak heran lubang itu tak hanya disesaki oleh badan-badan tanpa kepala namun juga dibanjiri oleh darah segar.

            Menjelang maghrib, pembantaian massal itu selesai.

            “Hai kamu ke sini,” ujar Nusiron kepada tiga penggali kubur itu.

            Mereka menghampiri dan tahu apa yang mesti dikerjakan.

            “Uruk lubangnya,” perintah Nusiron.

            Biar tugas mereka cepat selesai, ketiga orang itu langsung memindahkan tanah basah bekas galian ditimbunkan kembali ke dalam lubang. Samiun hampir muntah melihat tubuh-tubuh yang berserakan tanpa kepala dengan darah menggenangi lubang kubur. Agar pandangan itu cepat hilang, ia mempercepat memindahkan tanah ke lubang itu. Ayunan demi ayunan cangkul memindahkan tanah hingga akhirnya menutup mayat-mayat itu. Agar tak digangsir oleh anjing-anjing liar, salah satu penggali kubur memadatkan tanah dengan diinjak-injak.

            Setelah dirasa padat, sisa tanah diurukkan kembali hingga akhirnya membentuk tanah yang menggunung. Tanpa sepengetahuan Nusiron, Samiun meletakkan batu besar di atas gundukan tanah itu. “Untuk tetenger, tanda,” ujarnya.

            Setelah prosesi penguburan selesai, Nusiron memberi kode kepada semua bahwa acara itu selesai. Mereka bubar dan meninggalkan tempat itu. Para penggali kubur itu ditinggalkan begitu saja, tak ada ucapan terima kasih, apalagi upah.

****

Dengan jalan gontai, akhirnya Samiun tiba di rumah. Diketuk pintu rumah itu. Tak ada jawaban. Diulangi lagi, hasilnya serupa, tak ada respon. Sebab itu rumahnya sendiri maka dirinya memberanikan diri masuk ke dalam rumah. Di dalam tak dijumpai siapa saja.

“Ke mana Sarmini,” ujarnya dalam hati.

“Sar, Sar, Sar,” ia memanggil perempuan yang sudah beberapa hari tinggal di rumahnya. Ia berjalan mondar-mandir di rumahnya sendiri. Di ruang-ruang yang ada, tak seorang pun ditemukan. Hal demikian membuat badan Samiun yang sudah lelah bertampak capek. Ia duduk di kursi ruang tengah. Di saat dirinya menikmati istirahat, tiba-tiba dari kamar yang ditempati Sarmini terdengar suara mendesis. Telinga Samiun masih tajam. Dirinya heran suara apa itu. Sebelumnya kamar itu sudah ditengok namun kosong.

Dengan mengendap-endap ia melangkah menuju ke kamar itu dan mengecek apa yang terjadi. Sesampai di depan pintu kamar, kain yang menutup dibuka. “Tak ada siapa-siapa,” gumamnya. Matanya menyorot sudut-sudut kamar. Hanya foto lama dan gantungan baju dilihat yang berada di dinding.

“Apa ada setan?” pikirannya menerawang jauh.

“Ah nggak mungkin,” batinnya menentramkan diri.

Ia kembali ke ruang tengah. Di saat badannya sudah memunggungi kamar itu, tiba-tiba ia mendengar kembali suara aneh itu. Dengan ragu-ragu, Samiun membalikkan badan. Keringat dingin mengucur dari tubuh. Pikirannya sudah ke mana-mana, “apa di kamar ini ada penghuninya,” gumamnya. Istilah penghuni biasanya terkait dengan makhluk halus.

Dengan rasa takut yang sudah mulai ada dalam benaknya, ia tetap memberanikan diri. Untuk menenangkan perasaan, ia membaca Ayat Kursi. Kamar itu dimasuki dan berjalan pelan menyusuri ruangan. Mulutnya tetap komat-kamit. Di saat demikian, dirinya mendengar suara nafas berada di bawah tempat tidur. Hal demikian membuat jantung semakin berdetak cepat. Wajahnya pucat. “Apa dan siapa?” ujarnya lirih.

Kaki semakin berat untuk melangkah saking takutnya. Samiun berusaha untuk menguasai diri. Setelah keadaan mulai terkendali, ia ingin tahu apa dan siapa di bawah tempat tidur kayu itu. Mulutnya komat-kamit membaca doa agar perasaannya menjadi berani. Ia merunduk dan selanjutnya menengok ke bawah kolong tempat tidur.

Dirinya kaget begitu tahu Sarmini membujur di tempat itu. Terlihat wajahnya pucat, tubuhnya kaku, bibirnya bergetar, dan keringat dingin membasahi. “Sarmini,” kata Samiun dengan lirih. Sarmini bisa memandang Samiun namun tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Samiun sadar perempuan itu masih menyimpan nyawa. Sepertinya ia mengalamai suatu peristiwa hingga membuat dirinya berada di tempat itu.

Samiun pun segera menolong Sarmini. Dengan pelan-pelan ia menjamah tubuh perempuan itu dan selanjutnya dibawa ke tempat yang terbuka agar udara segara masuk ke tubuhnya hingga jiwanya menjadi lebih kuat.

Tubuh Sarmini direbahkan di kursi panjang ruang tengah. Direbahkan di tempat itu selain agar mendapat angin segar juga untuk menghilangkan rasa curiga bila dirinya merawat Sarmini di kamar. Samiun tahu tubuh itu lemas sebab berada dalam ruang pengap dan juga karena kurang asupan makanan dan minuman.

Dirinya bergegas menuju ke dapur untuk membuat teh hangat. Tak seberapa lama, minuman campuran gula dan daun teh itu telah digenggamnya. Dibawa minuman yang berada dalam gelas itu ke ruang tengah di mana Sarmini terbaring. Dengan menggunakan sendok, teh manis hangat disuapkan ke mulutnya. Mendapat suapan itu, mulutnya merespon dengan cepat. Hal demikian menunjukkan tubuh Sarmini kekurangan daya sehingga harus segera diisi.

Sendok demi sendok teh, telah disuapkan ke mulut Sarmini. Seiring itu pula, tubuhnya mulai bugar. Untuk lebih memulihkan tenaga, Samiun pergi ke dapur. Semua kebutuhan barang sehari-hari yang dibeli dari pasar, diambil dari keranjang. Selanjutnya dimasak. Sebab Samiun sudah terbiasa memasak maka ia cekatan meramu sayuran, telur, dan tempe yang dibeli. Sambil meramu produk hewan dan tumbuhan tadi, beras yang dibeli juga ditanaknya.

Sekitar sejam Samiun beraktivitas di dapur, akhirnya nasi, sayuran, dan lauk pauk tersaji di meja. Makanan yang ada itu mengundang selera orang yang melihatnya. Setelah siap disantap, Samiun menghampiri Sarmini dan mengajak makan. Sarmini yang badannya sudah bugar karena asupan teh hangat, dirasa mampu untuk bangun dari tidurnya.

“Mari makan agar tubuhmu lebih segar dan sehat,” ujarnya Samiun.

“Sudah nggak usah malu, kamu kan sudah tinggal di sini beberapa hari.”

“Kalau tidak makan nanti sakit lagi lho.”

Entah karena lapar atau perkataan Samiun yang mengingatkan dirinya bila tak makan bisa jatuh sakit, hal itu membuat Sarmini bangkit dari tidurnya dan bergegas menuju meja makan. Di samping meja makan telah ada Samiun. Tahu Sarmini menuju meja makan, Samiun merasa senang. Dengan demikian, Sarmini sudah mau mendengar apa yang dikatakan. Selama ini ia hanya mengangguk atau tersenyum ketika dirinya bicara.

Setelah kedua orang itu duduk berhadapan, Samiun mempersilahkan Sarmini lebih dahulu mengambil nasi, sayuran, dan lauk pauk. Nasi putih dikeduk sebanyak dua centong, selanjutnya sayuran dan lauk juga diambilnya. Di piring Sarmini sudah tersaji makanan yang lengkap, tak lama kemudian, makanan itu disantapnya.

Samiun juga melakukan hal yang sama, mengambil nasi serta lauk pauk dan sayurannya. Ia juga langsung menyantapnya. Entah makanan itu terasa enak atau kedua orang itu lapar berat, tanpa basa-basi kedua orang itu menambah makannya.

***

Usai sudah santap makan itu. Sebenarnya Sarmini hendak membereskan piring serta sisa makanan yang ada namun keinginan itu dicegah oleh Samiun. Dirinya tahu Sarmini sudah pulih dari sakitnya tetapi Samiun masih khawatir akan ketenangan jiwanya.

“Jangan, biar saya,” kata Samiun saat Sarmini hendak membersihkan apa yang ada di meja itu.

“Duduk saja di ruang tengah. Biar saya yang membersihkan.”

Satu persatu apa yang ada di meja itu dipindah. Piring kotor dibawa ke tempat cucian, sedang sisa makanan yang masih ada di masukkan ke dalam lemari. Sisa makanan yang ada itu tidak dibuang namun bisa dimakan untuk esok hari.

Suara kecipak air terdengar saat Samiun membersihkan piring-piring kotor.  Dibilasnya piring-piring itu dengan sabun agar bersih. Bilasan itu membuat piring menjadi kinclong. Setelah itu diangkatnya dan ditempatkan di rak.

Selesai mencuci piring, basah di tangan Samiun dikeringkan dengan menyapukan kain. Kain bersih namun sudah kumal itu digunakan untuk mengeringkan sisa-sisa air yang menempel. Beres sudah kegiatan Samiun di dapur malam itu. Selanjutnya ia melangkah menuju ke ruang tengah. Di ruang itu terlihat Sarmini sedang duduk. Perempuan itu duduk dengan tenang.

Begitu tahu Samiun datang, Sarmini tersenyum. Ia menggeserkan posisinya. Cara itu menunjukkan agar ia bisa duduk di tempat itu. Benar dugaan Sarmini, pria itu duduk tak jauh darinya.

Setelah meletakkan pantatnya di kursi, Samiun menyapa, “bagaimana keadaanmu sekarang?”

Pertanyaan itu langsung dijawab, “baik mas.”

Suasana selanjutnya hening. Dalam keheningan itu, Samiun langsung teringat saat dirinya masuk rumah dan tidak menemukan Sarmini hingga akhirnya perempuan itu dijumpai dalam keadaan membujur di kolong tempat tidur.

Mengapa bisa demikian? Itulah yang akan ditanyakan Samiun pada Sarmini.

“Apa yang membuatmu membujur di kolong tempat tidur?” tanya Samiun.

Mendapat pertanyaan itu, wajah Sarmini berubah. Wajahnya yang tenang berganti menjadi tegang. Semburat rasa takut menjalar di raut mukanya yang ayu. Tangannya yang gemulai terlihat menjadi tegang. Nafasnya terasa berat dan tatapan matanya menjadi tajam.

“Ceritakan apa yang terjadi,” kata Samiun dengan nada pelan.

“Biar aku tahu apa yang terjadi pada dirimu.”

“Bila aku tahu apa yang terjadi, aku akan menjagamu.”

Apa yang dikatakan itu membuat wajah Sarmini yang awalnya tegang menjadi mengendor, badannya terlihat sudah tak kaku. Ditatap wajah Samiun dan Sarmini pun menceritakan apa yang terjadi siang tadi di mana ada puluhan pemuda sedang mencari orantg-orang PKI di rumah-rumah yang ada. Operasi penangkapan para pemuda terhadap orang-orang PKI itu berhasil dengan digelandangnya mereka.

Operasi penangkapan yang dirasa sudah selesai, rupanya belum berakhir hingga akhirnya rumah yang didiami juga disantroni. Suara ribut, gemuruh, dan ancaman meneror Sarmini yang berada di dalam. Hal demikian membuat dirinya takut luar biasa. Status sebagai istri Mas Pranoto, anggota PKI aktif, bisa membuat dirinya diciduk meski secara asal-usul diri dan keluarganya bukan dari partai berlambang palu dan arit itu.

Untuk menghindari salah tangkap itu, dirinya bersembunyi hingga di bawah kolong tempat tidur. “Syukur di antara pemuda itu ada yang mengatakan, di sini bukan rumah orang PKI,” tutur Sarmini dengan nada pasrah.

Mendengar apa yang diceritakan itu, Samiun jadi mafhum. Apa yang diungkapkan itu nyambung dengan apa yang dialami saat dirinya pulang dari pasar. Di mana dirinya dicegat oleh Nusiron untuk diajak ke Kuburan Bibis. Di kuburan itu sudah ada orang-orang PKI yang hendak dibantai. “Merekalah orang-orang yang diciduk para pemuda siang tadi di sekitar rumah ini,” gumam Samiun.

“Terlalu jauh saya melihat orang-orang PKI itu sehingga saya tak mengenal siapa-siapa mereka.”

“Bisa lebih dari dekat namun kepala-kepala mereka terbenam oleh genangan darah yang tinggi.”

“Kalau Sarmini tertangkap, bisa jadi ia akan dibantai di kuburan itu dan aku akan menguburnya.”

Oh tidak.”

“Posisi yang demikian akan membuat aku menjadi serba salah. Bila aku menolongnya pasti akan akan disebut bagian juga dari PKI dan akan dipenggal kepalaku. Tetapi kalau tak menolong, di mana nurani dan cintaku pada Sarmini. ”

 

****

            Hari itu Samiun tidak pergi ke pasar. Tidak pergi ke pasar bukan karena malas namun pasar di desa itu tidak setiap hari buka. Hanya pada legi, kliwon, dan pahing pasar itu ada aktivitas. Kesempatan yang demikian digunakan untuk mengurus kambing yang dimiliki. Kambing dua ekor, jantan dan betina, itu dibeli dari uang yang dikumpulkan dari menjual buah kelapa.

            Dua ekor kambing itu dikandangkan di belakang rumah. Kandang itu terbuat dari kayu dengan atap dari rumbai daun kelapa. Setiap sore, Samiun ngarit, mencari rumput, dan daun-daun segar di hutan yang tak jauh dari rumahnya untuk memberi makan kepada hewan berkaki empat itu.

            Dirinya berharap agar dua pasang kambing itu segera kawin, dengan perkawinan itu maka hewan ternak yang dipelihara bisa beranak pinak. Bila beranak pinak maka jumlah kambing yang dimiliki bisa bertambah. Bila sudah cukup umur, kambing yang dimiliki bisa dijual. Dari sinilah Samiun bisa memperoleh penghasilan yang lain.

            Di depan kandang, pria itu sedang mengaduk-ngaduk makanan yang tersisa. Rumput dan daun hijau yang berada di tempat pakan masih tersisa cukup. Sisa pakan yang ada tidak bisa disantap sebab leher kedua kambing itu terlalu pendek untuk bisa menjangkau makanan yang berada di bawah. Dengan diaduk itulah pakan yang tersisa terangkat. Begitu terangkat, pakan itu langsung disamber hewan bertelinga lebar itu.

            Samiun gembira saat melihat kambing-kambing itu berebut pakan. Hatinya senang, dengan rakus makan membuat binatang yang suka mengembik itu akan bertambah bobotnya. Bertambah bobot berarti bertambah nilai jualnya.

            Puas mengurus hewan ternak, Samiun beranjak meninggalkan kandang. Ia melangkah menuju ke ruang tengah. Sesampai di ruang yang tersedia meja dan kursi itu, Samiun duduk di salah satu kursi yang ada. Secangkir kopi tersungguh di atas meja. Begitu tahu ada minuman kesukaannya, ia langsung mengeluarkan rokok klobot di kantung celana. Rokok itu bikinan sendiri. Hanya bermodal membeli tembakau di pasar. Sedang bungkusnya diperoleh dari daun jagung. Daun jagung itu dijemur di terik matahari agar keras. Semakin keras semakin enak.

            Racikan tembakau ditabur di atas daun jagung dan selanjutnya digulung serta diikat dengan tali, jadilah rokok. Sebatang rokok ujungnya dimasukkan ke dalam mulut. Tangannya memegang korek, menghidupkan sumber api, lalu menyulutkan di ujung rokok. Dihisap kuat-kuat agar api memanggang ujung rokok. Apa yang dilakukan itu berhasil, titik api sudah terlihat di ujung rokok. Seketika itu Samiun menikmati gurihnya tembakau jawa itu.

            Asap membumbung dan bunyi kemretek rokok akibat dihisap. Pikirannya menjadi ringan setelah nikotin, senyawa candu, yang ada dalam tembakau mengalir dalam darah. Akibatnya ia tak putus-putus menghisap rokok buatan tangan sendiri.

            Di tengah asyik menikmati candu, tiba-tiba terdengar suara sepeda motor masuk ke halaman rumah. Dirinya tak peduli ada sepeda motor masuk ke halaman rumah. Pikiraannya mengatakan, “biarin saja.” Setelah sepeda motor itu berhenti tepat di depan pintu rumah, penunggangny, Slamet, turun. Slamet berpakaian lengkap sebagai Babinsa. Dengan langkah tegap ia masuk ke dalam rumah.

            “Un,” sapa Slamet dengan suara keras.

            Tahu Slamet berada di depannya, Samiun yang tengah asyik mencandu gelagapan. Ia segera mematikan rokoknya. Ditekan ujung rokok yang masih menyala ke lantai tanah. “Eh Pak Slamet,” ujarnya dengan nada buru-buru.

            “Tumben pagi-pagi datang ke rumah.”

            Tanpa disuruh duduk, Slamet langsung meletakkan pantat di kursi yang ada. Sorot matanya tajam memandang Samiun. Dipandang demikian membuat Samiun menjadi takut. “Pak, saya ambil cangkul di belakang ya,” ujarnya Samin sambil gemetar.

            “Buat apa ambil cangkul?!” tanya Slamet dengan nada tinggi.

            “Kan kalau Pak Slamet ke sini biasa kan saya disuruh membawa cangkul dan diajak ke tempat pembantaian untuk jadi penggali kubur,” balas Samiun.

            “Hussss!..,” Slamet menghardik.

            Dihardik, Samiun menjadi mengkerut.

            “Begini Un, “ ujar Slamet memecahkan kebekuan suasana.

            “Ada istri anggota PKI aktif, Mas Pranoto, yang katanya lari ke desa ini.”

            “Pasti dia aktif di Gerwani.”

            “Mereka belum kepenggal kepalanya atau ditangkap.”

            “Bila ia masih berkeliaran dan hidup, itu sangat membahayakan.”

            “Ia bisa menyebarkan paham komunis dan menghasut masyarakat.”

            Slamet menggambarkan ciri-ciri perempuan yang disebut. Mendengar ciri-ciri yang disebut, Samiun langsung tersentak. Ia tahu bahwa perempuan yang dimaksud adalah Sarmini.

            “Untuk itu kita cari Un,” ujar Slamet. Apa yang diucapkan itu memutus bayangannya pada sosok Sarmini.

            “Iya pak,” balas Slamet.

            “Lalu tugas saya apak?”

            “Ya kalau bertemu dengan perempuan itu, tangkap dan bawa ke saya,” jawab Slamet.

            Entah mengapa, di saat perbicangan serius antara Samiun dan Slamet, tiba-tiba Sarmini melintas. Munculnya sosok perempuan itu membuat Slamet langsung sigap, diawasinya dari ujung kaki sampai kepala. Sarmini melintas di depan mereka setelah selesai mandi.

            “Siapa itu Un?” tanya Slamet dengan nada tegas.

            Mendapat pertanyaan itu Samiun bingung, apa yang harus dikatakan. Jujur atau bohong yang harus dikemukakan. Bila jujur pasti akan membahayakan keselamatan jiwa Sarmini. Bila bohong pasti itu perbuatan dosa. Suatu hal yang selalu dilarang dalam setiap khotbah Kiai Imron, kiai masjid desa. Samiun masih diam, belum menjawab.

            “Heh kamu dengar nggak apa yang saya tanyakan!” Slamet membentak Samiun.

            Samiun terperanjat. “Iya, iya pak saya dengar,” ucapnya.

            “Dia namanya Siti Nurjanah. Ia istri saya,” Samiun menerangkan siapa perempuan yang tadi melintas di depan mata Slamet.

            Mendengar perkataan yang demikian, Slamet matanya melotot dan menyorot tajam ke wajah pria yang berada di depannya. Sepertinya ia tak percaya Samiun telah menikah.

            “Istrimu? Memang kapan kamu menikah?” tanya Slamet dengan nada ketus.

            “Dua hari yang lalu pak,” jawab Samiun.

            “Saya tidak mengabarkan kepada yang lain karena suasana desa masih tegang.”

            “Jadi hanya ijab-qabul saja.”

            “Dia gadis dusun pak dan tidak tahu apa-apa.”

            “Rumahnya tidak jauh dari langgar, surau.”

            Mendengar penjelasan yang demikian, Slamet manggut-manggut dengan tatapan tajam. “Benar katamu itu?” Slamet menegaskan kembali.

            Samiun menganggukkan kepala.

            “Awas kalau kamu bohong,” Slamet mengancam.

            “Kamu yang nggak ganteng, masak dapat istri secantik itu.”

            Bibir Samiun menyungging senyum.

            “Ya sudah kalau begitu,” ucap Slamet. Ia langsung beranjak dari duduknya dan ngeloyor pergi meninggalkan Samiun. Samiun membuntuti pria itu hingga keluar rumah. Setelah sepeda motor yang ditunggai Babinsa itu menghilang dari rumahnya, Samiun langsung menutup pintu rumahnya rapat-rapat.

***

            Di hadapan Samiun ada Sarmini. Mereka berhadapan karena duduk pada kursi yang berlawanan arah. Selepas bertemu Slamet, Samiun segera memanggil Sarmini. Ia diajak bertemu untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi.

            “Sar, tadi Pak Slamet, Babinsa datang ke sini,” ujar Samiun.

            Ia menjelaskan panjang lebar pertemuan itu. Mendengar penjelasan itu wajah Sarmini menjadi tegang bercampur hambar. Tegang karena dirinya dicari-cari oleh orang-orang yang ingin menangkap atau membunuhnya. Hambar sebab dirinya diaku oleh Samiun sebagai istrinya. Meski Samiun telah menolong dirinya selama ini namun hatinya belum  menaruh hati dan harapan pada pria itu.

            Sarmini bingung apa yang mesti dilakukan. Bila melarikan diri dari rumah, bahaya akan mengancam. Bisa-bisa saat di jalan, ia ditangkap oleh para pemuda atau militer dan selanjutnya entah diapakan. Namun bila ia tetap bertahan di rumah itu, untuk menyembunyikan dan menyelamatkan diri, ia harus hidup dengan Samiun dalam ikatan yang sah.

            Sarmini diam dan belum bersikap. Samiun juga demikian, diam, tidak berani menanyakan sikap Sarmini atas pengakuan bahwa ia adalah istrinya. Di tengah suasana beku, tiba-tiba perempuan cantik itu ngeloyor meninggalkan ruang tengah dan menuju ke kamar.

            Samiun hanya bisa menarik nafas dalam-dalam.

            “Entahlah,” gumamnya dalam hati.

            “Saya hanya ingin menolongmu Sarmini.”  

***

            Pagi itu Samiun buru-buru ingin ke pasar. Semua barang yang biasa dibawa sudah siap. Satu hal yang belum dilakukan adalah mandi agar tampilan saat di pasar terasa segar dan menarik. Untuk itu ia bergegas menuju ke tempat di mana ia biasa membersihkan badan dengan guyuran air segar, mblandongan.

            Handuk yang tergantung di tali yang melintang disambarnya dan dikalungkan di leher. Dengan berjalan mantap ia menuju mblandongan. Pintu kamar mandi terlihat tertutup. Ia mendorongnya agar bisa masuk ke dalam. Dorongan itu membuat pintu terbuka dan dirinya pun sudah berada di dalam.

            Betapa kagetnya di dalam telah berdiri Sarmini tanpa dibalut sehelai kain pun. Tubuh perempuan itu begitu indah. Tinggi, langsing, berkulit kuning. Kesempurnaan itu bertambah dengan wajah Sarmini yang ayu dan rambut terurai panjang. Melihat hal yang demikian, darah Samiun mengalir begitu deras, jantungnya berdetak begitu kencang. Darah itu mengalir ke seluruh organ yang ada.

            Sarmini diam, tidak berteriak, malah terlihat ia tersenyum dan mendekati Samiun. “Tenang saja mas,” ujarnya dengan lirih. Mendapat respon yang demikian, naluri laki-laki Samiun muncul. Ia membalas respon ramah Sarmini seperti kambing jantan yang dimiliki sedang birahi kepada kambing betina.

            Entahlah apa yang terjadi di mblandongan itu. Selama setengah jam hanya terdengar suara desah dan deru nafas. Niat Samiun untuk segera pergi ke pasar terhalang oleh kegiatan yang tak pantas bagi orang yang belum resmi menjalin hubungan suci.

            Desah suara dan deru nafas terhenti saat mereka berangkulan dengan tubuh mengejang. Setelah berpelukan beberapa saat, akhirnya mereka saling melepaskan pelukan itu. Keringat membasahi tubuh mereka. Ada cairan lain yang menempel di tubuh. Mereka pun bergantian membersihkan diri dengan air yang mengucur.

            Selepas bersih tubuh dari keringat dan cairan yang lain, Samiun menggunakan pakaian bersih dan selanjutnya pergi ke pasar untuk berdagang.

***

Di ruang tengah, Sarmini duduk sendirian. Di rumah itu hanya ada dirinya sendiri. Dalam termenung, air matanya mengalir. Sepertinya ia menyesali apa yang telah dilakukan di mblandongan tadi. “Aku sudah melakukan sesuatu tak pada tempatnya,” gumamnya dalam hati.

Air mata semakin membasahi pipinya. “Apa yang terjadi pada diriku?” ucap Sarmini dengan diiringi sesunggukan tangis.

“Aku kalut dalam hidup sehingga jiwa dan pikiranku menjadi labil.”

“Aku berada di antara hidup dan mati.”

“Aku yang tak tahu apa-apa soal PKI kok dituduh menjadi bagian dari PKI.”

“Dari perkawinan yang tak aku inginkan dengan Mas Pranoto, telah mengubah semua jalan hidupku.”

“Demi selamat dari pembunuhan, aku melakukan sesuatu yang tak aku inginkan.”

“Aku harus berpura-pura menikah dan aku sekarang menjadi Siti Nurjanah,” dirinya tersenyum di tengah tangisnya.

Dalam termangu, Siti Nurjanah tersenyum dan menangis. Tersenyum karena dirinya bisa selamat dari pembantaian. Menangis karena hidup dalam bukan pilihannya.

****

Pekan-pekan ini Siti Nurjanah terlihat sering kelelahan. Tak heran bila dirinya sering terlihat duduk atau rebahan di kursi ruang tengah. Tak hanya itu, Siti Nurjanah sering kedapatan muntah. Rasa mual yang berlebihan itu membuat dirinya sering keluar rumah atau mblandongan untuk melepeh, muntah, membuang, makanan yang sudah dimakan.

Perubahan pada dirinya seperti demikian menunjukkan Siti Nurjanah Hamil. “Aku hamil?” pertanyaan itu menggumam dalam hatinya dengan nada datar. Biasanya seorang ibu hamil pasti senang dan gembira namun hal demikian tak dirasakan oleh Siti Nurjanah. Wajahnya tetap datar, tak ada goresan kegembiraan.

“Ya sudahlah aku jaga janin ini sampai lahir sebagaimana mestinya.”

            Mendengar kehamilan itu, Samiun bergembira. Dikabarkan kepada tetangga bahwa istrinya tengah hamil. Mendengar kabar yang demikian, para tetangga malah bertanya, “kapan kamu menikah, kok tiba-tiba memberi kabar istrimu hamil.”

            Mendengar pertanyaan yang demikian, batin dan pikiran Samiun langsung tersontak. Dalam hati membenarkan apa yang ditanyakan oleh para tetangga. Dirinya memang belum resmi menikah dengan Siti Nurjanah. Siasat untuk mengelabui Slamet agar perempuan yang serumah dengan dirinya selamat dari pembantaian dengan mengatakan bahwa itu ia istrinya rupanya menjadi kenyataan.

            Pertanyaan dan kecurigaan dari para tetangga terhadap status hubungannya dengan Siti Nurjanah dijawab Samiun dengan mengatakan, “pak lik, bu lik, mas, lan mbak,  saya sudah menikah dengan Siti Nurjanah beberapa waktu yang lalu.”

            “Bagaimana saya memberi kabar kalian, lha wong rumah sampeyan pada tertutup semua.”

            Mendengar apa yang disampaikan itu, ada yang percaya, ada pula yang tidak.

            “Yo wis nekno, ya sudah kalau begitu,” ujar tetangga yang percaya.

            “Memang saat itu saya sedang mengungsi biar nggak keciduk kayak orang-orang PKI.”

            “Ojo ngapusi, iku ora apik, jangan berbohong, itu tidak baik,” kata yang tidak percaya.

            “Aku lak tonggo cedak karo awakmu, saya kan tetangga dekat denganmu, masak tidak mendengar kalau kamu menikah.”

            Ada yang percaya dan tidak akan status hubungannya dengan Siti Nurjanah, diacuhkan oleh Samiun. “Biarlah mereka omong apa saja yang penting saya bahagia bisa hidup bersama Siti Nurjanah.”

            “Kehamilan istri saya membuat saya bahagia.”

            Sejak perempuan yang disebut istrinya itu hamil, Samiun tambah semangat bekerja. Ia giat bekerja agar bisa memberi makan pada istrinya secara lebih. Kehamilan istrinya tentu membutuhkan asupan makanan yang tak biasa, perlu makanan tambahan, buat tubuh Siti Nurjanah dan janin yang dikandung.

            Samiun tak sekadar berjualan buah kelapa di pasar namun dirinya juga sering duduk di pintu gerbang kuburan orang China, ngebong. Di tempat itu bersama penggali kubur yang lain menunggu kalau ada orang Pecinan yang meninggal dunia. Bila ada orang Pecinan yang meninggal dunia maka mereka diberi pekerjaan menggali lubang kubur. Dari situ mereka akan diupah. Hasil upah dari menggali liang lahat di ngebong lumayan buat menambah pendapatan sehari-hari. Apalagi kalau yang meninggal adalah orang China yang kaya, pemilik toko besar, upahnya bisa dua kali lipat.

            Ketrampilan yang diperoleh Samiun, dalam menggali kubur, diperoleh saat dirinya dipaksa membuat lubang untuk mengubur puluhan orang-orang PKI dan simpatisannya yang dibantai. Pada massa-massa genting, tahun 1966, menggali lubang kubur dilakukan bukan hanya sekali namun beberapa kali di tempat yang berbeda.

            Saking semangatnya mencari uang, Samiun bahkan menawarkan kepada warga desa bila membutuhkan tenaga sambatan, tambahan, untuk menggali kubur kematian warga meski diupah tak seberapa. Dirinya sudah senang bila menjadi penggali kubur warga desanya sendiri meski diupah nasi dan lauk pauk serta sayuran. Upah itulah yang akan dibawa pulang untuk disantap bersama Siti Nurjanah.

            Warga desa kurang membutuhkan tenaga penggali kubur bayaran sebab bila ada yang meninggal, mereka gotong royong menggali kubur. Mereka bekerja dengan ikhlas. Warga desa sudah merasa bahagia saat nasi untuk makan dikirim setelah mereka menyelesaikan pembuatan liang lahat.

            Selama menunggu masa kelahiran anaknya, dalam doa, Samiun meminta agar buah kelapa yang dijual  laku semua bahkan terlintas harapan darinya mudah-mudahan besok dirinya bisa menggali kubur lagi terutama kubur buat orang-orang China. “Semua rejeki itu untuk membiayai kelahiran anak saya,” demikian doa yang dipanjatkan.

***

            Dengan menggunakan kerudung, Siti Nurjanah pergi bersama Samiun menuju ke langgar, surau, atau masjid kecil. Setiap malam jumat, Kiai Sholeh mengadakan pengajian. Sebab tempat untuk memggelar acara itu tak luas, sementara yang ikut membludak, tak heran bila  jamaah membludak hingga keluar langgar.

Dalam acara itu, biasanya para orangtua membawa anak-anaknya sehingga di saat acara berlangsung, tak jauh dari langgar terlihat anak-anak asyik dengan dunianya sendiri, bermain.

Samiun mengajak Siti Nurjanah pergi ke acara itu selain untuk menyegarkan keimanannya juga untuk menipis isu-isu miring bahwa perempuan yang bersama dirinya itu adalah seorang anggota Gerwani yang menyamar. Tuduhan itu sudah menjadi bisik-bisik para tetangga. Bisik-bisik itu tentu ditepis oleh Samiun. Ia selalu mengatakan bahwa Siti Nurjanah bukan anggota PKI. Ia mengalihkan perhatian dengan menceritakan kalau ada istri orang PKI yang lari ke desa namun itu namanya Sarmini dan perempuan itu sudah ditangkap tentara dan dibawa ke kota.

“Siti Nurjanah istriku itu santriwati,” ujar Samiun pada mereka yang ragu-ragu.

“Buktinya ia tiap malam jumat nyantri pada Kiai Sholeh.”

“Mana mungkin orang PKI nyantri.”

Di setiap pengajian, biasanya Samiun bertemu dengan Nusiron. Sebagai seorang Ketua Ansor Banser di desa, ia selalu duduk di barisan depan. Saat bertemu, Nusiron biasa menyapa Samiun dan menanyakan kabar. Nusiron hanya heran pada pria yang dikenalnya sebagai penggali kubur itu, setelah bersama Siti Nurjanah, kok sering ikut pengajian pada kiai yang dihormati di desa itu. Meski demikian Nusiron tidak mengusik atau menanyakan siapa perempuan itu. Nusiron hanya heran mengapa perempuan secantik itu bisa bersama dengan penggali kubur yang dekil itu.  

***

            Hari demi hari, bulan demi bulan, akhirnya kandungan Siti Nurjanah berusia sembilan bulan. Di masa sembilan bulan, Samiun dan istrinya tengah mempersiapkan diri kelahiran anaknya. Hasil penjualan buah pohon kelapa dan upah menggali kubur digunakan untuk membeli perlengkapan bayi dan memberi upah pada dukun bayi.

            Di saat Siti Nurjanah berada di ruang tengah, tiba-tiba selangkangannya terasa nyeri. Akibat yang demikian, dirinya mengaduh. Aduhan itu diratapkan secara berulang-ulang. Samiun yang sedang berada di dapur mendengar suara Siti Nurjanah. Ia bergegas menuju ruang tengah. Begitu tahu pria yang disebut suaminya itu datang, Siti Nurjanah langsung mengatakan, “mas aku mau melahirkan.”

            Mendengar pengakuan seperti itu, Samiun langsung gugup. “Iya, iya,” jawabnya dengan tergopoh-gopoh.

            “Panggil Mbah Nah dong,” sahut istrinya.

            Mbah Nah adalah dukun bayi di desa itu dan rumahnya kebetulan hanya beberapa meter. “Iya, iya,” jawab Samiun juga dengan tergopoh-gopoh. Pria itu langsung bergegas menuju ke rumah Mbah Nah. Di lintasan menuju ke rumah perempuan berumur 65 tahun itu, dirinya juga mengabarkan kepada para tetangga bahwa istrinya hendak melahirkan. Mendengar kabar itu, ada tetangga langsung meresponnya dengan sumringah. “Yo aku melu seneng, ya saya ikut senang,” ujarnya. “Saya juga akan ke rumahmu sekarang untuk ikut bantu-bantu,” tambahnya.

            Ada pula tetangganya yang merespon dengan mengucapkan sumpah serapah, “anak dari hubungan haram.”

            “Mudah-mudahan anaknya tidak meniru kedua orangtuanya.”

            Samiun terus berjalan menuju ke rumah Mbah Nah. Sampai di rumah yang berdinding bambu dan bertiang kayu itu, pintu yang ada diketuknya. Tak hanya diketuk namun juga mengucapkan kalimat permisi, “kulo nuwun.” Karena tak ada respon, ketukan pintu dan kalimat kulo nuwun diulang-ulang.

            Suara gaduh itu membangunkan Mbah Nah dari tidur lelapnya. Keluar dari kamar sambil memperbaiki jarik yang dipakai, perempuan tua itu menyapa, ”eh kowe to le, o kamu to nak.” Mbah Nah menyapa ramah sebab dirinya sudah akrab dengan Samiun.

            “Ono opo, ada apa?” tanyanya sambil mengambil tembakau, sirih, dan kapur. Ketiga bahan tadi selanjutnya diramu dan dijadikan susur. Susur itu dikunyah-kunyah.

            “Istriku mau melahirkan,” jawab Samiun.

            Mendengar Siti Nurjanah mau melahirkan, Mbah Nah langsung meludah susur, “cueekkkk...”

            “Memang sudah sembilan bulan lebih ya?” tanya perempuan tua itu sambil terus mengunyah-ngunyah susur-nya.

            Samiun mengangguk.

Yo wis rek ngono, ya sudah kalau begitu. Ayo cepet budhal nyang omahmu, ayo cepat pergi ke rumahmu,” ucap Mbah Nah sambil masuk kamar untuk mengambil alat-alat yang diperlukan dalam melakukan persalinan. Setelah alat persalinan itu ditenteng dalam sebuah tas, Mbah Nah dan Samiun bergegas meninggalkan rumah itu. Pintu rumah dikunci dengan gembok yang sederhana. Samiun melihat gembok itu begitu kecil dan rapuh, ”kalau gemboknya segitu gampang dibobol maling,” ujarnya dalam batin.

Mereka melintasi jalan kembali ke rumah Samiun. Di tengah perjalanan, Mbah Nah melihat ada pancuran air bersih. Ia berhenti dan membuang susur-nya. Pada pancuran itu ia membersihkan sisa-sisa susur yang ada sampai mulutnya tak bau kapur.

Samiun merasa senang Mbah Nah membersihkan mulutnya dari susur. Dirinya membayangkan bagaimana saat membantu kelahiran, Mbah Nah masih nyusur, tentu konsentrasinya akan pecah, antara menikmati susur dan mengeluarkan jabang bayi dari rahim. Bila konsentrasinya tak utuh, bisa-bisa apa yang biasa dilakukan sebagai dukun bayi, membahayakan jiwa sang ibu dan anak.

            “Ayo le, ayo nak,” ujar Mbah Nah yang berarti mengajak meneruskan langkahnya.

            Tak lama kemudian tibalah mereka di rumah. Di ruang tengah Siti Nurjanah semakin lemas. Saat melihat suaminya dan Mbah Nah datang, ia merintih, “mbah sudah nggak kuat.” Melihat hal yang demikian, Mbah Nah terbirit mendekati, “tenang ya nduk.” Ia langsung memegang tubuh perempuan itu dan menyarankan untuk rebah.

            Beberapa tetangga pun sudah banyak yang berkerumun di luar rumah. Mbah Nah memanggil salah satu di antara mereka, Nyu Jah, seorang perempuan bertubuh tambun namun gesit dalam bertindak. Nyu Jah dipanggil Mbah Nah untuk membantu proses kelahiran.

            Setelah dalam posisi yang dikehendaki, Mbah Nah selanjutnya melakukan tindakan dan sentuhan tertentu pada perut Siti Nurjanah. Disuruhnya perempuan itu untuk menarik nafas dalam-dalam. Sesekali Mbah Nah meminta tolong pada Nyu Jah dalam proses itu. Tak lama kemudian terdengar suara Siti Nurjanah menjerit, seiring itu pula terdengar suara jerit bayi yang melengking.

Allhamdulillah,” ujar Mbah Nah.

Allhamdulillah,” Nyu Jah pun juga mengatakan hal yang demikian.

Suara lengkingan bayi itu terdengar hingga keluar rumah. Suara orang bersyukur bersahutan di tempat itu. Ada di antara mereka yang saling berpelukan. Samiun sebagai ayah dari anak itu pun bergembira. Pikirannya langsung bertanya, “laki-laki atau perempuan?”

Ia diam dalam pertanyaan itu. “Laki-laki atau perempuan sama saja,” pertanyaan itu dijawab sendiri. Di tengah teka-teki terhadap jenis kelamin anaknya, tiba-tiba Mbah Nah datang menghampiri sambil menggendong anak itu yang dibungkus dengan jarik lurik. “Ini anakmu,” ujarnya.

“Laki-laki atau perempuan?” Samiun bertanya dengan tak sabar.

“Lihat saja sendiri,” jawab Mbah Nah sambil memperlihatkan jenis kelamin anak itu pada Samiun. “Allhamdulillah,” ujar Samiun.

“Ternyata laki-laki. Ini sesuai dengan doa saya.”

“Boleh saya menggendongnya mbah?”

“Boleh saja, ini kan anakmu,” jawab Mbah Nah sambil menyodorkan anak itu padanya. Dengan buru-buru, Samiun meraih anaknya dan membopong. Ia membawa anaknya itu keluar ruang tengah. Di hadapan para warga, bayi mungil itu dipamerkan. Semua warga yang ada mengerubungi dan ingin melihat wajahnya. “Bagus yo,” ujar salah satu warga.

“Kulitnya putih kayak ibunya,” sahut yang lain.

Mendengar hal yang demikian, Samiun hanya tersenyum.

“Terus nama anakmu siapa?” tanya salah seorang di antara mereka. Mendapat pertanyaan itu, Samiun diam. Sepertinya ia belum menemukan nama yang akan disematkan pada anaknya.

***

            Di rumah Samiun pada hari ketujuh kelahiran anaknya penuh dengan orang. Malam itu mereka ingin mensyukuri nikmat atas selamatnya proses persalinan Siti Nurjanah. Malam itu, Samiun menjamu para tamunya. Makanan aneka rupa itu membuat gembira para warga. Kambing dua ekor yang telah beranak, dua-duanya disembelih. Samiun menyembelih dua ekor sebab sekalian melakukan akikah, memotong dua kambing bila anak yang lahir adalah laki-laki. Samiun merasa bahagia sehingga melaksanakan tuntunan agama.

Daging kambing yang digulai dan disate adalah makanan yang jarang mereka santap. Tak heran bila mereka menikmati sekali sajian itu.

Hadir dalam acara itu Mbah Nah, Kiai Sholeh, Nusiron, dan beberapa sesepuh dan toko desa. Para lelaki berkumpul di ruang tengah. Mereka duduk di hamparan tikar yang digelar. Di tengah ada makanan yang berbentuk buceng dengan dikelilingi oleh berbagai makanan dan lalapan, ijoan sayuran. Di ruang tengah itu para lelaki yang mayoritas memakai sarung dan berpeci itu melantunkan ayat-ayat suci. Setelah menderas ayat-ayat suci, Kiai Sholeh memimpin doa. Akhir doa, seluruh yang berada di ruang itu langsung menyahut, “amin,” secara panjang dan serempak.

Wajah berseri dan sumringah setelah acara doa yang panjang itu. Mereka pada meneguk teh manis yang tersaji. Kiai Sholeh tersenyum melihat Samiun yang sibuk mempersilahkan para tamunya untuk menikmati sajian.

“Un,” panggil Kiai Imron padanya.

Mendengar panggilan dari pak kiai, demikian ia biasa disebut, Samiun menoleh. “Ya ada pak kiai,” suara Samiun datar terdengar.

Anakmu jenenge sopo, anakmu namanya siapa?” tanya Kiai Imron sambil mengelus jenggotnya. Mendapat pertanyaan itu, Samiun terperanjat. Dirinya lupa ternyata anak semata wayang itu belum diberi nama. “O, iya, ya,” gumamnya dalam hati. Sepertinya Kiai Sholeh tahu kalau Samiun belum menamakan anaknya itu.

“Kamu belum menamakan anakmu ya?” tanya kiai yang memiliki tanah yang luas itu.

Samiun mengangguk. Kiai itu diam sejenak, sepertinya ia merenung. Selanjutnya ia tersenyum dan berujar, “bagaimana kalau aku beri nama Sobar.” Mendengar nama Sobar, Samiun kaget. Kaget karena senang atau kurang pas, Samiun-lah yang tahu, sebab yang memberi nama adalah pak kiai, ia tidak menolak, takut kalau kualat.

“Ya pak kiai, saya senang dengan pemberian nama itu,” sahut Samiun dengan muka berseri-seri.

“Dengan demikian nama anak saya Sobar.”

Allhamdulillah.”

Perbincangan antara Kiai Sholeh dan Samiun rupanya disimak oleh seluruh pria yang berada di ruang tengah itu. Tak heran bila semuanya juga merasa senang dan langsung mengucapkan rasa syukur. “Allhamdulillah,” ujar mereka serempak.

 

****

Sudah dua tahun Sobar umurnya. Meski dua tahun, tubuh anak itu terlihat bongsor. Saat belum menginjak usia 2 tahun, Sobar terlihat kuat minum susu ibunya. Makanan tambahan yang diberikan pun dilahapnya dengan antusias.

Suatu hari, menjelang maghrib, Siti Nurjanah duduk di ruang tengah. Di sampingnya, Sobar tergeletak tidur. Bayi mungil itu sepertinya terlelap. Hening suasana membekap rumah itu. Semilir angin sore terkadang menggoyangkan daun-daun yang berada di luar. Suasana desa yang sudah sepi bertambah lengang ketika awan hitam mulai terlihat punggungnya.

Tatapan Siti Nurjanah kosong. Wajahnya beku. Dirinya membisu, diam, tak bergerak. Bila tubuhnya mematung, lain halnya dengan jiwanya. Sel-sel pikirannya seolah sedang bertarung kuat. Entah apa yang menyebabkan sel-sel pikirannya itu tersulut.

 “Aku sebenarnya siapa?” sebuah pertanyaan muncul dalam otaknya.

“Siti Nurjanah atau Sarmini?”

“Ibuku Raden Ayu Sulastri dan ayahku Raden Mas Sumoko memberi namaku Sarmini.”

“Aku pun bergelar Raden Ayu Sarmini.”

“Tetapi mengapa aku menjadi Siti Nurjanah?”

Oh tidak.”

“Nama itu bagus tetapi belum masuk dalam hatiku.”

“Apakah karena aku ingin hidup lalu aku harus mengubah nama?”

“Bukankah mengganti nama berarti telah mematikan nama yang lain”

“Sarmini berganti menjadi Siti Nurjanah, dengan demikian apakah Sarmini sudah mati?”

Oh Gusti mengapa ini bisa terjadi.”

Saat sel-sel pikirannya bertarung, tak disadari air matanya berlinang. Pipinya basah dengan tetesan air yang bersumber pada matanya. Tak disadari pula, tubuhnya berguncang dan tangannya mengepal, sepertinya perasaan emosinya meledak kuat dari dalam dirinya.

“Apakah gara-gara aku menikah dengan Mas Pranoto, hidupku menjadi seperti ini?” pertanyaan kembali muncul dalam otaknya.

“Aku dari kalangan priyayi mengapa mereka menuduhku sebagai orang PKI.”

“Aku tak tahu apa-apa, aku hanya ingin sekolah di fakultas kedokteran hingga lulus.”

“Tapi ayahku memaksaku untuk menikah.”

“Aku digadaikan ayahku karena ayahku hartanya habis setelah kalah dalam pemilihan kepala desa.”

“Mungkin kalau Tragedi 65 tak terjadi mungkin cita-citaku itu bisa terwujud.”

“Aku bisa merayu Mas Pranoto untuk mengijinkan aku kuliah di fakultas kedokteran.”

“Mas Pranoto pasti bisa membiayai kuliahku sebab ia orang kaya, penerus juragan beras di desa.”

“Sayang tragedi itu terjadi sehingga membuat aku juga menjadi tertuduh.”

“Aku lari dan bersembunyi agar tidak dijebloskan dalam penjara atau dipenggal mati.”

“Aku dituduh sebagai anggota Gerwani. Apa itu Gerwani?”

Dalam perasaan geram yang membuncah, tangannya tidak sadar memegang gelas yang berada di depannya dan langsung melemparkan ke arah serampangan. “Pyaarrr...” Suara cukup keras itu membangunkan Sobar yang terlelap dalam tidurnya. Seketika terdengar suara tangisan yang melengking. Suara jerit bayi itu sontak menyadarkan Siti Nurjanah yang dalam otaknya sedang terjadi pertarungan sel-sel.

Tubuh Sobar langsung dibopong dan didiamkan, “cup, cup, cup, nak.” Apa yang dikatakan itu untuk menenangkan dan menidurkan kembali bayi yang masih belum tahu apa yang terjadi sesungguhnya pada orang yang melahirkan dirinya.

Mantra untuk menidurkan pada itu rupanya manjur. Sobar terlelap kembali dalam tidurnya. Siti Nurjanah duduk kembali di kursi. Ia menghela nafas, merenung, seketika itu pula sel-sel otaknya kembali bertarung.

“Aku lari menyelamatkan diri saat orang-orang mengepung rumah di mana pria yang disebut suami dan mertuaku tinggal.”

“Mereka bisa menangkap kedua lelaki itu.”

“Tapi mereka tak bisa menangkapku.”

“Aku berlari, berlari, dan terus berlari hingga masuk ke hutan yang tak tahu di mana aku berada.”

“Hingga akhirnya aku bertemu dengan seorang lelaki.”

“Lelaki itu bilang kalau dirinya selepas menggali kubur bagi orang-orang PKI yang dipenggal kepalanya.”

“Ia akhirnya membawa aku ke rumahnya dan menyelamatkan aku.”

Air mata Siti Nurjanah mengalir deras. Ia ingat bagaimana nasibnya bila tidak diselamatkan oleh pria itu. Bila tidak ada pria itu mungkin dirinya masih menggelandang di hutan, itu masih untung. Akan menjadi pedih bila ia ditangkap oleh para pemuda untuk dijebloskan dalam penjara dan atau malah dipenggal lehernya.

“Aku bisa hidup hingga hari ini karena pria yang bernama Samiun. Ia melindungi aku.”

“Mereka menyebut aku Siti Nurjanah biar aku tak dicurigai.”

“Untuk mengucapkan terima kasih, aku pasrah saat ia menjumpai aku di kamar mandi.”

“Padahal aku tidak mencintainya.”

“Aku pura-pura menjadi istrinya agar nyawaku tetap selamat.”

“Hubunganku tidak sah sebab belum ada ijab-qabul.”

Sadar sesaat dari pertarungan sel-sel otaknya, Siti Nurjanah melihat Sobar yang masih terlelap dalam tidurnya. Ditatap tajam bayi mungil itu. Tatapan matanya yang tajam, lamat-lamat pudar hingga pertarungan sel-sel otaknya kembali terjadi.

“Bayi ini sudah berumur 2 tahun,” ujarnya dalam pertarungan sel-sel otak itu.

“Sudah bisa disapih, tak dususui lagi.”

“Maka tugasnya sekarang sudah berakhir.”

“Aku akan menjadi Sarmini.”

“Karena Sarmini sudah mati, maka aku harus mati.”

Salah satu kutub sel otaknya menggerakkan tubuh Sarmini berjalan. Langkahnya kaku seperti manusia yang tak bernyawa. Wajah perempuan itu yang ayu itu menjadi kasar, giginya menyeringai, rambutnya yang biasanya lembut terurai berubah menjadi seperti ijuk.

Langkah kaki kaku satu persatu itu menyusuri lintasaan desa. Sebuah keanehan terjadi, saat gentayangan di desa, langit bertambah gelap, angin terdengar menderu, suara-suara binatang buas bersahutan, tak ada hujan namun terdengar ledakkan halilintar yang memekakan telinga. Tak ada orang yang berpapasan dengan perempuan yang sepertinya sudah berubah menjadi manusia setengah setan.

Pergolakan dalam batin yang begitu sakit, perjalanan hidup yang menistakan dirinya, serta cita-cita yang telah terpenggal, membuat jiwanya kosong. Dalam jiwa yang kosong itulah terisi oleh sebuah sel-sel otak yang penuh dengan kekecewaan yang demikian dahsyat. Sel-sel otak seperti itu membuat dirinya menyukai keputusasaan dan kematian.

Langkah perempuan itu terhenti ketika di depannya jurang menganga. Ia telah berdiri pada sebuah tebing yang tinggi. Dipandang jurang menganga itu dengan tatapan tajam, seperti mata setan. Mata setan itu rupanya melihat di bawah tergambar sebuah taman yang indah, ada sungai mengalir yang jernih, tumbuh ratusan bunga yang beraneka warna, dedaunan pepohonan yang hijau, dan menjulang tinggi sebuah gunung biru. Di taman itu terlihat puluhan anak bermain, bercanda, dan berlarian berkejaran.

Apa yang terjadi di bawah menarik perempuan itu. “Aku ingin pergi ke sana,” ujarnya lirih.

“Aku ingin menikmati hidup dengan damai.”

“Aku akan bermain dengan anak-anak itu untuk melepaskan penat dalam jiwaku.”

Perempuan yang berdiri di tebing itu selanjutnya melangkah, terlihat tubuhnya melayang ringan, dan selanjutnya tertarik gravitasi bumi yang kuat sehingga jatuh ke bawah dengan cepat seperti anak panah yang lepas dari busurnya.

***

Samiun kaget begitu masuk ke dalam rumah. Sobar tengah menangis kencang namun tak ada yang mengurus. “Siti, Siti, Siti,” Samiun memanggil istrinya. Meski diulang-ulang namun tak ada respon. Pria itu langsung menghampiri Sobar dan membopongnya. “Cup, cup, cup nak,” ujarnya. Kalimat yang biasa diucapkan untuk meninabobokan bayi itu rupanya tak manjur. Sobar tetap menjerit-jerit dalam tangisnya.

“Di mana Siti,” gumamnya dalam hati.

“Sepertinya anak ini haus dan lapar.”

Sambil membopong anaknya, berjalan menuju dapur. Di tempat itu Samiun membuat susu. Minuman itulah yang hendak diasupkan kepada anaknya agar berhenti menangis. Istrinya pernah mengatakan bahwa Sobar sudah bisa disapih sehingga bisa diberi minum susu yang dibeli dari toko. Pesan itu yang diingat sehingga dirinya berani membuat asupan dari bukan air susu ibu.

Susu yang sudah matang itu dimasukkan dalam botol yang ditutup dengan dot. Agar tangisnya tak menjadi-jadi maka Samiun langsung menyusupkan dot itu pada mulut Sobar. Setelah dot berada di mulut, tangis bayi itu hilang. Terlihat Sobar dengan kuat menyedot susu yang berada dalam botol.

Dirasa tenang dan tidak menangis, Samiun meletakkan Sobar di kasur kecil yang berada di kursi. Setelah bayi itu tergeletak, ia selanjutntya mencari ke mana istrinya berada. Ia hilir mudik di ruang-ruang yang ada di rumah. Bahkan sampai di kolong tempat tidur. Di kolong tempat tidur, perempuan yang dicarinya itu pernah bersembunyi. “Kok nggak ada ya,” ujarnya dengan kesal.

Samiun tak lelah mencari, ia pergi ke rumah-rumah tetangga untuk mencari apakah istrinya ada di tempat itu. Semua tetangga menggeleng saat ditanya apakah melihat istrinya. Rasa bingung pun menyelimuti. Ia berusaha menenangkan diri. Pulang ke rumah merupakan pilihan. Sesampai di tempat yang setiap hari ia diami, ia meletakkan pantatnya. Sebelum berpikir, nafasnya dihembuskan kuat-kuat. “Ke mana kamu istriku?” gumamnya.

“Apakah diculik oleh para pemuda itu?”

“Bukankah operasi sudah selesai, tapi kok istriku hilang secara mendadak.”

“Apa saya harus menanyakan pada Pak Slamet?”

“Jangan, jangan, saya tidak akan bertanya pada Pak Slamet. Kalau bertanya pada dia, masalahnya bisa menjadi panjang.”

Di tengah berpuluh-puluh pertanyaan itu membuat Samiun bertambah penat. Seharian di pasar untuk berdagang telah membuat pegal dan lunglai tubuhnya. Dirinya merenung, apa yang salah darinya sehingga istrinya pergi entah ke mana. “Apa salah saya,” ujarnya dalam batin. Di saat itu dirinya tak sadar, kantuk menyusup dalam tubuhnya hingga akhirnya ia tertidur dan terlelap.

****

            Pagi hari di desa terjadi kegaduhan yang luar biasa. Para warga berlarian menuju ke jurang. Mereka pada menuju ke sana sebab ada informasi ditemukan sesosok mayat perempuan dengan luka di kepala yang sangat mengenaskan. Informasi pertama disampaikan Kang Sukro. Dari Kang Sukro, informasi itu menular secara cepat ke warga yang lain.

            Kang Sukro menemukan mayat perempuan itu dengan posisi tertelungkup saat dirinya mencari ranting kayu. Setiap pagi ia mencari ranting kayu, patahan pohon, selanjutnya diikat per 10 batang. Ikatan itu kemudian dibawa ke pasar untuk dijual sebagai kayu bakar.

            Begitu melihat sesosok mayat itu, semuanya tercengang, ada yang ngeri melihatnya dan langsung memalingkan muka, ada pula yang biasa-biasa. Decak kata meratap, prihatin, bersedih, muncul dari mulut-mulut orang yang berkerumun di tempat itu.

            “Sebaiknya kita bawa ke balai desa mayat ini,” ujar Kang Sukro.

            “Agar tidak menjadi tontonan.”

            “Ya betul, betul, betul,” sahut yang lain menimpali.

            “Kalau begitu yang lain ambil keranda yang berada di samping masjid,” Kang Sukro memerintahkan kepada warga yang lain untuk mengambil keranda mayat.

            Sambil menunggu keranda datang, Kang Sukro mencari pohon pisang yang tumbuh di tempat itu. Syukur pohon yang dicari itu ditemukan. Sabit yang dibawa segera diayunkan pada daun bisa yang terlibat lebar. Ayunan sabit itu diulang lagi pada daun-daun pisang yang lain dengan ukuran yang sama. Setelah memperoleh empat daun pisang, ia bergegas menuju di mayat sesosok mayat terbujur. Dihampiri mayat itu, empat daun pisang yang berwarna hijau segar tadi lalu diletakkan di atas tubuh yang tak bernafas. Ditutupi agar martabat mayat terjaga.

            Masyarakat berbisik-bisik, siapakah perempuan itu. Terdengar bisikkan yang mengatakan, perempuan itu cantik, apakah ia korban pemerkosaan. Di antara mereka pun saling silang percakapan.

            Keranda mayat akhirnya tiba. Keranda yang dipanggul oleh empat orang itu, selanjutnya diturunkan dari pundak, dilettakan di samping mayat. “Mari kita angkat,” ujar Kang Sukro. Kang Sukro dibantu oleh beberapa orang mengangkat mayat yang berada di atas tanah keras itu dipindahkan ke keranda. Empat daun pisang yang menutupi, lebih dahulu disingkirkan.

            Setelah mayat berada di keranda, kain jarik diselubungkan menutupi keranda. “Mari bapak-bapak, kalau sudah siap kita bawa ke balai desa,” ujar Kang Sukro dengan suara haru. Keempat orang tadi kembali memanggul keranda mayat. Sebelum ada beban, keranda itu terasa ringan namun setelah ada mayat membujur di dalamnya, beban terasa sehingga beberapa orang ikut membantu memanggulnya.

            Keranda itu dibawa ke balai desa melintasi jalan-jalan. Warga lain yang berada di lokasi, membuntuti. Di sepanjang jalan, warga yang rumahnya dilewati, berdiri untuk melihat apa yang terjadi.

***

Kegaduhan pada pagi itu terdengar di telinga Samiun. Mendengar ada sesosok mayat di jurang, Samiun langsung terperanjat. ‘Siapakah dia?” gumamnya dalam hati. Batinnya bertanya, masihkah ada pembantaian sehingga ada mayat yang dijumpai warga. Kalau ada pembantaian mengapa Pak Slamet dan Nusiron tidak menemui dirinya untuk dijadikan sebagai penggali kubur. “Sepertinya ada yang lain,” Samiun kembali bergumam.

Pikirannya tiba-tiba tersontak pada istrinya, “Oh tidak, tidak, tidak mungkin,” ujarnya lirih dengan perasaan yang cemas. Meski perasaannya berusaha menenangkan namun pertanyaannya itu selalu mengusik. Untuk mengetahui siapa sesosok mayat itu, Samiun ingin melihatnya sendiri.

Buru-buru ia pergi ke dapur, memasak air, dan menuangkan susu mentah di botol. Setelah air mendidih, air panas itu dituangkan dalam botol yang berisi susu mentah. Campuran air dan susu itu selanjutnya dikocok-kocok agar larutan itu bercampur. Kocokkan itu menghasilkan sebuah susu siap minum. Susu dalam botol itu ditutup dengan dot.

Samiun membuat susu itu untuk memberi asupan pada anaknya. Setelah sibuk di dapur, dirinya kembali ke ruang tengah. Dilihat, anaknya sudah bangun, ia menggerak-gerakkan kaki dan tangan. Samiun merasa senang sebab anaknya tidak menangis. Dihampiri dan seketika itu pula, dot disusupkan dalam mulut mungil itu.

Mulut mungil bayi itu langsung merespon. Disedotnya kuat-kuat susu yang berada di botol itu. Perasaan nyaman saat melihat anaknya menikmati susu buatannya. Pikirannya kembali penasaran siapa sosok perempuan itu. Keinginan untuk melihat siapa ia kembali hadir. “Tapi bagaimana dengan anak ini?” tanyanya dalam hati.

“Tidak mungkin saya tinggal sendiri.”

Samiun merenung, mau dibagaimanakan anaknya itu. Tiba-tiba ide cerdas muncul dalam otaknya. “Iya, iya, aku titipkan pada Mbah Nah Saja,” ucapnya. Ia segera membopong anak itu. Bergegas kemudian menuju rumah Mbah Nah. Rumah yang tak jauh dari kediamannya itu ditempuh dalam waktu singkat.

Sesampai di rumah Mbah Nah, pintu masih tertutup. Diketuknya pintu kayu itu. Tak ada respon sehingga diulang. Setelah diketuk beberapa kali, terdengar suara orang melangkah. “Krieettt....,” begitu bunyi pintu itu dibuka.

Eh kowe to le, Eh kamu to,” sapa Mbah Nah dengan ramah.  

“Iya mbah,” balas Samiun dengan tersenyum. Setelah berbasa-basi, selanjutnya ia menceritakan apa yang terjadi, mulai dari istrinya yang menghilang hingga mendengar berita ditemukan sesosok mayat di jurang. Untuk itu dirinya ingin menitipkan anaknya agar ada yang menjaga selama dirinya pergi ke balai desa untuk melihat siapa mayat itu.

Mendengar ungkapan itu, sepertinya Mbah Nah merasa prihatin hingga membuatnya mengatakan, “ya nggak papa anakmu dititipkan di sini.”

“Kita masih saudara jadi jangan khawatir pada anakmu selama di pangkuanku.”

“Ya mbah, matur suwun, terima kasih,” balas Samiun.

“Kalau begitu saya jalan ya mbah ke balai desa,” ujarnya sambil menyorongkan anaknya ke Mbah Nah. Setelah anak itu berada dalam bopongan Mbah Nah, Samiun langsung bergegas meninggalkan tempat itu.

***

            Kerumunan orang di balai desa semakin membludak. Warga berdesakkan untuk melihat siapa perempuan itu. Kang Sukro tak senang melihat hal yang demikian, sehingga ia menghardik mereka yang berdesak-desakan hanya untuk melihat apa yang ada di keranda.

            Samiun pun tiba di balai desa. Di tempat itu, ia berjumpa dengan Joyo. “Mas,” sapa Samiun.

            “Hai Un, apa kabarmu?” balas Joyo.

            Samiun tersenyum. “Siapa sesosok mayat itu mas?” tanya Samiun pada Joyo.

            “Wah, saya tidak tahu Un,” jawab Joyo.

            “Tapi menurut orang-orang, mayat perempuan itu ciri-cirinya cantik dan berkulit kuning.”

            Mendengar yang demikian, perasaan Samiun menjadi cemas. Detak jantungnya semakin kuat berdebar-debar. Keringat dingin mulai terasa di leher. “Boleh mas saya melihat mayat itu?” Samiun bertanya Joyo.

            Mendapat pertanyaan itu, Joyo memandang Samiun penuh makna. “Memang ada urusan apa kamu dengan mayat itu?” Joyo sepertinya belum tahu masalah yang dihadapi Samiun. Agar Joyo tahu alasan mengapa dirinya ingin mengetahui siapa mayat itu, ia pun membisiki. “Oh begitu to,” ucap Joyo setelah diceritakan alasan mengapa dirinya ingin melihat siapa mayat itu.

“Kalau begitu tunggu di sini ya, aku hubungi dulu Kang Sukro.”

Joyo meninggalkan Samiun. Joyo mencari Kang Sukro untuk menceritakan kemauan Samiun. Joyo celingak-celinguk di tengah kerumunan, matanya jlalatan untuk menemukan Kang Sukro. Tatapan matanya tersandung di pojok balai desa. Di tempat itu terlihat Kang Sukro sedang berbincang dengan polisi. Sepertinya berita itu sudah didengar polisi sehingga aparat pemerintah itu turun tangan.

Joyo menghampiri Kang Sukro. “Kang,” sapa Joyo.

Sapaan itu menghentikan perbincangan Kang Sukro dengan polisi. Kang Sukro heran mengapa Joyo menghampiri dirinya. “Ada apa Yo?” tanya. Tanpa berlama-lama, Joyo membisiki. “Oh begitu to,” ujar Kang Sukro setelah mendengar bisikkan itu.

Informasi itu tidak dipendam, apa yang didengar itu diteruskan pada polisi yang ada di depannya. Mendengar apa yang disampaikan, polisi itu manggut-manggut.

“Ya sudah mari kita antar Samiun melihat mayat itu,” kata Kang Sukro.

Kang Sukro dan polisi langsung menuju ke keranda, sedang Joyo bergegas ke tempat Samiun berdiri. Setelah berada di hadapan Samiun, Joyo berujar, “ayo, sudah dikasih ijin sama Kang Syukro.”

Kedua orang itu bergegas menuju keranda mayat. Joyo harus menyingkirkan beberapa orang yang merintangi jalan. Kerumunan warga merintangi jalan menuju ke tempat keranda di mana berada.

Sesampai di samping keranda, Kang Sukro dan polisi menyambutnya. Dijabat tangan Samiun. “Biar keinginannmu cepat sampai, saya buka ya tutupnya ya mas,” ucap Kang Sukro pada Samiun. Detak jantung Samiun berdebar-debar, tubuhnya lunglai, wajahnya pucat, keringat dingin mengucur, dan matanya berkunang-kunang. Kejiwaan seperti itu sudah dirasakan meski kain penutup keranda belum dibuka.

Saat penutup keranda itu dibuka, terlihat sessosok mayat membujur, dilihat dari pakaiannya, Samiun hafal pakaian itu namun dirinya belum tahu siapa ia, namun begitu wajah mayat itu tertatap oleh matanya, mata Samiun tiba-tiba gelap pekat.

***

            Angin sejuk yang berasal dari kipas yang terbuat dari anyaman bambu itu membangunkan Samiun. Kipas itu digerak-gerakkan oleh Joyo. Begitu matanya membuka, dirinya melihat beberapa orang mengerumuni. Ingatannya muncul bahwa dirinya siuman dari pingsan yang dialami. Dirinya pingsan melihat istrinya membujur dalam kondisi yang mengenaskan.

            “Oh istriku,” rintihnya lirih.

            “Yo di mana istriku?” Samiun bertanya pada Joyo di mana jenazah istrinya.

            Mendapat pertanyaan itu, Joyo termenung, ditatapnya dengan mata sayu. “Sudahlah mas, jangan dipikirkan dulu. Yang penting Mas Samiun sehat,” kata Joyo setengah menasehati.

            “Aku mencintainya,” ratap Samiun.

            “Tolong antar aku ke samping jenazahnya.”

            Mendengar ungkapan seperti demikian, Joyo jadi trenyuh. Ia memandang orang-orang yang berada di sekitarnya, sepertinya ia meminta pendapat bagaimana sebaiknya. Setelah saling berbisik dengan yang lain, orang lain menyetujui permintaan Samiun, maka Samiun dipapah Joyo, ia di antar ke ruang tengah. Begitu melihat apa yang berada di ruang tengah, Samiun langsung menangis. Di ruang tengah terlihat sebuah keranda mayat yang didalamnya membujur mayat yang sudah terbungkus kain kafan putih bersih.

            Di saat dirinya pingsan, rupanya para tetangga dan saudara mengurus jenazah istrinya, ada yang memandikan dan mengkafani. Di ruang itu juga terdengar suara lantunan orang membaca Surat Yasin. Samiun menangis, dirinya tak bisa ikut memandikan dan mengkafani istrinya. “Maafkan istriku,” ujarnya dengan tersedu.

            Pak Modin menghampiri, “Assalamualaikum,” sapanya. Samiun membalas salam itu,

            “Sabar ya mas, bisa jadi ini sudah menjadi ketentuan Allah,” ucap Pak Modin.

            Mendengar apa yang dituturkan itu, Samiun membisu. Pikirannya bertanya, apa yang menyebabkan istrinya seperti itu.

            “Mas,” ucap Pak Modin.

            Sambil mengusap air matanya, Samiun mengalihkan pandangannya ke pria yang sudah biasa mengurus jenazah itu.

            “Sebentar lagi jenazah hendak dikebumikan sebab saya mendengar para penggali kubur sudah menyelesaikan pembuatan liang lahat,” ungkap pria yang selalu menggunakan peci putih itu.

            “Kalau mas setuju, lebih baik kita berangkatkan sekarang.”

            Mendengar apa yang dikatakan Pak Modin, tangis Samiun menjadi-jadi, dengan keberangkatan menuju makam berarti akan memisahkan istrinya dengan dirinya untuk selama-lamanya. “Pak Modin, ijinkan aku melihat wajah istriku,” ucap Samiun dengan sesunggukkan.

            Pak Modin diam mendengar permintaan itu. Ditarik nafasnya dalam-dalam. “Baiklah mas kalau itu permintaannya,” kata Pak Modin dengan nada datar. Dengan didampingi Joyo, Samiun, dan Pak Modin melangkah menuju ke keranda. Pak Modin memberi kode kepada beberapa orang yang berada di ruang tengah untuk mengangkat tutup keranda.

            Keranda pun terbuka, selanjutnya Pak Modin dengan pelan-pelan membuka ikatan tali yang membungkus tubuh jenazah. Begitu terbuka, Samiun langsung memeluk wajahnya istrinya sambil menangis tersedu-sedu. Suasana di ruang tengah pun menjadi haru bahkan di antara mereka ada yang ikut meneteskan air mata.

            Setelah Pak Modin melihat Samiun sudah menumpahkan semua perasaannya, ia segera mengikat kembali tali-tali kafan. Jenazah kembali terbungkus rapi. Samiun pun dipapah kembali menuju tempat dirinya tadi duduk.

Setelah suasana hening, Pak Modin dengan posisi duduk bersimpuh mengatakan kepada seluruh warga yang berada di ruang tengah bahwa sebentar lagi jenazah akan diberangkatkan ke makam. Untuk itu diharapkan seluruh warga untuk membaca Surat Al Fatihah. Apa yang disampaikan Pak Modin itu langsung disambut warga, mereka langsung membaca surat pembuka itu.

Begitu usai membaca Surat Al Fatihah, semuanya pada berdiri, beberapa orang di antaranya mengangkat keranda itu. Keranda dibawa keluar rumah. Di depan rumah, Pak Modin berdoa kembali agar dalam perjalanan menuju ke pemakaman diberi keselamatan dan dijauhkan dari bala.

Samiun yang masih dalam kondisi lemah pun ingin menghantarkan istrinya ke tempat peristrahatan terakhir. Dengan dipapah  Joyo, Samiun ikut dalam iring-iringan jenazah istrinya. Jalan desa menuju pemakaman itu disusuri hingga akhirnya tiba di Kuburan Bibis.

Samiun tahu bahwa di kuburan itu, ada lubang besar yang digalinya. Di lubang itulah puluhan orang-orang PKI dikubur secara massal setelah dibantai. Bekas lubang kubur yang digali itu ditatapnya. Terlihat tanahnya sudah mengering dan permukaan sudah mulai datar. Batu besar yang diletakkan di tengah masih terlihat kokoh berdiri. Hal demikian menunjukkan bahwa kuburan massal itu belum pernah dijamah orang lagi. Hanya alamlah yang mengusik kuburan itu.

Setelah melewati beberapa makam, iring-iringan pengantar  jenazah berhenti di dekat lubang yang sudah menganga. Di tempat itulah, istri Samiun hendak berdiam diri untuk selama-lamanya. Keranda diturunkan, tutupnya pun dibuka, sehingga terlihat jenazah yang membujur kaku.

Sebelum jenazah itu diturunkan, Pak Modin kembali memimpin doa. Selanjutnya suara adzan dikumandangkan. Usai adzan, saudara-saudara Samiun mengangkat jenazah itu dan disodorkan kepada beberapa orang yang sudah menunggu di dalam lubang kubur. Sebab mayat yang hendak dikebumikan itu adalah perempuan maka kain lebar dibentangkan untuk menutup lubang kubur itu. Itu merupakan hijab yang terakhir.

Oleh orang-orang yang berada di dalam lubang kubur, dengan pelan-pelan, jenazah direbahkan ke liang lahat. Selanjutnya liang lahat yang membujur arah utara-selatan itu ditutup dengan papan kayu. Apa yang dilihat itu membuat Samiun menangis, tubuhnya lemas, suaranya hilang, dan organ-organnya sepertinya tak berfungsi.

Tanpa diperintah, para penggali kubur un langsung memindahkan tanah-tanah yang berada di sekeliling lubang ke dalam lubang. Ayunan cangkul yang memindahkan tanah basah itu lama-lama menutup liang lahat dan lubang kubur. Tanah menggunung setelah semua tanah dipindahkan ke tempat asalnya.

Dua orang pengantar jenazah, selanjutnya menancapkan batu nisan. Di batu nisan tertulis nama Siti Nurjanah lengkap dengan tanggal, bulan, tahun lahir dan kematian. Begitu batu nisan sudah menancap di dua sisi, para pelayat duduk mengelilingi makam itu. Dengan dipimpin oleh Pak Modin mereka semua mendoakan agar jenazah yang sudah berada di di alam lain mendapat perlindungan dari Allah dari siksa kubur.

Usai Pak Modin berdoa, satu persatu para pengantar jenazah meninggalkan tempat itu hingga tinggal Samiun dan Joyo. “Sudahlah mas, mari kita pulang,” ujar Joyo.

“Ini sudah menjadi ketentuan dari Allah.”

Mendengar apa yang dikatakan Joyo, Samiun diam. Dirinya tak menolak saat Joyo memapahnya untuk pulang.

****

            Di depan Polisi dan Kang Sukro, Samiun mengatakan bahwa dirinya tak ada masalah dengan istrinya. “Bahkan kami hidup rukun pak,” ujar Samiun dengan jujur.

‘Saya berani sumpah kami tak ada masalah.”

Samiun mengatakan hal demikian hingga bersumpah-sumpah sebab polisi menginterograsi dirinya terkait kematian istrinya. Berdasarkan penyelidikan, istrinya meninggal dunia karena bunuh diri.

“Lalu apa yang menyebabkan istri anda bunuh diri?” tanya polisi dengan tegas.

Samiun diam. Pikirannya menerawang jauh. Bayangannya muncul bahwa selama ini perempuan yang awalnya bernama Sarmini kemudian berganti Siti Nurjanah itu lebih banyak diamnya. Samiun berpikir mungkin perempuan itu tak mencintai dirinya namun karena keadaan yang terpaksa membuat ia berpura-pura mau menjadi istrinya. Itu dilakukan agar dirinya tidak ditangkap bahkan dibunuh oleh orang-orang yang memburu aktivis PKI dan pendukungnya.

Tak mencintai dirinya terbukti, perempuan itu pernah hendak melarikan diri dari rumah yang didiami. Hanya karena ada kejadian luar biasa, di mana ada orang-orang yang membawa senjata clurit, pedang, dan klewang, yang membuat dirinya mengurungkan rencana pelarian itu.

“Hei, ditanya diam saja,” bentak polisi itu.

Bentakan itu membuat Samiun tersadar dari angan-angan masa lalunya.

“Saya tidak tahu pak,” jawab Samiun dengan datar.

Mendapat pertanyaan yang demikian, polisi itu matanya melotot. Melihat hal yang demikian, Kang Sukro menimpali, “sudahlah pak, mungkin ada faktor lain yang menyebabkan istri Samiun bunuh diri.”

“Dilihat dari tanda-tanda yang ada, hubungan Samiun dan istrinya baik-baik.”

“Di desa ini kadang-kadang terjadi hal-hal yang aneh. Banyak cerita tiba-tiba ada orang mati mendadak dan mengerikan.”

Mendengar ungkapan yang demikian, wajah polisi yang awalnya tegang menjadi datar. Semburat rasa takut ada pada wajah polisi itu. “Oh jadi desa ini desa horror ya,” ujarnya dengan nada gemetar.

“Ya sudah kalau begitu, kita pulang saja,” ujar polisi itu sambil mengeloyor pergi.

Melihat polisi itu pergi, Samiun dan Kang Sukro saling menatap dengan pandangan kosong.

****

Semenjak ditinggal istrinya bunuh diri, Samiun setiap hari hilir mudik ke rumah Mbah Nah. Kepada perempuan itu, dirinya menitipkan anaknya, Sobar, bila sedang pergi ke pasar untuk menjual buah kelapa. Syukur Mbah Nah merasa tidak keberatan mengasuh Sobar.

Meski Mbah Nah suka ria mengasuh anaknya, namun Sobar tetap memikirkan bagaimana sebagaian rejeki yang diperoleh di pasar sebagaian diberikan kepada Mbah Nah, selain untuk merawat anaknya jauga sebagai uang kopi, demikian istilah di desa itu untuk memberi upah kepada orang lain.

Di rumah itu, Mbah Nah tidak sendiri, ada Juwok yang setiap hari membantu dirinya untuk membersihkan rumah dan menyediakan makanan dan minuman. Juwok adalah perempuan pucuk gunung yang sudah ikut dengannya sejak lama. Ia ikut Mbah Nah agar bisa dapat makan dan minum. Bila ada rejeki lebih, Juwok sering diberi uang. Recehan atau lembar uang yang diterima dikumpulkan dan bila lebaran ia pakai untuk pulang.

Di tangan Juwok-lah sebenarnya Sobar setiap hari digendong, disuapi, dan diberi minum susu. Meski demikian, Mbah Nah-lah yang mengarahkan Juwok bagaimana merawat Sobar dengan baik dan benar.

***

Kepergian Siti Nurjanah atau Sarmini, rupanya masih menyisakan kepedihan bagi Samiun. Laki-laki itu sangat mencintainya. Betapa tidak mencintai sebab ia adalah seorang perempuan yang cantik, berkulit kuning, dan berambut panjang. Kecantikan yang demikian membuat banyak laki-laki desa, baik yang lajang atau yang sudah punyai istri, iri kepada Samiun. Mereka bertanya mengapa Samiun yang menurut warga desa wajahnya pas-pasan bisa memiliki istri yang demikian.

“Aku heran pada Samiun,” ujar Prayitno di pos ronda pada sebuah tengah malam. Prayitno adalah guru olahraga di sebuah sekolah di desa itu.

“Wajah dia pas-pasan namun istrinya cantik luar biasa.”

“Dari mana dia dapat istri secantik itu.”

Mendengar hal yang demikian, lelaki yang lain sepertinya mengiyakan. “Iya mas, betul pendapat sampeyan,” ujar yang lain.

“Tetapi saya lihat, istrinya itu tertutup,” ujar Suwito.

“Kalau bertemu orang, ia merunduk dan menyembunyikan diri.”

“Mengapa ia seperti itu?”

Apa yang diungkapkan itu membuat semuanya menjadi penasaran. Mereka sepertinya hendak menjawab teka-teki dari sikap istri Samiun yang demikian. Bogel yang dari tadi diam, tiba-tiba beranjak dari duduknya, lalu bangkit dan mendekati para lelaki yang begadang itu.

“Begini, konco-koncoku, teman-temanku,” kata Bogel sambil membenahi sarungnya.

“Pak Slamet, Babinsa yang ada di desa ini, pernah mengatakan ada seorang Gerwani yang lari di desa ini.”

“Gerwani itu menyusup ke rumah penduduk.”

“Ciri-cirinya disebut cantik, berkulit kuning, dan rambut terurai panjang.”

“Bisa saja istri Samiun itu anggota Gerwani.”

Mendengar apa yang dikatakan Bogel, ada yang terperanjat, ada pula yang wajar-wajar saja. Prayitno malah santai menanggapi apa yang diungkapkan Bogel.

“Maupun Gerwani, Gerwano, atau ger-geran, bagi saya nggak masalah,” ujar Prayitno.

“Kalau cantik, apapun asal-usulnya nggak masalah bagi aku.”

“Kalau ia jadi janda, aku langsung melamarnya.”

Mendengar apa yang dikatakan Prayitno, semua tertawa. Bahkan ada yang menimpali, “aku juga mau melamarnya.”

“Huss... jangan sembarangan,” hardik Bogel.

Hardikan pria yang dijuluki dasomuko itu membuat semuanya diam.

“Enak saja kamu mau melamarnya,” ujar Bogel dengan bersungut-sungut.

“Kalau kamu menjadi suaminya, kamu bisa ikut digaruk, dibawa ke sebuah tempat, dan dipenggal kepalamu.”

“Dia orang PKI. Kalau kamu bersama dia, kamu juga PKI.”

Ancaman Bogel membuat semuanya diam membeku.

Telinga Samiun tak tuli. Ia mendengar semua hal itu. Mulai dari istrinya disebut anggota Gerwani sampai istrinya cantik dan banyak yang menaruh pada hatinya. Menanggapi hal yang demikian, Samiun diam tak mau menanggapi. Ia terus membantah kalau istrinya anggota Gerwani. Ia menyebut istrinya dari kalangan priyayi-santri. “Ia masih berdarah biru dan keluarganya sudah naik haji,” ujarnya berulangkali setiap menjelaskan siapa dirinya.

Di saat para lelaki pada melirik istrinya, Samiun bersyukur, kalau istrinya menutup diri dan menghindari pandangan orang. Istrinya bisa jadi selalu waspada dan berusaha menjaga diri. Bila ada sorot mata yang kenal dirinya, bisa-bisa ia ditangkap dan dijebloskan penjara bahkan dibunuh. Untuk menyembunyikan dirinya itulah maka istrinya selalu menundukkan mukanya dan terkadang menutupi dengan kerudung.

Kepergian istrinya membuat jiwa Samiun labil. Suatu hari ia pernah mendatangi sebuah pohon besar di hutan. Di tempat itulah dirinya pertama kali melihat tangan yang melambai-lambai. Tangan itu memberi kode seakan-akan meminta tolong. Samiun yang kebetulan berada di sekitar pohon itu dengan mengendap-endap menghampiri. Begitu perempuan di balik pohon itu dipergoki, dirinya terperanjat sebab sesosok perempuan cantik.

Dari pertemuan itulah akhirnya ia menjadi istri Samiun. Kenangan di pohon itulah yang membuat ia mendatangi tempat itu. Di bawah pohon, angan-angan Samiun melambung entah ke mana, yang pasti dalam angan-angan itu ada istrinya yang ia cintai.

***

Hari demi hari, usia Sobar bertambah. Anak itu tumbuh dengan normal. Sehingga ia bisa berkumpul dan bermain dengan anak-anak yang lain tanpa merasa kesulitan. Setelah duduk di bangku sekolah dasar, SD, Samiun menyekolahkan anaknya itu di sebuah sekolah menengah pertama, SMP. Di sekolah itu, Sobar mempunyai teman yang lebih banyak dan tidak hanya dari satu desa namun satu kabupaten.

Pertama kali sekolah di SMP, Sobar merasa kikuk dan bingung sebab muka-muka baru dihadapannya. Perasaan takut, was-was, dan malu bercampur aduk semuanya. Tak heran Sobar lebih banyak diam menyembunyikan diri. Di saat teman-temannya, bercanda, ia memilih bungkam. Dengan sikap diamnya itu malah membuat dirinya mengerti karakter masing-masing temannya di sekolah, ada yang sok jago, ada yang sombong, ada yang merasa paling pintar, ada juga yang seperti dirinya.

Sebagai sekolah yang mempunyai nama, memang banyak orangtua yang ingin menyekolahkan anaknya menempuh pendidikan di tempat itu namun yang membuat jengkel Samiun sebagai orangtua, sekolah itu sedikit sedikit menarik uang, dengan alasan untuk biaya seragam, buku pelajaran, praktikum, dan lain sebagainya. Bahkan untuk seragam, mulai dari kaos kaki, ikat pinggang, topi, dasi, tanda-tanda tingkatan, semua dikoordinasi oleh sekolah. Akibat yang demikian, biaya yang harus disetor ke sekolah tentu tidak sedikit. 

Bagi orangtua kaya, tarikan uang sebesar itu mungkin tidak menjadi masalah. Lain halnya bagi Samiun, sebagai penjual buah kelapa dan sebagai penggali kubur tentu hal demikian memberatkan dirinya.

“Gimana saya bisa membayar semua tagihan dari sekolah sebesar itu?” ujar Samiun ketika melihat lembaran dari sekolah yang merincikan biaya yang harus ditanggung para wali murid. “Baru bisa dibayar separuh kalau buah kelapa terjual semua,” ujarnya dengan jengkel.

“Kalau mau lunas, sehari harus ada dua orang mati.”

Tak sadar karena jengkel, Samiun mengatakan yang demikian. Sebuah kalimat yang tak pantas mendoakan ada orang mati setiap hari. Ia mengatakan demikian sebab dari upah menggali kubur buat tempat orang meninggal dunia bisa menambah penghasilan dirinya.

Biasanya, Samiun mendengar orang meninggal dari para warga. Setelah mendengar kabar ada orang meninggal ia pergi ke kuburan. Dengan duduk-duduk di pintu gerbang kuburan, pihak keluarga yang meninggal akan menghampiri dirinya untuk meminta tolong membuatkan liang lahat. Selepas acara pemakaman, biasanya para keluarga akan menyodorkan amplop yang berisi uang.

Samiun senang bila ada orang-orang di Pecinan meninggal dunia. Sebab dari menggali kubur orang-orang Pecinan, upahnya lebih tinggi dan lebih banyak. Untuk mengetahui orang Pecinan meninggal, biasanya dirinya suka-jalan-jalan di daerah itu. Bila di daerah Pecinan ada yang meninggal, ia langsung menawarkan diri sebagai penggali kubur. Tawaran yang diajukan, biasanya tak pernah ditolak sebab dalam kondisi kalut dan sedih, biasanya pihak keluarga langsung mengiyakan orang-orang yang menawarkan jasa pengurusan jenazah.

Ia bisa menawarkan jasanya sebab proses pemakamannya berbeda, bila warga sekitarnya meninggal langsung dimakamkan, lain dengan orang Pecinan, proses dari meninggal hingga pemakaman bisa memerlukan waktu 2 sampai 3 hari.

***

Pagi hari di sekolah Sobar terjadi kegaduhan, masing-masing anak bercerita dengan versi masing-masing. Apa yang diceritakan? Kematian Dewi. Dewi adalah salah seorang siswi sekolah itu. Sebuah nasib yang tragis, sepulang less privat bahasa Inggris, Dewi yang mengendarai sepeda tertabrak sebuah mobil yang melaju dari arah yang berlawanan.

Kejadian itu lebih mencekam dan menakutkan sebab terjadi menjelang maghrib di sebuah jembatan tua peninggalan Belanda. Pergantian dari sore ke malam, maghrib, dipercayai masyarakat sebagai sebuah waktu yang perlu mengumandangkan doa sebab pada hari itu diyakini, setan-setan mulai gentayangan.

Cerita dari masing-masing anak itu bumbunya mungkin bertambah renyah sebab pengemudi mobil yang menghempaskan Dewi bersama sepeda mininya itu adalah Pak Soemardi. Pak Soemardi adalah orangtua Dona dan Doni, anak kembar yang juga sekolah di SMP itu, seangkatan dengan Sobar dan Dewi.

Meninggalnya Dewi tentu membuat teman-teman dan pihak sekolah merasa kehilangan. Untuk menunjukkan rasa duka cita, seluruh siswa yang seangkatan dengan Dewi diharapkan melayat bersama. Selepas jam 11.00 siang, ratusan siswa berduyun-duyun menuju ke rumah Dewi dengan naik sepeda. Mereka ada yang berboncengan, ada pula yang sendiri-sendiri.

Sobar saat itu naik sepeda, berboncengan dengan Sukat. Mereka mengayuh sepeda pancal itu bergantian. Rumah Dewi dari sekolah itu lumayan jauh sehingga semua yang menuju ke sana harus mengeluarkan tenaga ekstra.

Setelah keringat bercucuran, sampailah Sobar, Sukat, dan beberapa temannya  tiba di rumah Dewi. Setelah memparkir sepedanya, mereka menuju rumah duka. Belum tiba di rumah duka, dirinya sudah disambut oleh beberapa pemuda. Mereka menyodorkan makanan dan minuman. Tradisi di kampung, meski pihak keluarga dalam keadaan duka, namun mereka tetap menjamu para pelayat.

Santapan, makanan dan minuman, yang diterima oleh Sobar, Sukat, dan yang lain itu tentu menggiurkan mereka sebab perut dan leher sepertinya perlu diisi dan dibilas. Mereka mencari tempat duduk, di sebuah pojok rumah. Di tempat itulah mereka mengunyah makanan yang disodorkan oleh beberapa pemuda tadi.

Di tengah menikmati makanan yang terdiri dari nasi putih, daging ayam, tempe yang diracik, mie, dan sayuran, ratusan temannya yang lain datang. Ratusan temannya itu langsung menyeruak di depan dan samping rumah duka. Mereka datang belakangan bisa jadi mereka santai dalam mengayuh sepeda.

Seiring kedatangan ratusan teman yang melayat ke rumah Dewi, pihak keluarga berkehendak segera mempercepat proses pemakaman. Tak lama kemudian, dari rumah duka keluar keranda mayat yang diselimuti kain hijau yang bertuliskan huruf arab yang lafadz-nya berbunyi Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Keluarnya keranda dari rumah duka membuat suasana menjadi haru. Banyak di antara mereka sedih sebab Dewi adalah anak yang baik dan ramah.

Setelah didoakan oleh Pak Modin, keranda itu langsung diusung menuju ke kuburan. Para pelayat, langsung mengiringi jenazah itu. Di sepanjang jalan, lantunan doa dikumandangkan tak putus-putusnya. Iring-iringan pembawa jenazah itu menyusuri jalan desa, ladang, sawah, dan kebun dilalui.

Dari kejauhan, kuburan itu sudah terlihat. Kuburan itu berpagar pohon hidup, di tengahnya tumbuh pohon besar. Di area itu puluhan orang tengah duduk berkerumun. Mereka menunggu jenazah yang hendak dimakamkan. Lubang kubur itu digali oleh para warga yang sejak tadi pagi berada di tempat itu. Di lubang kubur itulah yang akan menjadi tempat peristirahatan untuk selamanya buat Dewi.

Iring-iringan pembawa jenazah pun memasuki kuburan itu. Setelah melewati beberapa makam, keranda itu tiba di dekat lubang kubur. Selanjutnya diturunkan tepat di sampingnya. Isak tangis terdengar di tengah ratusan orang. Mereka adalah keluarga Dewi. Mereka menangis sebab sebentar lagi akan berpisah untuk selama-lamanya.

Setelah keranda teronggok di samping lubang kubur, kain warna hijau yang menyelimuti dibuka. Begitu tersingkap, sesosok mayat membujur dengan diselimuti kain kaffan putih bersih. Pak Modin pun membacakan doa agar jenazah, ahli kubur, diberi keselamatan selama berada di alam yang baru, alam setelah dunia.

Pak Modin pun meminta para pelayat untuk membaca Surat Yassin dan Al Fatihah. Suara dengung terdengar saat para pelayat membaca doa-doa itu. Begitu doa selesai diucapkan dari ratusan mulut, tiba-tiba terdengar suara adzan. Adzan dikumandangkan untuk mengantarkan jenazah dimasukkan ke liang lahat.

Usai adzan, beberapa orang langsung membopong mayat itu. Sebab mayat itu perempuan, maka di atas lubang kubur dibentangkan kain untuk menutupi. Kain itu merupakan hijab terakhir kalinya buat sang mayat perempuan. Di lubang kubur sudah ada beberapa orang. Mayat itu selanjutnya disodorkan kepada orang yang berada di lubang kubur dan oleh mereka secara perlahan direbahkan secara perlahan-lahan dalam liang lahat. Liang lahat itu selanjutnya ditutup dengan papan kayu. Begitu liang lahat tertutup papan kayu, orang-orang yang berada di lubang kubur naik ke atas.

Para penggali kubur langsung mengayunkan cangkulnya untuk memindahkan tanah yang berada di sekitarnya masuk ke lubang kubur. Secara perlahan tanah mulai menguruk lubang itu. Sobar berada di tepi kubur itu. Salah seorang penggali kubur tahu ada anak Samiun sang penggali kubur berada tak jauh darinya. Penggali kubur itu langsung menyapa, “Bar ayo bantu.” Sobar terperanjat disapa oleh salah satu penggali kubur. Dirinya berpikir siapa orang itu kok hafal dengan dirinya.

“Kamu anaknya Samiun to,” ujar penggali kubur itu sekali lagi,

Sobar secara reflek mengangguk mengatakan iya.

“Bapakmu itu temanku,” penggali kubur itu menjelaskan.

“Sudah ayo bantu menguruk lubang kubur temanmu ini.”

Di tengah rasa malu sebab berada di antara teman-temannya, Sobar mengambil cangkul yang tergeletak di sampingnya. Setelah dipegang, cangkul itu diayunkan ke tanah dan digerakkan ke lubang kubur sehingga memindahkan tanah itu menuju ke dalam. Setelah sekian waktu, akhirnya lubang kubur itu sudah tertutup tanah. Sebuah gundukkan tanah terbentuk di atasnya.

Ketika penimbunan selesai, dua batu nisan ditancapkan di atasnya. Salah satu nisan tertulis dengan jelas nama Dewi serta tanggal lahir dan kematiannya. Begitu batu nisan menancap di gundukan tanah itu, semua duduk melingkar dan Pak Modin pun memimpin doa. Pak Modin memimpin doa dan para pelayat mengamini. Akhir doa semua mengamini dengan panjang dan serempak. Selepas itu, para pelayat meninggalkan tempat.

Sobar yang tangan dan kakiknya terkena tanah basah, juga segera meninggalkan tempat itu. Ia mencari sumur untuk membersihkan tangan dan kaki dari tanah basah yang melekat padanya. Untung tak jauh dari kuburan itu ada rumah penduduk. Ia mendatangi sumur yang ada, “mbah numpang ke sumur buat cuci tangan dan kaki ya,” ujar Sobar pada seorang kakek yang duduk di rumah. Kakek itu sepertinya diam, mungkin pendengarannya kurang. Di tengah ragu-ragu karena belum diberi ijin, tiba-tiba ada suara keluar, “o yo le, o ya mas, silahkan.”

Tak lama kemudian dari rumah itu muncul pria paruh baya. Ia tersenyum dan mempersilahkan Sobar menimba air untuk membersihkan tangan dan kakinya dari kotaran tanah. Ia menimba air. Setelah air yang berada di dalam sumur yang dalam itu berhasil diangkat, air itu diguyurkan ke kaki dan tangan. Air melimpah membasuh semuanya.

Usai membersihkan kaki dan tangan, Sobar mengucapkan terima kasih dan pamit kepada pemilik sumur. Ia meninggalkan tempat itu. Di pintu masuk halaman rumah pemilik sumur, Sobar berpapasan dengan penggali kubur yang tadi menyapa dirinya. Sepertinya ia hendak melakukan hal yang sama, membersihkan tubuh dari kotaran tanah.

“Hai, piye kabarmu,” sapanya.

“Bapakmu sehat kan?”

Ditakoni ojo mlongo ae, ditanya jangan bengong saja.”

Penggali kubur itu sepertinya jengkel pada Sobar sebab saat ditanya ia hanya diam. Penggali kubur itu tiba-tiba tersenyum. Ia sadar, bisa jadi memang Sobar belum kenal dengan dirinya sehingga membuat Sobar bingung.

Gini lo le, begini lho,” ia sepertinya mulai menerangkan.

“Nama saya Gino.”

“Saya teman bapakmu yang suka menggali kubur di ngebong, kuburan China.”

“Aku dulu tahu kamu saat kamu masih SD.”

Dadi awakmu mungkin lali, jadi mungkin kamu lupa.”

“Beberapa bulan ini saja aku nggak ketemu bapakmu sebab aku sibuk ngurus kambing di rumah.”

“Bapakmu masih jadi penggali kubur to?”

Setelah mendengar penjelasan itu, Sobar jadi paham siapa pria yang menyapa dirinya ramah itu.  “Oh Mas Gino to,” ujar Sobar dengan tersenyum.

“Ya mas, bapak masih jadi penggali kubur selain masih jualan buah pohon kelapa.”

“Sudah ya mas kalau begitu, aku buru-buru pulang sudah ditunggu Sukat.”

Mendengar Sobar hendak pergi, Gino langsung berujar, “sik-sik le, bentar-bentar.”

Iki aku sangoni, ini saya beri bekal,” ujarnya sambil menyodorkan beberapa lembar uang ke tangan Sobar. Mendapat uang, tentu Sobar seneng. “Matur suwun mas, terima kasih,” ucapnya sambil sumringah.

“Sudah mas, aku jalan ya,” ucapnya sambil ngeloyor.

Yo le, ati-ati, ya hati-hati ya,’ balas Gino.     

****

Waktu terus berjalan, Sobar pun beranjak remaja. Sebagai anak piatu, dirinya bisa tumbuh berkembang sebagai mana anak lainnya. Di saat sendiri saja kadang Sobar berpikir mengapa dirinya tidak mempunyai ibu seperti anak-anak lainnya. Dirinya pernah bertanya pada ayahnya, Samiun, mengapa dirinya tidak mempunyai ibu. Mendapat pertanyaan seperti itu, ayahnya sudah menjelaskan bahwa ibunya meninggal saat dirinya masih kecil.

Jawaban itu sepertinya sudah membuat Sobar paham. Samiun merasa lega sebab anaknya tidak bertanya lebih jauh apa penyebab ibunya meninggal. “Sudahlah nggak usah dipikirkan, yang penting ada bapak,” tutur Samiun pada Sobar setiap menjelaskan soal ibunya.

Sebagai orangtua, Samiun ingin menyekolahkan anaknya sekuat tenaga. Saat ini Sobar sudah duduk di bangku sekolah menengah atas, SMA. Capaian yang demikian merupakan capaian yang bagus untuk di kalangan masyarakat desa, sebab banyak anak-anak selepas SMP mereka tidak melanjutkan sekolah. Tenaganya dibutuhkan orangtuanya untuk membantu di ladang, kebun, dan sawah.

Sebagai anak SMA, sekarang Sobar sudah bisa mengatur dirinya. Hal demikian membuat Samiun tak perlu dipusingkan seperti pada saat dirinya masih kecil yang harus dititipkan pada Mbah Nah. Sobar bahkan sering ikut membantu pekerjaan Samiun dan mempersiapkan kebutuhan sehari-hari.

Ayo le, ayo nak, ikut bapak,’ ujar Samiun pada Sobar pada sebuah siang.

“Ke mana pak?” tanya Sobar.

“Ke kuburan menggali liang lahat,” jawab Samiun.

“Bapak mengajak kamu sebab penggali kubur satunya nggak bisa. Tangannya katanya kesleo.”

Sobar anak yang baik, ia tahu perjuangan ayahnya yang membiayai dirinya untuk sekolah. Untuk itu dirinya tak mau membantah perintah orangtuanya. Ia mengiyakan ajakan itu. “Iya pak,” ujar Sobar dengan pelan. Setelah Sobar tak merasa keberatan, dua orang itu pergi ke kuburan. Di pundak keduanya terpanggul cangkul. Di tangan kanan Samiun memegang sabit, sedang di tangan kiri Sobar membawa linggis. Alat-alat itulah yang akan digunakan untuk menggali tanah di pemakaman untuk dijadikan lubang kubur.

Pada hari itu, Pak Atmo meninggal dunia. Dulunya ia adalah kepala sekolah swasta. Sekolah swasta yang dikelolanya cukup maju. Berbagai prestasi di tingkat kabupaten diraih. Setelah dirinya pensiun, dirinya diganti oleh anaknya.

Menurut kabar, Pak Atmo meninggal dunia karena penyakit gula. Penyakit itu dideritanya sudah sejak lama. Setelah opname di rumah sakit selama dua bulan, akhirnya nyawanya tak tertolong.

Sesampai di kuburan, sudah ada dua penggali kubur lainnya. Empat orang dianggap oleh Samiun sebagai jumlah yang ideal. Kalau hanya dirinya dan Sobar tentu dirasa berat dan memakan waktu yang lama. Dalam menggali kubur, memang di antara penggali kubur saling memberitahu dan bila ada permintaan penggalian akan dikerjakan bersama-sama. Upah yang didapat akan dibagi secara adil.

Pada hari itu, para penggali kubur merasa senang sebab tanah yang digali terasa ringan sebab hujan tadi malam yang mengguyur membuat tanah menjadi lembek sehingga membuat tenaga yang dihempaskan tidak terlalu ngoyo. Tanah yang lembek membuat proses pembuatan lubang kubur dan liang lahat cepat selesai.

Setelah setengah jam penggalian lubang kubur selesai, jenazah Pak Atmo tiba. Proses pemakamannya pun lancar. Rintik-rintik hujan yang turun tak mengganggu proses pembumian jenazah itu.

Sebelum keluarga Pak Atmo meninggalkan peristirahatan terakhirnya, salah seseorang menghampiri Samiun. Dengan sembunyi-sembunyi ia menyelipkan segepok uang. Cara sembunyi-sembunyi merupakan cara yang sopan sebab kalau diberi secara vulgar, di depan mata banyak orang, hal demikian dirasa tak elok. “Terima kasih mas,” ujar Samiun pada orang itu.

“Sama-sama,” ujar pria yang sepertinya anaknya Pak Atmo.

Setelah semuanya meninggalkan tempat itu, kecuali Samiun, Sobar, dan dua penggali kubur lainnya, mereka berempat menuju ke balik pohon besar. Di balik pohon itu mereka membagi uang secara adil. Semuanya merasa senang.

“Sudah ya kang kalau begitu, aku pulang,” ujar salah satu di antara dua penggali kubur itu.

“Ya mas, sama-sama, nanti kalau ada rejeki lagi, kita bagi-bagi,” sahut Samiun.

Meski anaknya sendiri, Samiun tetap membagikan rejeki yang ada juga kepada Sobar. Apa yang dilakukan itu sebagai bentuk menghargai kerja orang lain. Mendapat beberapa lembar uang, Sobar kikuk.  “Nggak usah, nggak usah pak,” ujarnya sambil menyorongkan kembali uang itu. Sobar menolak bisa jadi dilandasi alasan bahwa orangtuanya sudah susah bekerja keras untuk dirinya sehingga tak elok bila menerima uang itu.

“Sudahlah, terima saja, buat pegangan kamu,” ujar Samiun.

Sobar terdiam, dirinya berpikir apa yang dikatakan orangtuanya itu benar. Diakui bahwa di sekolah banyak kegiatan yang  terkadang membutuhkan uang untuk bisa ikut acara-acara itu. “Oh matur suwun, terima kasih, pak kalau begitu,” ucap Sobar.

****

            Semua berteriak girang saat ada pengumuman bahwa pada hari sabtu-minggu ada kegiatang Persami, perkemahan sabtu-minggu, ke Telaga Biru. Telaga Biru adalah sebuah tempat wisata yang jaraknya dari sekolah Sobar sekitar 30 km. Tempat itu merupakan wahana wisata alam di mana danau yang luas terhampar, dikelilingi oleh hutan cemara.

Setiap hari libur, orang ramai mengunjungi. Selain untuk melepas lelah dengan menikmati indahnya alam dan sejuknya hawa pegunungan, juga untuk merasakan lezatnya gurame dan nila bakar.

            Sobar dan teman-temannya ikut dalam Persami itu. Mereka termasuk siswa yang gemar terlibat dalam acara yang berbau alam dan lingkungan. Untuk itu, acara yang jarang-jarang digelar itu akan diikuti.

“Kapan kamu daftar acara itu,” tanya Rudi pada Sobar yang tengah ngaso di bawah pohon.

“Selepas jam sekolah,” balas Sobar.

“Memang kamu juga mau ikut?”

“Ya,” jawab Rudi dengan singkat.

“Sepertinya yang mau ikut banyak.”

“Saya juga ikut sebab Lucia ikut,” ujar Rahmad.

Mendengar apa yang dikatakan Rahmad, mereka yang berada di bawah pohon itu langsung berseru, “huuuu......”

“Cewek saja yang dipikir,” ujar Bagong bersungut-sungut.

Di tengah perbincangan itu, tiba-tiba terdengar dentangan besi yang dipukul berulangkali, “teng, teng, teng, teng....” Suara itu memekakkan telinga. Suara itu menandakan jam ngaso sudah selesai dan mereka harus kembali ke kelas untuk mengikuti jam pelajaran selanjutnya.

Sobar dan yang lain berhambur menuju kelas. Di dalam kelas, teman-temannya yang lain sudah duduk manis. Setelah semua masuk, tak lama kemudian guru matematika, Pak Toti, datang. Kehadiran Pak Toti ke kelas, sikap masing-masing siswa beragam, ada yang suka, ada yang biasa-biasa, ada pula yang benci. Guru itu dianggap oleh banyak siswa terbilang sok, merasa paling hebat. Tak hanya itu, ia sering mencari perhatian pada muridnya sendiri. Kesalahan kecil dari siswa dibesar-besarkan. Dalam mencari perhatian itulah, Pak Toti menghukum semuanya padahal masalah itu tak ada hubungannya dengan pelajaran yang diberikan.

Sobar sendiri sebenarnya tak masalah dengan pola pengajaran Pak Toti namun dirinya berharap agar waktu cepat berlalu bila ia memberi pelajaran. Suasana terasa membosankan bila Pak Toti berada di depan kelas.

Setelah guru matematika itu bercuap-cuap dengan teorinya, dentang besi yang dipukul terdengar kembali. Mendengar suara yang menusuk di gendang telinga itu secara serentak, semuanya berteriak, “horeee....” Mendengar jeritan bahagai itu, Pak Toti tersenyum kecut. Dalam hatinya, ia bergumam, “kayak nonton bioskop saja.”

Dengan muka kecut, guru itu meninggalkan kelas. Serta merta, seluruh yang ada di ruangan menghambur keluar seperti air keluar dari bendungan jebol. Akibat yang demikian mereka ada yang bersenggolan. Lucia yang sedang berjalan pun tersenggol oleh Sobar. Sobar merasakan empuk tubuh gadis paling cantik di sekolah itu.

“Maaf, maaf, maaf,” ujar Sobar dengan sedikit mengiba.

Lucia hanya diam. Sorot matanya tajam. Terlihat meski ia marah namun kecantikannya tak pudar malah bertambah. “Makanya hati-hati,” ujarnya dengan sewot.

Rahmad yang memperhatikan kejadian itu selanjutnya mendekati Sobar, “gila kamu Bar, dapat rejeki,” ujarnya dengan muka masam. Sobar hanya tersenyum. Ia terus melangkah meninggalkan ruangan itu menuju ke ruang Pramuka. Di tempat itulah pendaftaran buat mereka yang ingin ikut Persami. Terlihat sudah banyak siswa mengantri untuk mendaftarkan diri. Di kerumunan pendaftar, Sobar melihat Lucia bersama Rahmi, Nita, dan Sopia. Sobar berpikir, hebat juga itu cewek-cewek cantik pada ikut.

Di saat terpesona melihat mereka, pundak Sobar ditepuk Rahmad. “Hai,” ujarnya sambil menepuk pundak Sobar. Apa yang dilakukan itu membuat Sobar terperanjat. “Bikin kaget saja,” ujarnya dengan bersungut-sungut. Rahmad tertawa melihat hal yang demikian. “Makanya jangan melihat cewek cantik saja,” ucap Rahmad yang masih tertawa.

“Kamu sudah daftar?” laki-laki itu bertanya.

“Ini baru mau,” sahut Sobar.

“Ya sudah kita bareng saja,” Rahmad menimpali.

Mereka masuk dalam antrian. Satu persatu mereka yang ingin ikut Persami dilayani dan dicatat secara resmi sebagai peserta. Syarat yang diminta bisa dipenuhi oleh Sobar. Uang pendaftaran yang tertera bisa dibayar lunas. “Syukur kemarin ada orang mati sehingga orangtua bisa menggali kubur dan mendapat upah,” Sobar mengatakan demikian tanpa sadar.

***

Di halaman sekolah, puluhan siswa dengan seragam Pramuka berbaris rapi. Mereka mengikuti apel untuk upacara pemberangkatan ke Telaga Biru. Acara itu sepertinya acara istimewa sebab dilepas langsung oleh Kepala Sekolah.

Setelah semua barisan disiapkan oleh komandan upacara, Kepala Sekolah melangkah ke tengah lapangan. Saluran pengeras suara berada di depan mulutnya. Selepas komandan upacara melantangkan agar barisan istirahat di tempat, Kepala Sekolah mulai memberi sambutan. “Salam Pramuka,” kata Kepala Sekolah. Salam itu disambut oleh peserta dengan teriakan salam. Tak hanya mengucapkan salam, Kepala Sekolah juga meneriakkan. “Tepuk Pramuka.”

Ajakan melakukan Tepuk Pramuka langsung disahuti oleh semua dengan menepukkan kedua belah telapak tangan sehingga terjadi suara, “prok prok prok, prok prok prok prok...

Setelah senyap, di depan pengeras suara, Kepala Sekolah berdehem. Tanpa disadari, deheman itu masuk ke aliran listrik sehingga suara itu membahana. Kejadian itu membuat semuanya tersenyum sehingga membuat konsentrasi istirahat di tempat terganggu. Melihat kejadian yang demikian, agar cekikikan tertawa itu tak bertambah panjang, Kepala Sekolah langsung memberi sambutan.”

“Anak-anakku sekalian, hari ini kita berbahagia sekali sebab bisa bertatap muka di lapangan sekolah. Ini semua berkat nikmat yang Tuhan berikan kepada kita. Untuk itu selayaknya kita terus bersyukur padaNya.”

“Sebagaimana kita ketahui, bahwa hari ini kalian akan melakukan Persami ke Telaga Biru. Sebuah tempat wisata yang indah dan sejuk. Dalam kegiatan itu, saya harap anda tidak hanya bersenang-senang namun bagaimana kalian bisa melatih kerja sama, solidaritas, sabar, dan mendahulukan kepentingan orang banyak di atas kepentingan pribadi.”

“Selepas acara ini, saya yakin kalian akan menjadi manusia yang tangguh, tahan banting, dan bisa bertahan di tengah kesulitan. Untuk itu manfaatkanlah acara ini dengan sebaik-baiknya.”

Selepas bertutur kata secara panjang lebar, Kepala Sekolah mengakhiri pidatonya. Ia meninggalkan podium dan selanjutnya komandan acara membubarkan barisan. Ketika barisan bubar, semuanya menghambur mencari tempat berteduh. Sebelum mereka menemukan tempat untuk berteduh, tiba-tiba terdengar pengumuman yang memberitahukan kepada seluruh peserta untuk segera menuju truck yang telah tersedia sesuai dengan nomer urut pendaftaran.

Pengumuman itu masuk ke telingan Sobar dan yang lainnya. Mereka melihat nomer urut pendaftaran. Begitu nomer urut diketahui, mereka bergegas menuju truck. Riuh terdengar dari mereka saat mencari truck yang sesuai dengan nomer urut pendaftarannya. Sobar akhirnya menemukan truck yang dicari, ia segera naik ke bak terbuka di bagian belakang. Barangnya ditaruk di pojok. Dirinya menarik nafas dalam-dalam sebab dirinya sudah berada di atas angkutan yang akan membawa ke Telaga Biru. Di tengah asyiknya menikmati suasana, dirinya mendengar suara yang mengatakan, “tolongin dong.” Dirinya mencari arah suara itu. Begitu suara itu ditemukan, dirinya melihat Lucia, Rahmi, Nita, dan Sopia masih berada di bawah. Sobar sontak senang sebab mereka satu truck dengan dirinya.

“Tolongin bantu naik dong,” ujar Lucia sambil memandang Sobar.

Apa yang diinginkan Lucia langsung direspon dengan cepat oleh Sobar, “iya, iya, iya,” ujarnya. Ia langsung melangkah menuju mereka. Tangannya disodorkan dan sodoran tangan itu disambut dengan sodoran tangan Lucia. Setelah berpegangan, kemudian tangan itu ditarik sehingga Lucia terangkat naik ke atas truck.

“Terima kasih ya,” ujar Lucia.

Selanjutnya ia menolong Rahmi, Nita, dan Sopia sehingga semuanya bisa naik di atas truck. Peserta yang lain pun naik secara bergantian dan saling tolong sehingga akhirnya bak terbuka truck itu disesaki oleh peserta.

Batin Sobar senang sekali sebab selain dirinya satu truck dengan para gadis cantik itu, dirinya juga bisa memegang tangan-tangan halus mereka. “Rejeki ini,” gumamnya dalam hati sambil tersenyum.

Saat Sobar melihat truck yang lain, ia melihat Rahmad, Bagong, dan Rudi berada di sana. Ketika Sobar melempar senyum pada mereka, Rudi dan Bagong membalas senyuman itu. Lain dengan Rahmad yang cemburut saja. Rahmad cemburut bisa jadi karena tidak bisa satu truck dengan Lucia, gadis yang ditaksirnya.

***

            Setelah melintasi jalan mendaki, tikungan tajam, dan jepitan tebing, akhirnya beberapa truck yang membawa peserta Persami tiba di Telaga Biru. Truck itu menuju ke depan Kantor Kecamatan. Tempat itu dipilih sebab di depan Kantor Kecamatan ada lapangan luas. Di tanah lapang yang ditumbuhi rumput hijau segar itulah truck-truck yang telah mengangkut para pelajar itu diparkir.

Setelah berhenti sempurna, peserta berhamburan turun. Sobar turun duluan dengan harapan agar bisa menolong Lucia, Rahmi, Nita, dan Sopia. Begitu menginjakkan kaki di tanah, ia berharap sekali agar mereka meminta bantuan pada dirinya untuk bisa turun. Rupanya keinginannya itu sebatas mimpi sebab mereka rupanya memilih melompat dari truck. Begitu lewat di depan Sobar, mereka pun tak menolehnya. “Sialan,” ujar Sobar dengan perasaan kecut.

“Maunya menolong, eh malah dicuekin.”

Kesal, Sobar ingin segera meninggalkan tempat itu. Saat kakinya hendak melangkah, tiba-tiba terdengar suara, “hai tolongin dong.” Mendengar suara itu, Sobar berpikir siapa dia. Bukankah Lucia, Rahmi, Nita, dan Sopia, semuanya sudah turun. “Apakah masih ada gadis yang di atas truck?” tanya Sobar dalam hati. Ia membalikkan badan. Begitu badannya sudah menghadap truck, matanya tertuju pada seorang, “lhaahhhhh...”

Reflek mengatakan demikian. Reflek mengatakan demikian sebab melihat ada Della. Della di sekolah dijuluki si gembrot. Julukan itu tepat disematkan padanya sebab tubuhnya besar seperti gentong. Bobotnya bisa jadi di atas 100 kg. Saking tambun tubuhnya membuat jalannya seperti berat sekali.

Setelah melihat Della, Sobar ingin lari namun dirinya ingat pesan Kepala Sekolah agar bisa belajar solidaritas dan mendahulukan kepentingan orang banyak di atas kepentingan pribadi. Pesan itu yang menahan dirinya untuk tidak lari dan harus menolong Della.

“Iya, iya saya tolong,” sambut Sobar dengan tersenyum.

Della menyodorkan tangan dan sodoran tangan yang besar itu disambut. Digenggamnya tangan Della. Tak disengaja Della melompat. Tak masalah bila lompatan itu mengarah di sampingnya. Masalahnya ketika ia melompat pada arah dirinya berdiri sehinggan tubuh berat itu menabrak tubuh Sobar dan Sobar pun terguling. Lebih sial lagi ketika dalam posisi jatuh, tubuh Della menimpa Sobar yang terlentang. “Heekkkk,” begitu  terdengar suara dari mulut Sobar saat daging seberat 100 kg itu jatuh di atas tubuhnya.

Di tengah rasa sakit, dirinya mendengar suara cekakakan orang tertawa. Rupanya kejadian itu dilihat oleh Lucia, Rahmi, Nita, Sopia, Rudi, Rahmad, Bagong, dan banyak yang lainnya. Mereka terpingkal-pingkal melihat kejadian itu.

“Rasain tuh,” ujar Rahmad dengan spontan.

***

“Ayo kumpul, kumpul, kumpul,” ujar salah seorang kakak panitia Persami, senior di Pramuka. Mendengar perintah itu, semuanya langsung berlarian menuju ke tengah lapangan. Mereka pun membentuk barisan. Setelah pada berjajar, kakak panitia melihat barisan itu tidak rapi sehingga ia memerintahkan untuk merapikan barisan. Perintah kakak panitia itu mampu membuat barisan menjadi lebih rapi. “Nah begitu,” ujar kakak panitia setelah melihatnya.

Ketika semua sudah siap, Kakak Pembina Pramuka Sekolah, Kak Mulyono, memasuki lapangan upacara. Apel itu dilakukan untuk menyambut kedatangan peserta di Telaga Biru. Kak Mulyono menuturkan bahwa selepas apel, selurub peserta yang sudah dibagi kelompoknya diharuskan mendirikan tenda dan perlengkapan lainnya.

“Apakah semuanya siap?!” tanya Kak Mulyono.

Pertanyaan itu dijawab dengan serentak oleh seluruh peserta, “siap.....”

“Bagus,” sahut Kak Mulyono dengan rasa bangga.

“Baik, setelah apel ini selesai, kalian harus secepatnya mendirikan tenda.”

Usai mengatakan demikian, Kak Mulyono mengakhiri pidato. Ia meninggalkan lapangan upacara. Tak seberapa lama, komandan upacara memberi aba-aba bahwa upacara selesai dan barisan dibubarkan.

Peserta langsung menghambur ke kelompok masing-masing dan sibuk mendirikan tenda. Mereka ada yang bertugas menancapkan patok, ada yang bertugas membuat tali temali, ada yang sibuk membentangkan kain tenda. Kerja sama di antara masing-masing kelompok yang mempengaruhi cepat atau lambatnya tenda berdiri.

Di tengah asyiknya para peserta mendirikan tempat yang nanti akan dijadikan ruangan berteduh dari panas dan hujan, bila turun, terlihat Dorki dan Tora duduk di tepi Telaga Biru. Mereka sepertinya asyik ngobrol. Dua orang itu memang terbilang cuek dengan apa yang biasanya disibukkan oleh teman-temannya.

“Saya suka wisata alam,” ujar Dorki.

“Tapi kalau disuruh sibuk-sibuk seperti mereka saya tak mau.”

“Saya juga demikian,” balas Tora.

“Saya suka bebas apa mauku.”

“Biarlah mereka sibuk mendirikan tenda,” Dorki berujar demikian sambil melemparkan batu ke tengah telaga.

“Tak ada kita tak mengurangi kerja mereka.”

“Terlalu banyak bila orang sebanyak itu mendirikan tenda.”

“Kakakku yang aktif di organisasi mahasiswa pencinta alam mengatakan, bila sudah pengalaman, mendirikan tenda cukup dilakukan satu sampai dua orang.”

Tora tersenyum mendengar apa yang dikatakan itu. Mata Tora yang memandang ke sebuah tempat, tiba-tiba tertuju pada sebuah getek, sampan, yang teronggok di tepi telaga. Sampan yang terbuat dari kayu itu menarik hati Tora.

“Dor,” Tora memanggil temannya itu.

Dorki menoleh.

“Ada apa?” tanyanya.

“Itu ada sampan di sana, ayo kita gunakan untuk menyusuri Telaga Biru,” ujar Tora sambil menunjuk apa yang dikatakan itu.

“Mana?” tanya Dorki. Dorki bingung di mana sampan itu sebab warnanya serupa dengan warna tanah dan batu yang ada di sekitarnya, coklat kehitam-hitaman.

“Itu, tu,” Tora pun menjelaskan kembali sambil melemparkan batu ke arah di mana sampan itu teronggok.

Setelah tahu posisi sampan, Dorki manggut-manggut.

“Mau nggak?” Tora menanyakan kembali tawarannya pada Dorki untuk menggunakan sampan itu menyusuri Telaga Biru. Dorki diam tak menjawab. Tak ada kepastian, Tora bangkit dari duduknya dan melangkah meninggalkan temannya itu. Tak disangka, Dorki bangkit dari duduknya dan membuntuti Tora. Kedua orang itu menyusuri tepi Telaga Biru menuju di mana sampan itu berada.

Tiba di tempat itu, Tora sumringah. Dilihat sampan yang membujur itu masih bagus dan di dalamnya ada dayung yang tergeletak. Dipandangi beberapa saat alat angkut di atas permukaan air itu. Setelah puas memandangi, ia mendorong bagian belakang sampan sampai seluruhnya menyentuh air. Setelah semua menyentuh air, sampan itu mengapung.

“Hihihihi....” Tora tersenyum puas.

Sebab tak sabar, ia langsung naik pada sampan dan duduk pada kayu yang menyilang. Sampan bergoyang ke kanan kiri. Gerakkan itu bisa jadi untuk membuat keseimbangan.

”Ayo kalau mau,” ucap Tora sambil menunjukkan dayungnya.

Sebab sudah berulangkali Tora menawari, membuat Dorki merasa tak enak hingga ia langsung menyusul duduk di sampan. Saat Dorki sudah duduk tak jauh dari Tora, sampan tertekan lebih dalam, agar tak kandas, Tora langsung mengayuhkan dayungnya sehingga sampan bergerak di ke atas permukaan yang memiliki kedalaman lebih sehingga sampan tetap bisa mengapung.

Setelah kondisinya stabil, imbang, Tora langsung mengayuhkan dayungnya, sampan pun maju. Dayung pun digerakkan terus sehingga tak sadar, mereka sudah berada di tengah Telaga Biru. Di tengah telaga itu, Dorki dan Tora asyik menikmati indahnya pemandangan, Terlihat hutan dan pegunungan yang mengelilingi tengah diselimuti kabut sehingga samar-samar terlihat.

Suasana hening membuat kecipak ikan yang berenang terdengar begitu jelas. Desah angin berhembus yang menyentuh permukaan air membuat garis-garis terpola. Daun jatuh dari pohon melayang seperti burung kecil yang mengepakkan sayapnya tak putus-putus.

Tanpa disadari, di tengah mereka menikmati harmoni alam, air merembes dari bawah semakin cepat. Setitik lubang yang terus didesak oleh jutaan meter kubik air yang berada di bawah, mengakibatkan lubang itu semakin lama semakin membesar.

Dorki melihat ke celananya, “wah kok basah,” ujarnya. Dirinya heran, tidak menyentuh air tetapi mengapa ada air yang merembes sampai celananya. “Tor celanamu basah?” tanya Dorki padanya.

Tora memegang celananya. “Tidak,” jawabnya singkat.

“Celanaku kok basah ya,” ucap Dorki sambil menunjukkan celananya.

Tora curiga atas apa yang terjadi pada temannya itu dan ia segera melihat apa yang terjadi di tempat yang diduduki oleh Dorki. Begitu melihat apa yang terjadi, wajah Tora langsung pucat. Tubuhnya menjadi lunglai. Dorki tahu terjadi perubahan yang mendadak pada fisik Tora, hingga ia langsung bertanya, “ada apa Tor?”

“Sampan bocor,” ujarnya dengan lirih.

Mendengar apa yang dikatakan itu, Dorki mengalami hal yang sama dengan apa yang dialami Tora, wajahnya menjadi pucat dan tubuhnya lunglai. Mereka bingung apa yang harus dilakukan. Jarak dari tengah telaga ke tepian terbilang jauh. Rumah yang ada di sekeliling telaga dari tempat itu terlihat samar-samar.

“Kamu bisa berenang?” tanya Tora

Dorki menggeleng.

“Kalau kamu?” Dorki balik bertanya.

Tora juga melakukan gerakan yang sama dengan Dorki, menggeleng yang menunjukkan dirinya tak bisa berenang.

“Woiiii, tolooooong..... “ teriak Tora seketika di tengah kecemasan.

“Tolooooongggg saya, perahu bocor,” Dorki menambahkan.

Suara dua anak muda itu sahut menyahut namun sepertinya suara itu hilang ditelan oleh luasnya alam yang menaungi. Suara itu tak menggaung namun diserap oleh batang, ranting, dan daun pada tetumbuhan di sekeliling telaga. Di tengah upaya menyelamatkan diri, air yang meresap ke dalam sampan semakin banyak. Lubang bocor yang mulanya setitik jarum melebar sehingga membuat air leluasa menerjang lubang-lubang itu.

****

            Semua tenda yang berada di lapangan sudah berdiri. Hal demikian membuat tanah lapang yang sebelumnya hamparan rumput hijau, berubah menjadi lautan tenda. Ketika salah satu tenda berdiri, mereka yang menegakkan langsung bernyanyi mempompakan semangat. Saat tenda yang lain menyusul berdiri, suara nyanyian bertambah keras sehingga makin lama suara nyanyian itu semakin terdengar. Suara semakin keras terdengar sebab seluruh tenda pada berdiri.

            Para kakak panitia yang mendampingi selanjutnya menuju ke tenda-tenda itu. Mereka memberikan apresiasi atas keberhasilan mendirikan tenda. “Selamat ya,” ujar kakak panitia kepada salah satu regu di mana salah satu anggotanya ada Sobar.

            “Kalau tenda sudah berdiri, barang yang kalian bawa dimasukkan ke dalam tenda saja,” ujarnya.

            Perintah kakak panitia itu langsung dilaksanakan oleh mereka. Bergegas pada memasukkan barang yang dibawa ke dalam tenda.

            “Lhah anggota regumu berapa?” tanya kakak panitia. Kakak panitia itu heran sebab di regu yang lain ada 12 orang namun dirinya melihat cuma 10 orang.

            “Dua belas kak,” ujar Sima.

            “Dua belas gimana, orang yang saya lihat cuma 10,” bantah kakak panitia itu.

            Mendengar bantahan itu, Sima baru sadar, memang jumlah anggotanya 12 orang tetapi yang mendirikan tenda hanya 10 orang. “Ya memang yang ada di sini cuma 10 orang,” ungkap Sima.

            “Dua orang yang lain ke mana?” kakak panitia itu terus mengajukan pertanyaan.

            Mendapat pertanyaan itu, Sima dan yang lain pada clingak-clinguk, bingung sendiri. Mereka mau menjawab bagaimana, kalau dijawab jujur bahwa mereka tidak tahu, menunjukkan mereka tidak kompak. Kalau dijawab ada urusan pasti kakak panitia tahu jawaban itu bohong sebab semua peserta harus ada di regu masing-masing saat mendirikan tenda. Sebab bingung maka mereka memilih diam.

            “Lhah kok diam, berarti kamu tidak tahu di mana dua temanmu itu,” kakak panitia itu sepertinya merasa jengkel. Ia selalu menanyakan jumlah regu karena dirinyalah yang bertanggungjawab bila ada apa-apa dengan peserta.

            “Sekarang cari dia,” kakak panitia menghardik.

            Kesepuluh orang itu berpencar mencari dua orang temannya. Mereka menyusup ke regu-regu yang lain siapa tahu yang dicari berada. Setiap peserta yang berpapasan selalu ia tanyai. Apa yang dilakukan itu nihil sehingga membuat mereka mencari di tempat sekitar lapangan, di warung-warung dan rumah makan. Setelah semua tempat di-ubek-ubek dan apa yang dicarinya tidak ditemukan, mereka menjadi cemas.

            Mereka kembali ke tenda dan berdiam di tempat itu. Kakak panitia kembali datang ke regu itu dan menanyakan sudah bertemu atau belum dengan kedua anggota regu yang lain. “Belum bertemu kak, kami sudah mencari ke mana-mana,” ungkap Sima.

            Mendengar hal yang demikian, kakak panitia juga ikut-ikutan cemas. Ia melaporkan kejadian itu kepada Kak Mulyono. Mendengar berita itu, Kak Mulyono kaget dan ia menyuruh semuanya untuk mencari di mana kedua orang itu berada. Bahkan Kak Mulyono meminta tolong kepada perangkat desa, aparat polisi, dan anggota Koramil untuk ikut mencari.

            Raibnya kedua orang itu membuat semua dibuat sibuk jadinya. Semua fokus pada upaya pencarian. Dari kejadian itu membuat acara-cara yang hendak digelar dalam Persami, seperti api unggun, pentas seni, dan jurig malam, tertunda bahkan akhirnya dibatalkan.

***

            Pagi hari di salah satu desa yang berada di sisi barat Telaga Biru terjadi kegemparan. Orang-orang pada berkerumun di tepi telaga, mereka berdesakan untuk melihat dua mayat yang mengapung. Kedua mayat dalam posisi saling memeluk.

            Berita ditemukan mayat yang mengapung di tepi telaga itu menyebar ke segala penjuru desa yang mengelilingi danau. Berita itu pun juga masuk ke telinga Kak Mulyono. Mendengar berita itu, ia bersama dengan pembina lainnya langsung bergegas menuju ke tempat kejadian. Beberapa peserta Persami pun ada yang membuntuti mereka.

Tiba di lokasi kejadian, betapa kagetnya Kak Mulyono, kakak panitia, dan peserta Persami lainnya. Kedua mayat yang mengapung itulah yang selama ini dicarinya. Melihat kedua mayat itu adalah muridnya, Kak Mulyono langsung istigfar, “astagfirullah.” Kakak paniti dan yang lain pun juga berujar yang demikian.

Di tengah rasa cemas atas peristiswa itu, mobil polisi datang ke tempat kejadian perkara. Di belakangnya menyusul mobil ambulance. Sepertinya kejadian itu langsung dilaporkan kepada pihak yang berwajib.

Saat polisi datang, mereka yang berkerumun minggir, memberi jalan untuk melihat apa yang terjadi di lapangan. Dua polisi memandang serius apa yang terjadi. “Siapa yang pertama kali melihat?” tanya salah seorang polisi. Kerumunan orang yang berada di tempat itu diam. Polisi itu mengulang kembali pertanyaannya. Tak lama kemudian ada seorang yang mengaku, “saya pak,” ujarnya.

“Ok nanti ikut ke kantor polisi,” polisi itu berujar demikian.

“Itu kan anak sekolah yang sedang kemah di lapangan kecamatan,” gumam polisi itu sambil memandang dua mayat yang mengapung itu. Polisi berani menyimpulkan demikian sebab seragam yang digunakan jelas sekali. Pihak sekolah pun juga sudah melaporkan ada kegiatan kemah di lapangan kepada pos polisi setempat.

“Ada kan gurunya berada di sini?” polisi itu bertanya kembali. Tanpa mengulang pertanyaan, Kak Mulyono langsung menjawab, “ya pak, saya gurunya.”

“Baik nanti juga ikut ke kantor polisi,” balas polisi itu.

“Mari saudara-saudara kita ambil mayat itu dan kita bawa ke Puskesmas,” ajak polisi kepada yang lain. Secara spontan, petugas Puskesmas dan masyarakat langsung mendekati kedua mayat itu, diraihnya kerah bajunya dan ditarik. Setelah berada di darat, dua mayat itu langsung diletakkan di tandu dan selanjutnya dengan bersama-sama dibawa ke mobil ambulance. Ketika mayat-mayat itu dibawa ke ambulance, ada di antara warga yang menutup hidungnya. Mungkin mereka sudah mencium bau tak sedap.

Setelah kedua mayat berada di dalam mobil ambulance, mobil berwarna putih itu membunyikan sirene dan bergegas meninggalkan tempat itu. Meski tempat kejadian sudah bersih dari perkara namun masyarakat masih banyak yang berdatangan untuk melihat kejadian itu. Mereka yang sudah berada di tempat itu pun belum beranjak meninggalkan tempat, mereka masih berbincang tentang peristiwa itu.

***

            “Saat mau mancing pak, tiba-tiba melihat sesuatu yang mengapung,” ujar Pak Amir yang menjadi saksi mata ditemukan kedua mayat itu. Di hadapan polisi yang menginterograsi dirinya ia bercerita apa adanya.

            “Saya pikir itu ikan,” ujarnya Pak Amir lagi.

            “Saya mulai curiga saat apa yang saya lihat kok bentuknya lain.”

“Karena takut itu ikan setan maka saya hampir lari.”

“Sebab saya ingin mendapat ikan untuk dijual maka niat lari saya urungkan.”

“Setelah saya tunggu agar mendekat, perasaan saya kaget bukan kepalang, ternyata apa yang saya lihat itu mayat.”

“Setelah itu saya berteriak-teriak dari tepi telaga yang memberitahukan ada mayat.”

“Dari situlah pak, masyarakat pada berdatangan.”

Mendengar apa yang dikatakan itu, polisi yang menginterograsi sepertinya percaya, ia manggut-manggut selama dijelaskan kejadian itu.

“Ya sudah, laporan anda diterima,” ujar polisi itu.

Polisi itu kemudian melihat ke arah Kak Mulyono.

“Bapak kan guru dua mayat itu kan?” tanya polisi.

“Benar pak,“ jawab Kak Mulyono.

“Kok bisa ia mengalami nasib seperti itu?” tanya polisi lagi.

“Apakah mereka tidak anda awasi?”

Pertanyaan yang diajukan itu sepertinya memojokkan. Kak Mulyono wajahnya menjadi cemas. Sepertinya dirinya berada pada pihak yang salah.

“Begini pak,” Kak Mulyono mulai menjelaskan duduk perkaranya. Ia memberi keterangan mulai dari awal, bahwa semua peserta Persami harus mengikuti apel untuk mendirikan tenda. Setelah kelompok masing-masing 12 orang, semua kelompok diwajibkan untuk mendirikan tenda.

“Saya melihat masing-masing regu bekerja secara kompak dengan 12 orang,” ujarnya.

“Jadi saya tidak mengetahui kalau ada 2 anak yang tidak ikut gotong royong.”

“Mereka meninggalkan lapangan tanpa sepengetahuan saya.”

Mendengar keterangan Kak Mulyono yang demikian, polisi itu menatapnya dengan tajam. Ballpoint yang dipegang, tak sengaja diketuk-ketuknya ke meja.

“Ok, keterangan anda saya serahkan ke atasan saya,” ujar polisi itu.

“Selanjutnya anda kembali ke lapangan dan saya harap kegiatan itu dibubarkan dan seluruh peserta dipulangkan saja sebab tak etis di saat ada yang meninggal dunia, kegiatan terus berlangsung.”

Mendengar himbauan itu, Kak Mulyono langsung menimpali, “baik pak, saya akan kembali ke lapangan dan akan menyudahi acara itu.”

***

Dengan berbagai raut muka, ada yang sedih, jengkel, kecewa, seluruh peserta Peserta membongkar tenda itu. Mereka merubuhkan tenda sebab acara selanjutnya dibatalkan malah acara itu selesai sampai di situ. Mereka oleh Kak Mulyono diharap segera mengemas barang-barang yang dibawa dan selanjutnya kembali pulang.

Mereka ada yang sedih sebab mereka kehilangan teman, sedang yang jengkel dan kecewa sebab acara yang sudah direncanakan itu tiba-tiba bubar gara-gara ada yang tenggelam di Telaga Biru. Sikap anak-anak berbeda sebab perilaku Dorki dan Tora tak selamanya baik dan tak selamanya buruk.

Sobar adalah kawan Tora dan Dorki. Antara Sobar dan kedua orang itu pergaulannya terbilang akrab. Meski demikian, Sobar tak terlalu mencampuri apa kemauan kedua anak itu sebab kalau dirinya mencampuri apa yang dimaui, kadang-kadang merugikan dirinya sebab sering kedua anak itu terlalu banyak membuang waktu. Walau kedua anak itu terkadang sableng  namun Sobar merasakan kehilangan ketika musibah menimpa padanya.

Di tengah peserta mengemasi barang, dari pengeras suara terdengar pengumuman, “bagi barang-barang yang sudah dikemas, harap segera di angkut ke dalam truck.”

“Jangan terlalu lama.”

Pengumuman itu disambut dengan berbagai sikap, ada yang menyikapi dengan koor, “huuuu.... “ Ada pula yang mengatakan, “sabar to pak.”

Tak sedikit yang mengatakan, “siap sudah selesai.”

Bagi yang sudah selesai membongkar tenda dan mengemasi barang, mereka langsung menaikkan ke truck. Satu persatu regu menaikkan barang yang dibawa ke dalam truck hingga akhirnya tak ada lagi barang yang ada di lapangan.

Sebab diburu waktu, karena keadaannya gawat, Kak Mulyono hanya menyuruh mengecek seluruh peserta. Bila sudah komplit maka truck segera diberangkatkan. Dalam suasana duka, terlalu lama kalau harus melakukan apel. Setelah seluruh peserta dinyatakan ada semua, tak ada yang tertinggal, truck itu akhirnya bergerak meninggalkan lapngan kecamatan untuk kembali pulang.

***

            Di rumah sakit daerah, di kamar mayat, terdengar suara tangis yang keras. Tangis itu dihamburkan oleh orangtua Tora dan Dorki. Sambil menangis mereka melihat Tora dan Dorki yang membujur kaku, “hoalah kowe iku piye to le, aduh kamu itu gimana sih nak,” ratap orangtua Tora dengan sesunggukkan.

            “Ibu sudah berpesan hati-hati, malah kamu kok seperti itu,” ibu dari Tora menangis sekuat-kuatnya.

            Tak kalah meratap orangtua Dorki. Orangtuanya menangis sambil memeluk mayat yang sudah dimandikan dan dikafani itu. “Nak, nak, mengapa kamu tega meninggalkan ibu,” ujar ibunya Dorki sambil menangis.

“Padahal kemauanmu untuk dibelikan sepeda motor sudah ibu turuti.”

Melihat yang demikian, saudara keluarga Dorki dan Tora serta Kepala Sekolah, guru, dan beberapa siswa yang berada di kamar mayat itu ikut menenangkan. “Sabar ya ibu,” ujar Kepala Sekolah.

“Manusia tak kuasa menerima apa yang sudah ditentukan Tuhan,” ujar Kepala Sekolah untuk menenangkan mereka.

“Dorki dan Tora adalah anak yang baik.”

“Ikhlaskanlah kepergiannya, di sana ia akan bahagia seperti pada masa-masa sekolah yang selalu ceria.”

Apa yang dituturkan itu sepertinya mampu menghibur kedua ibu dari kedua anak itu sehingga tangisnya mereda. Saat tangisnya mereda, Kepala Sekolah mengajak kedua ayah anak itu untuk berbincang di luar bangunan kamar mayat.

Sesampai di ruang yang ada kursi dan meja, mereka bertiga duduk. Kepala sekolah diapit oleh ayah dari Tora dan ayah dari Dorki. “Maafkanlah saya sehingga musibah ini menimpa buah hati bapak-bapak sekalian,” ujar Kepala Sekolah.

Mendengar apa yang dikatakan itu, kedua orangtua itu diam, tak merespon. Sepertinya mereka kesal sebab sepertinya panitia tak memperhatikan kedua anaknya sehingga mereka bisa mengalami kejadian seperti itu.

“Saya bisa memahami perasaan bapak-bapak sekalian,” ucap Kepala Sekolah.

“Mungkin bapak-bapak menyalahkan kami karena tidak mengawasi kedua anak itu.”

“Bisa jadi kami khilaf namun ini di luar kehendak kami.”

“Semuanya akan kami jadikan pelajaran ke depan, agar musibah ini tak terulang.”

Apa yang dikatakan Kepala Sekolah itu bisa jadi membuat hati kedua orangtua itu mulai mencair dari kebekuan. Apa yang terjadi bisa jadi seperti apa yang dikatakan itu. Meski demikian mereka tetap diam.

“Dorki dan Tora adalah anak yang baik,” ungkap Kepala Sekolah.

“Mereka adalah teman yang setia.”

“Yang saling mengisi dalam suka dan duka.”

“Bagaimana kalau kubur mereka di dekatkan saja?”

Mendengar saran Kepala Sekolah, wajah kedua orangtua itu sepertinya berkerut penuh dengan pertimbangan.

“Dorki dan Tora adalah siswa kami,” ucap Kepala Sekolah.

“Jadi biarlah sekolah yang mengurus pemakaman kedua anak itu.”

“Bagaimana bapak-bapak setuju?”

Kedua orangtua itu saling bertatap, apakah mereka menerima saran dan tawaran Kepala Sekolah itu, sepertinya mereka sedang merenung dan berpikir.

“Saya harus berkata apa,” ujar ayah dari Tora.

“Semua sudah terjadi.”

“Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan sebab rasa sakit ini masih terasa.”

“Kita tidak tahu apa yang akan terjadi esok,” kata ayah dari Dorki.

“Kalau tahu apa yang terjadi esok, mungkin anakku kularang ikut dalam kegiatan itu.”

“Jadi apa yang terjadi di luar kehendak kita.”

“Kalau bapak Kepala Sekolah mau mengurus pemakaman anak saya, saya tidak masalah. Paling penting bagi keluarga kami adalah anaknya saya bisa bahagia di sana.”

Mendengar apa yang dikatakan ayah dari Dorki, Kepala Sekolah mengangguk. “Iya bapak, kami semua yang ada di sekolah akan selalu mendoakan buah hati bapak-bapak sekalian.”

“Kalau begitu saya akan menghubungi seluruh guru dan pegawai yang lain untuk mempersiapkan pemakaman Dorki dan Tora esok hari.”

****

            “Bar bapakmu penggali kubur ya?” tanya Pak Sasmito pada Sobar. Pak Sasmito adalah guru geografi di SMA itu.

            “Ya pak,” ujar Sobar dengan sopan.

            “Kebetulan Bar, sekolah ini membutuhkan bapakmu,” ujar Pak Sasmito dengan sumringah. Mendengar apa yang dikatakan itu, Sobar heran. Mengapa Pak Sasmito mengatakan membutuhkan orangtuanya.

“Dibutuhkan apanya pak, menggali kubur buat keluarga Pak Sasmito?” tanya Sobar dengan polos.

“Husss....” hardik Pak Sasmito pada Sobar.

“Bocah sableng,” umpatnya.

“Masak kamu nggak tahu kalau Dorki dan Tora mau dimakamkan berdekatan di Kuburan Jeruk Parut.”

“Hah?!” Sobar keheranan mendengar kabar itu.

“Jangan ha heh ha heh,” kata Pak Sasmito.

“Bisa tidak orangtuamu menggalikan lubang kubur buat dua orang?”

Mendengar tawaran itu, Sobar diam. Tentu bila tawaran itu diterima, Samiun, orangtuanya, akan mendapat uang yang lumayan, sebab langsung menggali dua lubang kubur. Bagi orangtuanya tawaran itu pasti tawaran yang menggiurkan.

Dalam angan-angan ada uang di balik kesedihan, tiba-tiba perasaan Sobar muncul dalam hati yang terdalam. Mengapa kesempatan itu tak digunakan, mengapa pekerjaan itu tak diambilnya sendiri.

“Kalau untuk menggali kubur saya saja bisa pak,” kata Sobar.

“Saya sudah sering diajak orangtua saya menggali kubur.”

“Orangtua saya sudah mengajari bagaimana menggali kubur dan membuat liang lahat secara benar dan cepat.”

Apa yang dikatakan Sobar membuat Pak Sasmito terperangah.

“Benar katamu itu?” tanya Pak Sasmito dengan ragu-ragu.

“Benar pak,” jawab Sobar.

“Yang penting ada 10 teman yang ikut membantu.”

Sobar menyakinkan apa yang sudah pernah ia lakukan. Setelah diyakinkan, Pak Sasmito sepertinya percaya apa yang dikatakan itu.

“Ya sudah, besok kamu dan 10 teman yang lain, pagi-pagi ke Pemakaman Jeruk Parut,” kata Pak Sasmito.

“Kalau kamu nggak datang, saya lapor Kepala Sekolah agar kamu dikeluarkan.”

“Jangan khawatir pak, mana pernah Sobar bohong,” Sobar menimpali.

***

            Pagi-pagi Sobar, Rahmad, Rudi, Bagong, dan ketujuh temannya yang lain sudah berada di Pemakaman Jeruk Parut. Di tangan mereka tergenggam cangkul, linggis, sabit, sekop, dan peralatan sejenis serta yang lainnya. Alat-alat itu akan digunakan untuk membuat dua lubang kubur.

            Sesampai di pemakaman itu, Sobar mencari tempat di mana ada tanah yang bisa dibuat dua lubang kubur. Ia berkeliling di pemakaman. Sepertinya susah mencari tanah yang tersisa sebab pemakaman itu sudah padat. Terlihat di antara makam sudah saling berhimpit bahkan saling tumpang tindih. Meski demikian Sobar tidak putus asa, matanya terus menyorot ke setiap jengkal tanah yang ada.

Entah karena beruntung atau nalurinya sudah terlatih, lokasi tanah yang dicari ditemukan. “Nah di situ,” ujarnya sambil menunjuk tempat yang berada di bawah pohon kamboja. Untuk lebih jelasnya, Sobar menghampiri tempat itu. Sesampai di tempat itu, kakinya melangkah dengan tegap. Mungkin ia mengukur panjang dan lebar lubang kubur. “Pass,” ujarnya dengan mantap.

“Teman-teman, sini,” teriak Sobar pada para sahabatnya itu.

Apa yang diteriakkan itu masuk ke 20 telinga. Mereka bergegas ke tempat di mana Sobar berada. “Sudah ketemu tanahnya?” tanya Rahmad.

“Sudah,” jawabnya dengan singkat.

“Kita bagi dua kelompok, satu menggali lubang di sini, satunya di sini,” ujar Sobar sambil menunjuk tanah yang akan dikeruk. Tanpa membuang waktu, mereka langsung mengayunkan cangkul. Setelah beberapa ayunan cangkul membelah tanah, sekop digerakkan untuk mengangkat tanah yang berserak. Apa yang dilakukan itu dilakukan berulang-ulang dan bergantian. Sobar yang gesit melakukan itu sesekali memberi petunjuk kepada teman-temannya bagaimana agar lubang kubur yang dibuat, sisi-sisinya kuat dan tak longsor. Sebab bila sisi-sisinya tak kuat nanti akan merusak bentuk lubang kubur.

Kerja keras dan gotong royong dari mereka buat temannya yang sebentar lagi akan susupkan di sela-sela tanah itu akhirnya rampung. Dua lubang kubur telah menganga. Sambil menunggu jenazah tiba, mereka beristirahat di bawah pohon waru. Daunnya yang lebat melindungi mereka dari terik sinar matahari yang menyengat.

Entah karena capek atau tak ada yang penting dibincangkan, mereka lebih banyak diam padahal biasanya setiap saat bila ada waktu selalu gojekan, cengengesan, bercanda. Ketika diam menyelimuti, Pak Sasmito terlihat datang dengan tukang kebon sekolah. Tukang kebon menenteng tas kresek warna hitam. Tangannya yang menegang menunjukkan apa yang dibawanya itu berat.

“Gimana, sudah selesai lubang kubur yang digali?” tanya Pak Sasmito sambil menghampiri anak-anak didiknya itu.

“Sudah pak,” ujar Sobar sambil mengusap keringatnya yang masih bercucuran.

“Terima kasih semua ya, kerja kalian bagus,” ujar Pak Sasmito menimpali.

“Kalian murid yang baik.”

“Terus kapan pak, jenazahnya dikebumikan?” tanya Rudi yang duduk di samping Bagong.

Mendapat pertanyaan itu, Pak Sasmito terhenyak. Dirinya diam. Sepertinya ia tidak tahu kapan jenazah Dorki dan Tora dikebumikan. Ia mengalihkan perhatian. “Sudah kita makan dulu,” ujarnya. Kebiasaan di desa adalah, pihak keluarga yang anggotanya meninggal dunia, ia mempersiapkan nasi kepada para penggali kubur. Nasi itu dikirim ke pemakaman selepas penggalian lubang kubur selesai.

Sebab mereka lapar, karena tenaganya dihempaskan untuk mengeruk tanah, maka mereka butuh energi baru. Untuk itu, makanan yang disodorkan kepada mereka langsung dijamah dan segera disantapnya. Mereka menikmati makanan yang isinya tahu, tempe, sambal, dan sedikit sayuran itu. Teh yang berada di teko pun diguyur ke gelas-gelas yang tersedia. Dari gelas itulah teh manis itu ditegukkan ke mulut untuk membasuh keringnya tenggorokkan.

Satu persatu kesebelas orang itu menghabiskan makanan yang dibuat untuk mereka. Wajah-wajah yang sebelumnya lemas dan loyo kembali menjadi trengginas. Perubahan itu terjadi setelah energi diasupkan kepada mereka.

Angin semilir yang berhembus di pemakaman Jeruk Parut hampir menidurkan mereka. Rasa kenyang yang membebani perut menambah rasa kantuk semakin berat dipikul. Di antara melek dan merem, tiba-tiba ada seseorang menghampiri mereka. Orang itu membisiki Pak Sasmito. Mendapat bisikan itu, Pak Sasmito mengangguk.

“Anak-anakku semua, siap-siap ya,” ujar Pak Sasmito.

“Sebentar lagi jenazah akan tiba.”

Mendengar apa yang dikatakan, semuanya menjadi tegang. Kecuali Sobar, mereka baru pertama kali menggali lubang kubur sehingga mereka was-was, cemas, dan takut. Mereka masih merasa ngeri dan takut melihat jenazah yang dikaffani. Apalagi film-film yang sering di putar di lapangan desa, layar tancap, berkisah tentang pocong dan setan lainnya. Dalam film tersebut, ada adegan bagaimana orang yang sudah meninggal dunia, hidup kembali. Sosoknya menjadi pocong yang tak hanya gentayangan namun juga menghisap darah manusia.

Di tengah rasa cemas dan takut, dari kejauhan terlihat iring-iringan jenazah. Biasanya dalam iring-iringan itu terdapat satu keranda namun kali ini dua keranda. Banyak orang mengiringi dua keranda itu. Di depan keranda, orangtua Dorki dan Tora didampingi oleh keluarga. Mereka dirundung kesedihan yang begitu mendalam. Saudara mendamping mereka untuk memberi motivasi dan petuah kesabaran. Dengan motivasi dan petuah kesabaran itulah yang bisa menenangkan hati dan pikiran orangtua Dorki dan Tora.

Setelah iringi-iringin jenazah itu melewati makam yang lain, dengan menerabas atau melangkahi, akhirnya tiba di tempat di mana kedua jenazah itu akan diistirahatkan untuk selama-lamanya. Isak tangis dari orangtua Dorki dan Tora serta saudaranya membuat suasana mengharukan. Teman-teman sekolah yang ikut mengantar jenazah juga menunjukkan perasaan yang sama, kehilangan.

Setelah keranda diturunkan dan kaki-kakinya menancap di tanah, kain penutup keranda yang berwarna hijau itu dibuka. Entah pikiran apa yang ada di otak para pelayat setelah melihat dua jenazah yang dibalut kain kaffan membujur kaku.

Pastinya suara tangis dari orang-orang yang mencintai semakin deras terdengar. Orang terdekatnya pun kembali menenangkan agar mereka iklhas dan tabah ditinggal pergi untuk selamanya.

Sebelum kedua jenazah itu dikebumikan, Pak Modin memimpin doa. Dalam doanya Pak Modin berharap kepada Allah agar kedua jenazah itu dilindungi dari siksa kubur yang pedih. Pak Modin juga berdoa agar keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran dan keikhlasan. Selesai berdoa, Pak Modin meminta agar para pelayat membaca Surat Al Fatihah. Apa yang dimaui pengurus jenazah desa itu langsung disanggupi para pelayat. Mereka langsung melafadzkan surat itu. Dengan terdengarnya suara “amin” secara serempak, berarti mereka usai membaca Surat Al Fatihah.

“Nah sekarang mari kita turunkan jenazah ini,” ujar Pak Modin.

“Tolong beberapa yang lain turun ke lubang kubur.”

Perintah itu langsung disambut pelayat yang lain, enam orang langsung turun di dua lubang kubur. Masing-masing kubur 3 orang. Setelah mereka siap, beberapa orang membopong kedua jenazah dan menyodorkan ke masing-masing kubur. Setelah berpindah tangan ke orang yang berada di lubang kubur. Mereka yang berada di lubang kubur merebahkan mayat itu dengan pelan-pelan di dalam liang lahat. Setelah jenazah itu direbahkan, salah seorang di antara mereka menutupkan papan kayu pada liang lahat. Setelah tertutup, mereka naik meninggalkan lubang kubur itu.

“Bapak-bapak, ibu-ibu sekalian, silahkan menaburkan tanah ke dalam lubang kubur sebelum penggali kubur mengurukkan tanah ke dalam,” ujar Pak Modin.

Dengan diiringi tangis dan tubuh yang lunglai, ibu dari Dorki dan Tora melemparkan tanah yang dijumput ke dalam kubur. Langkah itu diikuti oleh ayah dari kedua jenazah dan selanjutnya semua ikut menaburkan tanah.

“Silahkan mas-mas penggali kubur untuk menutup kubur,” kata Pak Modin. Pak Modin memanggil mas-mas sebab melihat para penggali kubur itu masih belia. Serta merta para pelajar yang untuk sementara menjadi penggali kubur itu langsung memegang alat-alat yang dibawa tadi, mereka maju dan langsung memindahkan tanah yang berada di sekeliling disorongkan ke dalam lubang kubur. Bisa jadi karena masih muda maka tenaga yang dikeluarkan sangat besar sehingga kedua lubang kubur itu sudah tertimbun tanah. Di atasnya sekarang terlihat tanah yang menggunduk.

Tak lama kemudian, dari pihak masing-masing keluarga menancapkan nisan. Di nisan putih itu tertulis nama Dorki dan Tora serta ada tanggal, bulan, tahun lahir dan meninggalnya. Setelah batu nisan itu tertancap, seluruh pelayat mengelilingi dua makam yang tanahnya masih basah itu. Pak Modin segera memimpin doa agar proses pemakaman segera selesai. Doa-doa pun dilafadzkan dan diakhiri dengan kata amin secara serempak.

Satu per satu para pelayat meninggalkan peristirahat terakhir, hingga tinggal kesebelas penggali kubur belia itu. Setelah sepi, Pak Sasmito menghampiri mereka. “Terima kasih ya nak,” ujarnya.

“Kalian berbakat jadi penggali kubur.”

“Lubang kubur dan liang lahat yang kalian buat bagus dan kuat.”

Mendengar apa yang dikatakan Pak Sasmito, wajah-wajah datar yang menyemburat. Tak ada kebanggaan atau kekecewaan ketika ungkapan itu dikatakan.

“Sudah kalau begitu ya, hari sudah siang, mari kita pulang,” ucap Pak Sasmito sambil ngeloyor meninggalkan mereka. Diperlakukan demikian, naluri Sobar langsung keluar dari emosinya. “Pak, pak, itunya gimana?” tanya Sobar. Langkah guru geografi itu dicegah oleh pertanyaan itu, Pak Sasmito berhenti dan menoleh. “Itunya gimana maksudmu Bar?” tanya balik Pak Sasmito.

“Upahnya pak,” jawab Sobar dengan singkat.

Ditagih upah, muka Pak Sasmito langsung merah. Sepertinya ia marah dan tidak suka mendapat pernyataan itu. “Upah gimana maksudmu?” Pak Sasmito.

“Upah dari menggali kubur pak,” Sobar menerangkan.

Pak Sasmito yang awalnya hanya marah di wajah, kemarahan itu akhirnya diledakkan.

“Kamu itu gimana to, yang meninggalkan kan temanmu, masak kamu minta upah.”

“Kalian tidak sopan.”

“Kamu kan belum jadi penggali kubur beneran, kok sudah minta upah.”

Tahu Pak Sasmito marah-marah, semuanya diam. Mereka tak mau bertanya kembali soal upah. Sobar dalam hatinya mencibir. Pak Sasmito pura-pura alim bahwa dari apa yang dilakukan itu tak ada upahnya. Padahal dari pihak sekolah sudah mengeluarkan uang untuk membayar jasa penggali kubur. Pak Sasmito di sekolah sudah menjadi rahasia umum suka menggelapkan uang-uang kegiatan sekolah. Kasusnya pun sudah pernah dibawa ke aparat penegak hukum namun entah mengapa kasusnya itu menguap tak jelas kabarnya.

Pak Sasmito mendelik memandang mereka. Marahnya belum selesai. Di tengah situasi itu, tiba-tiba ranting pohon waru jatuh. “Braakkkk.... “ Ranting itu jatuh tepat mengenai kepala Pak Sasmito. “Aduuhh....,” ratapnya. Melihat kejadian itu semuanya tertawa, tawanya disimpan dalam hati.

Pak Sasmito segera memegang kepalanya dan membersihkan rambut yang ada di kepalanya itu dari getah daun pohon waru. Merasa diperingatkan oleh kejadian itu, pandangannya berubah menjadi ramah.

“Begini ya nak, sekolah tidak mempunyai anggaran untuk membayar jasa penggali kubur,” katanya.

“Untuk itu sekolah membutuhkan kalian.”

Apa yang dikatakan itu membuat Sobar tetap tak percaya.

“Tapi jangan khawatir,” ujar Pak Sasmito lagi.

“Nanti saya akan bilang kepada guru agama dan guru Pendidikan Moral Pancasila, agar kamu semua mendapat nilai di raport untuk mata pelajaran itu dengan nilai 10.”

“Nilai 10 karena kamu sudah melakukan tindakan yang mulia.”

Mendengar janji dari Pak Sasmito bahwa mereka akan mendapat nilai 10 dari mata pelajaran agama dan Pendidikan Moral Pancasila membuat kesebelas anak muda itu melongo.

****

            Di pucuk pohon kelapa, Samiun memilih dan memilah buah kelapa yang hendak diunduh. Setelah menemukan buah pohon kelapa yang layak untuk dijual, tangkai buah pohon kelapa itu diplintir hingga putus. Satu persatu buah pohon kelapa jatuh berdebum di tanah setelah diplintirnya.

Dirasa cukup, ia berniat turun. Satu persatu takik diinjak untuk menuju ke bawah. Tiba-tiba saat berada di tengah batang pohon kelapa yang menjulang tinggi, matanya berkunang-kunang. Badannya keluar keringat dingin. Samiun berusaha sekuat tenaga untuk bisa menguasai diri agar tetap bisa berpegangan pada batang pohon kelapa itu.

Setelah merasa keadaannya baik, ia melanjutkan menurunkan kaki untuk menuju ke bawah. Tiba-tiba apa yang dikhawatirkan itu terjadi, matanya bertambah berkunang-kunang dan tubuhnya semakin melemah. Akibatnya, injakkan kaki di takik-takik tak mempunyai cengkraman. Tanpa disadari, pegangan tangannya di batang kelapa melemah. Selanjutnya dirasakan dirinya melayang.

Saat membuka mata, Samiun kaget sebab dirinya sudah berada di tempat pembaringan. Sobar dan beberapa tetangga berada di sampingnya. Rasa nyeri dan sakit terasa di sekujur tubuh Samiun. Di bagian-bagian yang lecet diberi ramuan dari daun pepaya yang ditumbuk.

Samiun sadar dirinya tadi jatuh dari pohon kelapa. Peredaran darah yang tak normal membuat organ-organnya tak berfungsi hingga akhirnya hilang kesadaran. Penyakit darah tinggi yang melekat pada diri Samiun membuat kesehatannya dari waktu ke waktu semakin memburuk. Penyakit itu bisa menyusup ke dalam tubuh sebab dirinya secara tak sadar gemar mengkonsumsi garam. Bila membuat gorengan, ia selalu menabur garam pada makanan itu.

Di pembaringan, Samiun terlihat lemas, pandangannya sayu, dan wajahnya pucat. Tangannya sepertinya susah digerakkan. Dalam kondisi seperti itu, dirinya menyapa anaknya, “Bar.”

Anak dari hasil perkawinan tak resmi dengan Sarmini atau Siti Nurjanah itu dipandangnya. Di pegang tangannya. “Bar, bapak sekarang sudah tua,” ujarnya.

“Bapak senang kamu sudah besar.”

“Bapak merasa kamu sudah bisa mengganti peran bapak.”

“Kalau bapak tinggal, saya yakin kamu sudah bisa mandiri.”

Mendengar apa yang dikatakan itu, Sobar membisu. Ia belum merasakan sesuatu firasat. Ia hanya mengatakan, “iya pak,” setiap orangtua semata wayang itu berujar. Di tengah rasa sakit yang mendera, Samiun terus ingin memberi pesan kepada Sobar.

“Bar, di sekitar rumah ini ada lima buah pohon kelapa.”

“Buah dari kelima pohon kelapa itu cukup memberi penghidupan kepadamu.”

“Unduhlah buah pohon kelapa bila sudah masak dan juallah di pasar.”

“Ya pak, saya akan melaksanakan apa yang dikatakan,” Sobar menimpali apa yang dikatakan itu.

Suara desah berat terdengar lirih di telinga Sobar. Orangtuanya ingin mengambil nafas secara normal namun karena organ yang ada tak berfungsi maka cara bernafas yang dilakukan terasa sulit.

“Bar,” ujar Samiun kembali.

“Bapak sudah mengajari kamu menggali kubur.”

“Gunakanlah ketrampilan itu.”

“Banyak orang yang memandang pekerjaan itu hina, kotor, dan mengerikan.”

“Meski demikian semua orang membutuhkan jasa penggali kubur.”

“Selama ada kematian, penggali kubur selalu akan hadir dan dibutuhkan.”

“Jadi kamu akan dibutuhkan oleh warga desa ini bahkan warga desa yang lain.”

Setelah mengatakan panjang lebar tentang penggali kubur, tak ada suara yang keluar dari Samiun. Melihat hal yang demikian, Sobar langsung merespon dengan memanggilnya, “pak, pak, pak.” Rupanya firasat Sobar sudah muncul. “Bapak baik-baik kan?” tanya Sobar.

Disapa anaknya, Samiun membuka matanya. Ia memandang wajah anaknya dengan seksama. “Bar,” orangtuanya kembali menyebut namanya.

“Setelah bapak pergi, sebaiknya kamu cepat menikah agar kamu bahagia.”

“Didiklah anakmu baik-baik dan sekolahkan setinggi-tingginya.”

Setelah itu tak ada suara yang dituahkan oleh Samiun. Sepi dan hening terasa di ruang itu. Sobar langsung memanggil orangtuanya itu, “pak, pak, pak.” Panggilan itu tak dijawab, Sobar pun mengulang panggilan. Tak ada jawaban, tubuhnya pun diguncang-guncang. Tetangganya yang berada di sekitar pembaringan ikut cemas dan bingung apa yang hendak diperbuat.

“Pak, pak... pak,” panggilan itu semakin keras. Tak lama kemudian, suara tangis meledak. Sobar histeris. Sepertinya ia sadar bahwa orangtuanya telah pergi untuk selamanya. Tetangganya mencoba merasakan apakah nyawa sudah tidak bersemayam di raga Samiun. Dipegang kakinya dan dirasakan apakah ada denyut nadi atau tidak. Setelah dirasa tak ada denyut maka tetangganya itu juga yakin bahwa nyawa Samiun telah meninggalkan raganya. Tanpa disuruh, para tetangga itu mengabarkan kepada yang lain.

Kabar meninggalnya Samiun menjalar cepat kepada para warga. Tak heran bila keriuhan terjadi di rumah itu. Meninggalnya Samiun juga terdengar di telinga para penggali kubur yang lain. Kabar itu juga sampai kepada para penggali kubur di desa tetangga. Sebagai bentuk rasa persaudaraan, para penggali kubur siap membantu proses pemakaman.

***

            Dua tahun setelah Samiun meninggal dan tak lama selepas lulus SMA, Sobar telah berkeluarga. Ia menikah dengan Maryati gadis dari desa sebelah. Maryati temannya saat di SMP. Selepas SMP, Maryati tidak melanjutkan sekolah, ia memilih membantu orangtuanya di sawah.

Dalam perjalanan waktu, Maryati memberikan dua anak dari pernikahan itu. Dalam perjalanan hidup, Sobar melaksanakan wasiat orangtuanya, tetap sebagai petani buah kelapa dan penggali kubur.

***

            “Bar, Bar, Bar,” teriak Pak Modin sambil mengetuk pintu rumahnya. Raut muka Pak Modin cemas. Pintu rumah Sobar kembali diketuk. Dua orang yang mendampingi Pak Modin pun ikut mengetuk pintu. Mereka segera ingin bertemu dengan Sobar meski malam sudah larut. Suasana senyap mengelilingi rumah itu. Terdengar suara jengkerik bersahut-sahutan.

            “Assalamu’alaikum,” kalimat salam diucapkan saat tak ada respon dari dalam rumah. Kurang puas dengan salam, lagi-lagi Pak Modin mengetuk pintu kembali. Pengurus jenazah desa itu berpikir, Sobar sudah lelap dalam tidurnya sebab siang tadi ia menggali kubur buat jenazah Pak Ramelan.

            Di saat ada pikiran dari Pak Modin untuk meninggalkan rumah itu. Terdengar suara langkah menuju pintu. Tak lama kemudian, pintu itu terbuka. Dengan mata berkedip-kedip serta suara parau, Sobar menyapa, “eh Pak Modin.”

            “Ada apa pak? Ada warga yang meninggal?”

            Pak Modin tersenyum mendapat pertanyaan itu. “Bukan, bukan, tak ada warga yang meninggal,” ujarnya. Ia pun segera memberitahu kenapa dirinya malam-malam datang menemui Sobar.

“Selepas isya saya baru sadar bahwa tali kaffan jenazah Pak Ramelan belum dilepas.”

“Hah?!” Sobar kaget.

“Saya juga sudah menghubungi keluarga Pak Ramelan masalah ini,” ujar Pak Modin.

“Selepas saya beri tahu, keluarga memanggil para warga untuk datang ke rumah dan membaca Surat Yasin sambil lek-lekkan, begadang.”      

“Untuk itu saya memberitahu kepada kamu agar besok, pagi-pagi, kita dengan keluarga Pak Ramelan, para warga, dan penggali kubur yang lain untuk membongkar kembali kuburan itu.”

“Saya sudah memberitahu padamu. Selanjutnya saya kembali ke rumah keluarga Pak Ramelan untuk membaca Surat Yasin dan lek-lekkan.”

Pak Modin bersama dua orang yang mendampingi, selanjutnya meninggalkan rumah Sobar. Ditinggal Pak Modin, Sobar langsung menguap. Selepas menguap wajahnya menjadi tegang. Perasaan cemas melanda dirinya.

Menurut kepercayaan masyarakat, bila tali kaffan jenzah belum dilepas atau dibuka, maka jenazah itu akan getanyangan. Mereka akan mencari orang untuk meminta tolong untuk dibukakan tali kaffannya. Jangankan membuka tali kaffannya, menghadapi pocong saja warga sudah ketakutan. Ada cerita seorang warga dikejar-kejar pocong, bisa jadi pocong itu minta tolong untuk dibukakan tali kaffannya.

Ada pula cerita dukun dari dusun jauh, bertarung dengan pocong. Pocong itu meminta tolong untuk dibuka tali kaffannya pada dukun yang saat itu ditemui di jalan pada larut malam. Dukun mau membukakan tali kaffan pocong itu namun dengan syarat tali kaffannya menjadi miliknya untuk dijadikan jimat. Menurut dukun itu, tali kaffan pocong bisa digunakan untuk menghilang. Permintaan itu ditolak oleh pocong sehingga terjadi pertarungan antara dukun dan pocong.

Semua cerita di atas benar atau tidak? Entahlah, kembali kepada sikap masing-masing para warga desa.

Kabar belum dilepasnya tali kaffan jenazah menyebar ke segala penjuru mata angin. Kabar itu membuat para warga dicekam rasa ketakutan. Mereka was-wasa jangan-jangan pocong itu akan mendatangi rumah mereka. Untuk menghindari kekhawatiran itu, mereka berkumpul di rumah-rumah yang dianggap bisa menangkal kehadiran mahkluk halus itu.

Bila para warga desa pada ketakutan dengan kabar yang demikian, lain halnya dengan Ki Waseso dan Ki Bowo Laksono. Dua dukun itu senang mendengar kabar ada jenazah yang belum dilepas tali kaffannya. Kejadian seperti itulah yang ditunggu-tunggu.

Pada malam itu, Ki Waseso dan Ki Bowo Laksono, berada di tempat yang berbeda, di sebuah tempat yang disebut para warga sebagai tempat yang sering didatangi makhluk halus. Di tempat itu kedua dukun sakti itu menunggu kedatangan pocong yang meminta tali kaffannya dilepas. Kedua dukun itu pasti mau melepas tali kaffan namun dengan syarat tali kaffannya diberikan padanya. Biasanya dalam pertemuan itu terjadi pertarungan antara dukun dan pocong. Pihak yang kalah akan menjadi abdinya.

Detik demi detik, menit demi menit, dan jam demi jam berjalan. Suasana desa dalam pergantian waktu itu dilanda rasa ketakutan yang luar biasa. Dalam malam itu mereka banyak yang yakin pocong sedang gentayangan.

Setelah waktu berjalan, dari sebuah surau terdengar suara adzan subuh. Mendengar suara adzan itu menunjukkan bahwa malam telah berakhir dan pagi menjelang tiba. Selepas adzan subuh, warga yakin bahwa makhluk halus tak akan berani mengganggu warga sebab sinar matahari sudah memancarkan cahayanya.

Para warga bersyukur pada malam itu tak terjadi apa-apa. Lain halnya dengan Ki Waseso dan Ki Bowo Laksono. Mereka kecewa sebab makhluk yang ditakuti warga itu tak memghampiri dirinya. “Kurang sesajen,” ujar Ki Waseso menggurutu. Ia pun meninggalkan Klampis Ireng, sebuah tempat yang dipercayai sebagai tempat berkumpulnya makhluk halus seperti gondoruwo, pocong, tuyul, kuntilanak, wewe gombel, tong-tongsot, banas pati.

***

Di depan rumah keluarga Pak Ramelan sudah ada Pak Modin dan para warga. Mereka pagi-pagi berada di rumah keluarga Pak Ramelan karena sepakat untuk pergi ke kuburan untuk membongkar makam sebab tali kaffan yang mengikat jenazah Pak Ramelan belum dilepas.

“Di mana Sobar?” tanya Pak Modin dengan sedikit kesal.

“Katanya pagi-pagi sudah berada di sini tapi kok belum muncul.”

“Tanpa dia pembongkaran kuburan tak akan jalan.”

Di saat gundah gulana menunggu Sobar, tiba-tiba pria itu terlihat batang hidungnya. Ia muncul dengan memanggul cangkul. Melihat hal yang demikian, semuanya senang. “Maaf terlambat,” ujar Sobar.

“Anak dan istri tadi masih mau ditemani.”

Apa yang dikatakan itu dimaklumi oleh mereka, sebab pada malam itu semua warga cemas sebab beredar kepercayaan ada pocong gentayangan.

“Ya sudah kalau begitu kita berangkat,” ujar Pak Modin.

Puluhan orang itu bersama menuju kuburan di mana Pak Ramelan di istirahatkan untuk selama-lamanya. Setelah menempuh jalan-jalan yang menyusuri desa, tibalah mereka di pintu gerbang kuburan. Di depan pintu gerbang, perasaan mereka was-was dan khawatir bercampur dengan rasa takut. Pikirannya mereka, makam itu sudah rusak karena jenazah bangkit dari kubur.

“Sebelum masuk ke kuburan mari kita berdoa dulu,” ujar Pak Modin. Apa yang dikatakan itu membuat rasa tenang. “Assalamu’alaikum ya ahli kubur....,” sapa Pak Modin saat masuk ke dalam kuburan itu. Selanjutnya mereka bersama menuju tempat di mana Pak Ramelan dimakamkan.

Tiba di tempat yang dituju, semua menghela nafas lega sebab di makam itu tak ada tanda-tanda yang aneh. Gundukan tanah basah masih belum berubah. Hanya bunga-bunga yang ditabur kemarin tampak berserakan. Semua maklum sebab angin malam yang menebarkan bunga-bunga tiga warna itu.

“Silahkan Mas Sobar untuk menggali,” kata Pak Modin.

“Tolong yang lain bisa membantu Mas Sobar.”

Mereka bahu membahu membongkar makam itu, terlihat muka keluarga Pak Ramelan yang hadir di makam itu cemas. Setelah cangkul mengayunngayun dan sekop naik turun, makam itu terkuak. Jenazah belum terlihat sebab papan kayu masih menutupi liang lahat. Pada detik-detik itulah suasana tegang kembali. Mereka ada yang berpikir, jenazah tak ada sebab telah meninggalkan tempat itu untuk gentayangan.

Pak Modin pun turun ke dalam lubang kubur, didampingi pihak keluarga. Setelah membaca doa, papan kayu yang yang menutupi liang lahat dibuka. “Blakkk...” Suara papan kayu itu terangkat. Begitu dibuka, terlihat jenazah yang masih utuh membujur di tempat itu. Semua bersyukur sebab tidak ada tanda-tanda yang aneh pada mayat itu.

Tanpa banyak membuang waktu, tali-tali kaffan yang masih terikat langsung dilepas. Setelah dilepas, Pak Modin mengamati kembali, apakah masih ada tali yang belum dibuka. Yakin semua sudah terlepas, papan kayu itu dikembalikan seperti asalnya sehingga liang lahat yang menyimpan jenazah Pak Ramelan itu tertutup kembali.

Sebelum meninggalkan lubang kubur, ia memanjatkan doa. Doa berakhir, ia melompat meninggalkan lubang kubur. Pihak keluarga Pak Ramelan pun demikian.

“Silahkan Mas Sobar untuk menguruk kembali lubang kuburnya,” ujar Pak Modin.

Sobar dan yang lain bahu membahu menguruk kembali lubang kubur itu.

****

Di perbatasan desa, nampak ratusan pemuda saling berhadap-hadapan. Para pemuda itu ada yang membawa clurit, klewang, pedang, samurai, ketapel, linggis, bahkan ada senjata rakitan. Jarak sepuluh meter diantara dua kelompok pemuda itu terlihat batu bata dan batu kali yang berserakan. Sepertinya batu bata dan batu kali itu habis dibuat untuk saling lempar.

Hoi kalau berani maju!” ujar salah seorang pemuda bertubuh gempal sambil mengayunayunkan klewangnya. “Nyalimu ciut ya!” balas pemuda di seberangnya sambil menunjukkan linggisnya yang panjang.

Saling umpat dan ejek pun semakin seru di antara dua kelompok pemuda dari dua desa yang berbeda itu. Dua kelompok pemuda itu sudah sering bentrok hanya gara-gara masalah sepele. Meski bentrokan itu selalu memakan korban jiwa namun mereka tidak pernah kapok melakukan.

Kemiskinan dan pengangguran itulah yang membuat bentrokan itu sebagai bentuk untuk mengusir kebosanan dan mengisi waku kosong. Para sesepuh desa yang sudah sering kali mendamaikan mereka, usahanya sering sia-sia. Dihadapan para sesepuh, para pemuda itu sepakat damai namun begitu kesepakatan damai usai, beberapa bulan kemudian bentrokan terjadi lagi.

Entah siapa yang memulai, tiba-tiba kedua kelompok pemuda itu saling serang dalam jarak dekat. Sabetan clurit, klewang, dan samurai, pun terjadi. Jeritan suara minta tolong, minta ampun, dan kesakitan terdengar dengan keras diantara aksi saling membunuh itu.

Saat ada korban bergelimpangan, roboh ke tanah, para pemuda yang terlibat bentrok itu dengan reflek berlari menjauh dari tempat itu dengan ketakutan kembali ke desa asalnya. Mereka para pengecut, tak mau bertanggungjawab bila ada korban. Ketika sudah tidak ada klebatan clurit, klewang, dan samurai terlihat 10 tubuh terbujur kaku. Lima dari pemuda desa sebelah dan lima dari desa Sobar tinggal.

Bentrok dan korban jiwa yang berjatuhan membuat warga dua desa itu pun geger. Semua warga desa bergegas menuju ke perbatasan desa. Begitu tiba di tempat itu, jerit dan isakan tangis terdengar ketika melihat 10 pemuda mati sia-sia. Tak tega melihat jenazah yang penuh luka akibat sabetan beda tajam, warga segera mengangkat jenazah dan mengantarnya ke rumah orangtua masing-masing. Ceceran darah segar masih nampak jelas di perbatasan desa meski para warga telah meninggalkan tempat itu.

***

Assalamu’alaikumkulo nuwun,” ujar Jayeng. Dirasa ucapan yang demikian kurang terdengar, Jayeng mengetuk pintu rumah Sobar. “Tok, tok, tok,” begitu bunyi ketika tangan Jayeng mengetuk pintu yang terbuat dari kayu mahoni itu. Kurang mendapat respon, Jayeng lebih mengeraskan ketukkanya, “Tok, tok, tok!”

Upaya Jayeng mengetukkan pintunya lebih keras rupanya berhasil. Sobar dengan memperbaiki posisi sarungnya bergegas keluar dari kamarnya. Sobar kesiangan bangun karena tadi malam susah tidur akibat memikirkan nasibnya. “Ada berita duka Bar,” Jayeng segera menjelaskan kedatangannya. Belum sempat bertanya siapa yang meninggal, Jayeng kembali mengabarkan, “lima pemuda desa ini tewas akibat tadi pagi bentrok dengan pemuda sebelah.”

Astagfirlullahaladzim,” Sobar kaget bukan main.

“Kok bisa?” dirinya bertanya.

“Ya karena masing-masing kelompok pemuda membawa senjata tajam,” papar Jayeng.

Masya Allah,” wajah Sobar sedih dan berduka. Hatinya pun trenyuh.

Dalam kepedihan itu angan-angan Sobar membisikkan kalimat, “lima liang lahat ini sebuah rejeki besar.” Dari lima liang lahat itu bisa untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga dan membiayai anak pertama masuk SMA dan membelikan baju sekolah baru untuk anak kedua.

Antara hati dan angan-angan Sobar mengalami seperti apa yang telah dilakukan dua kelompok pemuda dari dua desa tadi yakni bertikai. Akibat pertikaian antara angan-angan dan hati membuat mata Sobar menerawang entah ke mana. “Mas ayo ke kuburan,” ucap Jayeng. Ucapan itu menyadarkan Sobar dari tatapan kosong.

Secara sontak ia membawa peralatan untuk menggali kubur. Ia menjemput Kudir, Warso, dan Miko untuk diajak menggali lima liang lahat. Sesampai di kuburan, ayunan suara cangkul yang menghujam ke tanah tidak mampu mengusik pertikaian antara hati dan angan-angan Sobar. Kematian lima pemuda desa itu bagi Sobar berada di antara kegembiraan dan kesedihan. Sobar merasa senang akan mendapat rejeki sehingga bisa mencukupi kebutuhan anak dan istri namun di sisi lain dirinya menangis karena saudara-saudaranya satu desa harus masuk liang lahat yang digalinya.

 

****

Hembusan angin sepoi-sepoi dari puluhan pohon bambu semakin melelapkan Sobar, Kudir, Warso, dan Miko. Sejak pukul 11.00 tadi siang, keempat orang itu tertidur di samping makam Mbah Jati Kramat. Makam orang paling kaya di Dusun Gunung Getih itu dijadikan tempat klesetan oleh para penggali kubur karena berlantaikan marmer dari Italia dan beratap genting tahan lama. Hal demikianlah yang membuat makam itu sangat teduh dan nyaman. Mbah Jati Kramat dulu adalah juragan beras kesohor.

Makam Mbah Jati Kramat terletak di dekat pintu gerbang Kuburan Gondo Arum. Kuburan seluas 2 hektar itu pernah dijadikan tempat pembantaian orang-orang yang dituduh anggota PKI. Bangunan makam Mbah Jati Kramat terlihat paling menonjol di antara makam-makam yang lain. Ratusan makam lainnya nampak tak terurus, nisan-nisannya tercerabut dari tanah.

Tanah yang mengering membuat kuburan itu menjadi tandus sehingga sebagaian tanahnya retak. Retakan itu mengular. Bila diamati ke dalam retakan itu, terlihat selubung gelap sehingga pandangan orang yang melihat ke bawah tak tembus hingga ke dalam. Tak tahu siapa yang terkubur di bawah sana.

Kriiiit,” bunyi pintu gerbang kuburan terdengar setelah didorong oleh Soleh. Dengan buru-buru, kuncen Kuburan Gondo Arum itu menuju ke arah makam Mbah Jati Kramat. Begitu berada di dekat Sobar, Soleh langsung menggoyang-goyangkan tubuhnya. “Bar, Bar, bangun,” katanya. Belum tersadar dari tidurnya Soleh mengulangi lagi tindakan itu dengan lebih keras. “Bar, Bar, Mbah Slamet sesepuh Dusun Kali Nanah meninggal dunia,” Soleh mengatakan demikian sambil memegang kaki Sobar.

Mendengar kata meninggal, sontak Sobar, Kudir, Warso, dan Miko langsung tergelagap dari tidurnya. Dengan sontak mereka langsung mencari cangkul, sekop, linggis, dan sabit milik mereka. “Tenang, tenang,” Soleh menenangkan keempat laki-laki itu. “Kita cari tanah yang kosong di kuburan ini dulu,” Soleh mengatakan demikian sambil beranjak dari tempat Sobar tidur. “Yo, yo,” Sobar menimpali.

Kelima orang itu pun berputar di kuburan untuk mencari tanah kosong di sela makam-makam untuk membaringkan jenazah Mbah Slamet. Setelah berputar sambil celingak-celinguk, akhirnya Soleh menemukan sela tanah di antara makam. Tanah seluas 1 kali 2 meter yang hendak digali itu berada di samping pohon kamboja yang bercabang lima. “Di sini tempatnya,” Sobar menunjukkan tempat itu kepada Sobar, Kudir, Warso, dan Miko.

Tanpa banyak bicara, Sobar menyabit rumput dan tumbuhan liar lainnya. Setelah tanah itu dirasa bersih dari tanaman yang biasanya dicari warga sekitar untuk makanan kambing dan sapi, Sobar langsung memerintahkan Kudir untuk menggali. Tanpa banyak cakap, Kudir langsung mengayunkan cangkulnya. Setelah beberapa puluh ayunan, Warso langsung mengangkat tanah-tanah itu dengan sekopnya. Kudir kembali mengayunkan cangkul besi itu.

Jreg, jreg, jreg, jreg, jreg,” Kudir mengayunkan cangkul kelima kali. Namun begitu cangkulan keenamnya dihujamkan ke tanah terdengar bunyi benturan agak keras, “trang.” Para penggali kubur itu tahu bahwa cangkul itu menghantam batu besar sehingga secara spontan Miko ganti bertindak. Dihujamkan linggis tepat di samping batu itu dan selanjutnya digerakkan ke kanan dan kiri agar batu itu goyah dari tanah yang mendekapnya. Apa yang dilakukan itu berhasil dan batu sebesar bola kaki itu dapat dicongkel dan diangkat.

Ganjalan berhasil disingkirkan, Kudir langsung melanjutkan pekerjaan. Dirasa Kudir lelah, Warso menggantikan. Tak sampai 1 jam, lubang kubur dan liang lahat yang siap untuk dijadikan tempat pembaringan abadi Mbah Slamet itu selesai digali.

Sambil menunggu jenazah, keempat orang kembali menuju ke makam Mbah Jati Kramat. Sesampai di tempat itu, Joko, salah satu keluarga Mbah Slamet mendatangi keempat orang itu sambil membawa bungkusan nasi dan seteko teh manis. Bungkusan nasi dan seteko teh manis itu diserahkan kepada Sobar. “Matur suwun yo, terima kassih ya mas,” ujar Sobar. “Podo, podo, sama-sama mas,” Joko menimpali. “Mas uang rokoknya habis pemakaman selesai ya,” Joko berujar kembali. Mendapat penjelasan yang demikian, Sobar dengan tersenyum mengatakan, “Wis nggak usah dipikir mas, sampeyan kan masih saudara dengan saya.” Uang rokok adalah istilah upah bagi para penggali kubur yang sudah membuatkan liang lahat.

Bungkusan nasi itu dilahap keempat orang itu. Seteko teh pun habis diteguknya. Selepas mengisi perut dan mengusir rasa haus, Kudir dan Warso menghisap rokok  yang dilintingnya sendiri. Sedang Sobar dan Miko nampak leyeh-leyeh kekenyangan. Di tengah asyiknya suasana itu, terlihat Soleh dengan sedikit berlari mendekati mereka. “Jenazah sudah tiba,” ujarnya. Mendengar kabar yang demikian, sontak keempat laki-laki itu segera mengambil alat-alat galinya dan bergegas menuju ke tempat di mana ia menggali liang lahat tadi.

Soleh, Sobar, Warso, Miko, dan Kudir melihat iring-iringan penghantar jenazah Mbah Slamet memasuki Kuburan Gondo Arum. Di depan keranda jenazah terlihat istri Mbah Slamet, Mbah Karti,  yang didampingi Heru, Sumiati, dan Cahyo. Ketiga orang itu adalah anak Mbah Slamet. Mata merah dan linangan air mata terlihat pada istri dan ketiga anak Mbah Slamet.

Iring-iringan jenazah yang menghantar Mbah Slamet terlihat cukup panjang, banyak orang yang menghantar kepergian sesepuh desa itu ke tempat peristirahatan terakhir. Tiba di dekat liang lahat, keranda diturunkan. Sebelum jenazah itu dimasukkan ke liang lahat, Pak Toha, ketua rukun warga, memberikan sambutan perpisahan. Di tengah sambutan itu terdengar suara sesunggukkan tangis yang terdengar jelas.

Istri dan anak Mbah Slamet sepertinya tak rela berpisah dengannya. Selepas Pak Modin membacakan doa dan mengumandangkan adzan, maka jenazah dimasukkan ke liang lahat. Mbah Karti dan ketiga anaknya langsung histeris dan meraung-raung. “Pake…, pake,” aku ojo, jangan, ditinggal,” Mbah Karti histeris. Untungnya saudara Mbah Slamet lainnya segera memegangi tubuh perempuan berumur 60 tahun itu sehingga tak mengganggu proses pemakaman.

Sobar, Kudir, Warso, dan Miko langsung menguruk liang lahat itu dengan tanah bekas galian tadi. Pacul dan sekop memindahkan tanah bekas galian itu perlahan-lahan ke dalam liang lahat hingga liang lahat itu tertutup tanah. Gundukan  tanah sekarang terlihat di atas makam kuburan Mbah Slamet. Gundukan tanah itu pun ditabur dengan bunga tiga warna.

Selesai sudah prosesi pemakaman, satu per satu pengantar meninggalkan makam itu. Mbah Karti dan ketiga anaknya diajak beranjak oleh saudaranya untuk meninggalkan peristirahatan terakhir orang yang dicintainya. Dengan berat hati, Mbah Karti dan ketiga anaknya ikhlas mengangkat kakinya. Hanya Sobar, Kudir, Warso, dan Miko yang masih berada di samping makam Mbah Slamet.

Tak lama kemudian, Joko mendekati mereka. “Ini Mas uang rokoknya,” ujar Joko. “O, yo matur suwun, terima kasih ya mas,” Sobar tersenyum saat pegawai negeri sipil kecamatan itu menyelipkan uang puluhan ribu ke tangannya. “Sudah ya mas aku mulih, pulang,” kata Joko sambil meninggalkan tempat itu, “Yo mas,” jawab serempak keempat orang itu. Kuburan pun kembali sepi. Dalam suasana sepi itu mereka berempat membagi uang tadi dengan adil. Nampak wajah puas pada muka-muka para penggali kubur itu.

***

Di serambi rumahnya yang sederhana, Sobar duduk di sebuah kursi kayu yang sudah melapuk. Di tempat itu dirinya biasa menikmati sore hingga magrib. Bila ada orang melintas di depan rumah, orang itu menyapa Sobar, dirinya pun terkadang juga lebih dahulu menyapa orang yang melintas di depannya.

“Pak, piye, bagaimana hari ini ada rejeki,” ujar istrinya. Pertanyaan itu mengagetkan Sobar. Dirinya pun tersenyum, “Syukur mbok,” jawabnya dengan ala kadar. “Ya pak, mudah-mudahan rejeki kita banyak karena kebutuhan sehari-hari meningkat,” papar istrinya. “Anak kita mau masuk SMA, terus yang kedua minta baju sekolah yang baru,” istrinya kembali mengoceh. “Belum lagi bahan bakar minyak naik pak, apes, sial, kita nggak tercatat sebagai penerima kartu jaminan dari pemerintah,” istrinya terus berseloroh.

“Iya, iya mbok, sabar saja, rejeki pasti akan datang pada kita,” Sobar menimpali ocehan istrinya itu. “Sabar piye, bagaimana, to pak, wong anake butuh sekolah kok kon, disuruh, sabar,” ujar istrinya yang mulai tak sabar dengan jawaban suaminya itu. “Dulu saat mau nikahi aku katanya mau menjamin hidupku luwih enak, mana bukti omonganmu itu,” istrinya tambah ngomel.

Merasa tersinggung dengan omongan istrinya itu, Sobar dengan emosi dan spontan mengatakan, “Nanti kalau ada lima orang mati, kebutuhanmu itu baru bisa terpenuhi.” Setelah berkata demikian, Sobar baru sadar bahwa apa yang dikatakan itu tak pantas.

Sebagai penggali kubur tentu rejekinya datang bila ada orang meninggal dunia. Dengan menggali kubur, dirinya bisa mendapat uang dari jasa yang diberikan. “Aduh Gusti, ya Tuha, mengapa hidupku seperti ini, mendapat rejeki bila ada orang meninggal,” dirinya merenung. “Aduh Gusti, ya Tuhan, mengapa rejeki datang di tengah orang menerima kesedihan,” renungannya itu belum putus.

Di tengah anak dan istrinya yang sudah lelap dalam tidur, Sobar baru bisa menunaikan sholat isya. Selesai salam sholat, dirinya berdoa kepada Allah, “Ya Allah berikan keluarga kami rejeki yang banyak agar kebutuhan keluarga kami bisa makan dan minum serta bersekolah. Dengan rejekiMu kami bisa melaksanakan ibadah untuk menyekolahkan anak dengan baik.”

Selepas berdoa, ia pun menuju ke serambi rumah dan menduduki kursi yang biasa tempati untuk merenung. Heningnya malam membuat Sobar merasa lebih nyaman duduk di tempat itu. Tak lama setelah berada di kursi itu, dirinya baru sadar akan doa yang habis ia panjatkan kepada Tuhan. “Saya tadi minta rejeki yang banyak kepada Tuhan,” angan-angannya mulai menjalar. “Tapi memang saya butuh rejeki yang banyak karena untuk menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak,” angan-angannya membenarkan doanya. Sebagai penggali kubur rejeki datang bila ada orang meninggal. “Ya Gusti, ya Tuhan, tadi berarti saya berdoa agar banyak orang mati?” suara hatinya keluar dengan penuh keheranan.

****

            Pintu rumah Samiun digedor-gedor oleh Slamet, seorang babinsa (Bintara Pembina Desa). Tangannya yang kekar membuat suara gedoran itu demikian kerasnya. Gedoran itu dirasa kurang sehingga Slamet masih menambahi dengan berkata lantang, “Un, Samiun, kowe, kamu, di mana?!” Meski sudah berteriak namun tak ada respon dari dalam rumah. Slamet mengulangi apa yang dilakukan itu sehingga pintu yang sudah lapuk dan rusak itu bertambah parah keadaannya.

            Suara gedoran dan teriak itu rupanya terdengar hingga ke belakang rumah. Samiun yang tengah mengunduh buah pohon kelapa, sayup-sayup mendengar namanya disebut-sebut. Dirinya yang sedang nangkring di pucuk pohon kelapa yang menjulang ke langit segera turun. Naik dan turun pohon kelapa bagi Samiun sering dilakukan, sehingga saat ia menuruni pohon itu, gerakannya sangat cekatan, tak lama untuk berpindah dari pucuk pohon ke tanah yang membenamkan pangkal pohon kepala yang menjadi sumber penghidupannya itu.

            Begitu kakinya menginjak ke bumi, ia segera berlari menuju ke halaman rumah. “E lha dhalah,” begitu melihat Slamet berada di depan pintu rumahnya. Melihat Samiun muncul, mata Slamet langsung mendelik, kumis baplang-nya menegang, dan langsung mengeluarkan ketidaksabarannya, “goblok kamu. Dicari dari tadi baru muncul.”

            “Ke mana kamu?!”

            Didamprat Slamet, Samiun langsung ciut nyalinya. Ia tidak mau membantah sebab bila membantah pasti akan ditampar. Untuk menjelaskan dirinya tidak tahu kalau dicari maka ia dengan jujur mengatakan, “tadi di pucuk pohon kelapa.” Mendapat penjelasan yang demikian, Slamet sepertinya bisa memaklumi sebab dirinya tahu Samiun adalah penjualan buah pohon kelapa.

            “Sudah nggak usah banyak ngomong,” Slamet berkata demikian sambil menghampiri.

            “Sekarang bawa cangkul dan ikut saya.”

            Mendengar perintah seperti demikian, Samiun kaget. Ia tak mungkin menolak apa yang dimaui oleh Slamet. Kalau menanyakan pasti akan digampar sama Slamet sebab ia suka melakukan hal yang demikiana kepada para penduduk desa bila banyak bertanya. Samiun setengah berlari menuju ke ke belakang rumah. Tak lama kemudian Samiun kembali dengan memanggul cangkul.

            “Ayo ikut aku,” ujar Slamet dengan nada tegas.

            Slamet langsung meninggalkan rumah itu dengan melangkah cepat. Samiun mengikuti dari belakang, membuntuti, sebab tak bisa mengimbangi langkah Slamet yang lebar, membuat Samiun setengah berlari. Disusuri, jalan bebatuan di dusun itu. Mendung hitam menaungi dusun  di kaki gunung itu.

            Samiun heran mengapa Slamet melangkah ke arah ke balik bukit. Daerah itu dianggap oleh orang-orang dusun sebagai tempat keramat dan angker. Konon di tempat itu bersemayam raja jin. Menurut kepercayaan masyarakat, raja jin yang berperawakan menakutkan itu setiap malam jumat kliwon gentayangan menyusuri dusun. Wajahnya yang menyeramkan, tubuhnya seperti raksasa, kulitnya hitam legam, dan rambut gondrong  yang acak-acakan membuat masyarakat menghindari pertemuan dengan raja jin itu.

            Agar tidak mengganggu, masyarakat pada setiap malam jumat kliwon memberi sesajen kepada raja jin itu. Makanan tradisional berupa nasi putih, lalapan, jenang merah, ayam panggang, yang berada di tampah, baki, dari anyaman bambu, dipersembahkan kepada raja jin di balik bukit itu. Dengan dipimpin tetua dusun, sesajen-sesajen itu diletakkan di bawah pohon besar dan didoakan dengan kalimat-kalimat yang banyak orang tidak tahu.   

            Dengan kepercayaan seperti itu membuat raja jin tidak mengganggu masyarakat. Kepercayaan itu pula yang membuat masyarakat tidak berani ke arah balik bukit. Hanya orang tertentu saja yang memberani pergi ke tempat itu.

            “Kok menuju ke balik bukit mas?” tanya Samiun dengan suara gemetar.

            Slamet memandang wajah Samiun yang terlihat pucat. “Nggak usah banyak tanya, yang penting ikuti saya,” ujar Slamet.

            Kedua orang itu terus menyusuri jalan dusun. Hingga akhirnya tiba di balik bukit. Samiun terkejut melihat tempat itu. Di situ sudah ada puluhan orang. Dirinya semakin terkejut saat melihat ada sekitar 20 orang yang tangannya diikat dengan tali. Di antara mereka, satu dengan yang lainnya, disatukan dalam sebuah ikatan tali yang panjang.

            Mereka duduk di bawah tebing bukit itu. Pandangan mereka sepertinya pasrah. Samiun memandang mereka. Setelah memandangi ke-20 orang itu satu persatu, dirinya mengenal bahwa mereka adalah aktivis PKI. Mereka adalah penggerak partai di desa-desa namun mengapa mereka diikat dengan tali seperti itu. Apakah ada hubungannya dengan gegeran di Jakarta yang terjadi pada beberapa waktu yang lalu di mana beberapa jenderal tentara terbunuh oleh pengawal Presiden.

            Di tengah berbagai pertanyaan seperti itu, tiba-tiba Slamet berteriak, “hai semua yang bawa cangkul, gali tanah di bawah pohon itu.” Mendengar perintah yang demikian, Samiun tampak kebingungan. Buat apa tanah di bawah pohon itu digali. “Heh, kamu dengar tidak apa yang saya perintah,” bentak Slamet kepada Samiun. Samiun pun menuju ke tempat itu. Rupanya dirinya tidak sendiri. Sudah ada beberapa orang yang seperti dirinya. Mereka juga membawa cangkul. Samiun berpikir bahwa orang-orang itu juga didatangkan Slamet untuk diajak ke balik bukit.

            Para pembawa cangkul itu pun segera mengayunkan alat itu ke tanah. Benturan yang keras membuat tanah itu pecah permukaannya. Lamban laun tanah yang sebelumnya rata dengan permukaan bumi, sekarang menjadi lubang yang menganga. Lubang itu seluas 3 x 3 meter dengan kedalaman 4 meter.

            “Cukup,” teriak Slamet begitu tanah yang dihujani cangkul itu sudah membentuk lubang yang cukup dalam dan lebar. “Sekarang kamu semua minggir,” teriaknya lagi. Dengan buru-buru, para lelaki yang membuat lubang menganga itu langsung minggir dan menjauh dari tempat itu.

            Selanjutnya Slamet melihat lubang itu dengan seksama. Sorot matanya tajam melihat lubang yang dalam. Diinjaknya tanah di dekat lubang itu. Injakan itu kuat dan tanah tak bergerak. Hal demikian menunjukkan lubang itu dikelilingi tanah yang keras.

            Tak dikomandoi, Nusiron dari GP Ansor dan Badak, julukan Kateno, preman kampung, menuju ke lubang itu. Samiun heran mengapa dua pria itu membawa pedang dan klewang. Mereka biasa membawa senjata tajam hanya di saat Hari Raya Idhul Adha. Kedua orang itu biasanya yang menyembelih sapi dan kambing pada hari raya qurban itu.

            Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba Slamet menggelandang salah satu orang dari 20 orang yang diikat tangannya tadi. Dengan kasar, Babinsa itu menyeret orang itu menuju lubang yang telah digali. Sampai di pinggir lubang, orang itu di suruh menghadap ke lubang. Saat orang itu menatap lubang ke bawah, tiba-tiba Nusiron menebaskan pedang yang dibawa ke arah leher. Sabetan yang keras dan tajamnya membuat kepala orang itu putus dari badan. Dari lehernya muncrat darah dengan tekanan yang keras. Darah itu muncrat ke muka Nusiron. Secara reflek ia menendang tubuh itu hingga tersungkur ke dalam lubang menyusul kepalanya yang sudah jatuh lebih duluan.

Melihat pembantaian itu, Samiun kaget. “Apa salah mereka,” ujarnya dalam hati sambil menutup matanya ketika pedang itu membabat leher.

Setahun sebelumnya di kampung, memang sering terjadi perkelahian antarwarga. Samiun tidak tahu apa masalahnya para warga berkelahi. Mereka yang berkelahi itu antara aktivis PKI dengan para santri. Biasanya perkelahian itu selesai bila salah satu di antara kelompok itu ada yang kalah atau lari terbirit-birit meninggalkan arena.

Bahkan yang lebih mengerikan ada penyerbuan dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Akibatnya suasana kampung menjadi tegang dan mencekam. Suasana lebih mencekam setelah ada pembunuhan dan penculikan jenderal yang dilakukan oleh pasukan pengamanan Presiden. Setelah kejadian itu, para Babinsa, Ansor, dan kelompok masyarakat lainnya menggeruduk orang-orang PKI. Mereka yang saat itu berada di rumah atau bertemu di jalan, langsung diciduk, diikat dengan tali, dan diarak di tengah masyarakat. Selanjutnya mereka dinaikkan ke dalam sebuah truk.

Satu persatu dari 20 orang itu digelandang, diseret, dan ditebas dengan pedang atau klewang oleh Nusiron dan Badak secara bergantian. Dari ke-20 orang, saat orang ke-6, digelandang, ia tiba-tiba berontak. Gerakan tubuhnya itu rupanya cukup kuat sehingga ia lepas dari genggaman Slamet. Begitu lepas, meski dengan tangan terikat, ia langsung lari. Slamet kaget tahu orang yang diciduk lari, ia segera mengambil pistol yang tesarung di pinggang. Setelah pistol itu ditangan, dibidikkan ke arah orang yang melarikan diri itu. “Dooorrrr....” Bunyi letupan keras keluar dari pistol diiringi sebuah pelor dimuntahkan. Tembakan itu rupanya tepat sasaran, terbukti pemuda yang lari terbirit-birit itu tersungkur sebelum dirinya masuk dalam semak-semak. 

Begitu mayat itu tergeletak, Slamet menyuruh salah seorang di antara yang berada di dekatnya untuk menyeret mayat itu dan melemparkan ke lubang pembantaian. Mayat itu diseret, bekas seretannya membekas membentuk sebuah garis-garis kasar di tanah.   

Setelah ke-20 orang itu nyawanya dihabisi, Slamet menyuruh para penggali kubur dadakan itu untuk menguruk lubang pembantaian. Samiun dan yang lain berjalan menuju ke lubang itu. Dirinya langsung muntah begitu melihat apa yang terjadi di lubang, kepala-kepala yang terpisah dari badan terbaring bertumpuk dengan darah membanjiri tubuh-tubuh itu. Tumpak tindih dengan tak teratur tubuh-tubuh itu seperti tak mempunyai arti.

Samiun menahan muntahnya. Ia segera memindahkan tanah yang menggunung di sisi lubang untuk ditimbunkan pada mayat-mayat yang berserak. Secara perlahan tanah menimbuni orang-orang yang dipenggal sampai secara perlahan mereka ditelan oleh bumi untuk selamanya. Hingga akhirnya lubang besar dan menganga itu tertutup tanah.

Tanah itu dipadatkan agar tidak digarong oleh binatang buas. Terlihat Samiun dan penggali kubur lainnya menginjak-nginjak tanah agar padat dan kuat. Untuk memberi tetenger, Samiun mengangkat sebuah batu besar dan meletakkan di atas kuburan pembantaian itu.

***

Di blandongan, kamar mandi, Samiun membersihkan diri. Tubuhnya yang dibasahi oleh keringat dan cipratan tanah basah menguarkan bau tak sedap dan rasa kecut. Air yang ditimba dan selanjutnya dituang ke blandongan itu telah mengguyur tubuhnya lewat pancuran.

Digosok-gosok badannya dengan tumbukkan batu bata. Perih rasanya namun hal itu tak dirasakan demi menghilangkan kotoran yang hinggap di tubuhnya. Setelah lumuran batu bata itu memoles tubuh, Samiun membilas kembali dengan air yang muncrat dari blandongan itu. Derasnya air yang mengucur itu tak hanya membilas tubuh dari lumuran batu bata namun juga membuat badannya terasa segar.

Setelah merasa badannya bersih, blandongan itu disumbat dengan sebatang kayu yang ujungnya dibalut dengan kain. Samiun mengambil kaos yang digantung di sebuah cagak, tiang, bambu. Kaosnya yang kumal itu digesek-gesekkan ke badan untuk mengeringkan dari air yang masih menempel. Gesekkan yang berulang itu mampu menghilangkan sisa air yang berada di badan.

Pintu yang sudah reyot itu dibuka, Samiun keluar dari blandongan menuju ke dalam rumah. Ia langsung menuju dapur. Dilihat, apakah masih ada sepiring nasi, sepotong tempe, dan serantang sayuran. “Allhamdulillah masih ada,” dirinya bersyukur sisa masakan yang diolah masih ada.

Samiun adalah anak tunggal Pak Tedjo dan Mbok Siyo. Kedua orangtua itu petani kelapa di dusun. Hidup keluarga Pak Tedjo datar-datar saja, makan sehari-hari bisa dipenuhi setelah ia menjual beberapa butir kelapa di pasar desa. Hasil dari jual kelapa itu kemudian digunakan untuk membeli sekilo beras, tempe, serta minyak minyak goreng. Sayuran bisa diperoleh dari kebun yang berada di kanan dan depan rumah. Sedang untuk memasak nasi dan sayur serta menggoreng tempe, ia menggunakan kayu bakar dari patahan ranting atau pohon tumbang di hutan yang tak jauh dari rumahnya. Dengan cara seperti itu, keluarga Pak Tedjo bisa menyambung hidup.  

Suatu hari, seperti biasa, Pak Tedjo hendak ke pasar untuk menjual buah kelapa. Sebelum dirinya meninggalkan rumah itu, ia menemui istrinya. “Mbok aku berangkat ke pasar dulu ya,” ujarnya.

“Kalau di rumah tak usah bekerja terlalu keras, kamu kan lagi menggandung anak kita to.

“Biar aku saja nanti yang masak nasi dan membikin sayuran.”

Mendengar suaminya mengatakan demikian, Mbok Siyo tak mengucapkan sepatah kata. Ia hanya diam dan menatap suaminya. Dalam hatinya mengakui bahwa di tengah dirinya mengandung, rasa lelah sering mendera pada tubuhnya sehingga hal demikian mengakibatkan ia malas bergerak namun kalau suaminya nanti yang memasak nasi dan membikin sayuran, hal demikian tentu akan membuat suaminya semakin bertambah beban kerjanya.

Diakui oleh Mbok Siyo, menjual buah kepala di pasar tidak mudah. Harus bersaing dengan penjual buah kelapa yang lain yang jumlahnya tidak sedikit. Pinter-pinternya pedagang buah kelapa saja yang bisa memikat pembeli. Dan selama ini diakui suaminya bisa menjual buah kelapanya meski tak semua habis dibeli orang yang membutuhkan.

“Sudah nggak usah dipikir pak,” kata Mbok Siyo dengan nada pelan.

“Ya nanti kalau aku nggak kuat, saya akan ngomong.”

Yo wis, ya sudah, cepat berangkat ke pasar, mumpung masih pagi.”

Mendengar istrinya berkata penuh semangat, Pak Tedjo merasa senang. Hal demikian menunjukan ia pengertian. Ia tahu suaminya kerja cukup berat sehingga tidak mau bebannya ditambah. Untuk itu Mbok Siyo ingin tetap bisa melakukan rutinitas sehari-hari sebagai ibu rumah tangga.

Yo wis, ya sudah, kalau begitu aku berangkat ke pasar ya,” ucap Pak Tedjo.

Setelah pamitan, Pak Tedjo meninggalkan rumah itu untuk ke pasar. Puluhan buah kelapa itu teronggok di dua keranjang. Dua keranjang itu dikaitkan dengan selonjor pikulan. Pikulan itu kemudian diletakkan di bahu sehingga dua keranjang itu terangkat. Dengan menggotong dua keranjang berisi buah kelapa, Pak Tedjo menyusuri jalan-jalan dusun. Jalan dusun masih berupa hamparan tanah, terkadang terjal, sehingga membuat nafas yang harus dihela semakin kuat.

Demi hidup yang ditanggung, pria yang rambutnya sudah memutih itu tak kenal menyerah. Rasa capek dan haus saat dirinya menggotong keranjang dan jauhnya jarak rumah ke pasar tak menyurutkan semangat untuk mencari rejeki.

Selepas melewati jembatan kayu, keramaian orang sudah dirasakan. Hal demikian menunjukkan pasar sudah dekat. Pak Tedjo bertambah semangat ketika pasaran di pasar kampung itu ramai. Orang-orang dari berbagai dusun berbondong-bondong pergi ke pasar selain untuk membeli barang dan perlengkapan yang dibutuhkan juga untuk mencari hiburan.

Sesampai di pasar, Pak Tedjo meletakkan keranjang yang dibawa. Diatur dan dipilah buah kelapa itu untuk menarik para pembeli. Rupanya di dekatnya sudah ada pedagang buah kelapa yang lain. Pak Tedjo merasa tak tersaingi dengan pedagang itu. Setelah menarik nafas dalam-dalam, ia siap menyambut pembeli. Untuk menarik perhatian pengunjung pasar, ia berteriak, “mari, mari, buah kelapa yang sedap untuk membuat santan masakan.”

Apa yang dikatakan itu rupanya manjur, terbukti banyak pengunjung pasar yang meliriknya. Beberapa di antaranya menghampiri dan menawar berapa harga per biji. Silat lidah dari Pak Tedjo mampu meluluhkan kekakuan pembeli yang menawar sehingga mereka mau mengiyakan harga yang ditentukan oleh Pak Tedjo. Satu persatu buah kelapa yang ada dibawa terjual.

Hari semakin siang, pasar pun mulai sepi. Orang-orang dusun sudah banyak yang meninggalkan tempat jual beli paling ramai di kampung itu. Rasa capek di mulut dan kaki pun dirasakan Pak Tedjo. Ketika sudah tak ada pengunjung pasar yang melintas. Dilihatnya buah kelapa yang tersisa. “Lima buah,” desisnya setelah melihat sisa yang ada.

Allhamdulillah,” Pak Tedjo mengucapkan syukur sebab dagangan yang dibawa laku banyak. Dengan demikian, dirinya membawa keuntungan lebih dan tak perlu mengeluarkan tenaga lagi untuk menggotong pulang ke rumah.

Saat pasaran di pasar sudah sepi, dagangan dan keranjang itu dirapikan. Selanjutnya diangkat keranjang itu untuk meninggalkan tempat yang dari pagi digunakan untuk menjajakan buah kelapa itu. Pak Tedjo tidak langsung pulang. Lebih dahulu ia berbelanja kebutuhan sehari-hari. Ia membeli beras dan yang lain dengan uang yang diperoleh dari hasil penjualan buah kelapa. Sebab hasil penjualan lari maka hari itu ia membeli telur ayam. Telur ayam bagi warga dusun adalah lauk yang jarang dikonsumsi, masih terbilang barang mewah, sehingga tak semua warga dusun bisa menikmati. Warga dusun tak banyak yang mengkonsumsi telur, selain harga per butirnya terbilang mahal, sebab mereka masih banyak yang miskin, juga karena stock telur sangat terbatas.

“Membeli telur untuk kesehatan anak yang dikandung istriku,” gumamnya dalam hati ketika melihat tumpukan telur yang berada di depan matanya.

“Beli tiga ya mbak,” ujar Pak Tedjo kepada penjual telur yang terbilang masih muda itu. Tanpa banyak bertanya, penjual telur itu membungkus benda bulat lonjong berwarna kuning buram itu di sebuah plastik dan langsung menyerahkan setelah Pak Tedjo menyerahkan uang.

Setelah membeli telur, ia langsung bergegas menuju ke Mbok Bero. Mbok Bero adalah pedagang beras yang terkenal di pasar itu. Di tokonya, beras berkarung-karung. Banyak warga kampung yang membeli beras di Mbok Bero. Bahkan ada warga kampung yang memberanikan diri ngutang beras bila tak mempunyai uang.

Saat berada di toko itu, kesibukan terlihat. Jongos Mbok Bero sibuk melayani pembeli, ada pula yang memindahkan beras dari satu karung ke karung yang lain. Melihat Pak Tedjo datang, Mbok Bero langsung menyapa, “Djo piye kabarmu, bagaimana kabarmu?”

“Buah kelapamu laku semua ya?”

Disapa dan mendapat pertanyaan yang demikian, Pak Tedjo tersenyum dan mengatakan, “Alhamdulillah.”

“Semua berkat doa Mbok Bero.”

Pak Tedjo langsung melihat beras-beras yang menggunduk di sebuah papan kayu yang berukuran 1 x 1 meter itu. Dijumputnya butiran-butiran beras itu. Ia ingin memilih beras yang bagus agar rasanya enak saat dinikmati. Setelah dirasa cocok dengan pilihannya, ia langsung membisiki pada salah satu jongos. “Saya pilih beras yang ini ya,” ujarnya dalam bisikan itu.

“O iya mas,” ujar jongos setelah mendengar bisikan itu. Si jongos menakar beras itu dalam timbangan. Setelah timbangan itu menunjukkan ukuran 1 kilo, jongos langsung menyerahkan beras yang berada dalam tas plastik warna hitam itu pada Pak Tedjo. Setelah berada di tangan, Pak Tedjo langsung menghampiri Mbok Bero.

“Mbok ini duitnya, beras 1 kilo,” ujar Pak Tedjo sambil menyodorkan uang kertas.

Tahu Pak Tedjo berada di depannya dan menyodorkan uang, Mbok Bero terperanjat. “O kamu beli beras jenis itu ya,” ujar Mbok Bero.

“Ya memang beras jenis itu memang enak.”

“Ya mbok,” sahut Pak Tedjo.

“Sudah ya mbok, aku buru-buru mau pulang.”

Tahu Pak Tedjo ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu, Mbok Bero berbasa-basi, “kenapa buru-buru to le.”

Mbok yo ngobrol dulu sama saya.”

“Kapan-kapan saja ya mbok ngobrolnya,” sahut Pak Tedjo sambil bergegas meninggalkan Mbok Bero yang tengah asyik menghitung uang.

***

            Keranjang yang sebelumnya disesaki buah kelapa sekarang dipenuhi oleh barang belanjaan Pak Tedjo. Di keranjang itu ada beras, sayuran, minyak goreng, dan telur. Keranjang itu digotong dengan pikulan yang berada di pundak. Saat menuju ke pasar, keranjang itu terasa berat, sekarang terasa ringan. Tak heran bila Pak Tedjo jalannya terlihat santai.

            Langkahnya yang panjang membuat pasar itu semakin jauh ditinggalkan. Di sebuah jalan yang sepi, Pak Tedjo melihat di depan ada 4 orang. Mereka ada yang duduk-duduk di sebuah bongkahan batu besar, ada pula yang berdiri. Pak Tedjo tak mempunyai firasat buruk. Ia terus melangkah.

            Saat ia dekat dengan keempat orang itu, Pak Tedjo menjadi cemas sebab mereka menghadang. Dilihat wajah mereka satu persatu. Ia mengamati lebih seksama satu dari keempat orang itu. Wajah pria yang satu itu terlihat pendek, kate, mata sipit, dan kulit kuning. Pak Tedjo menyimpulkan bahwa pria itu adalah orang Jepang.

Pada masa itu tanah Jawa sedang dikuasai oleh tentara Jepang. Kehadiran mereka awalnya disambut baik oleh warga kampung dengan gembira sebab mampu menyingkirkan tentara Belanda namun lama kelamaan kehadiran orang-orang kate itu membikin masyarakat resah. Mereka tidak hanya berbuat brutal tetapi juga suka mengambil apa saja yang berada di sawah dan ladang masyarakat.

            “Maaf saya numpang lewat,” ujar Pak Tedjo kepada empat orang tadi.

            “Siapa namamu?” tanya salah seorang di antara mereka.

            “Tedjo,” jawabnya dengan nada datar.

            “Pekerjaan kamu?” orang itu bertanya lagi.

            “Petani kelapa,” Pak Tedjo menjawab kembali.

            Mendengar jawaban itu, orang Jepang memandang dengan seksama. Dilihat seluruh badan Pak Tedjo dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sorot mata tajam dari orang Jepang sepertinya menginginkan Pak Tedjo.

            “Tangkap dia,” teriak orang Jepang.

            Serta merta ketiga orang itu langsung meringkus Pak Tedjo. Mendapat perlakuan yang demikian, Pak Tedjo langsung berteriak, ”salah saya apa, salah saya apa?!” Teriakan yang demikian tak dipedulikan.

“Lepaskan saya, saya masih punya keluarga,” Pak Tedjo terus berteriak.

“Istri saya mengandung anak pertama, tolong lepaskan saya.”

Semua alasan itu tak didengar oleh keempat orang tadi. Pak Tedjo diringkus dan digelandang menyusuri jalan dusun yang sepi. Di sebuah pertigaan ada sebuah truck perang Jepang dengan di beberapa bagian terlihat bendera hinomaru, matahari terbit, bendera Jepang. Setelah berada di bagian truck, tubuh Pak Tedjo diangkat dan dilempar ke dalam. “Braakkkk...” Tubuh itu membentur lantai besi truck itu. Pak Tedjo meraba punggungnya yang terasa sakit. Ia merintih. Rintihannya terhenti saat ia melihat di tempat itu ada puluhan laki-laki yang meringkuk.

“Ada apa ini, ada apa ini?” tanya Pak Tedjo dengan nada yang kalap dan cemas. Pertanyaan itu tak dijawab, semuanya terlihat pasrah bahkan di antara mereka terlihat wajah-wajah bonyok yang sepertinya habis kena siksaan yang cukup kejam.

Setelah Pak Tedjo berada di truck itu, tak lama kemudian terdengar mesin truck menderu dengan keras. Dirasa truck itu secara perlahan meninggalkan tempat mangkalnya.

***

Mbok Siyo terlihat gelisah, waktu semakin sore namun suaminya belum pulang. Biasanya selepas suara bedug sholat dhuhur dari musholla, Pak Tedjo sudah menginjakkan kakinya di halaman rumah. Sekarang, bedug sholat ashar sudah terdengar tetapi suaminya itu belum pulang.

Mbok Siyo berdiri di depan pintu, sesekali ia berjalan tak karuan. “Ke mana to pak, jam segini belum pulang?” ujar Mbok Siyo.

“Apa saya harus menyusul ke pasar?” gumamnya dalam hati.

“Tapi kandungan ini sudah semakin besar bagaimana saya harus pergi ke pasar?”

“Mudah-mudahan saja tidak ada apa-apa dengan suamiku.”

Mbok Siyo teringat bahwa sekarang merupakan jaman Jepang. Jaman di mana masanya wong londo, orang Belanda, telah usai dan diganti dengan orang-orang kate, sebutan bagi orang Jepang yang pendek. Pada masa itu keadaannya tak berubah bahkan suasananya lebih menyeramkan dan menakutkan. Bila orang-orang Jepang keliling desa, ia akan minta apa saja ke masyarakat. Bila tak dipenuhi, ia akan melakukan tindak kekerasan.

Meski pikirannya berada dalam suasana yang menakutkan di masa pendudukan Jepang namun bayangan Mbok Siyo tidak sampai menghubungkan nasib suaminya dengan marabahaya yang dialami.

“Mungkin suamiku ke rumah saudaranya yang lagi ada acara,” Mbok Siyo masih berpikir positif.

“Besok paling dia pulang selepas acaranya selesai.”

Mbok Siyo kembali ke dalam rumah dan melakukan pekerjaan rutin, memasak dan berbenah.

****

Di balai kelurahan terjadi kegaduhan, perangkat desa bingung bagaimana menjelaskan ketika banyak ibu-ibu yang bertanya ke mana suaminya kok belum pulang ke rumah. Padahal biasanya, suami mereka segera kembali ke rumah selepas bekerja di sawah atau berdagang di pasar.

“Sabar, sabar ya. Saya juga tidak tahu ke mana suami kalian,” ujar Pak Lurah sambil menenangkan ibu-ibu yang berkerumun di depan ruang kantor desa itu.

“Saya akan suruh Jogoboyo, bagian keamanan desa, untuk mencari informasi ke mana para suami itu berada.”

“Nanti kalau sudah ada informasi, secepatnya saya akan menghubungi ibu-ibu.”

“Sekarang kalian pulang dulu, uruslah apa yang ada di rumah.”

Mendengar apa yang dikatakan Pak Lurah, di antara mereka ada yang merasa tenang namun ada pula yang masih merasa kurang puas. “Sampai jam berapa kami harus menunggu?” tanya salah seorang di antara mereka.

Mendapat pertanyaan yang demikian, Pak Lurah  terlihat tenang. Sambil tersenyum ia mengatakan, “secepatnya.” Mendengar kata secepatnya, sepertinya perkataan itu bisa membuat semuanya tenang dan mereka pun bubar meninggalkan balai kelurahan.

Kegaduhan ibu-ibu yang berada di balai kelurahan menanyakan di mana suami mereka terdengar di telinga Mbok Siyo. Mbok Siyo tersentak, rupanya tidak hanya dirinya yang mencari suaminya di mana berada. Banyak ibu yang lain mengalami nasib sama di mana suaminya belum pulang ke rumah.

“Sepertinya ada yang aneh di desa ini,” ujar Mbok Siyo dalam hati.

“Ke mana suamiku dan suami mereka kok hingga saat ini belum pulang.”

“Saya lagi hamil besar, jadi tidak bisa bersama mereka pergi ke balai kelurahan untuk menanyakan di mana suami berada.”

Wis moga-moga selamat semua,” dirinya mengharap.

Mbok Siyo seperti kesehariannya kembali melakukan rutinitas, memasak dan berbenah.

***

            Menjelang jam kerja, ibu-ibu menggrundug balai kelurahan. Mereka ke sana untuk menanyakan kembali nasib suaminya. Tahu balai kelurahan didatangi oleh puluhan ibu, Pak Lurah jadi pucat. Bagaimana menghadapi mereka sebab Jogoboyo belum memperoleh informasi di mana para lelaki yang dicari itu berada. Jogoboyo memang sudah putar-putar keliling desa namun belum ada keterangan yang bisa dijadikan titik awal keberadaan orang-orang yang dicari.

            “Pak Lurah, Pak Lurah, di mana suami saya,” teriak ibu-ibu itu saat berada di balai kelurahan. Mendengar teriakan secara bersama, Pak Lurah membisu dan diam di dalam ruangan. Sebelumnya ia mengatakan akan memberi informasi secepatnya di mana suami mereka berada.

            “Cilaka kalau begini jadinya,” ujar Pak Lurah dengan nada datar.

            “Jogoboyo sudah keliling desa tapi kok belum ada jejak yang ditemukan.”

            “Akan saya pecat nanti,” ungkapnya dengan kesal.

            Di tengah pergulatan batin, teriakan ibu-ibu semakin kencang bahkan ada yang menggendor-gendor pintu balai kelurahan. “Pak Lurah mana janjimu, katanya mau memberi informasi secepatnya,” teriak mereka.

            “Sekarang sudah mau sore, di mana suamiku.”

            Kegaduhan itu semakin keras. Tak ada pilihan bagi Pak Lurah untuk tidak menemui mereka. Ia terpaksa keluar dari ruangan. Begitu berada di depan ibu-ibu, mereka langsung mengurung. “Pak gimana, pak gimana, pak gimana,” kata-kata itu bersahut-sahutan muncul dari mulut ibu-ibu. Mereka tidak sabar untuk mengetahui keadaan suaminya.

            Dengan keadaan terdesak, Pak Lurah mengatakan, “ibu-ibu sabar dulu ya.” Mendengar kata yang demikian semua serentak menreiakkan, “huuuuu....”

“Sampai kapan sabar,” ujar di antara mereka.

“Katanya secepatnya,” kata yang lain.

Mendapat protes yang demikian, Pak Lurah dengan muka yang ditenang-tenangkan menjelaskan, “begini ibu-ibu, seharian Jogoboyo sudah keliling desa untuk mencari informasi di mana suami ibu-ibu berada namun hingga saat ini Jogoboyo belum mendapat keterangan yang cukup untuk mengetahui di mana jejak suami ibu-ibu berada.”

“Jadi kita tunggu kabar selanjutnya dari Jogoboyo ya.”

“Huuuu....” ibu-ibu berteriak begitu mendapat penjelasan itu.

“Apa sih kerjaan Jogoboyo?” tanya di antara mereka.

“Paling kerjaannya judi dan nglonte,” seorang di antara mereka jengkel dan spontan mengatakan yang demikian.

“Jangan begitu,” ujar Pak Lurah menenangkan keadaan.

“Percayalah pada aparat desa, mereka kerja untuk masyarakat.”

“Beri kesempatan pada kami untuk mengetahui di mana suami ibu berada.”

“Sekarang kembalilah ke rumah masing-masing, hari sudah menjelang maghrib. Di desa ini listrik belum ada, jadi biar aman cepatlah pulang.”

Mendapat penjelasan yang demikian, ibu-ibu itu sepertinya terhipnotis dan tanpa dikomandoi mereka bubar meninggalkan balai keluarahan itu.

***

Juminah berjalan mengendap-ngendap menuju ke sebuah rumah kayu yang bangunannya sepertinya sudah reyot. Rumah kayu yang berdiri di samping pohon nangka besar itu tampak menyeramkan. Kayu-kayu yang menyusunnya terlihat berwarna hitam. Warna hitam tergores dari jelaga, buah dari pembakaran kayu yang dilakukan oleh penghuni.

Pohon nangka yang berdiri kekar di samping rumah dengan daun yang rimbun, menurut orang dusun disebut sebagai tempat tinggal gondoruwo, makhluk tinggi besar, berkulit hitam, berambut gimbal, berwajah seram, dan bergigi taring tajam. Gondoruwo itu konon katanya suka menculik anak kecil di dusun dan dibawa ke pohon nangka.

Dari cerita itulah membuat orang-orang dusun tidak mau mengganggu dan mengusik pohon nangka dan penghuni rumah kayu itu. Juminah percaya dengan omongan itu sehingga saat menuju ke rumah itu, hatinya tak tenang, was-was menyelimuti perasaan. Jangan-jangan gondoruwo tiba-tiba berada di depan dirinya.

Malam itu malam jumat kliwon, malam yang dianggap oleh semua orang sebagai malam keramat. Senyap terasa malam itu, seolah-olah semua sedang menahan nafas. Mbak Kiro dengan memegang obor di tangan kanan menuju ke rumah kayu itu. Di tengah kecemasan itu hatinya bertambah ciut saat anjing liar menggonggong panjang. Menurut kepercayaan bila ada anjing menggonggong itu pertanda melihat setan atau makhluk halus.

Jalan setapak menujur rumah kayu terus disusuri hingga akhirnya berada di depan pintu rumah pintu itu. Diketuknya pintu kayu dengan pelan-pelan, “tok, tok, tok.” Tak ada jawaban, diulangi lagi. Hasilnya rupanya sama. Mbok Siyo penasaran mengapa penghuni rumah kayu tak menjawab. Ia mencoba mengintip ke dalam, kebetulan di pintu itu ada lubang kecil. Dari lubang kecil itu ia bisa melihat ke dalam dengan jelas. Dirinya terperanjat ketika Mak Sampir, penghuni rumah kayu, sedang duduk membelakangi dirinya. Di depan Mak Sampir sepertinya ada sesajen beraneka rupa, ada telur putih, kembang telon, ayam, dupa, dan lain sebagainya.

Bau kemenyan menyeruak di hidung. Juminah menduga Mak Sampir sedang membaca mantra dan tengah berkomunikasi entah dengan siapa. Suasana menjadi mencekam saat Mak Sampir membaca mantra dengan keras, tiba-tiba angin bertiup dengan kencang. Juminah merunduk saat angin kencang itu menerpa dirinya. Saat merunduk dirinya menyenggol sebuah tiang kayu yang berada di sampingnya. Tiang kayu itu oleng sehingga roboh. Bunyi robohnya demikian keras sehingga suaranya sampai terdengar di dalam.

Mendengar ada sesuatu yang roboh di rumahnya, Mak Sampir langsung menoleh ke arah pintu dan menghentikan bacaan mantranya. Bangkit dari duduknya, Mak Sampir dengan dibantu tongkatnya berjalan terseok-seok ke arah pintu. Tongkatnya panjang di mana ujungnya terpasang kepala tengkorak. Tongkat itu dihentakkan ke lantai kayu sehingga menimbulkan dentum kuat. Hal demikian membuat Juminah menjadi takut bukan kepalang, takut sangat. Ia takut apa jadinya bila Mak Sampir marah padanya.

Juminah hanya bisa pasrah bila berhadapan dengannya.

“Krieeetttttttt....” suara menderit saat pintu itu dibuka.

Juminah langsung lemas saat Mak Sampir menatapnya tajam. Di tengah rasa takut yang membuat dirinya lemas, tiba-tiba perempuan tua itu tertawa cekikikan. Tawanya melengking membuat telinga Juminah seperti tertusuk sapu lidi. “Hi hi hi..... Hi hi hi.. Hi hi hi.... “

Mak Sampir tertawa melengking sebab tahu Juminah ketakutan.

“Ada apa nduk kamu ke sini?” tanya Mak Sampir pelan dengan sorot mata seperti elang.

“Kamu mengganggu acaraku saja.”

“Malam jumat kliwon seharusnya saya harus berhubungan batin dengan Nyi Roro Kidul.”

“Maaf mbah, saya telah mengganggu hubungan batin Mak Sampir dengan penguasa laut selatan,” ujar Juminah dengan nada ketakutan.

 “Saya ke sini hendak minta  tolong pada mbah.”

Mendengar apa yang dikatakan itu, Mak Sampir tertawa cekikikan. Ditatap wajah Juminah dengan sorot tajam. “Kamu minta tolong saya? Memangnya saya dukun,” kata Mak Sampir sambil menggoyangkan tongkatnya yang bentuk ukirannya seperti ular.

“Saya bukan dukun, cari saja dukun yang lain,” Mak Sampir mengatakan demikian sambil meninggalkan Juminah sendirian di dekat pintu.

“Mbah tolong dong saya,” ujar Juminah sambil membuntuti Mak Sampir. Menurut banyak orang yang sudah pernah bertemu dengan perempuan tua itu, perempuan itu gila pujian sehingga Juminah merayu sekaligus memuji agar mau menolong dirinya.

“Mbah tolonglah saya, mbah kan lebih di atas dukun. Ilmu mbah di atas ilmu dukun,” ujar Mbok Kiro.

Mendapat pujian yang demikian, Mak Sampir langsung tertawa cekikikan.

“Ya betul katamu, aku lebih di atas dukun,” ujar Mak Sampir dengan sombong.

“Kamu minta tolong apa?”

Juminah tersenyum dalam hati. Siasatnya agar Mak Sampir mau menolongnya dengan cara memuji telah ia lakukan dan berhasil. Ia menceritakan kepada nenek tua itu bahwa suaminya telah 2 hari tidak pulang rumah.

“Kamu tidak melayani dengan baik suamimu,” Mak Sampir membentak.

“Tidak, tidak, tidak mbah,” Juminah membalasnya dengan buru-buru.

“Saya melayani dengan baik bahkan setiap malam saya melayani nafsunya.”

“Kalau seperti itu mengapa dia minggat?” Mak Sampir kembali bertanya.

“Makanya saya ke sini mau bertanya pada mbah mengapa dia minggat,” ucap Mbok Kiro.

“Orangtua ini sepertinya sudah pikun,” gumam Juminah dalam batin. Kedatangan ke rumahnya pasti untuk bertanya, kok malah ditanya apa maunya.  

Mak Sampir kembali duduk di depan sesajen yang dipersembahkan entah untuk siapa. Matanya terpejam dan mulutnya mulai komat-kamit. Tiba-tiba di atap rumah kayu itu terdengar suara gaduh yang demikian hebatnya. Juminah menengadah ke atas, dirinya terperanjat melihat sebuah makhluk yang bentuknya menakutkan, berbentuk hewan bukan, manusia bukan, sepertinya makhluk itu campuran di antara keduanya. Makhluk itu menyeringai dan berlari berputar di atap dengan cepat.

Gerakan yang demikian menimbulkan energi di ruangan sehingga benda-benda ringan yang ada bergoyang-goyang. Gelas yang terletak di atas lemari jatuh pecah di lantai kayu begitu energi yang dihempaskan makhluk menyeramkan itu bergerak cepat.

Semakin cepat Mak Sampir berkomat-kamit semakin cepat makhluk itu bergerak tak karuan seperti makhluk yang sedang kepanasan. “Nyiaahhhhh....” Mak Sampir berteriak. Seiring itu pula makhluk itu terserap dalam sebuah kendi yang berada di depannya.

Terlihat tubuh Mak Sampir basah dengan keringat. Sepertinya ia mengeluarkan energi yang dahsyat agar bisa menaklukan makhluk mengerikan itu. Kendi itu dipegang erat-erat dan dari mulutnya keluar sebuah perkataan yang tidak didengar oleh Mbok Kiro. Kendi itu lalu bergetar. Getarannya kuat. Saking kuatnya tangan Mak Sampir bergetar. “Nyiaahhhh...,” teriaknya kembali. Teriakan itu menghentikan getaran yang sangat kuat dari kendi yang dipegangnya.

Nafas perempuan tua itu terlihat ngos-ngosan, seluruh tubuhnya basah oleh keringat. Sepertinya perempuan tua itu selepas melakukan pertarungan dengan setan. Setan yang berkeliaran di alam dipanggilnya dan disuruh untuk mencuri rahasia-rahasia Tuhan. Untuk menaklukan setan tentu tak mudah. Ilmu yang dikuasai ditarungkan dengan ilmu setan. Dalam pertarungan itu, terkadang Mak Sampir kalah, di saat yang lain ia menang.

Melihat pertarungan itu, Juminah mengalami ketakutan yang luar biasa. Ia berpegangan pada balok besar yang menopang rumah kayu itu. Benturan dan dentuman ilmu Mak Sampir dengan kekuatan setan menimbulkan suara yang memekakan telinga dan getaran yang mengguncang.

“Aku berhasil menaklukan setan,” ujar Mak Sampir dengan suara yang mantap.

“Kalau setan yang menang mungkin kamu yang menjadi tumbal.”

Mendengar apa yang dikatakan itu, Juminah kaget. Apa jadinya kalau perempuan tua kalah, ia pasti sudah menjadi budak setan. Sebagai budak setan ia harus melayani sampai dunia kiamat dan pasti ia akan masuk neraka.

“Benar kamu mau tahu suamimu di mana?” pertanyaan Mak Sampir itu membuyarkan lamunan Juminah yang menjelajah entah ke mana. Dengan tergagap, ia langsung menjawab, ”iya, iya, iya mbah.”

Mak Sampir tertawa cekikikan melihat Juminah bernafsu untuk mengetahui rahasia Tuhan yang telah dicuri setan taklukannya itu. Mak Sampir tersenyum. Selanjutnya ia menatap tajam kendi yang mengurung setan itu. Muka Mak Sampir menyeringai tajam saat menatap tajam kendi berwarna hitam legam itu. Tak lama menatap kendi itu, selanjutnya ia mengusapnya.

“Gimana mbah hasilnya?” tanya Mbok Kiro.

“Heemmmm.....,” Mak Sampir menggumam panjang.

“Wahai jagad kegelapan, kabarkan kepada kami di mana laki-laki itu,” Mak Sampir sepertinya mengumandangkan mantra.

Mak Sampir diam sejenak, sepertinya ia berkonsentrasi. Tiba-tiba ia mendongak ke atas. “Wooo.....”

Nduk, Mbok Kiro. Suamimu telah diculik oleh gerombolan setan kate.”

“Suamimu akan dijadikan budak oleh setan-setan kate itu.”

“Setan kate itu bentuknya pendek seperti orang-orang cebol.”

“Setan kate itu suka memakan manusia. Ia telah banyak membunuh manusia.”

Mendengar apa yang dikatakan itu, Juminah kaget, gugup, dan cemas. Diculik setan kate dan dijadikan budak tentu nasib suaminya itu dalam keadaan bahaya.

“Terus bagaimana mbah nasib suamiku kelak?”

Mendapat pertanyaan itu, Mak Sampir hanya diam termangu, sepertinya ia tidak bisa menjawab. “Sudahlan Nduk, kamu pulang saja. Sebentar lagi matahari akan terbit.”

“Matahari terbit berarti saya tidak bisa berhubungan lagi dengan alam kegelapan.”

****

            Di balai kelurahan terjadi kegaduhan. Ibu-ibu kembali berkumpul di balai itu. Kedatangan mereka diundang oleh Pak Lurah. Pak lurah mengundang mereka sebab Jogoboyo sudah mendapat informasi di mana keberadaan suami mereka.

            “Ibu-ibu sekalian, syukur hari ini kita bisa berkumpul,” ujar Pak Lurah seperti memberi sambutan.

            “Menurut informasi Jogoboyo telah mendapatkan informasi di mana keberadaan suami ibu-ibu sekalian.”

            “Di mana suamiku,” teriak ibu-ibu secara serempak.

            “Cepat kasih tahu,” ujar yang lain tampak buru-buru.

Juminah yang berada di antara mereka terlihat diam. Sepertinya ia pasrah dengan apa yang terjadi pada suaminya. Ia sepertinya percaya dengan apa yang dikatakan oleh Mak Sampir kalau suaminya diculik setan kate.

“Iya, iya sabar,” ujar Pak Lurah menahan emosi mereka.

“Pak Jogoboyo silahkan memberi kabar kepada ibu-ibu.”

Mendapat perintah dari Pak Lurah, Jogoboyo yang duduk di sampingnya langsung berdiri. Ditatap siapa yang di depannya dengan mata tajam. Kumis baplang yang melintang membuat wajah Jogoboyo terlihat seram. Hal demikianlah yang mungkin membuat ia diangkat menjadi Jogoboyo, orang yang diberi kepercayaan untuk menjaga keamanan desa.

“Hemmm...,” ia berdehem.

Deheman itu membuat kaum perempuan menjadi bergidik. Tidak hanya melihat wajahnya yang seram namun juga tubuh yang kekar dan kumis baplang melintang.

“Ibu-ibu sekalian, setelah dua hari saya keliling desa dan mencari informasi keberadaan suami anda, akhirnya saya memperoleh informasi di mana mereka,” ujarnya.

Mendengar kabar penting itu kegaduhan terjadi di balai desa. Di antara mereka saling pandang dan merespon.

“Di mana mereka,” ujar ibu-ibu serentak.

Sebelum menjelaskan kabar yang diterima, Jogoboyo menatap ibu-ibu dengan tajam.

“Saya sedih mengatakannya,” ujarnya.

Mendapat ungkapan itu wajah kaum perempuan itu terlihat cemas dan was-was. Mereka menunggu kalimat lebih lanjut Jogoboyo.

“Suami kalian diculik tentara Jepang untuk dijadikan romusha,” ungkapnya.

Romusha berasal dari bahasa Jepang yang mempunyai arti buruh atau pekerja. Dalam masa pendudukan Jepang di Asia Tenggara, banyak orang Indonesia, Thailand, dan Myanmar yang dijadikan romusha. Pemuda-pemuda dan kaum laki-laki diculik dan dipaksa untuk dijadikan romusha. Kebanyakan romusha dari kalangan petani sebab pekerjaan romusha banyak digunakan untuk membangun infrastruktur kapal terbang, jalan, pelabuhan, benteng, dan semua keperluan Jepang untuk peperangan melawan tentara Sekutu.

Romusha yang diculik dan diambil dari desa tidak hanya dibawa di kota-kota tempat pembangunan insfrastruktur perang di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan namun juga di Thailand dan Myanmar. Jumlah romusha yang diperbudak Jepang mencapai kisaran antara 4 juta hingga 10 juta jiwa.

“Haaahhh....” Seluruh kaum perempuan itu sontak kaget. Bahkan di antara mereka ada yang histeris menangis sebab ia tahu bahwa tentara Jepang terkenal sadis dan kejam. Apa yang dikatakan Jogoboyo itu memperjelas apa yang dimaksud oleh Mak Sampir. Mak Sampir menyampaikan pesan samar-samar pada Juminah bahwa suaminya diculik oleh setan kate. Bila dihubungkan dengan bentuk tubuh tentara Jepang yang pada masa itu bentuknya pendek, seperti ayam kate, sehingga cocok kalau Mak Sampir menyebutnya dengan setan kate.

Juminah menganggap wajar kalau di antara mereka histeris sebab Mak Sampir mengungkapkan setan kate itu suka makan manusia. Ia telah banyak membunuh manusia.

Balai kelurahan yang awalnya senyap itu menjadi gaduh akibat kesedihan yang diekpresikan oleh ibu-ibu. Melihat hal yang demikian, Pak Lurah, Jogoboyo, dan perangkat desa yang lain berusaha menenangkan dan menguatkan hati mereka. 

***

            Berita penculikan pria-pria di desa itu oleh tentara Jepang masuk ke telinga Mbok Siyo. Dengan demikian suaminya salah satu di antara mereka sebab hingga detik ini ia belum kembali. “Aduh Gusti mengapa ini bisa terjadi,” ratap Mbok Siyo sambil mengelus perutnya yang semakin besar.

            Air mata berlinang di pipinya. Ia pasti sedih sebab orang yang dicintai itu pergi entah dibawa ke mana oleh tentara Jepang. Badannya lunglai ketika pikirannya bertanya kapan ia kembali. “Mungkinkah ia kembali?” pertanyaan itu langsung membuatnya pingsan. Mbok Siyo sepertinya harus menghadapi kenyataan yang sangat pahit. Berada di tangan Jepang berarti mereka akan mati, tinggal matinya secara cepat atau perlahan-lahan.

***

Begitu mata Mbok Siyo terbuka, di depannya sudah bersimpuh beberapa orang, di antara Mbah Jayeng, Mbah Tondo, dan Pak Kero. Begitu tahu Mbok Siyo sadar, mereka langsung berujar, “Wis nduk yang sabar ya.”

“Ini semua bisa jadi cobaan bagi kamu agar kamu tabah,” tutur Pak Kero.

“Sekarang kamu tak perlu khawatir. Di sini ada kami semua,” ujar Mbah Tondo.

Mendapat motivasi dan wejangan yang demikian, Mbok Siyo hanya diam. Pikirannya melayang kepada suaminya. Suaminya itu tak hanya dicintai namun dari ialah kehidupan dirinya ditopang. Bagaimana kelanjutan hidupnya, hal itulah yang saat ini direnungkan.

Nduk ini teh hangat, diminun ya,” kata Mbah Jayeng sambil menyodorkan teh manis dalam gelas yang sudah terlihat kusam.

“Wis sudah nggak usah dipikir masalahmu.”

“Yang penting anakmu bisa lahir dengan selamat.”

Mendengar apa yang dikatakan Mbah Jayeng, pikiran Mbok Siyo langsung tertuju pada apa yang berada di isi perutnya. Ia sadar bahwa kandungannya sudah besar dan tinggal beberapa hari lagi ia akan melahirkan anak pertamanya itu. Apa yang dikatakan Mbah Jayeng itu pula yang membuat dirinya berusaha untuk kuat. Dirinya merasa kalau bersedih terus tentu akan mempengaruhi janinnya. Segera ia minum teh yang yang disuguhkan agar dirinya menjadi lebih segar.

Tahu Mbok Siyo minum teh, mereka yang menunggui merasa senang sebab dengan minum air yang mengandung gula itu membuat tumbuh energi pada tubuh. Mereka pun langsung menyiapkan makanan. Mbok Siyo pasti membutuhkan asupan makanan tidak hanya untuk dirinya namun juga untuk jabang bayi yang dikandung.

***

            Selakangan Mbok Siyo terasa nyeri. Ia mengaduh. Tahu hal yang demikian, Mbah Jayeng dan Mbah Tondo segera berunding. Sepertinya kedua orang itu paham kalau Mbok Siyo mau melahirkan. “Kamu panggil Mbah Shinto dukun bayi di desa ini ya,” ujar Mbah Tondo kepada Mbah Jayeng. Tanpa banyak bicara Mbah Jayeng mengangguk. Ia langsung bergegas menuju rumah Mbah Shinto yang berada di ujung desa.

            Mbah Tondo segera menenangkan Mbok Siyo, “tenang ya nduk, sebentar lagi Mbah Shinto datang menolong kelahiran anakmu.”

            Meski sudah ditenangkan demikian, namun rasa nyeri di selakangan semakin sakit. Ia pun mengaduh. Melihat hal yang demikian, Mbah Tondo terus menenangkan dan berulang kali mengatakan, “sabar ya nduk.”

            Berita Mbok Siyo mau melahirkan menyebar ke penjuru dusun, tak heran bila beberapa orang berduyun-duyun menuju ke rumah itu sehingga teras disesaki orang. Tak lama kemudian, Mbah Jayeng terlihat memasuki halaman rumah itu. Ia tidak sendirian namun bersama dengan Mbah Shinto. Di mata penduduk desa, sosok Mbah Shinto tak asing lagi sebab ia adalah dukun bayi yang kesohor. Setiap ibu-ibu yang mau melahirkan pasti ditolong olehnya.

Meski banyak yang tahu Mbah Shinto dukun bayi namun hanya beberapa orang yang tahu kalau ia adalah saudara kembar Mak Sampir. Perbedaan ngelmu, ilmu, antara keduanyalah yang membuat mereka berbeda jalan.

            Begitu di dalam rumah, Mbah Shinto langsung mendekati Mbok Siyo. Dipandangi wajahnya yang penuh keringat. Mbah Shinto langsung mengambil tindakan. Ia sepertinya mengurut-ngurut perut yang buncit itu sambil mengatakan, “ayo nduk terus, ayo nduk.”

            Entah karena kepiawaiannya atau karena memang sudah waktunya melahirkan, tak lama kemudian mbronjol, lahir, jabang bayi dari tubuh Mbok Siyo. Terdengar lengkingan tangis bayi. Mendengar tangis bayi, semuanya secara serentak mengatakan, “Alhamdulillah.”

            Bayi itu segera digendong oleh Mbah Shinto dan dibersihkan. Agar tubuhnya terus berdenyut, pantat bayi yang baru memasuki dunia itu ditepuk-tepuk secara perlahan. Bayi itu terus menangis hingga perempuan yang sudah berumur 60 tahun itu mengatakan, “cep, cep, cep.”

            Mbok Siyo terlihat lemas setelah menghentakkan energinya untuk mendorong jabang bayi mbronjol dari badannya. Mukanya basah oleh keringat dingin yang mengucur meski demikian terlihat rasa bahagia di mukanya.

****

            Di hari ketujuh kelahiran anak Mbok Siyo, di rumah itu terlihat puluhan orang berkumpul. Ada yang tua, muda, anak-anak, laki-laki dan perempuan menyesaki rumah yang tak begitu besar itu.

            Di hari ketujuh Mbok Siyo dibantu oleh saudara dan para tetangga mengadakan slametan, syukuran, atas kelahiran anaknya yang pertama dengan selamat. Berkat bantuan saudara dan tetangganya maka saat syukuran terhidang daging ayam, kulupan, telur, serta jajanan pasar. Makanan seperti itu merupakan makanan yang mewah dan langka sehingga para warga sangat berharap bisa ikut merayakan.

            Setelah semua warga berkumpul di ruang tengah, Pak Kiai mendoakan agar jabang bayi dan acara slametan itu bisa mendapat berkah dari Gusti Allah. Setelah doa dibacakan, Pak Kiai menghaturkan sambutan, “saudara-saudara semua. Malam ini kita berbahagia sebab bisa mengadakan slametan hari ketujuh lahirnya anaknya Mbok Siyo.”

            “Mudah-mudahan anak pertama ini bisa menjadi anak yang sholeh.”

            “Tapi ngomong-ngomong namanya siapa?” Pak Kiai berbisik kepada Pak Kero yang berada di sampingnya. Pak Kero glagapan. Ia tidak tahu siapa nama anak itu, bisa pula memang anak itu belum dinamai. Ia bangkit dari duduknya dan melangkah menuju ke belakang mencari Mbok Siyo. Sampai di belakang, dicarinya perempuan itu, toleh kanan dan kiri tak ditemukan.

            “Mencari siapa kang?” tanya Mbah Tondo begitu melihat Pak Kero kebingungan.

            Melihat Mbah Tondo, ia langsung mengatakan, ”mencari Mbok Siyo. Pak Kiai menanyakan nama anak itu.”

            “Oalah, ia lagi menyusui,” ujar Mbah Tondo dengan santai.

“Kalau begitu kamu tunggu di sini. Aku tanyakan pada dia siapa nama anaknya itu.”

Mbah Tondo meninggalkan Pak Kero. Ia menuju kamar di mana Mbok Siyo sedang menyusui anaknya. Tak lama kemudian ia  keluar dari kamar dan menghampiri Pak Kero. “Ternyata belum punya nama,” ujar Mbah Tondo datar.

“Dia pesan agar Pak Kiai menamakan anaknya.”

“O, ya sudah kalau begitu,” ujar Pak Kero sambil meninggalkan perempuan tua itu untuk menuju ke ruang tengah. Sesampai di ruang tengah, ia membisiki Pak Kiai, “anaknya belum punya nama.”

Mendengar apa yang dibisikan itu, Pak Kiai tetap tenang. “Tidak apa-apa.”            “Pada hari ketujuh merupakan hari yang juga diperkenankan untuk memberi nama.”

“Mbok Siyo nitip pesan agar anaknya diberi nama oleh Pak Kiai,” ujar Pak Kero.

“Baiklah kalau begitu,” ujar Pak Kiai langsung menyambut pesan itu.

“Anak itu kuberi nama Samiun.”

“Dengan nama itu mudah-mudahan ia menjadi manusia yang baik dan berguna bagi semua.”

***

Dengan segala daya dan upaya, Mbok Siyo membesarkan Samiun. Sepeninggal suaminya yang dijadikan romusha, Mbok Siyo banting tulang mencari nafkah untuk menghidupi diri dan anaknya. Sebenarnya banyak laki-laki yang ingin menikahi namun ia menolak.

Entah karena sudah tak bersemangat atau memang cintanya untuk Pak Tedjo, Mbok Siyo sudah tak berniat menikah kembali. Dalam pikiran dan hatinya adalah agar anaknya semata wayang itu bisa hidup mandiri.

Dari waktu ke waktu, Mbok Siyo semakin tua dan Samiun semakin tumbuh besar. Apa yang dicita-citakan Mbok Siyo tercapai, anaknya yang sudah besar sudah bisa mencari penghidupan sendiri. Ia meneruskan apa yang sudah dikerjakan oleh ayahnya, Pak Tedjo, menjadi petani kelapa.

Saat menutup mata, Mbok Siyo tersenyum. Kepergian untuk selamanya itu tidak meninggalkan penderitaan bagi anaknya. Anaknya yang pertama sudah bisa mandiri dan mengolah kebun yang dimiliki.

Mbok Siyo tersenyum saat pergi untuk selamanya. Sedang Samiun terlihat menangis sesunggukan saat ditinggal oleh orangtuanya yang telah membesarkan dirinya.

****

Pintu kayu itu digedor-gedor dengan keras. Suaranya hingga ke belakang rumah. Mendengar hal yang demikian, Samiun langsung bergegas ke arah suara itu. Dirinya berpikir, siapa pagi-pagi sudah mencari. Saat melihat siapa orang yang mencari, Samiun langsung menghela nafas panjang, “yiaah...,” gumamnya. “Ini lagi, ini lagi,” ucapnya begitu melihat Babinsa, Slamet.

Slamet yang tahu Samiun celingukan, langsung memanggilnya, “hai Un ke mana saja kamu.”

“Dicari dari tadi nggak muncul-muncul.”

Samiun tersenyum kecut mendengar hal yang demikian. Ia merasa tidak bersalah sebab pagi hari dirinya harus bekerja untuk mencari buah pohon kelapa yang akan dijualnya. Dirinya juga berpikir mengapa Slamet pagi-pagi mencarinya.

“Un ikut aku, bawa cangkulmu,” ujar Slamet dengan nada tinggi. Apa yang dikatakan itu membuyarkan lamunan Samiun. Apa yang dikatakan itu juga membuat dirinya menjadi muak. Dengan perintah itu sepertinya akan melihat pembantaian lagi pada orang-orang PKI dan dirinya diperintah untuk menggali dan menguruk lubangnya.

“Hai, dengar nggak apa yang saya katakan!” Slamet membentak.

Sebab dibentak oleh tentara, Samiun menjadi ciut nyalinya. “Iya, iya,” ucapnya dengan rasa takut. Ia langsung bergegas ke belakang rumah untuk membawa cangkul. Cangkul yang tergeletak di pojok rumah bagian belakang itu masih diselimuti dengan bekas-bekas tanah galian lubang pembantaian beberapa waktu yang lalu. Samiun belum membersihkan sehingga tanah yang mengeras itu menempel di cangkul.

Dibopong cangkul itu dan ia kembali menghadap Slamet. Saat Samiun sudah berada di depan Slamet, ia langsung mengatakan, “ayo jalan.” Samiun membuntuti Slamet. Di depan rumah, Samiun melihat sepeda motor. Dipikir sepeda motor siapa itu. Pertanyaan itu terjawab saat Slamet mendekati dan memasang kunci pada tempatnya.

“Kamu saya bonceng menuju ke Kali Keyang,” ujar Slamet.

Tidak pernah naik sepeda motor tentu Samiun bergembira saat dibonceng Slamet. Pertama kali naik sepeda motor membuat dirinya kagok sehingga bingung bagaimana cara berpegangan.

“Goblok kamu,” ujar Slamet saat Samiun salah pegang saat dibonceng.

“Maaf, maaf pak,” balas Samiun dengan buru-buru.

“Saya baru pertama kali naik sepeda motor.”

“Ya sudah, kamu pegang di belakang saya,” ucap Slamet.

Setelah sudah siap, Slamet menyalakan mesin sepeda motor itu dengan ongkelan yang ada. Diongkel sepeda motor yang sudah terbilang tua itu beberapa kali hingga akhirnya mesin menyalak. Setelah mesin menderu, Slamet langsung memasukan gigi satu dan gas serta kopling dilepas dengan padu hingga akhirnya secara perlahan kendaraan yang masih langka di desa itu meninggalkan rumah Samiun.

Jalan naik turun dan belum diaspal membuat Samiun terguncang-guncang. Takut dimarahi Slamet, ia pun memegang pegangan yang ada dengan erat-erat. Sepanjang jalan yang dilintasi suasana desa terlihat sepi padahal biasanya orang pada berlalu lalang. Samiun melihat sepertinya orang-orang memilih berada di rumah pada hari itu, terbukti ia melihat beberapa kepala menyembul di jendela melihat keadaan di luar.

Setelah setengah jam menunggang sepeda motor yang suara mesinnya nylekit di telinga, tibalah dua orang itu di tepi Kali Keyang. Di kali yang di atasnya menjulur jalur kereta api bikinan Belanda itu sudah ada banyak orang. Nusiron dan Badak sebagai jagal pembantaian di balik bukit juga tampak. Dua orang itu berdiri dan menenteng pedang dan klewang panjang. Di samping dua orang itu terlihat juga tiga orang yang menenteng pedang, klewang, dan clurit. Wajah mereka terlihat dingin.

Air sungai Kali Keyang saat itu tak penuh namun alur air di bagian tengah cukup deras. Derasnya air kali terlihat mampu menghanyutkan batang-batang pohon pisang dan  kayu-kayu yang tak berguna.

“Ayo ke sana,” Slamet mengajak Samiun menuju ke arah kerumunan orang itu. Dengan meniti pelan-pelan jalan ke kali, kedua orang itu menuju ke tengah kerumunan. Saat sudah mendekati kerumunan, Samiun kaget begitu melihat ada puluhan orang yang diikat dengan tali. Mereka duduk di bawah pohon bambu yang miring ke kali. Mereka dijaga oleh beberapa pemuda seperti Nusiron dan Badak.

Seketika itu, badan Samiun menjadi lemas. Sebentar lagi dirinya akan melihat puluhan itu orang itu akan dibantai. Samiun saat sudah berada di tempat itu namun belum disuruh menggali lubang. Ia hanya diam tak melakukan apa-apa sampai menunggu perintah Slamet atau yang lain.

Setelah semuanya siap, satu di antara puluhan orang yang diikat itu digelandang ke tepi di mana arus sungai mengalir deras. Orang itu disuruh duduk dengan kepala menekuk. Saat posisi sudah demikian, Nusiron menghampiri. Pedang yang dtenteng diusap dengan kain yang dibawa. Setelah itu diayunkan, “wusss...” ayunan itu menuju ke arah leher bagian belakang orang itu, “blasss....” pedang itu memenggal leher hingga membuat kepala dan badan terpisah. Kepala itu menggelinding di dekat kaki Nusiron. Nusiron langsung menendang ke arah kali di mana airnya mengalir deras, “plung...” kepala itu menjebur ke air yang berwarna coklat dan hanyut. Badan yang masih tergelak, didorong dan menjebur, “byuurrr...” Dan hanyut terbawa air dengan keadaan mengapung.

Satu persatu dari puluhan orang itu diperlakukan seperti itu, Nusiron, Badak, dan yang lain bergantian menjadi algojo. Hingga selesai sudah acara pembantaian orang-orang itu. Samiun yang dari tadi duduk hanya melongo. Tenaganya tidak digunakan sebab mayat-mayat yang korban pembantaian itu tidak dikubur namun dibuang ke sungai.

Satu persatu orang yang berada di Kali Keyang meninggalkan tempat. Slamet pun juga hendak pergi dari tempat itu. Samiun buru-buru menghampir, “pak kembali ke rumah saya kan?” Ia mengatakan demikian sebab tadi dijemput, pastinya pulangnya akan diantar.

Mendengar pertanyaan itu, Slamet melotot memandang Samiun.

“Enak saja minta diantar,” ujar Slamet dengan nada sinis.

“Kamu tadi kerjanya cuma duduk-duduk saja.”

“Lha kan saya tidak disuruh kerja pak,” Samiun membela diri.

Alasan itu dirasa benar oleh Slamet namun dirinya tak menggubris.

“Jalan saja, saya masih ada urusan dengan komandan,” ujar Slamet.

Mendengar kata-kata kasar dan nylekit, badan Samiun yang sudah lemas karena melihat pembantaian massal, menjadi tambah lemas. Ia membayangkan jarak antara rumah dan Kali Keyang tidak dekat. Bila dirinya jalan kaki tentu memerlukan waktu yang tak sebentar. Dibonceng naik sepeda motor saja memerlukan waktu setengah jam, apalagi kalau mengayunkan kaki.

Slamet meninggalkan Samiun dengan tak peduli. Dengan muka kesal, Samiun meninggalkan tempat itu. Sebelum beranjak, ia sempat melihat tempat pembantaian. Darah segar tercecer meruah di pasir basah yang sesekali tergerus oleh limpahan air sungai. Untuk tidak menimbulkan suasana yang menakutkan, Samiun menghampiri tempat itu dan menguruk dengan pasir yang ada. Cangkul diayunkan untuk memindahkan pasir yang ada ke ceceran darah segar itu. Setelah ceceran darah itu tertimbun tanah, Samiun meninggalkan tempat itu. Ia menatap ke atas, matahari sudah melewati batas hari.

***

            Selangkah dua langkah kaki Samiun mengayun. Ia mencoba untuk jalan santai untuk pulang. Jalan santai agar bisa menikmat suasana desa yang masih asri dan berudara segar. Pulang menuju ke rumah, Samiun harus melintasi kali dari terusan Kali Keyang. Kali Keyang beralur melingkar hingga menuju lintasan yang akan dilewati Samiun.

            Sasak, jembatan dari bambu, yang menghubungkan dua daratan sudah diinjak. Lewat sasak ia menuju desanya. Sasak itu bergoyang ditindih oleh berat badan Samiun yang sebenarnya tak seberapa. Dirinya cemas sebab merasa sasak itu sudah lapuk. Untuk itu ia berpegangan pada pagar sasak. Di bawah terlihat arus deras kali mengalir dengan pelan.

            Saat berada di tengah sasak, Samiun berhenti dan memandang air kali. Arus yang ada menghanyutkan kotoran-kotoran alam seperti batang pohon, ranting, dedaunan, dan kotoran manusia. Di tengah menikmati air sungai yang menghanyutkan kotoran alam, tiba-tiba dirinya melihat sesuatu mengapung dan bergerombol. Dirinya menerka-nerka, apa yang mengapung itu.

            Air yang menghayutkan itu terus bergerak sehingga semakin membuat pandangan Samiun semakin jelas dari apa yang mengapung itu. Begitu sudah dilihat dengan jelas, ia langsung berujar, “ya Allah.” Apa yang mengapung dan bergerombol itu ternyata mayat-mayat dari orang yang dibantai tadi. Mayat-mayat itu mengapung tanpa kepala terbawa oleh arus kali. Lehernya sudah tak memuncratkan darah karena sudah tersapu oleh air kali.

            Setelah melintasi sasak, mayat-mayat itu makin lama mengecil dipandang hingga akhirnya hilang ditelan oleh rerimbunan pohon bambu yang tunbuh di kanan kiri kali.

            Tubuh Samiun lemas setelah melihat mayat-mayat itu namun dirinya harus meninggalkan tempat ia berdiri. Dengan tenaga yang masih ada, ia melanjutkan perjalanan.

            Sasak pun sudah dilewati. Sekarang ia harus menyusuri jalan setapak yang kanan kirinya sawah yang tengah tumbuh padi. Dirinya tahu di antara petak sawah itu adalah milik orang-orang yang dibantai tadi sehingga muncul pikirannya, siapa yang mengurus petak sawah itu.

            Seharusnya tanaman padi itu harus sudah dipupuk namun tak terurus sehingga membuat tanaman itu terlihat layu. “Kalau banyak sawah tak terurus, bisa-bisa nanti akan masyarakat akan kekurang pangan,” gumamnya.

            “Bisa terjadi paceklik.”

            Samiun bingung memikirkan hal yang demikian. Dirinya terus melangkah menyusuri jalan. Tak terasa hamparan sawah telah dilewati. Selanjutnya ia memasuki hutan. Senyap dan sepi saat di bawah kungkungan pohon-pohon besar. Sesekali terdengar suara burung yang berkicau di pucuk-pucuk pohon.

            Saat berada di sebuah persimpangan jalan di hutan, Samiun sekilas melihat seseorang yang tengah berlari. Ia berlari dan kemudian menghilang di balik pohon besar. Ia berpikir mengapa ia berlari, apakah ada macan, babi hutan, atau gerombolan kera yang mengancam jiwanya. “Hai siapa kamu!?” teriak Samiun. Teriakan itu menggema sehingga menimbulkan gaung. Diulangi lagi dan menimbulkan gaung kembali.

            Tak ada respon dari orang yang berlari dan bersembunyi itu. Agar tidak curiga, Samiun mengubah kalimatnya, “saya orang baik-baik.”

            “Saya akan menolongmu bila ada yang mau berbuat jahat.”

            Mengubah kalimat yang demikian, rupanya bisa menimbulkan respon. Di balik pohon besar, orang itu sepertinya memberi kode, tangannya dilambaikan, bertanda ia berada di tempat itu dan bersembunyi.

Samiun tahu ia tidak mau diketahui oleh orang sehingga dirinyalah yang menghampiri. Sebelum menuju ke balik pohon besar, ia celingak celinguk kanan kiri. Dirinya khawatir langkahnya diikuti oleh orang lain. Merasa aman, tak ada orang, ia bergegas menuju ke balik pohon yang ujungnya seperti hendak menggapai langit.

Semak-semak dan pohon kecil diterabas hingga akhirnya ia berada di samping pohon itu. Segera Samiun menengok siapa yang berada di balik pohon itu. Dirinya mengendapngendap ke balik pohon dan dirinya kaget begitu melihat seorang gadis dengan dengan wajah cemas, bibirnya bergetar, badannya seperti orang menggigil, dan menunjukkan rasa ketakutan yang luar biasa. Meski demikian dari wajahnya terpancar kecantikan.

“Tolong saya, tolong saya,” ujarnya mengiba.

Melihat yang demikian, Samiun langsung iba dan kasihan. Sepertinya gadis itu sedang mengalami masalah yang berat sehingga membuat dirinya dalam kondisi yang seperti demikian.

Samiun mendekati dan bertanya, “siapa kamu?”

Gadis itu dengan nada yang lemah menjawab, “saya Sarmini, gadis dari desa sebelah.”

****

            Di rumah juragan beras, Pak Menggolo, terlihat kerumunan orang. Mereka berkerumun di rumah paling mewah di desa itu untuk menjadi saksi akad nikah antara Sarmini dengan Mas Pranoto.

Di ruang tengah rumah Pak Menggolo terlihat hadir keluarga Pak Sumoko. Pak Sumoko orangtua Sarmini. Di ruang tengah itu ada meja kecil yang diselimuti dengan kain sutra berwarna merah bermotif batik parang. Meja itu dikeliling oleh puluhan orang.

Pak Menggolo dan Pak Sumoko memeriksa persyaratan pernikahan yang hendak dilakukan pada kedua anaknya itu. Wajahnya terlihat sumringah begitu surat-surat yang dibutuhkan sudah lengkap.

Setelah penghulu datang, acara akad nikah pun dimulai. Kiai Imron yang saat itu diundang untuk memberi khutbah nikah telah siap menyampaikan wejangan dan petuah-petuahnya. Setelah dirinya dipersilahkan memberi khutbahnya, kiai itu pun dengan bersemangat menyampaikan pesan-pesannya. Sarmini, Mas Pranoto, dan yang lainnya tampak khusuk menyimak hingga tak sadar bahwa khutbah yang itu selesai.

Setelah khutbah yang mengajak kepada semuanya untuk bisa saling melindungi dan menyayangi, acara ijab-qabul pun dilakukan. Penghulu sudah berada di depan Sarmini dan Mas Pranoto. Di antara mereka dibatasi oleh meja kecil.

Penghulu berdehem, “hemmm.” Deheman itu merupakan isyarat agar kedua mempelai mempersiapkan mentalnya. “Baik mari bapak-bapak, ibu-ibu, dan semuanya, acara ijab-qabul ini kita mulai,” ujar penghulu dengan khimad.

Ngiiiih,” sahut mereka yang berada di ruangan itu dengan serentak.

Penghulu pun mulai melakukan prosesi ijab-qabul.

“Saya nikahkan engkau, Mas Pranoto bin Menggolo dengan ananda Sarmini binti Sumoko, dengan mas kawin perhiasan emas 18 karat seberat 20 gram dibayar tunai.”

Pernyataan dari penghulu itu langsung disahut oleh Mas Pranoto dengan kalimat, “Saya terima nikahnya Sarmini binti Sunoko dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”

Setelah ungkapan itu saling sahut, penghulu mempersilahkan saksi untuk mengecek apakah ijab-qabul itu sudah memenuhi syarat. Tak lama, saksi mengatakan, “sah.” Apa yang dikatakan saksi itu diikuti oleh yang lain, “sah, sah, sah.” Suara yang mengatakan sah itu saling sahut menyahut.

Mereka mengatakan demikian secara sahut menyahut sebagai wujud ikut rasa senang.

Penghulu pun menjabat tangan Mas Pranoto dan Sarmini. Pak Menggolo dan Pak Sumoko juga saling menjabat tangan. Dengan demikian mereka sudah secara sah menjadi besan dan menjadi keluarga besar.

***  

            Pak Menggolo selain juragan beras di desa itu, ia adalah Ketua PKI. Sebagai elit desa tak heran pernikahan ramai dan didatangi banyak orang. Anaknya, Mas Pranoto adalah anak pertama dari Pak Menggolo. Ia kuliah di salah satu perguruan tinggi di Jogjakarta. Di kota pelajar itu, ia aktif di CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), organisasi kemahasiswaan yang dekat dengan PKI.

            Meski belum lulus kuliah, Pak Menggolo ingin agar Mas Pranoto cepat menikah. Pak Menggolo ingin anaknya menikah dengan Sarmini selain karena untuk mendekatkan hubungan dengan Pak Sumoko, juga karena anak Pak Sumoko itu sebagai bunga desa. Disuruh cepat menikah dengan gadis desa tentu Mas Pranoto tidak menolak. “Mana ada yang menolak Sarmini,” gumam Mas Pranoto.

            “Sarmini kan gadis desa yang cantik dan seksi.”

            Kesibukan kuliah dan organisasi yang selama ini digiati, ditinggalkan demi Sarmini.

            Senang pada Mas Pranoto tidak bagi Sarmini. Sarmini sebenarnya tidak ingin nikah pada saat itu. Sarmini bercita-cita kuliah di fakultas kedokteran. Tak hanya itu alasannya yang dikatakan, dirinya juga tak suka sikap Mas Pranoto yang sombong. Sebagai anak juragan beras, Mas Pranoto suka merendahkan warga desa yang lain. Tak hanya Sarmini yang tak suka kelakuan Mas Pranoto, pemuda dan gadis desa yang lain juga demikian.

            “Kamu harus mau jadi istrinya Mas Pranoto,” bentak orangtuanya, Pak Sumoko.

            “Pak Menggolo sudah banyak membantu kita.”

            “Mereka sudah memberi ayah sawah 2 ha.”

            Kalimat itulah yang selalu dikenang Sarmini dari orangtua yang mengharuskan dirinya menikah dengan laki-laki yang tak dicintai.

“Saya ingin kuliah di fakultas kedokteran, ayah,” Sarmini membela diri.

“Setelah jadi dokter, Sarmini baru menikah.”

“Tidak bisa, tidak bisa,” Pak Sumoko bersikekeh agar anaknya mau menikah.

“Mengapa wanita harus sekolah tinggi-tinggi. Paling-paling nanti juga kembali ke dapur.”

“Ibumu itu dulu juga tidak sekolah.”

“Pokoknya kalau kamu tidak mau, kamu jangan tinggal di rumah ini.”

Sepertinya orangtuanya itu sudah mulai main kasar. Ia mengancam akan mengusir Sarmini bila menolak kemauannya.

“Nduk, kamu harus tahu, ayah sudah diberi sawah 2 ha,” ujar Pak Sumoko.

“Bila nanti ayah kembalikan dan menolak kemauan Pak Menggolo, nasib keluarga kita bisa hancur.”

“Mereka punya Pemuda Rakyat, organisasi yang dekat dengan PKI, yang bisa berbuat kasar pada kita.”

Mendengar apa yang diungkapkan ayahnya, Sarmini membisu, tak mengucap sepatah katapun. Hanya bisa pasrah menghadapi keadaan yang demikian.

***

Mas Pranoto tengah berada di antara puluhan anggota Pemuda Rakyat. Mereka berkumpul di dekat balai pertemuan untuk melakukan aksi. Mereka sepakat untuk mengambil tanah yang dikelola Suwiryo. Tanah itu menurut mereka harus direbut sebab Suwiryo dianggap memiliki tanah yang sangat luas. “Mari kita rebut tanah itu,” ujar Mas Pranoto sambil mengepalkan tangan. Ajakan itu langsung disambut pekik oleh para anggota Pemuda Rakyat. “Hidup rakyat,” teriak mereka secara serentak.

Mereka menggerudug menuju ke rumah Suwiryo. Rumah yang berada dekat pasar itu didatangi. Di tengah perjalanan mereka menenteng clurit. Orang-orang yang berpapasan dengan mereka menjauh untuk mencari selamat atau menghindari agar tidak kena getah.

Sampai di rumah Suwiryo, terlihat rumah itu sepi. Pintu dan jendela tertutup rapat. Mereka tak peduli dan terus merengsek mendekati. Begitu di depan pintu, Mas Pranoto mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Pintu pun digedor. Kesal tak ada respon, salah seorang anggota Pemuda Rakyat yang bernama Kateno maju dan mengayunkan cluritnya ke pintu yang terbuat dari kayu. “Cranggg...” Begitu suara benturan antara clurit dengan pintu yang terbuat dari kayu.

Melihat hal yang demikian Mas Pranoto tidak marah. Ia diam. Sepertinya ia membenarkan apa yang dilakukan oleh Kateno itu. Merasa tak masalah, Kateno pun meneruskan membacokkan cluritnya itu sehingga pintu itu berlubang. Setelah lubang itu menganga, tanpa disuruh Samiyo maju dan menendang pintu itu dengan kakinya yang kekar, “braakkkk...”

Pintu itu langsung terbuka, serta merta Mas Pranoto dan puluhan Pemuda Rakyat masuk ke rumah tanpa permisi sambil berteriak, “Wir kamu di mana! Wir Kamu di mana!”

“Wir jangan rakus dengan tanahmu!”

“Tanahmu harus diserahkan pada rakyat.”

Mereka seperti capek berteriak-teriak di tempat itu, sementara siapa yang dicari tidak ada. “Gimana ini mas?” tanya Kateno pada Mas Pranoto. Mas Pranoto diam. Ia sepertinya berpikir. Selanjutnya sambil memandang puluhan anggota Pemuda Rakyat, ia mengatakan, “kita cari ke sawah.”

“Saat-saat ini, biasanya ia di sana.”

Mereka secara spontan langsung menuju ke tempat di masa Suwiryo dirasa berada. Mereka melintasi jalan-jalan desa untuk menuju ke sawah. Sama seperti sebelumnya, orang yang berpapasan dengan mereka, lebih memilih menghindar atau menundukkan kepala seolah tak melihatnya. Bila bertemu dengan mereka terus menatap, tatapan itu seolah-olah seperti tantangan dan itu akan membahayakan sebab mereka akan main keroyok.

Tibalah mereka di sawah yang digarap Suwiryo. Di tempat itu terlihat Suwiryo dan beberapa buruh tani sedang menggarap lahan. “Hai Wiryo,” teriak Kateno. Teriakan Kateno itu membuat Suwiryo menengadahkan kepalanya dan menuju ke arah teriakan itu. Ia langsung terperanjat begitu tahu puluhan Pemuda Rakyat yang dipimpin Mas Pranoto tak jauh darinya.

“Ada apa gerangan mereka ke sini?” gumam Suwiryo dalam hati.

“Mereka selalu cari gara-gara.”

Di tengah pertanyaan-pertanyaan itu yang muncul dalam hati, mereka menghampiri dan mengepung Suwiryo. Buruh tani yang tadi bersama dirinya langsung lari terbirit-birit.

“Ada apa mas?” tanya Suwiryo dengan tenang kepada Mas Pranoto.

“Gini Wir,” ujar Mas Pranoto yang hendak menjelaskan.

“Sawahmu kan banyak, ada 10 ha. Jadi sebaiknya sebagaian diserahkan pada rakyat.”

“Tahu kan tanah itu buat rakyat.”

Mendengar yang demikian, Suwiryo tersenyum kecut.

“Saya setuju pendapatmu mas,” balas Suwiryo.

“Memang tanah itu buat rakyat namun mintanya jangan kepada saya.”

“Kalau mau minta tanah, mintalah kepada negara.”

“Tanah ini tanah warisan orangtua saya. Orangtua saya memiliki tanah ini secara sah, dengan cara membeli.”

“Jadi saya tidak akan memberikannya tanah ini secara cuma-cuma.”

Mendengar yang demikian, Mas Pranoto dan puluhan Pemuda Rakyat terlihat tegang mukanya. Nafasnya menderu dan otot-otonya menegang.

“Anda itu gimana sih,” ujar Mas Pranoto.

“Masak tidak tahu kalau rakyat sekarang butuh tanah.”

“Yang kelebihan tanah harus menyerahkan pada yang lain.”

“Soal tanah harus sama rata.”

“Bila tidak mau maka rakyat akan merampasnya.”

“Serahkan sebagaian tanahmu kepada kami.”

Mendengar apa yang dikatakan itu, Suwiryo berusaha tidak gentar sebab itu adalah tanahnya, hak dirinya untuk mempertahankan.

“Tidak bisa mas, tanah ini milik saya secara sah,” balas Suwiryo.

“Saya tidak akan menyerahkan tanah ini kepada siapapun secara cuma-cuma.”

Ketika Suwiryo bersikukuh tak akan menyerahkan tanahnya maka puluhan Pemuda Rakyat itu marah.

“Ayo serahkan,” bentak Kateno sambil mengacung-acungkan cluritnya.

Tak pateni. saya bunuh, kalau nggak mau menyerahkan,” Samiyo menimpali.

Mereka memepet Suwiryo, krah bajunya dipegang. Diperlakukan secara kasar, Suwiryo pun melawan. Dihempaskan tubuh-tubuh yang menjamahnya. Ia mundur beberapa langkah. Merasa Suwiryo melawan maka puluhan pemuda itu semakin beringas hingga akhirnya mereka mengeroyok. Suwiryo terus membela diri hingga akhirnya terjadilah pergumulah yang tak seimbang.

Di sela perkelahian yang tak imbang, Mas Pranoto melihat ada cangkul tergeletak. Cangkul itu sepertinya milik Suwiryo yang tadi untuk mengaduk tanah. Cangkul itu diambil dan dipegang erat-erat. Ia mendekati pergumulan itu, ketika ada kesempatan, di saat Suwiryo lengah dan terdesak, tiba-tiba Mas Pranoto menghantamkan cangkul itu tepat di kepalanya.

Suara benturan keras antara besi dengan kepala terdengar. Benturan itu membuat Suwiryo oleng, limbung. Dari kepalanya muncrat darah. Tak lama kemudian Suwiryo roboh. Melihat hal yang demikian, tidak ada raut muka takut atau penyesalan. Tubuh yang roboh di lumpur sawah itu lalu diseret menuju ke tepi sawah. Di tepi sawah, tubuh itu diinjak-injak sehingga tubuh yang tak berdaya itu menjadi memar. Puas dengan penganiayaan, mereka langsung begitu saja meninggalkan tubuh yang sudah tak bernafas.   

***

Selepas acara ijab-qabul, orang-orang berhamburan menuju ke tempat-tempat makanan disajikan. Mereka ada yang memilih soto, lontong sate, rawon, jajanan pasar, wedang jahe, kopi, teh manis serta makanan dan minuman yang lain.

Di tengah acara perjamuan yang nikmat itu, terlihat Pak Menggolo dan Pak Sumoko berbincang. “Aku senang kita sudah jadi keluarga,” ujar Pak Menggolo sambil meneguk wedang jahe dalam cangkir yang dibawanya.

Pak Sumoko hanya tersenyum mendengar apa yang dikatakan itu. Batinnya kurang lapang sebab melihat anaknya, Sarmini, lebih banyak murung pada acara akad-nikah. Dirinya memang dalam kondisi serba salah, di satu sisi ia ingin memiliki sawah sebagai harta benda dan lahan pekerjaan namun di sisi yang lain ia telah mengorbankan anaknya untuk memperoleh sawah.

Awalnya Pak Sumoko adalah orang yang terbilang kaya namun ia jatuh miskin setelah ikut pemilihan kepala desa. Harta yang dimiliki semuanya digunakan untuk membiayai pencalonan dirinya menjadi kepala desa. Agar dirinya dipilih oleh warga desa, Pak Sumoko harus menjamu banyak warga desa setiap malam. Tak hanya menjamu tetapi juga mengamplopi, memberi uang, pada mereka.

Mendapat makan minum dan uang gratis tentu warga desa senang. Mereka setiap hari pergi ke rumah Pak Sumoko. Semua yang datang ke rumah selalu mengatakan, “nggih, nggih, nggih, ya, ya, ya” ketika dianjurkan memilih Pak Sumoko dengan menusuk gambar pepaya sebagai simbol Pak Sumoko dalam pemilihan kepala desa.

Apa yang dikatakan warga desa yang datang ke rumah Pak Sumoko itu rupanya banyak bohongnya sebab saat coblosan, ternyata Pak Sumoko kalah dengan Pak Rosyid, calon kepala desa yang tinggal di dusun sebelah.

Selidik punya selidik ternyata Pak Rosyid lebih royal dalam menghamburkan makanan, minuman, dan uang kepada warga desa. Menghadapi kekalahan tersebut, Pak Sumoko sempat shock. Hartanya sudah habis, ditambah dirinya dibohongi warga desa. Pak Sumoko sempat seminggu terbaring di kamarnya, sakit akibat tidak menerima kenyataan itu.  

“Kapan enaknya kita rayakan secara besar-besaran pernikahan ini,” kata Pak Menggolo. Apa yang dikatakan itu membuyarkan lamunan Pak Sumoko.

“Terserah Mas Menggolo saja,” ucap Pak Sumoko singkat.

“Kalau begitu kita ramaikan pada pertengahan bulan, saat bulan purnama,” ucap Pak Menggolo menimpali.

“Nanti kita akan nanggap reog dan wayang kulit.”

“Kalau saya sih nurut apa yang Mas Menggolo maui,” balas Pak Sumoko. 

***

Sore hari pada pertengahan bulan, di halaman rumah Pak Menggolo yang luas, terdengar bunyi kendang yang menghentak. Hentakan kendang itu diiringi kenong, terompet, gong, dan angklung sehingga terpadu suara yang harmoni dan padu. Di tengah perpaduan alat-alat musik tradisional itu, dua reog menari-nari. Di sela-sela reog yang mengibasngibaskan dadak merak-nya, terlihat dua bujang ganong melompat-lompat menari-nari, tak jauh darinya empat jaranan juga menggoyang-goyangkan kaki dan badannya.

Sore itu Reog Ponorogo pentas menunjukkan kebolehannya untuk memeriahkan pernikahan Mas Pranoto dan Sarmini. Paguyuban reog yang diasuh oleh Pak Misdi itu di-tanggap oleh Pak Menggolo untuk menghibur warga desa. Diharapkan warga desa ikut merasa senang dengan acara pernikahan itu.

Menjelang maghrib, pagelaran reog itu usai, seluruh pemain kesenian itu beristirahat, mereka dijamu makan oleh Pak Menggolo. Selepas ashar hingga menjelang maghrib, paguyuban reog itu mengerahkan seluruh tenaganya untuk menghibur. Tak heran mereka menikmati makan-makanan yang tersaji. Puluhan gelas teh diteguknya untuk membuang rasa haus.

Selepas maghrib, halaman rumah Pak Menggolo terang benderang. Lampu yang disuplai dari PLN, mesin jenset, serta obor saling mendukung untuk menerangi pentas wayang kulit. Malam itu dalang kondang, Ki Sabdo, akan memperlihatkan kepiawaiannya dalam membeberkan kisah Petruk Dadi Ratu.

Sebelum pentas dimulai, para warga desa berdatangan. Ada yang datang sendiri, ada pula yang bergerombol. Mereka datang dari dusun-dusun yang jauh. Malam yang menguarkan udara dingin membuat mereka membungkus dirinya dengan sarung. Untuk menghangatkan diri, mereka ada yang membeli wedang jahe atau bandrek.

Setelah purnama mulai meninggi, Ki Sabdo naik ke panggung. Para penabuh gamelan mengiringi dan sinden mengikuti. Setelah dalang kondang itu mengangkat gunungan, spontan suara gamelan terdengar mengiringi. Para sinden langsung menembangkan tembang-tembang pengiring.

Cerita Petruk Dadi Ratu pun mulai bergulir. Kisah itu bermulai saat  Dewi Mustakaweni, putri dari Kerajaan Imantaka, berhasil nyolong Jamus Kalimasada, sebuah jimat yang ampuh. Mustakaweni sukses nyolong jimat itu karena menyamar sebagai Gatotkaca.

Jimat sakti itu hilang maka terjadi kegemparan di banyak kerajaan. Semua berusaha untuk mencari, ada yang ingin menyelamatkan jimat itu, ada pula yang ingin memiliki dengan tujuan tertentu. Tak disangka dan dinyana, Petruk melihat Jamus Kalimasada itu. Kemudian diambilnya dan disembunyikan.

Aura Jamus Kalimasada rupanya sangat luar biasa, buktinya aura itu mampu membuat Petruk menjadi raja di Kerajaan Lojitengara dan bergelar Prabu Welgeduwelbeh. Aura Jamus Kalimasada tak hanya membuat Petruk bisa jadi raja namun juga membuat dirinya sakti. Kesaktiannya itu mampu membongkar rahasia siapa sebenarnya Raja Kerajaan Trancanggribig. Raja dari kerajaan itu dibongkar oleh Petruk dan ternyata Nala Gareng, bukan lain dan tidak adalah kakaknya sendiri. Petruk rupanya kena karma, siapa dirinya akhirnya dibongkar oleh Bagong. Bagong tahu Petruk menyembunyikan Jamus Kalimasada. Di tangan Bagong-lah, Petruk diturunkan dari tahtanya dan jimat itu dikembalikan ke Prabu Puntadewa.

Cerita itu lebih banyak jenakanya sebab Petruk, Gareng, dan Bagong adalah tokoh punakawan yang menjadi abdi dan penasehat Pandawa. Mereka memberi nasehat dengan cara cengengesan, guyonan.

Dari pentas wayang kulit semalam itu membuat warga desa terhibur. Mereka tertawa terbahak-bahak saat pertunjukkan itu digebyar. Karena jalan cerita yang lucu maka selama pertunjukkan, penonton penuh, jarang yang berpindah tempat untuk pulang.

Saat Ki Sabdo menancapkan gunungan di tengah layar, penonton langsung berhamburan meninggalkan tempat. Gunungan ditancapkan di tengah layar sebagai simbol pentas sudah selesai.

****

            Di tepi ranjang Mas Pranoto duduk di pinggir ranjang. Sementara Sarmini terbaring dengan posisi memunggungi. Sarmini belum ikhlas menerima pria itu menjadi suaminya sehingga dirinya tidak mau melayani. Hal demikian membuat Mas Pranoto menjadi gundah. Dirinya sebenarnya ingin segera menjamah tubuh istrinya itu secepatnya. Tubuh yang molek, kulit kuning, dan wajah yang manis membuat nafsu Mas Pranoto menggelora.

            Sayang, Sarmini bersikap dingin dan tak peduli. Mas Pranoto menyoba menyapa namun apa yang dilakukan itu sepertinya percuma sebab tak mencairkan kebekuaan Sarmini.

            “Dik,” Mas Pranoto menyapa dengan nada lembut pada istrinya itu.

            “Kita kan sudah menjadi pasangan yang sah.”

            “Yang haram sekarang menjadi halal.”

            “Saya sebagai suamimu sah untuk bersentuhan denganmu.”

            “Tetapi mengapa kamu tak peduli pada diriku.”

            Mendengar perkataan itu, Sarmini tetap membujur kaku. Ia tidak merespon sedikit pun. Mendapat kenyataan yang demikian, Mas Pranoto memberanikan diri untuk menyentuh punggung Sarmini. Saat disentuh, perempuan itu diam. Mas Pranoto semakin memberanikan diri dengan lebih aktif dan nakal. Apa yang dilakukan itu rupanya membuat Sarmini merasa risih sehingga ia menepis tangan laki-laki itu sambil mengatakan, “apaan sih.”

            “Saya nggak mau.”

            Mendapat respon yang demikian, Mas Pranoto merasa senang sebab istrinya itu sudah mengeluarkan kata-kata. “Kan kita sudah sah,” pria itu dengan pelan.

            “Jadi saya sah untuk memegangmu.”

            Meski sudah berulang kali mengatakan demikian Sarmini tetap diam dan tak menggubris. Sarmini sepertinya pasang harga mati pada Mas Pranoto. Sebab kesekian kalinya dirayu namun tak mempan maka itu semua membuat Mas Pranoto berang. Darahnya mulai mendidih.

            “Kamu itu gimana sih,” bentaknya.

            “Sudah dikasih enak tapi tetap tidak peduli!”

            “Orangtuamu sudah diberi tanah oleh orangtuaku!”

            “Jadi kamu sudah kami beli!”

            Walau sudah dikasari, Sarmini tetap diam, tak merespon. Hal demikian membuat darah Mas Pranoto sudah tak mendidih lagi namun menggelora sehingga ia langsung menubruk tubuh perempuan itu dan langsung menindih. Mendapat perlakuan seperti itu, Sarmini berontak, ia berusaha mendorong tubuh yang menidih itu agar menjauh darinya. Mendapat penolakan, Mas Pranoto semakin beringas. Di tengah pergumulan itu, tiba-tiba di depan rumah terdengar teriakan, ”hai, keluar kamu, orang PKI keluar.”

            Dari luar rumah itu tak hanya terdengar teriakan namun juga terdengar suara pintu digendor-gendor. Mendengar hal yang demikian Mas Pranoto kaget dan segera melepas dekapan tubuh Sarmini. “Ada apa ini,’ gumamnya dalam hati.

            Setelah mendengar teriakan lagi, “hai orang PKI keluar kamu!” Keringat dingin mengucur dari tubuh Mas Pranoto. “Orang-orang Ansor,’ gumamnya. Ia langsung keluar dari kamar dan sepertinya hendak bersembunyi namun di saat yang sama para pemuda Ansor menerobos masuk rumah. Mereka menggeledah isi rumah.

            Mas Pranoto yang tengah berada di ruang tengah dan hendak mencari persembunyian langsung diringkus. Para pemuda Ansor terus menyisir rumah itu. Pak Menggolo yang berada di dalam kamarnya yang tengah terlelap tidur tersentak saat pintunya didobrak. “Ada apa ini,” ujarnya kepada para pemuda yang mengepung itu.

            “Tidak usah banyak tanya,” ujar salah satu di antara pemuda itu.

            Mereka langsung menarik tubuh tambun itu dari ranjangnya dan menggelandangnya keluar. Sesampai di ruang tengah, Pak Menggolo melihat anaknya, Mas Pranoto, juga tengah mengalami hal yang sama. Diikat tangannya dan dikelilingi beberapa pemuda.

            Mendengar keributan itu, Sarmini cemas dan khawatir. Ia menduga apakah ada perampokan atau ada penculikan pada orang-orang PKI. Perampokan bisa terjadi sebab pemilik rumah adalah juragan beras yang kesohor orang kaya di desa itu. Entah perampokan atau penculikan orang-orang PKI, Sarmini berpikir dirinya harus menyelamatkan diri. Bila tidak meninggalkan tempat itu, jangan-jangan keselamatan dirinya terancam.

Ia merasa bersyukur di samping ranjangnya ada jendela. Dengan pelan-pelan jendela itu dibuka. Suara derit jendela terdengar lirih saat dibuka. Sarmini membuka pelan-pelan agar tidak terlalu dicurigai. Ia melongok keluar. Jarak antara jendela dengan tanah sekitar dua meter. Tak terlalu tinggi. Setelah dirasa aman, ia lalu melompat. “Bruukkk...” Dirinya jatuh ke tanah setelah melompati jendela.

Suara itu memancing seseorang pemuda Ansor yang berdiri di luar rumah. Tahu ada orang melangkah menuju padanya, Sarmini langsung berdiri dan segera berlari. Saat pemuda itu sampai di tempat dan melihat ada seorang perempuan berlari, ia kaget dan spontan berteriak, “hai, ada Gerwani.”

“Jangan lari....”

Pemuda itu sambil mengejar berteriak, “hai Gerwani, Gerwani, Gerwani...”

Arah Sarmini berlari banyak pepohononan dan semak belukar. Kondisi yang demikianlah yang bisa menolong dirinya dari kejaran. Ia terus berlari dengan tujuan entah ke mana dirinya tidak tahu.

****

Dalam hati Samiun muncul rasa iba setelah Sarmini menceritakan kisahnya itu. Ia merasa kasihan sebab gadis yang sekarang di depannya mengalami nasib yang tragis, menikah dengan pria yang tidak dicintai dan dituduh sebagai anggota Gerwani, organisasi perempuan yang sehaluan dan memiliki kedekatan dengan PKI.

Terlihat air mata Sarmini berlinang membasahi pipi. Tatapannya kosong. Ia bingung entah ke mana hendak pergi sebab pasti keluarganya dalam keadaan yang tidak aman. Suaminya dan mertuanya telah diciduk pemuda Ansor. Tuduhan kedekatan dengan orang-orang PKI, bisa jadi juga membuat Pak Sumoko, ayahnya, ikut keciduk.

Mendengar cerita tentang suami serta mertuanya yang telah diciduk membuat pikiran Samiun melayang di Kali Keyang. Ia saat itu mengamati salah seorang pemuda yang sepertinya terlihat cerdas tengah duduk di samping seorang yang telah berumur dengan tubuh yang tambun. Kedua orang itu adalah puluhan orang itu tengah antri untuk dipenggal lehernya oleh para jagal.  “Jangan-jangan itu Mas Pranoto dan Pak Menggolo,” gumamnya dalam hati.

Angan-angan Samiun lenyap saat sebuah ranting jatuh tepat di belakangnya. “Brukkkk...” Demikian bunyi ranting itu menghantam bumi.

“Terus kamu mau ke mana?” tanya Samiun pada Sarmini.

Mendapat pertanyaan itu, tatapan Sarmini kosong ia membisu namun tak lama kemudian ia menjawab, “saya tidak tahu mau ke mana.”

“Kalau saya kembali ke rumah, keselamatan jiwa saya terancam sebab saya sudah bersuami dan bermertua dengan kader aktif PKI.”

Setelah jawaban itu, suasana menjadi hening. Samiun bingung apa yang hendak dilakukan. Bila dirinya membawa Sarmini ke rumahnya, bisa-bisa ia juga dianggap orang PKI namun sangat tidak manusiawi kalau membiarkan ia menggelandang di hutan. Kedua hal tadi ditimbang-timbang dalam hatinya. Akhirnya ia mempunyai pilihan untuk membawa Sarmini ke rumah meski demikian ia harus menawarkan apakah ia mau.

“Sudikah kamu ke rumahku untuk beberapa hari,” ujarnya pada Sarmini.

“Setelah merasa aman kamu boleh meninggalkan rumahku.”

Mendapat tawaran yang demikian, Sarmini tak menjawab. Ia diam. Dirinya berpikir amankan bersama dengan pemuda yang menawari itu. Dirinya bimbang, bila ia tidak menerima tawaran itu, hidupnya mungkin akan lebih susah, tidak menentu, dan tidak ada tempat berlindung dari perubahan alam dan ancaman orang. “Ya aku mau ke rumahmu untuk berlindung.”

“Bila sudah aman, aku secepatnya akan meninggalkan rumahmu.”

Tak lama kemudian, kedua orang itu meninggalkan pohon besar yang berdiri tegak di hutan. Samiun mencari jalan pintas dan tak biasanya. Tujuannya untuk menghindari bertemu dengan orang. Setelah diselusuri akhirnya tiba di rumah, sebab jalan yang ditempuh tak biasanya, maka mereka tiba di bagian belakang rumah.

“Tunggu di sini,” ujar Samiun. Setelah itu dirinya menuju ke depan rumah. Kunci rumah hanya dipasang di depan sehingga dari pintulah ia keluar masuk bila hendak atau setelah bepergian jauh. Pintu itu dibuka dan ia segera masuk. Ia langsung menuju ke dapur untuk membuka pintu yang berada di belakang rumah. Kunci pintu belakang rumah itu terbuat dari pasangan kayu. Digesernya kayu yang mematok. Begitu terbuka, ia segera menyuruh Sarmini masuk. Sarmini yang berdiri tak jauh dari pintu itu langsung bergegas ke dalam.

***

            Samiun menyerahkan jarik dan beberapa pakaian wanita. Jarik dan beberapa pakaian perempuan itu bekas milik Mbok Siyo, ibunya. Meski sudah lama namun jarik dan pakaian itu masih cerah warnanya sebab oleh ibunya jarang dipakai. Jarik dan pakaian itu diberikan pada Sarmini agar ia berganti pakaian sebab pakaian yang dikenakan terlihat sudah kotor sebab sudah beberapa hari dikenakan.

            “Mandilah biar badanmu segar dan gantilah pakaianmu,” ujar Samiun.

            Sarmini mengangguk kemudian mengambil pakaian itu dan selanjutnya pergi ke mblandongan, kamar mandi. Suara gemericik air terdengar merdu saat Sarmini mandi. Samiun sendiri terlihat sibuk mempersiapkan makanan. Perutnya kosong setelah menempuh perjalanan dari Kali Keyang hingga rumahnya.

            Nasi putih masih tersedia, sayur terong cukup namun sudah dingin sehingga dirinya menghangatkan dulu agar terasa nikmat saat disantap. Sayur terong yang berada dalam panci itu diletakkan di atas tempat biasanya dirinya memasak. Tempat itu terbuat dari tumpukan tanah liat. Di tengahnya ada lubang untuk kayu-kayu sebagai bahan bakar.

            Api yang warnaya merah dan di ujungnya biru itu menjilat-jilat pantat panci. Kobaran itu mampu mendidihkan kuah sayur terong. Agar terong tidak melebur maka Samiun segera mengangkat panci itu. Perapian untuk menghangatkan sayur dirasa sudah cukup. Panci itu lalu diletakkan di atas meja berdampingan dengan nasi putih.

            “Mana lauknya?” pikir Samiun.

            Nasi putih dan sayur terong dirasa kurang bagi Samiun. Matanya melihat apa yang ada di dapur. Dilihatnya ada beberapa tempe terserak di lemari. “Itu dia,” gumamnya dalam hati. Tempe yang terserak diambil dan bungkusnya dibuka. Diambilnya sebuah piring. Di piring itu ditaburi garam dan selanjutnya dikucurkan air. Piring digoyang-goyang agar garam melarut. Setelah itu dicolek. Tangannya yang mencolek dimasukkan di dalam mulut, “sudah asin,” ujarnya. Selanjutnya tempe yang sudah dibuka itu dibasahi dengan air garam itu.

            Samiun pun mengambil wajan yang tergantung di dinding dapur. Diletakkan wajah yang terbuat dari besi di atas perapian. Di atasnya dikucurkan minyak goreng yang masih ada. Kobaran api yang menyulut dari bawah membuat minyak goreng bergolak, mendidih panas. Tahu hal yang demikian, Samiun langsung mengambil tempe yang ada di piring dan memindahkan di atas wajah, “sreeengggg....” Suara tempe saat berada di atas wajan dengan minyak goreng yang mendidih.

            Lumatan minyak goreng yang mendidih itu membuat tempe mentah yang berwana putih menjadi coklat. Agar tak menjadi gosong, Samiun segera mengangkatnya dari wajan. Seluruh tempe itu akhirnya matang dan siap saji. Tempe yang sudah matang itu diletakan di piring yang berada di antara nasi putih dan sayur terong.

***

            Saat Samiun duduk di kursi di samping meja makan, suara pintu mblondangan terbuka. Hal demikian menunjukkan Sarmini telah selesai mandi. Suara langkahnya terdengar. Tak lama kemudian ia masuk menghampiri Samiun. Samiun yang duduk membelakangi tak tahu Sarmini berada di belakangnya.

“Mas,” sapa Sarmini.

Mendengar sapaan itu, Samiun menoleh. Dirinya terperanjat perempuan itu berada di belakangnya dan lebih terperanjat melihat sosok yang ditemukan di hutan itu begitu cantiknya. Kulitnya yang tadi kusam karena dibalut oleh debu dan kotoran terlihat begitu kuning selepas dibilas oleh air.

“Mas,” sapanya lagi.

Samiun yang bengong melihat kecantikan Sarmini terhentak oleh sapaan yang kedua kalinya itu.

“Mas baju yang kotor ditaruh di mana?” Sarmini bertanya kembali.

Mendapat pertanyaan yang demikian, Samiun gelagapan. Ia kikuk di depan Sarmini. Kecantikannya membuat dirinya serba salah padahal sebelumnya Samiun biasa-biasa saja bahkan tak peduli saat ia bingung menentukan pilihan antara ikut ke rumah atau tidak.

“Di taruh di ember saja,” ucap Samiun.

Sarmini langsung menuju di mana ember itu berada. Selanjutnya ia duduk tak jauh dari Samiun. Samiun senang Sarmini duduk di dekatnya. Rasa laparnya berkurang saat ada perempuan cantik di sampingnya. Meski demikian perutnya terus menandakan perlu diisi. Tahu dirinya tidak sendiri, Samiun langsung menawari makan, “mari makan dulu.”

“Tapi sayur dan lauknya seadanya.”

Sarmini tersenyum menerima tawaran itu. Ia tidak mengatakan iya namun mengangguk. Samiun mengambil nasi, sayur, dan tempe selanjutnya memberikan sajian itu pada Sarmini. Selanjutnya Samiun mengambil sendiri nasi putih, sayur, dan lauk yang ada di depannya. Sebab mereka lapar, kedua orang itu menikmati makanan yang ada meski sederhana.

***

            Malam menjelang larut. Di ruang tengah ada Samiun dan Sarmini. Mereka tengah berbincang dengan serius. “Tadi siang aku sedang menyaksikan pembunuhan orang-orang,” ungkap  Samiun.

            “Para penjanggal itu membunuh dengan keji.”

            “Setelah dibunuh mereka dibuang begitu saja di sungai.”

            “Di antara mereka mungkin ada suami dan mertuamu.”

            Mendengar cerita yang demikian Sarmini hanya diam. Sepertinya tak ada raut kesedihan ketika disebut suami dan mertuanya menjadi korban penjanggalan itu. Ia tak bersedih sebab dirinya tak mencintai suaminya.

Sarmini hanya berpikir pada masa itu hanya ada dua pilihan, membunuh atau dibunuh. Pria yang sempat menjadi suaminya itu juga pernah melakukan hal yang sama, melakukan pembunuhan.

            “Ah, sudahlah mas,” ujar Sarmini dengan nada datar.

            “Biarlah semua terjadi. Kita tak bisa menghentikan tragedi ini.”

            “Di antara kita banyak yang menjadi korban meski tak ikut dalam konflik.”

            “Besok siapa yang akan dibunuh dan siapa yang membunuh, kita tak tahu.”

            Mendengar apa yang dikatakan Sarmini, Samiun diam. Ia membenarkan apa yang dikatakan itu. Pada masa itu, semuanya tidak menentu. Semuanya bisa berubah begitu cepat.

            “Mas malam sudah larut. Saya sudah mengantuk,” kata Sarmini dengan pelan.

            “Di mana saya boleh merebahkan diri?”

            “Badan ini terasa sudah capek.”

            Mendapat pertanyaan itu, Samiun gugup. Ia celingak-celinguk. Dirinya tak sadar bahwa rumah itu memiliki dua kamar. Satu kamar sekarang ditempati, satunya lagi kamar bekas tempat ibunya kosong sejak ia meninggal. Meski kosong kamar itu sering dibersihkan oleh Samiun.

            Saat celingak-celinguk itu, dirinya baru ingat, kamar ibunya kosong dan layak ditempati. Serta merta, ia mengatakan, “tidur di kamar yang itu ya.” Dirinya sambil menunjuk kamar yang dimaksud.

            “Silahkan kalau mau istriahat.”

            “Di kamar sudah ada selimut dan bantal.”

            Mendengar kamar itu masih layak dan perlengkapan ada, Sarmini tersenyum dan terlihat senang. “Maaf ya mas, saya sudah mengganggu.”

            “Saya menjadi tidak enak.”

            Apa yang dikatakan Sarmini membuat Samiun merasa tersanjung. Hatinya berbunga-bunga. “Oh nggak papa,” sahut Samiun.

            “Santai saja. Saya merasa senang sudah bisa membantu.”

            “Baiklah mas kalau begitu saya istirahat dulu,” balas Sarmini. Sarmini langsung bergegas menuju kamar. Pintu selambu yang ada dibuka dan selanjutnya diturunkan kembali untuk menghalangi pandangan.

            Saat perempuan itu sudah masuk ke dalam kamar. Samiun masih duduk di ruang tengah. Meski dirinya sudah lelah namun rasa capek itu belum membuat ia ngantuk. Pikirannya masih melayang ke kejadian tadi siang di mana puluhan orang dibabat mati secara kejam. Dirinya yang sebelumnya menjadi penggali kubur, pada siang itu pekerjaan yang demikian tidak dibebankan padanya. Sebab orang-orang yang dibunuh tidak perlu dimakamkan, mayat-mayat mereka dihanyutkan ke sungai.

            Di tengah lamunannya itu, tiba-tiba terdengar suara lengukan burung hantu. Burung hantu yang bertengger di pohon itu selanjutnya terbang. Suara kepakan sayapnya terdengar ringan.

            Burung hantu yang aktif di saat malam hari itu mengingatkan dirinya bahwa besok ia harus mengunduh buah pohon kelapa yang ada di ladangnya. Dari buah kelapa itulah dirinya bisa hidup. Buah pohon kelapa itu dijual ke pasar dan hasilnya digunakan untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Beban hidup Samiun bisa jadi tak berat sebab selama ini dirinya masih bujang. Semua penghasilan yang diperoleh selama ini digunakan untuk keperluan dirinya sendiri.

            Pikirannya yang bergentanyangan itu rupanya membuat dirinya mengantuk. Ia pun menguap. Agar tidak bangun kesiangan, Samiun langsung menuju kamar yang biasa ia tempati. Di kamar itu tubuhnya direbahkan di atas kasur yang sudah menipis kapasnya.

****

            Buah-buah pohon kelapa yang sudah diunduh oleh Samiun sudah dimasukan ke dalam keranjang. Dua keranjang yang terbuat dari jalinan bambu itu penuh dengan buah yang berbentuk bulat lonjong. Sebelum membawa ke pasar, Samiun masuk ke dalam rumah dan menemui Sarmini, “saya mau ke pasar, berdagang buah kelapa.”

            “Kamu jaga rumah ini.”

            Sarmini hanya mengangguk mendengar ucapan itu. Selanjutnya Samiun keluar rumah. Dua keranjang yang penuh dengan buah kelapa itu diangkat dengan sebilah batang bambu. Terasa berat di pundaknya namun sepertinya ia tak peduli. Kaki diayunkan dan selangkah demi langkah menghilang di jalan depan rumah.

            Sarmini menghela nafas panjang saat Samiun hilang ditelan rerimbunan semak dan pohon. Sarmini sepertinya merasa bebas setelah ditinggal laki-laki pemilik rumah. Dalam kesendiriannya itu ia melihat apa saja yang ada di rumah itu. Ia berjalan dari ruang tengah, kamar, hingga dapur. Sarmini merasa Samiun adalah orang yang sederhana. Semua peralatan ada di rumah itu meski tak sebagus barang yang dimiliki keluarganya.

            Di tengah kesendirian, dalam pikiran muncul untuk meninggalkan rumah itu. Pikirannya mengatakan, “saya tidak bisa lama-lama di sini. Terlalu lama di rumah ini bisa membuat aku menderita.” Ia beranjak dari kursi yang menyangga pantatnya. Ia mengemasi pakaian yang pernah dipakai dan dimasukkan ke dalam tas. Sebuah tas bekas yang tengah menggantung di dinding. “Biarlah pakaian yang diberikan laki-laki itu yang saat ini aku kenakan, aku bawa,” gumamnya dalam hati.

            Setelah merasa siap, perempuan itu menuju pintu keluar. Daun pintu dipegang dan selanjutnya digerakkan agar membuka, pintu terdorong hingga apa yang di luar bisa ditatap namun secara spontan ketakutan muncul, pintu segera didorong agar menutup rapat. Keringat dingin mengucur dari tubuh, wajahnya pucat.

            Apa gerangan yang membuat Sarmini merasa ketakutan? Rupanya ia melihat, di jalan depan rumah, beberapa puluh pemuda tengah menggelandang beberapa laki-laki dan satu orang perempuan. Para pemuda itu membawa pedang, klewang, dan clurit. Tak hanya menggelandang, para pemuda itu berteriak-teriak, “ini orang PKI, ini perempuan Gerwani.”

            “Kita tangkap mereka karena dulu suka merebut tanah dan memberontak.”

            “Selanjutnya kita penggal lehernya.”

            Setelah pintu itu dikunci, Sarmini berlari mencari tempat persembunyian. Ia berlari ke mblandongan, kamar mandi. Ia meringkuk di sebuah sudut tempat itu. Badannya menggigil. Setelah meringkuk bersembunyi di tempat itu, Sarmini secara pelan bangkit. Dalam hati bertanya, apakah di luar sudah aman atau belum. Senyap terasa, hal demikian membuat ia berpikir bahwa di luar sudah tak ada lagi gerombolan pemuda pencari orang-orang PKI dan pendukungnya.

            Rasa takut dan traumanya berusaha didepak dari jiwa. Setelah suasana dirasa aman, niat untuk kabur dari rumah masih menggelora. Ia segera melangkah menuju pintu keluar. Pintu pun dibuka, kakinya mulai melangkah keluar. Nafas panjang dihela sebagai bentuk dirinya bebas seperti orang yang keluar dari kungkungan. Jalan setapak yang menghubungkan rumah itu dengan jalan disusuri namun tiba-tiba keringat dingin mengalir dari tubuh, wajahnya pucat. Ketakutan yang demikian membuat darahnya berhenti mengalir sehingga kakinya susah digerakkan padahal ia ingin segera berlari.

            Perempuan itu berusaha agar aliran darahnya normal sehingga ia bisa menggerakkan kaki dan badan. Upaya yang dilakukan itu berhasil, begitu darah mengalir normal, kakinya langsung diayunkan secepatnya kembali ke rumah. Pintu dibuka lalu masuk ke dalam dan selanjutnya pintu ditutup rapat-rapat. Dengan buru-buru dan tergopoh-gopoh, ia masuk ke dalam kamar yang tadi malam ditempati. Badannya langsung diselusupkan di bawah ranjang.

              Apa gerangan yang membuat Sarmini merasa ketakutan? Rupanya ia melihat di rumah tetangga, ada gerombolan pemuda yang lain tengah menggendor-gendor sebuah rumah. Di tangan pemuda itu terhunus pedang, clurit, dan klewang. Di antara mereka juga ada yang membawa balok panjang. Pintu di rumah itu digendor dan berteriak, “hai PKI, keluar kamu.”

            “Rumah ini sudah dikepung.”

            “Orang-orang PKI akan ditangkap.”

            Sarmini selanjutnya tidak tahu apa yang terjadi di rumah itu sebab dirinya keburu lari menyelamatkan diri. Di tengah ketakutan yang membekap, dirinya mendengar suara puluhan kaki menuju rumah yang ditempati. Tak lama kemudian terdengar suara yang keras. Balok kayu membentur pintu berulang-ulang. “Duk, duk, duk,” begitu bunyi balok kayu itu menendang-nendang pintu.

            Suara benturan balok kayu dan pintu itu berhenti namun selanjutnya terdengar teriakan, “hai PKI keluar kamu.”

            “Tidak usah bersembunyi.”

            “Kita tahu di dalam ada seorang Gerwani.”

            Merasa keberadaan dirinya diketahui, tubuh Sarmini langsung lemas. Apa yang dialami itu mengulang peristiwa saat di rumah Pak Menggolo, di mana rumah itu didatangi puluhan pemuda dan selanjutnya menciduk Mas Pranoto dan Pak Menggolo. Peristiwa yang kedua kalinya membuat tatapan Sarmini menjadi kosong, badannya terkulai tak berdaya, dan nafasnya putus nyambung. Kejadian yang mencekam untuk kedua kalinya itu mengakibatkan dirinya seperti hidup di dua alam, mati atau hidup.

            “Akankah hari ini aku mati?” gumamnya dalam ruang pikirannya yang masih tersisa.

            “Mengapa mereka menuduh aku PKI atau Gerwani?”

            “Aku adalah orang yang membenci komunis tetapi mengapa saya malah dituduh menjadi bagian PKI.”

            “Aku tidak bersalah, aku bukan PKI.”

            Ruang yang tersisa dalam otak Sarmini memberontak. Sisa pikirannya seolah-olah hendak menjelaskan bahwa dirinya bukan orang yang dicari. Di tengah berkecamuk pikirannya masih terdengar suara teriakan dan gedoran agar dirinya keluar.

            Tiba-tiba suara hening. Di tengah suasana itu, terdengar suara, “oh kita salah, di sini bukan rumah orang PKI.” Selanjutnya puluhan pemuda itu meninggalkan tempat itu.

***

            Samiun melangkah meninggalkan pasar. Usai sudah jualan buah kelapa hari itu. Meski tak semua laku namun penjualannya sudah dirasa untung. Keuntungannya bisa dibelikan kebutuhan sehari-hari. Samiun berpikir karena ada Sarmini maka belanja kebutuhan harus ditambah. Ia membelikan kebutuhan lain yang diperuntukkan buat perempuan itu seperti handuk.

            Di tengah perjalanan pulang, dirinya merasa heran mengapa suasana desa terlihat sepi padahal di hari biasanya orang lalu lalang. “Ada apa ini?” batin Samiun berkata. Ia terus melangkah dan berjalan cepat agar segera tiba di rumah. Sesampai di pertigaan, di mana di tempat itu berdiri sebuah gubuk, terdengar suara orang memanggilnya, “Samiun, Samiun.”

            Panggilan itu membuat dirinya celingak-celinguk, siapa yang menyebut nama dirinya itu. Setelah memalingkan muka ke belakang, terlihat Nusiron. Nusiron menghampiri dengan buru-buru. “Ada apa mas?” Samiun lebih dahulu bertanya sebelum Nusiron menyapa.

            “Mas ikut kami,” jawab Nusiron dengan tegas.

            “Ke mana?” Samiun kembali bertanya.

            “Biasa, yang biasanya kamu diajak Pak Slamet,” papar Nusiron.

            “Walah,” gumam Samiun dalam hati dengan perasaan jengkel.

            Ajakan itu membuat Samiun harus ikut dengan para pemuda untuk menggali lubang besar untuk mengubur orang-orang PKI yang dibantai. Nusiron rupanya tahu kalau Slamet yang biasanya menjemput dirinya. “Terus ke mana Slamet,” gumamnya dalam hati Samiun.

            “Saya tidak membawa cangkul mas,” Samiun mencoba menolak dengan alasan seperti itu.

            “Halah, gampang. Di antara kita ada yang membawa cangkul,” papar Nusiron.

            “Lha buah kelapa dan barang belanjaku ini gimana?” Samiun kembali berkilah.

            “Ah, taruh saja di gubuk itu,” ujar Nusiron sambil menunjuk gubuk yang tak jauh darinya.

            “Kamu banyak ngomong,” ucap Nusiron dengan nada sinis.

            Samiun dengan ogah-ogah mengangkat keranjangnya ke gubuk itu. Sampai di gubuk, ia meletakkan di bagian pojok dengan tujuan untuk agar barangnya aman. Setelah barangnya teronggok di tempat itu, ia keluar gubuk dan menghampiri Nusiron.

            Melihat Samiun menghampiri, ia langsung mengatakan, “ayo jalan.”

            Samiun membuntuti Nusiron. Dirinya tidak tahu ke mana arah yang hendak di tuju. Sepertinya tempat yang dituju bukan di balik bukit atau di Kali Keyang dengan demikian ada tempat baru untuk mengubur orang-orang yang hendak dibantai itu. Di mana tempat baru yang akan dijadikan lubang masal, terjawab saat perjalanan dirinya mengarah ke Kuburan Bibis.

            Kuburan Bibis sebagai kuburan yang sangat luas, di tengah areal itu berdiri sebuah pohon besar, pucuknya menjulang, rantingnya bercabang ke mana-mana, dan daunnya tergantung musim, bila musim hujan rimbun pohon itu tapi bila musim kemarau, tak ada daun sehelaipun. Meski menjulang tinggi namun tubuhnya sudah rapuh, usianya sudah lebih dari 100 tahun, tak heran orang sering menyebut pohon itu seperti raksasa tua. 

            Konon di kuburan itu digunakan untuk membantai orang-orang komunis yang terlibat dalam Pemberontakan PKI tahun 1948 di Madiun.

            Samiun melihat ke kuburan, di tempat  itu sudah ada puluhan orang. Di antara mereka menenteng senjata tajam. Semua berkerumun berteduh di bawah pohon. Sinar matahari masih terasa menyengat sehingga pancarannya dihindari. Kedatangan Nusiron sepertinya ditunggu-tunggu, terbukti saat kedua orang itu datang, semuanya memberi salam. Nusiron sepertinya komando untuk melakukan pembantaian sehingga sebelum dirinya datang, pembantaian belum dimulai meski orang-orang yang hendak dibantai sudah digiring ke tempat itu sejak pagi.

            “Gimana mas acaranya?” tanya salah seorang di antara mereka.

            Nusiron memandang kerumunan pemuda itu. “Penggali kubur ketiga sudah ada, ya sudah kita mulai,” ujarnya.

Samiun sadar bahwa dirinya adalah penggali kubur ketiga. Berarti dua penggali kubur sudah ada sejak tadi. Samiun merasa senang ada penggali kubur yang lain sehingga hal demikian meringankan kerjanya. Ia membayangkan bila ia sendiri menggali tanah untuk dibuat lubang besar dan dalam. Berapa lama hal demikian bisa diselesaikan.

“Ayo kerja,” ujar Nusiron sambil melihat Samiun dan dua penggali kubur lainnya.

Dua orang segera bergegas menuju tanah kosong yang ada. Samiun ogah-ogahan melangkah. Tanah kosong itu berada di bawah pohon besar. Radius sepuluh meter dari tanah kosong itu, berjibun makam. Meski berupa tanah kosong namun semak berduri menjalar menutupi tanah yang di saat kemarau itu pada retak. Tak heran sebelum tanah itu digali, semak berduri itu ditebas. Clurit yang dibawa oleh dua penggali kubur, diayun-ayunkan untuk memotong semak berduri.

Setelah meleyapkan tumbuhan yang ada, para penggali kubur mengayunkan cangkul. Ayunan demi ayunan cangkul sedikit demi sedikit telah membuat bagian dari bumi itu menjadi sebuah lubang menganga. Hasil galian membuat tanah hitam menumpuk di sekeliling lubang itu.

“Sudah belum?” Nusiron berteriak menanyakan apakah pekerjaan menggali lubang sudah selesai.

“Sedikit lagi,” ujar salah satu penggali kubur itu.

Mereka mengayunkan kembali cangkul dan sebagaian memindahkan tanah ke luar lubang. “Sudah, sudah, ini sudah dalam,” ujar Samiun kepada dua penggali kubur lainnya.

“Kurang dalam mas,” ujar salah satu dari mereka.

“Nanti kalau dalamnya cuma segini, bisa digangsir oleh anjing-anjing liar.”

Samiun diam mendengar kata itu. Apa yang diungkapkan bisa jadi benar sebab beberapa waktu yang lalu, ada mayat yang digangsir oleh anjing liar. Penyebabnya kubur yang digali kurang dalam sehingga bau tak sedap muncul. Bau itu mengundang anjing-anjing liar untuk datang hingga cakarnya mengoyak-goyak tanah kubur dan selanjutnya menyeret mayat yang masih terbungkus kafan putih dari liang lahat.

“Gimana mas?” tanya penggali kubur itu.

Pertanyaan itu membuyarkan lamunan Samiun yang membayangkan peristiwa yang menggegerkan desa.

“Lanjut kalau begitu,” kata Samiun.

Mereka bertiga gotong royong kembali memperdalam lubang yang sudah menganga itu. Waktu pun sudah semakin sore. “Sudah belum?” Nusiron kembali bertanya.

Ketiga penggali kubur itu saling pandang dan selanjutnya mengangguk sebagai tanda bahwa tanah yang mereka keruk sudah selesai. “Sudah,” jawab Samiun.

“Kalau sudah, kalian minggir,” balas Nusiron.

Ketiga orang itu keluar dari lubang dan selanjutnya menjauh dari tempat yang akan dijadikan untuk kuburan massal.

***

            Duduk di bawah pohon waru, Samiun dan dua penggali kubur lainnya melihat satu per satu orang yang tangannya diikat itu digelandang menuju ke tepi lubang kubur yang digalinya. Mereka dipaksa untuk duduk dengan kepalanya dicondongkan ke depan, menghadap lubang, setelah posisi yang demikian, para janggal yang ada langsung mengayunkan pedang tepat ke leher sehingga antara kepala dan badan terpisah.

            Begitu kepala itu lepas, darah muncrat dengan deras dari leher. Serta merta badan orang yang dipenggal itu didorong jatuh ke lubang menyusul kepala yang sudah berada di dalam. Tak heran lubang itu tak hanya disesaki oleh badan-badan tanpa kepala namun juga dibanjiri oleh darah segar.

            Menjelang maghrib, pembantaian massal itu selesai.

            “Hai kamu ke sini,” ujar Nusiron kepada tiga penggali kubur itu.

            Mereka menghampiri dan tahu apa yang mesti dikerjakan.

            “Uruk lubangnya,” perintah Nusiron.

            Biar tugas mereka cepat selesai, ketiga orang itu langsung memindahkan tanah basah bekas galian ditimbunkan kembali ke dalam lubang. Samiun hampir muntah melihat tubuh-tubuh yang berserakan tanpa kepala dengan darah menggenangi lubang kubur. Agar pandangan itu cepat hilang, ia mempercepat memindahkan tanah ke lubang itu. Ayunan demi ayunan cangkul memindahkan tanah hingga akhirnya menutup mayat-mayat itu. Agar tak digangsir oleh anjing-anjing liar, salah satu penggali kubur memadatkan tanah dengan diinjak-injak.

            Setelah dirasa padat, sisa tanah diurukkan kembali hingga akhirnya membentuk tanah yang menggunung. Tanpa sepengetahuan Nusiron, Samiun meletakkan batu besar di atas gundukan tanah itu. “Untuk tetenger, tanda,” ujarnya.

            Setelah prosesi penguburan selesai, Nusiron memberi kode kepada semua bahwa acara itu selesai. Mereka bubar dan meninggalkan tempat itu. Para penggali kubur itu ditinggalkan begitu saja, tak ada ucapan terima kasih, apalagi upah.

****

Dengan jalan gontai, akhirnya Samiun tiba di rumah. Diketuk pintu rumah itu. Tak ada jawaban. Diulangi lagi, hasilnya serupa, tak ada respon. Sebab itu rumahnya sendiri maka dirinya memberanikan diri masuk ke dalam rumah. Di dalam tak dijumpai siapa saja.

“Ke mana Sarmini,” ujarnya dalam hati.

“Sar, Sar, Sar,” ia memanggil perempuan yang sudah beberapa hari tinggal di rumahnya. Ia berjalan mondar-mandir di rumahnya sendiri. Di ruang-ruang yang ada, tak seorang pun ditemukan. Hal demikian membuat badan Samiun yang sudah lelah bertampak capek. Ia duduk di kursi ruang tengah. Di saat dirinya menikmati istirahat, tiba-tiba dari kamar yang ditempati Sarmini terdengar suara mendesis. Telinga Samiun masih tajam. Dirinya heran suara apa itu. Sebelumnya kamar itu sudah ditengok namun kosong.

Dengan mengendap-endap ia melangkah menuju ke kamar itu dan mengecek apa yang terjadi. Sesampai di depan pintu kamar, kain yang menutup dibuka. “Tak ada siapa-siapa,” gumamnya. Matanya menyorot sudut-sudut kamar. Hanya foto lama dan gantungan baju dilihat yang berada di dinding.

“Apa ada setan?” pikirannya menerawang jauh.

“Ah nggak mungkin,” batinnya menentramkan diri.

Ia kembali ke ruang tengah. Di saat badannya sudah memunggungi kamar itu, tiba-tiba ia mendengar kembali suara aneh itu. Dengan ragu-ragu, Samiun membalikkan badan. Keringat dingin mengucur dari tubuh. Pikirannya sudah ke mana-mana, “apa di kamar ini ada penghuninya,” gumamnya. Istilah penghuni biasanya terkait dengan makhluk halus.

Dengan rasa takut yang sudah mulai ada dalam benaknya, ia tetap memberanikan diri. Untuk menenangkan perasaan, ia membaca Ayat Kursi. Kamar itu dimasuki dan berjalan pelan menyusuri ruangan. Mulutnya tetap komat-kamit. Di saat demikian, dirinya mendengar suara nafas berada di bawah tempat tidur. Hal demikian membuat jantung semakin berdetak cepat. Wajahnya pucat. “Apa dan siapa?” ujarnya lirih.

Kaki semakin berat untuk melangkah saking takutnya. Samiun berusaha untuk menguasai diri. Setelah keadaan mulai terkendali, ia ingin tahu apa dan siapa di bawah tempat tidur kayu itu. Mulutnya komat-kamit membaca doa agar perasaannya menjadi berani. Ia merunduk dan selanjutnya menengok ke bawah kolong tempat tidur.

Dirinya kaget begitu tahu Sarmini membujur di tempat itu. Terlihat wajahnya pucat, tubuhnya kaku, bibirnya bergetar, dan keringat dingin membasahi. “Sarmini,” kata Samiun dengan lirih. Sarmini bisa memandang Samiun namun tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Samiun sadar perempuan itu masih menyimpan nyawa. Sepertinya ia mengalamai suatu peristiwa hingga membuat dirinya berada di tempat itu.

Samiun pun segera menolong Sarmini. Dengan pelan-pelan ia menjamah tubuh perempuan itu dan selanjutnya dibawa ke tempat yang terbuka agar udara segara masuk ke tubuhnya hingga jiwanya menjadi lebih kuat.

Tubuh Sarmini direbahkan di kursi panjang ruang tengah. Direbahkan di tempat itu selain agar mendapat angin segar juga untuk menghilangkan rasa curiga bila dirinya merawat Sarmini di kamar. Samiun tahu tubuh itu lemas sebab berada dalam ruang pengap dan juga karena kurang asupan makanan dan minuman.

Dirinya bergegas menuju ke dapur untuk membuat teh hangat. Tak seberapa lama, minuman campuran gula dan daun teh itu telah digenggamnya. Dibawa minuman yang berada dalam gelas itu ke ruang tengah di mana Sarmini terbaring. Dengan menggunakan sendok, teh manis hangat disuapkan ke mulutnya. Mendapat suapan itu, mulutnya merespon dengan cepat. Hal demikian menunjukkan tubuh Sarmini kekurangan daya sehingga harus segera diisi.

Sendok demi sendok teh, telah disuapkan ke mulut Sarmini. Seiring itu pula, tubuhnya mulai bugar. Untuk lebih memulihkan tenaga, Samiun pergi ke dapur. Semua kebutuhan barang sehari-hari yang dibeli dari pasar, diambil dari keranjang. Selanjutnya dimasak. Sebab Samiun sudah terbiasa memasak maka ia cekatan meramu sayuran, telur, dan tempe yang dibeli. Sambil meramu produk hewan dan tumbuhan tadi, beras yang dibeli juga ditanaknya.

Sekitar sejam Samiun beraktivitas di dapur, akhirnya nasi, sayuran, dan lauk pauk tersaji di meja. Makanan yang ada itu mengundang selera orang yang melihatnya. Setelah siap disantap, Samiun menghampiri Sarmini dan mengajak makan. Sarmini yang badannya sudah bugar karena asupan teh hangat, dirasa mampu untuk bangun dari tidurnya.

“Mari makan agar tubuhmu lebih segar dan sehat,” ujarnya Samiun.

“Sudah nggak usah malu, kamu kan sudah tinggal di sini beberapa hari.”

“Kalau tidak makan nanti sakit lagi lho.”

Entah karena lapar atau perkataan Samiun yang mengingatkan dirinya bila tak makan bisa jatuh sakit, hal itu membuat Sarmini bangkit dari tidurnya dan bergegas menuju meja makan. Di samping meja makan telah ada Samiun. Tahu Sarmini menuju meja makan, Samiun merasa senang. Dengan demikian, Sarmini sudah mau mendengar apa yang dikatakan. Selama ini ia hanya mengangguk atau tersenyum ketika dirinya bicara.

Setelah kedua orang itu duduk berhadapan, Samiun mempersilahkan Sarmini lebih dahulu mengambil nasi, sayuran, dan lauk pauk. Nasi putih dikeduk sebanyak dua centong, selanjutnya sayuran dan lauk juga diambilnya. Di piring Sarmini sudah tersaji makanan yang lengkap, tak lama kemudian, makanan itu disantapnya.

Samiun juga melakukan hal yang sama, mengambil nasi serta lauk pauk dan sayurannya. Ia juga langsung menyantapnya. Entah makanan itu terasa enak atau kedua orang itu lapar berat, tanpa basa-basi kedua orang itu menambah makannya.

***

Usai sudah santap makan itu. Sebenarnya Sarmini hendak membereskan piring serta sisa makanan yang ada namun keinginan itu dicegah oleh Samiun. Dirinya tahu Sarmini sudah pulih dari sakitnya tetapi Samiun masih khawatir akan ketenangan jiwanya.

“Jangan, biar saya,” kata Samiun saat Sarmini hendak membersihkan apa yang ada di meja itu.

“Duduk saja di ruang tengah. Biar saya yang membersihkan.”

Satu persatu apa yang ada di meja itu dipindah. Piring kotor dibawa ke tempat cucian, sedang sisa makanan yang masih ada di masukkan ke dalam lemari. Sisa makanan yang ada itu tidak dibuang namun bisa dimakan untuk esok hari.

Suara kecipak air terdengar saat Samiun membersihkan piring-piring kotor.  Dibilasnya piring-piring itu dengan sabun agar bersih. Bilasan itu membuat piring menjadi kinclong. Setelah itu diangkatnya dan ditempatkan di rak.

Selesai mencuci piring, basah di tangan Samiun dikeringkan dengan menyapukan kain. Kain bersih namun sudah kumal itu digunakan untuk mengeringkan sisa-sisa air yang menempel. Beres sudah kegiatan Samiun di dapur malam itu. Selanjutnya ia melangkah menuju ke ruang tengah. Di ruang itu terlihat Sarmini sedang duduk. Perempuan itu duduk dengan tenang.

Begitu tahu Samiun datang, Sarmini tersenyum. Ia menggeserkan posisinya. Cara itu menunjukkan agar ia bisa duduk di tempat itu. Benar dugaan Sarmini, pria itu duduk tak jauh darinya.

Setelah meletakkan pantatnya di kursi, Samiun menyapa, “bagaimana keadaanmu sekarang?”

Pertanyaan itu langsung dijawab, “baik mas.”

Suasana selanjutnya hening. Dalam keheningan itu, Samiun langsung teringat saat dirinya masuk rumah dan tidak menemukan Sarmini hingga akhirnya perempuan itu dijumpai dalam keadaan membujur di kolong tempat tidur.

Mengapa bisa demikian? Itulah yang akan ditanyakan Samiun pada Sarmini.

“Apa yang membuatmu membujur di kolong tempat tidur?” tanya Samiun.

Mendapat pertanyaan itu, wajah Sarmini berubah. Wajahnya yang tenang berganti menjadi tegang. Semburat rasa takut menjalar di raut mukanya yang ayu. Tangannya yang gemulai terlihat menjadi tegang. Nafasnya terasa berat dan tatapan matanya menjadi tajam.

“Ceritakan apa yang terjadi,” kata Samiun dengan nada pelan.

“Biar aku tahu apa yang terjadi pada dirimu.”

“Bila aku tahu apa yang terjadi, aku akan menjagamu.”

Apa yang dikatakan itu membuat wajah Sarmini yang awalnya tegang menjadi mengendor, badannya terlihat sudah tak kaku. Ditatap wajah Samiun dan Sarmini pun menceritakan apa yang terjadi siang tadi di mana ada puluhan pemuda sedang mencari orantg-orang PKI di rumah-rumah yang ada. Operasi penangkapan para pemuda terhadap orang-orang PKI itu berhasil dengan digelandangnya mereka.

Operasi penangkapan yang dirasa sudah selesai, rupanya belum berakhir hingga akhirnya rumah yang didiami juga disantroni. Suara ribut, gemuruh, dan ancaman meneror Sarmini yang berada di dalam. Hal demikian membuat dirinya takut luar biasa. Status sebagai istri Mas Pranoto, anggota PKI aktif, bisa membuat dirinya diciduk meski secara asal-usul diri dan keluarganya bukan dari partai berlambang palu dan arit itu.

Untuk menghindari salah tangkap itu, dirinya bersembunyi hingga di bawah kolong tempat tidur. “Syukur di antara pemuda itu ada yang mengatakan, di sini bukan rumah orang PKI,” tutur Sarmini dengan nada pasrah.

Mendengar apa yang diceritakan itu, Samiun jadi mafhum. Apa yang diungkapkan itu nyambung dengan apa yang dialami saat dirinya pulang dari pasar. Di mana dirinya dicegat oleh Nusiron untuk diajak ke Kuburan Bibis. Di kuburan itu sudah ada orang-orang PKI yang hendak dibantai. “Merekalah orang-orang yang diciduk para pemuda siang tadi di sekitar rumah ini,” gumam Samiun.

“Terlalu jauh saya melihat orang-orang PKI itu sehingga saya tak mengenal siapa-siapa mereka.”

“Bisa lebih dari dekat namun kepala-kepala mereka terbenam oleh genangan darah yang tinggi.”

“Kalau Sarmini tertangkap, bisa jadi ia akan dibantai di kuburan itu dan aku akan menguburnya.”

Oh tidak.”

“Posisi yang demikian akan membuat aku menjadi serba salah. Bila aku menolongnya pasti akan akan disebut bagian juga dari PKI dan akan dipenggal kepalaku. Tetapi kalau tak menolong, di mana nurani dan cintaku pada Sarmini. ”

 

****

            Hari itu Samiun tidak pergi ke pasar. Tidak pergi ke pasar bukan karena malas namun pasar di desa itu tidak setiap hari buka. Hanya pada legi, kliwon, dan pahing pasar itu ada aktivitas. Kesempatan yang demikian digunakan untuk mengurus kambing yang dimiliki. Kambing dua ekor, jantan dan betina, itu dibeli dari uang yang dikumpulkan dari menjual buah kelapa.

            Dua ekor kambing itu dikandangkan di belakang rumah. Kandang itu terbuat dari kayu dengan atap dari rumbai daun kelapa. Setiap sore, Samiun ngarit, mencari rumput, dan daun-daun segar di hutan yang tak jauh dari rumahnya untuk memberi makan kepada hewan berkaki empat itu.

            Dirinya berharap agar dua pasang kambing itu segera kawin, dengan perkawinan itu maka hewan ternak yang dipelihara bisa beranak pinak. Bila beranak pinak maka jumlah kambing yang dimiliki bisa bertambah. Bila sudah cukup umur, kambing yang dimiliki bisa dijual. Dari sinilah Samiun bisa memperoleh penghasilan yang lain.

            Di depan kandang, pria itu sedang mengaduk-ngaduk makanan yang tersisa. Rumput dan daun hijau yang berada di tempat pakan masih tersisa cukup. Sisa pakan yang ada tidak bisa disantap sebab leher kedua kambing itu terlalu pendek untuk bisa menjangkau makanan yang berada di bawah. Dengan diaduk itulah pakan yang tersisa terangkat. Begitu terangkat, pakan itu langsung disamber hewan bertelinga lebar itu.

            Samiun gembira saat melihat kambing-kambing itu berebut pakan. Hatinya senang, dengan rakus makan membuat binatang yang suka mengembik itu akan bertambah bobotnya. Bertambah bobot berarti bertambah nilai jualnya.

            Puas mengurus hewan ternak, Samiun beranjak meninggalkan kandang. Ia melangkah menuju ke ruang tengah. Sesampai di ruang yang tersedia meja dan kursi itu, Samiun duduk di salah satu kursi yang ada. Secangkir kopi tersungguh di atas meja. Begitu tahu ada minuman kesukaannya, ia langsung mengeluarkan rokok klobot di kantung celana. Rokok itu bikinan sendiri. Hanya bermodal membeli tembakau di pasar. Sedang bungkusnya diperoleh dari daun jagung. Daun jagung itu dijemur di terik matahari agar keras. Semakin keras semakin enak.

            Racikan tembakau ditabur di atas daun jagung dan selanjutnya digulung serta diikat dengan tali, jadilah rokok. Sebatang rokok ujungnya dimasukkan ke dalam mulut. Tangannya memegang korek, menghidupkan sumber api, lalu menyulutkan di ujung rokok. Dihisap kuat-kuat agar api memanggang ujung rokok. Apa yang dilakukan itu berhasil, titik api sudah terlihat di ujung rokok. Seketika itu Samiun menikmati gurihnya tembakau jawa itu.

            Asap membumbung dan bunyi kemretek rokok akibat dihisap. Pikirannya menjadi ringan setelah nikotin, senyawa candu, yang ada dalam tembakau mengalir dalam darah. Akibatnya ia tak putus-putus menghisap rokok buatan tangan sendiri.

            Di tengah asyik menikmati candu, tiba-tiba terdengar suara sepeda motor masuk ke halaman rumah. Dirinya tak peduli ada sepeda motor masuk ke halaman rumah. Pikiraannya mengatakan, “biarin saja.” Setelah sepeda motor itu berhenti tepat di depan pintu rumah, penunggangny, Slamet, turun. Slamet berpakaian lengkap sebagai Babinsa. Dengan langkah tegap ia masuk ke dalam rumah.

            “Un,” sapa Slamet dengan suara keras.

            Tahu Slamet berada di depannya, Samiun yang tengah asyik mencandu gelagapan. Ia segera mematikan rokoknya. Ditekan ujung rokok yang masih menyala ke lantai tanah. “Eh Pak Slamet,” ujarnya dengan nada buru-buru.

            “Tumben pagi-pagi datang ke rumah.”

            Tanpa disuruh duduk, Slamet langsung meletakkan pantat di kursi yang ada. Sorot matanya tajam memandang Samiun. Dipandang demikian membuat Samiun menjadi takut. “Pak, saya ambil cangkul di belakang ya,” ujarnya Samin sambil gemetar.

            “Buat apa ambil cangkul?!” tanya Slamet dengan nada tinggi.

            “Kan kalau Pak Slamet ke sini biasa kan saya disuruh membawa cangkul dan diajak ke tempat pembantaian untuk jadi penggali kubur,” balas Samiun.

            “Hussss!..,” Slamet menghardik.

            Dihardik, Samiun menjadi mengkerut.

            “Begini Un, “ ujar Slamet memecahkan kebekuan suasana.

            “Ada istri anggota PKI aktif, Mas Pranoto, yang katanya lari ke desa ini.”

            “Pasti dia aktif di Gerwani.”

            “Mereka belum kepenggal kepalanya atau ditangkap.”

            “Bila ia masih berkeliaran dan hidup, itu sangat membahayakan.”

            “Ia bisa menyebarkan paham komunis dan menghasut masyarakat.”

            Slamet menggambarkan ciri-ciri perempuan yang disebut. Mendengar ciri-ciri yang disebut, Samiun langsung tersentak. Ia tahu bahwa perempuan yang dimaksud adalah Sarmini.

            “Untuk itu kita cari Un,” ujar Slamet. Apa yang diucapkan itu memutus bayangannya pada sosok Sarmini.

            “Iya pak,” balas Slamet.

            “Lalu tugas saya apak?”

            “Ya kalau bertemu dengan perempuan itu, tangkap dan bawa ke saya,” jawab Slamet.

            Entah mengapa, di saat perbicangan serius antara Samiun dan Slamet, tiba-tiba Sarmini melintas. Munculnya sosok perempuan itu membuat Slamet langsung sigap, diawasinya dari ujung kaki sampai kepala. Sarmini melintas di depan mereka setelah selesai mandi.

            “Siapa itu Un?” tanya Slamet dengan nada tegas.

            Mendapat pertanyaan itu Samiun bingung, apa yang harus dikatakan. Jujur atau bohong yang harus dikemukakan. Bila jujur pasti akan membahayakan keselamatan jiwa Sarmini. Bila bohong pasti itu perbuatan dosa. Suatu hal yang selalu dilarang dalam setiap khotbah Kiai Imron, kiai masjid desa. Samiun masih diam, belum menjawab.

            “Heh kamu dengar nggak apa yang saya tanyakan!” Slamet membentak Samiun.

            Samiun terperanjat. “Iya, iya pak saya dengar,” ucapnya.

            “Dia namanya Siti Nurjanah. Ia istri saya,” Samiun menerangkan siapa perempuan yang tadi melintas di depan mata Slamet.

            Mendengar perkataan yang demikian, Slamet matanya melotot dan menyorot tajam ke wajah pria yang berada di depannya. Sepertinya ia tak percaya Samiun telah menikah.

            “Istrimu? Memang kapan kamu menikah?” tanya Slamet dengan nada ketus.

            “Dua hari yang lalu pak,” jawab Samiun.

            “Saya tidak mengabarkan kepada yang lain karena suasana desa masih tegang.”

            “Jadi hanya ijab-qabul saja.”

            “Dia gadis dusun pak dan tidak tahu apa-apa.”

            “Rumahnya tidak jauh dari langgar, surau.”

            Mendengar penjelasan yang demikian, Slamet manggut-manggut dengan tatapan tajam. “Benar katamu itu?” Slamet menegaskan kembali.

            Samiun menganggukkan kepala.

            “Awas kalau kamu bohong,” Slamet mengancam.

            “Kamu yang nggak ganteng, masak dapat istri secantik itu.”

            Bibir Samiun menyungging senyum.

            “Ya sudah kalau begitu,” ucap Slamet. Ia langsung beranjak dari duduknya dan ngeloyor pergi meninggalkan Samiun. Samiun membuntuti pria itu hingga keluar rumah. Setelah sepeda motor yang ditunggai Babinsa itu menghilang dari rumahnya, Samiun langsung menutup pintu rumahnya rapat-rapat.

***

            Di hadapan Samiun ada Sarmini. Mereka berhadapan karena duduk pada kursi yang berlawanan arah. Selepas bertemu Slamet, Samiun segera memanggil Sarmini. Ia diajak bertemu untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi.

            “Sar, tadi Pak Slamet, Babinsa datang ke sini,” ujar Samiun.

            Ia menjelaskan panjang lebar pertemuan itu. Mendengar penjelasan itu wajah Sarmini menjadi tegang bercampur hambar. Tegang karena dirinya dicari-cari oleh orang-orang yang ingin menangkap atau membunuhnya. Hambar sebab dirinya diaku oleh Samiun sebagai istrinya. Meski Samiun telah menolong dirinya selama ini namun hatinya belum  menaruh hati dan harapan pada pria itu.

            Sarmini bingung apa yang mesti dilakukan. Bila melarikan diri dari rumah, bahaya akan mengancam. Bisa-bisa saat di jalan, ia ditangkap oleh para pemuda atau militer dan selanjutnya entah diapakan. Namun bila ia tetap bertahan di rumah itu, untuk menyembunyikan dan menyelamatkan diri, ia harus hidup dengan Samiun dalam ikatan yang sah.

            Sarmini diam dan belum bersikap. Samiun juga demikian, diam, tidak berani menanyakan sikap Sarmini atas pengakuan bahwa ia adalah istrinya. Di tengah suasana beku, tiba-tiba perempuan cantik itu ngeloyor meninggalkan ruang tengah dan menuju ke kamar.

            Samiun hanya bisa menarik nafas dalam-dalam.

            “Entahlah,” gumamnya dalam hati.

            “Saya hanya ingin menolongmu Sarmini.”  

***

            Pagi itu Samiun buru-buru ingin ke pasar. Semua barang yang biasa dibawa sudah siap. Satu hal yang belum dilakukan adalah mandi agar tampilan saat di pasar terasa segar dan menarik. Untuk itu ia bergegas menuju ke tempat di mana ia biasa membersihkan badan dengan guyuran air segar, mblandongan.

            Handuk yang tergantung di tali yang melintang disambarnya dan dikalungkan di leher. Dengan berjalan mantap ia menuju mblandongan. Pintu kamar mandi terlihat tertutup. Ia mendorongnya agar bisa masuk ke dalam. Dorongan itu membuat pintu terbuka dan dirinya pun sudah berada di dalam.

            Betapa kagetnya di dalam telah berdiri Sarmini tanpa dibalut sehelai kain pun. Tubuh perempuan itu begitu indah. Tinggi, langsing, berkulit kuning. Kesempurnaan itu bertambah dengan wajah Sarmini yang ayu dan rambut terurai panjang. Melihat hal yang demikian, darah Samiun mengalir begitu deras, jantungnya berdetak begitu kencang. Darah itu mengalir ke seluruh organ yang ada.

            Sarmini diam, tidak berteriak, malah terlihat ia tersenyum dan mendekati Samiun. “Tenang saja mas,” ujarnya dengan lirih. Mendapat respon yang demikian, naluri laki-laki Samiun muncul. Ia membalas respon ramah Sarmini seperti kambing jantan yang dimiliki sedang birahi kepada kambing betina.

            Entahlah apa yang terjadi di mblandongan itu. Selama setengah jam hanya terdengar suara desah dan deru nafas. Niat Samiun untuk segera pergi ke pasar terhalang oleh kegiatan yang tak pantas bagi orang yang belum resmi menjalin hubungan suci.

            Desah suara dan deru nafas terhenti saat mereka berangkulan dengan tubuh mengejang. Setelah berpelukan beberapa saat, akhirnya mereka saling melepaskan pelukan itu. Keringat membasahi tubuh mereka. Ada cairan lain yang menempel di tubuh. Mereka pun bergantian membersihkan diri dengan air yang mengucur.

            Selepas bersih tubuh dari keringat dan cairan yang lain, Samiun menggunakan pakaian bersih dan selanjutnya pergi ke pasar untuk berdagang.

***

Di ruang tengah, Sarmini duduk sendirian. Di rumah itu hanya ada dirinya sendiri. Dalam termenung, air matanya mengalir. Sepertinya ia menyesali apa yang telah dilakukan di mblandongan tadi. “Aku sudah melakukan sesuatu tak pada tempatnya,” gumamnya dalam hati.

Air mata semakin membasahi pipinya. “Apa yang terjadi pada diriku?” ucap Sarmini dengan diiringi sesunggukan tangis.

“Aku kalut dalam hidup sehingga jiwa dan pikiranku menjadi labil.”

“Aku berada di antara hidup dan mati.”

“Aku yang tak tahu apa-apa soal PKI kok dituduh menjadi bagian dari PKI.”

“Dari perkawinan yang tak aku inginkan dengan Mas Pranoto, telah mengubah semua jalan hidupku.”

“Demi selamat dari pembunuhan, aku melakukan sesuatu yang tak aku inginkan.”

“Aku harus berpura-pura menikah dan aku sekarang menjadi Siti Nurjanah,” dirinya tersenyum di tengah tangisnya.

Dalam termangu, Siti Nurjanah tersenyum dan menangis. Tersenyum karena dirinya bisa selamat dari pembantaian. Menangis karena hidup dalam bukan pilihannya.

****

Pekan-pekan ini Siti Nurjanah terlihat sering kelelahan. Tak heran bila dirinya sering terlihat duduk atau rebahan di kursi ruang tengah. Tak hanya itu, Siti Nurjanah sering kedapatan muntah. Rasa mual yang berlebihan itu membuat dirinya sering keluar rumah atau mblandongan untuk melepeh, muntah, membuang, makanan yang sudah dimakan.

Perubahan pada dirinya seperti demikian menunjukkan Siti Nurjanah Hamil. “Aku hamil?” pertanyaan itu menggumam dalam hatinya dengan nada datar. Biasanya seorang ibu hamil pasti senang dan gembira namun hal demikian tak dirasakan oleh Siti Nurjanah. Wajahnya tetap datar, tak ada goresan kegembiraan.

“Ya sudahlah aku jaga janin ini sampai lahir sebagaimana mestinya.”

            Mendengar kehamilan itu, Samiun bergembira. Dikabarkan kepada tetangga bahwa istrinya tengah hamil. Mendengar kabar yang demikian, para tetangga malah bertanya, “kapan kamu menikah, kok tiba-tiba memberi kabar istrimu hamil.”

            Mendengar pertanyaan yang demikian, batin dan pikiran Samiun langsung tersontak. Dalam hati membenarkan apa yang ditanyakan oleh para tetangga. Dirinya memang belum resmi menikah dengan Siti Nurjanah. Siasat untuk mengelabui Slamet agar perempuan yang serumah dengan dirinya selamat dari pembantaian dengan mengatakan bahwa itu ia istrinya rupanya menjadi kenyataan.

            Pertanyaan dan kecurigaan dari para tetangga terhadap status hubungannya dengan Siti Nurjanah dijawab Samiun dengan mengatakan, “pak lik, bu lik, mas, lan mbak,  saya sudah menikah dengan Siti Nurjanah beberapa waktu yang lalu.”

            “Bagaimana saya memberi kabar kalian, lha wong rumah sampeyan pada tertutup semua.”

            Mendengar apa yang disampaikan itu, ada yang percaya, ada pula yang tidak.

            “Yo wis nekno, ya sudah kalau begitu,” ujar tetangga yang percaya.

            “Memang saat itu saya sedang mengungsi biar nggak keciduk kayak orang-orang PKI.”

            “Ojo ngapusi, iku ora apik, jangan berbohong, itu tidak baik,” kata yang tidak percaya.

            “Aku lak tonggo cedak karo awakmu, saya kan tetangga dekat denganmu, masak tidak mendengar kalau kamu menikah.”

            Ada yang percaya dan tidak akan status hubungannya dengan Siti Nurjanah, diacuhkan oleh Samiun. “Biarlah mereka omong apa saja yang penting saya bahagia bisa hidup bersama Siti Nurjanah.”

            “Kehamilan istri saya membuat saya bahagia.”

            Sejak perempuan yang disebut istrinya itu hamil, Samiun tambah semangat bekerja. Ia giat bekerja agar bisa memberi makan pada istrinya secara lebih. Kehamilan istrinya tentu membutuhkan asupan makanan yang tak biasa, perlu makanan tambahan, buat tubuh Siti Nurjanah dan janin yang dikandung.

            Samiun tak sekadar berjualan buah kelapa di pasar namun dirinya juga sering duduk di pintu gerbang kuburan orang China, ngebong. Di tempat itu bersama penggali kubur yang lain menunggu kalau ada orang Pecinan yang meninggal dunia. Bila ada orang Pecinan yang meninggal dunia maka mereka diberi pekerjaan menggali lubang kubur. Dari situ mereka akan diupah. Hasil upah dari menggali liang lahat di ngebong lumayan buat menambah pendapatan sehari-hari. Apalagi kalau yang meninggal adalah orang China yang kaya, pemilik toko besar, upahnya bisa dua kali lipat.

            Ketrampilan yang diperoleh Samiun, dalam menggali kubur, diperoleh saat dirinya dipaksa membuat lubang untuk mengubur puluhan orang-orang PKI dan simpatisannya yang dibantai. Pada massa-massa genting, tahun 1966, menggali lubang kubur dilakukan bukan hanya sekali namun beberapa kali di tempat yang berbeda.

            Saking semangatnya mencari uang, Samiun bahkan menawarkan kepada warga desa bila membutuhkan tenaga sambatan, tambahan, untuk menggali kubur kematian warga meski diupah tak seberapa. Dirinya sudah senang bila menjadi penggali kubur warga desanya sendiri meski diupah nasi dan lauk pauk serta sayuran. Upah itulah yang akan dibawa pulang untuk disantap bersama Siti Nurjanah.

            Warga desa kurang membutuhkan tenaga penggali kubur bayaran sebab bila ada yang meninggal, mereka gotong royong menggali kubur. Mereka bekerja dengan ikhlas. Warga desa sudah merasa bahagia saat nasi untuk makan dikirim setelah mereka menyelesaikan pembuatan liang lahat.

            Selama menunggu masa kelahiran anaknya, dalam doa, Samiun meminta agar buah kelapa yang dijual  laku semua bahkan terlintas harapan darinya mudah-mudahan besok dirinya bisa menggali kubur lagi terutama kubur buat orang-orang China. “Semua rejeki itu untuk membiayai kelahiran anak saya,” demikian doa yang dipanjatkan.

***

            Dengan menggunakan kerudung, Siti Nurjanah pergi bersama Samiun menuju ke langgar, surau, atau masjid kecil. Setiap malam jumat, Kiai Sholeh mengadakan pengajian. Sebab tempat untuk memggelar acara itu tak luas, sementara yang ikut membludak, tak heran bila  jamaah membludak hingga keluar langgar.

Dalam acara itu, biasanya para orangtua membawa anak-anaknya sehingga di saat acara berlangsung, tak jauh dari langgar terlihat anak-anak asyik dengan dunianya sendiri, bermain.

Samiun mengajak Siti Nurjanah pergi ke acara itu selain untuk menyegarkan keimanannya juga untuk menipis isu-isu miring bahwa perempuan yang bersama dirinya itu adalah seorang anggota Gerwani yang menyamar. Tuduhan itu sudah menjadi bisik-bisik para tetangga. Bisik-bisik itu tentu ditepis oleh Samiun. Ia selalu mengatakan bahwa Siti Nurjanah bukan anggota PKI. Ia mengalihkan perhatian dengan menceritakan kalau ada istri orang PKI yang lari ke desa namun itu namanya Sarmini dan perempuan itu sudah ditangkap tentara dan dibawa ke kota.

“Siti Nurjanah istriku itu santriwati,” ujar Samiun pada mereka yang ragu-ragu.

“Buktinya ia tiap malam jumat nyantri pada Kiai Sholeh.”

“Mana mungkin orang PKI nyantri.”

Di setiap pengajian, biasanya Samiun bertemu dengan Nusiron. Sebagai seorang Ketua Ansor Banser di desa, ia selalu duduk di barisan depan. Saat bertemu, Nusiron biasa menyapa Samiun dan menanyakan kabar. Nusiron hanya heran pada pria yang dikenalnya sebagai penggali kubur itu, setelah bersama Siti Nurjanah, kok sering ikut pengajian pada kiai yang dihormati di desa itu. Meski demikian Nusiron tidak mengusik atau menanyakan siapa perempuan itu. Nusiron hanya heran mengapa perempuan secantik itu bisa bersama dengan penggali kubur yang dekil itu.  

***

            Hari demi hari, bulan demi bulan, akhirnya kandungan Siti Nurjanah berusia sembilan bulan. Di masa sembilan bulan, Samiun dan istrinya tengah mempersiapkan diri kelahiran anaknya. Hasil penjualan buah pohon kelapa dan upah menggali kubur digunakan untuk membeli perlengkapan bayi dan memberi upah pada dukun bayi.

            Di saat Siti Nurjanah berada di ruang tengah, tiba-tiba selangkangannya terasa nyeri. Akibat yang demikian, dirinya mengaduh. Aduhan itu diratapkan secara berulang-ulang. Samiun yang sedang berada di dapur mendengar suara Siti Nurjanah. Ia bergegas menuju ruang tengah. Begitu tahu pria yang disebut suaminya itu datang, Siti Nurjanah langsung mengatakan, “mas aku mau melahirkan.”

            Mendengar pengakuan seperti itu, Samiun langsung gugup. “Iya, iya,” jawabnya dengan tergopoh-gopoh.

            “Panggil Mbah Nah dong,” sahut istrinya.

            Mbah Nah adalah dukun bayi di desa itu dan rumahnya kebetulan hanya beberapa meter. “Iya, iya,” jawab Samiun juga dengan tergopoh-gopoh. Pria itu langsung bergegas menuju ke rumah Mbah Nah. Di lintasan menuju ke rumah perempuan berumur 65 tahun itu, dirinya juga mengabarkan kepada para tetangga bahwa istrinya hendak melahirkan. Mendengar kabar itu, ada tetangga langsung meresponnya dengan sumringah. “Yo aku melu seneng, ya saya ikut senang,” ujarnya. “Saya juga akan ke rumahmu sekarang untuk ikut bantu-bantu,” tambahnya.

            Ada pula tetangganya yang merespon dengan mengucapkan sumpah serapah, “anak dari hubungan haram.”

            “Mudah-mudahan anaknya tidak meniru kedua orangtuanya.”

            Samiun terus berjalan menuju ke rumah Mbah Nah. Sampai di rumah yang berdinding bambu dan bertiang kayu itu, pintu yang ada diketuknya. Tak hanya diketuk namun juga mengucapkan kalimat permisi, “kulo nuwun.” Karena tak ada respon, ketukan pintu dan kalimat kulo nuwun diulang-ulang.

            Suara gaduh itu membangunkan Mbah Nah dari tidur lelapnya. Keluar dari kamar sambil memperbaiki jarik yang dipakai, perempuan tua itu menyapa, ”eh kowe to le, o kamu to nak.” Mbah Nah menyapa ramah sebab dirinya sudah akrab dengan Samiun.

            “Ono opo, ada apa?” tanyanya sambil mengambil tembakau, sirih, dan kapur. Ketiga bahan tadi selanjutnya diramu dan dijadikan susur. Susur itu dikunyah-kunyah.

            “Istriku mau melahirkan,” jawab Samiun.

            Mendengar Siti Nurjanah mau melahirkan, Mbah Nah langsung meludah susur, “cueekkkk...”

            “Memang sudah sembilan bulan lebih ya?” tanya perempuan tua itu sambil terus mengunyah-ngunyah susur-nya.

            Samiun mengangguk.

Yo wis rek ngono, ya sudah kalau begitu. Ayo cepet budhal nyang omahmu, ayo cepat pergi ke rumahmu,” ucap Mbah Nah sambil masuk kamar untuk mengambil alat-alat yang diperlukan dalam melakukan persalinan. Setelah alat persalinan itu ditenteng dalam sebuah tas, Mbah Nah dan Samiun bergegas meninggalkan rumah itu. Pintu rumah dikunci dengan gembok yang sederhana. Samiun melihat gembok itu begitu kecil dan rapuh, ”kalau gemboknya segitu gampang dibobol maling,” ujarnya dalam batin.

Mereka melintasi jalan kembali ke rumah Samiun. Di tengah perjalanan, Mbah Nah melihat ada pancuran air bersih. Ia berhenti dan membuang susur-nya. Pada pancuran itu ia membersihkan sisa-sisa susur yang ada sampai mulutnya tak bau kapur.

Samiun merasa senang Mbah Nah membersihkan mulutnya dari susur. Dirinya membayangkan bagaimana saat membantu kelahiran, Mbah Nah masih nyusur, tentu konsentrasinya akan pecah, antara menikmati susur dan mengeluarkan jabang bayi dari rahim. Bila konsentrasinya tak utuh, bisa-bisa apa yang biasa dilakukan sebagai dukun bayi, membahayakan jiwa sang ibu dan anak.

            “Ayo le, ayo nak,” ujar Mbah Nah yang berarti mengajak meneruskan langkahnya.

            Tak lama kemudian tibalah mereka di rumah. Di ruang tengah Siti Nurjanah semakin lemas. Saat melihat suaminya dan Mbah Nah datang, ia merintih, “mbah sudah nggak kuat.” Melihat hal yang demikian, Mbah Nah terbirit mendekati, “tenang ya nduk.” Ia langsung memegang tubuh perempuan itu dan menyarankan untuk rebah.

            Beberapa tetangga pun sudah banyak yang berkerumun di luar rumah. Mbah Nah memanggil salah satu di antara mereka, Nyu Jah, seorang perempuan bertubuh tambun namun gesit dalam bertindak. Nyu Jah dipanggil Mbah Nah untuk membantu proses kelahiran.

            Setelah dalam posisi yang dikehendaki, Mbah Nah selanjutnya melakukan tindakan dan sentuhan tertentu pada perut Siti Nurjanah. Disuruhnya perempuan itu untuk menarik nafas dalam-dalam. Sesekali Mbah Nah meminta tolong pada Nyu Jah dalam proses itu. Tak lama kemudian terdengar suara Siti Nurjanah menjerit, seiring itu pula terdengar suara jerit bayi yang melengking.

Allhamdulillah,” ujar Mbah Nah.

Allhamdulillah,” Nyu Jah pun juga mengatakan hal yang demikian.

Suara lengkingan bayi itu terdengar hingga keluar rumah. Suara orang bersyukur bersahutan di tempat itu. Ada di antara mereka yang saling berpelukan. Samiun sebagai ayah dari anak itu pun bergembira. Pikirannya langsung bertanya, “laki-laki atau perempuan?”

Ia diam dalam pertanyaan itu. “Laki-laki atau perempuan sama saja,” pertanyaan itu dijawab sendiri. Di tengah teka-teki terhadap jenis kelamin anaknya, tiba-tiba Mbah Nah datang menghampiri sambil menggendong anak itu yang dibungkus dengan jarik lurik. “Ini anakmu,” ujarnya.

“Laki-laki atau perempuan?” Samiun bertanya dengan tak sabar.

“Lihat saja sendiri,” jawab Mbah Nah sambil memperlihatkan jenis kelamin anak itu pada Samiun. “Allhamdulillah,” ujar Samiun.

“Ternyata laki-laki. Ini sesuai dengan doa saya.”

“Boleh saya menggendongnya mbah?”

“Boleh saja, ini kan anakmu,” jawab Mbah Nah sambil menyodorkan anak itu padanya. Dengan buru-buru, Samiun meraih anaknya dan membopong. Ia membawa anaknya itu keluar ruang tengah. Di hadapan para warga, bayi mungil itu dipamerkan. Semua warga yang ada mengerubungi dan ingin melihat wajahnya. “Bagus yo,” ujar salah satu warga.

“Kulitnya putih kayak ibunya,” sahut yang lain.

Mendengar hal yang demikian, Samiun hanya tersenyum.

“Terus nama anakmu siapa?” tanya salah seorang di antara mereka. Mendapat pertanyaan itu, Samiun diam. Sepertinya ia belum menemukan nama yang akan disematkan pada anaknya.

***

            Di rumah Samiun pada hari ketujuh kelahiran anaknya penuh dengan orang. Malam itu mereka ingin mensyukuri nikmat atas selamatnya proses persalinan Siti Nurjanah. Malam itu, Samiun menjamu para tamunya. Makanan aneka rupa itu membuat gembira para warga. Kambing dua ekor yang telah beranak, dua-duanya disembelih. Samiun menyembelih dua ekor sebab sekalian melakukan akikah, memotong dua kambing bila anak yang lahir adalah laki-laki. Samiun merasa bahagia sehingga melaksanakan tuntunan agama.

Daging kambing yang digulai dan disate adalah makanan yang jarang mereka santap. Tak heran bila mereka menikmati sekali sajian itu.

Hadir dalam acara itu Mbah Nah, Kiai Sholeh, Nusiron, dan beberapa sesepuh dan toko desa. Para lelaki berkumpul di ruang tengah. Mereka duduk di hamparan tikar yang digelar. Di tengah ada makanan yang berbentuk buceng dengan dikelilingi oleh berbagai makanan dan lalapan, ijoan sayuran. Di ruang tengah itu para lelaki yang mayoritas memakai sarung dan berpeci itu melantunkan ayat-ayat suci. Setelah menderas ayat-ayat suci, Kiai Sholeh memimpin doa. Akhir doa, seluruh yang berada di ruang itu langsung menyahut, “amin,” secara panjang dan serempak.

Wajah berseri dan sumringah setelah acara doa yang panjang itu. Mereka pada meneguk teh manis yang tersaji. Kiai Sholeh tersenyum melihat Samiun yang sibuk mempersilahkan para tamunya untuk menikmati sajian.

“Un,” panggil Kiai Imron padanya.

Mendengar panggilan dari pak kiai, demikian ia biasa disebut, Samiun menoleh. “Ya ada pak kiai,” suara Samiun datar terdengar.

Anakmu jenenge sopo, anakmu namanya siapa?” tanya Kiai Imron sambil mengelus jenggotnya. Mendapat pertanyaan itu, Samiun terperanjat. Dirinya lupa ternyata anak semata wayang itu belum diberi nama. “O, iya, ya,” gumamnya dalam hati. Sepertinya Kiai Sholeh tahu kalau Samiun belum menamakan anaknya itu.

“Kamu belum menamakan anakmu ya?” tanya kiai yang memiliki tanah yang luas itu.

Samiun mengangguk. Kiai itu diam sejenak, sepertinya ia merenung. Selanjutnya ia tersenyum dan berujar, “bagaimana kalau aku beri nama Sobar.” Mendengar nama Sobar, Samiun kaget. Kaget karena senang atau kurang pas, Samiun-lah yang tahu, sebab yang memberi nama adalah pak kiai, ia tidak menolak, takut kalau kualat.

“Ya pak kiai, saya senang dengan pemberian nama itu,” sahut Samiun dengan muka berseri-seri.

“Dengan demikian nama anak saya Sobar.”

Allhamdulillah.”

Perbincangan antara Kiai Sholeh dan Samiun rupanya disimak oleh seluruh pria yang berada di ruang tengah itu. Tak heran bila semuanya juga merasa senang dan langsung mengucapkan rasa syukur. “Allhamdulillah,” ujar mereka serempak.

 

****

Sudah dua tahun Sobar umurnya. Meski dua tahun, tubuh anak itu terlihat bongsor. Saat belum menginjak usia 2 tahun, Sobar terlihat kuat minum susu ibunya. Makanan tambahan yang diberikan pun dilahapnya dengan antusias.

Suatu hari, menjelang maghrib, Siti Nurjanah duduk di ruang tengah. Di sampingnya, Sobar tergeletak tidur. Bayi mungil itu sepertinya terlelap. Hening suasana membekap rumah itu. Semilir angin sore terkadang menggoyangkan daun-daun yang berada di luar. Suasana desa yang sudah sepi bertambah lengang ketika awan hitam mulai terlihat punggungnya.

Tatapan Siti Nurjanah kosong. Wajahnya beku. Dirinya membisu, diam, tak bergerak. Bila tubuhnya mematung, lain halnya dengan jiwanya. Sel-sel pikirannya seolah sedang bertarung kuat. Entah apa yang menyebabkan sel-sel pikirannya itu tersulut.

 “Aku sebenarnya siapa?” sebuah pertanyaan muncul dalam otaknya.

“Siti Nurjanah atau Sarmini?”

“Ibuku Raden Ayu Sulastri dan ayahku Raden Mas Sumoko memberi namaku Sarmini.”

“Aku pun bergelar Raden Ayu Sarmini.”

“Tetapi mengapa aku menjadi Siti Nurjanah?”

Oh tidak.”

“Nama itu bagus tetapi belum masuk dalam hatiku.”

“Apakah karena aku ingin hidup lalu aku harus mengubah nama?”

“Bukankah mengganti nama berarti telah mematikan nama yang lain”

“Sarmini berganti menjadi Siti Nurjanah, dengan demikian apakah Sarmini sudah mati?”

Oh Gusti mengapa ini bisa terjadi.”

Saat sel-sel pikirannya bertarung, tak disadari air matanya berlinang. Pipinya basah dengan tetesan air yang bersumber pada matanya. Tak disadari pula, tubuhnya berguncang dan tangannya mengepal, sepertinya perasaan emosinya meledak kuat dari dalam dirinya.

“Apakah gara-gara aku menikah dengan Mas Pranoto, hidupku menjadi seperti ini?” pertanyaan kembali muncul dalam otaknya.

“Aku dari kalangan priyayi mengapa mereka menuduhku sebagai orang PKI.”

“Aku tak tahu apa-apa, aku hanya ingin sekolah di fakultas kedokteran hingga lulus.”

“Tapi ayahku memaksaku untuk menikah.”

“Aku digadaikan ayahku karena ayahku hartanya habis setelah kalah dalam pemilihan kepala desa.”

“Mungkin kalau Tragedi 65 tak terjadi mungkin cita-citaku itu bisa terwujud.”

“Aku bisa merayu Mas Pranoto untuk mengijinkan aku kuliah di fakultas kedokteran.”

“Mas Pranoto pasti bisa membiayai kuliahku sebab ia orang kaya, penerus juragan beras di desa.”

“Sayang tragedi itu terjadi sehingga membuat aku juga menjadi tertuduh.”

“Aku lari dan bersembunyi agar tidak dijebloskan dalam penjara atau dipenggal mati.”

“Aku dituduh sebagai anggota Gerwani. Apa itu Gerwani?”

Dalam perasaan geram yang membuncah, tangannya tidak sadar memegang gelas yang berada di depannya dan langsung melemparkan ke arah serampangan. “Pyaarrr...” Suara cukup keras itu membangunkan Sobar yang terlelap dalam tidurnya. Seketika terdengar suara tangisan yang melengking. Suara jerit bayi itu sontak menyadarkan Siti Nurjanah yang dalam otaknya sedang terjadi pertarungan sel-sel.

Tubuh Sobar langsung dibopong dan didiamkan, “cup, cup, cup, nak.” Apa yang dikatakan itu untuk menenangkan dan menidurkan kembali bayi yang masih belum tahu apa yang terjadi sesungguhnya pada orang yang melahirkan dirinya.

Mantra untuk menidurkan pada itu rupanya manjur. Sobar terlelap kembali dalam tidurnya. Siti Nurjanah duduk kembali di kursi. Ia menghela nafas, merenung, seketika itu pula sel-sel otaknya kembali bertarung.

“Aku lari menyelamatkan diri saat orang-orang mengepung rumah di mana pria yang disebut suami dan mertuaku tinggal.”

“Mereka bisa menangkap kedua lelaki itu.”

“Tapi mereka tak bisa menangkapku.”

“Aku berlari, berlari, dan terus berlari hingga masuk ke hutan yang tak tahu di mana aku berada.”

“Hingga akhirnya aku bertemu dengan seorang lelaki.”

“Lelaki itu bilang kalau dirinya selepas menggali kubur bagi orang-orang PKI yang dipenggal kepalanya.”

“Ia akhirnya membawa aku ke rumahnya dan menyelamatkan aku.”

Air mata Siti Nurjanah mengalir deras. Ia ingat bagaimana nasibnya bila tidak diselamatkan oleh pria itu. Bila tidak ada pria itu mungkin dirinya masih menggelandang di hutan, itu masih untung. Akan menjadi pedih bila ia ditangkap oleh para pemuda untuk dijebloskan dalam penjara dan atau malah dipenggal lehernya.

“Aku bisa hidup hingga hari ini karena pria yang bernama Samiun. Ia melindungi aku.”

“Mereka menyebut aku Siti Nurjanah biar aku tak dicurigai.”

“Untuk mengucapkan terima kasih, aku pasrah saat ia menjumpai aku di kamar mandi.”

“Padahal aku tidak mencintainya.”

“Aku pura-pura menjadi istrinya agar nyawaku tetap selamat.”

“Hubunganku tidak sah sebab belum ada ijab-qabul.”

Sadar sesaat dari pertarungan sel-sel otaknya, Siti Nurjanah melihat Sobar yang masih terlelap dalam tidurnya. Ditatap tajam bayi mungil itu. Tatapan matanya yang tajam, lamat-lamat pudar hingga pertarungan sel-sel otaknya kembali terjadi.

“Bayi ini sudah berumur 2 tahun,” ujarnya dalam pertarungan sel-sel otak itu.

“Sudah bisa disapih, tak dususui lagi.”

“Maka tugasnya sekarang sudah berakhir.”

“Aku akan menjadi Sarmini.”

“Karena Sarmini sudah mati, maka aku harus mati.”

Salah satu kutub sel otaknya menggerakkan tubuh Sarmini berjalan. Langkahnya kaku seperti manusia yang tak bernyawa. Wajah perempuan itu yang ayu itu menjadi kasar, giginya menyeringai, rambutnya yang biasanya lembut terurai berubah menjadi seperti ijuk.

Langkah kaki kaku satu persatu itu menyusuri lintasaan desa. Sebuah keanehan terjadi, saat gentayangan di desa, langit bertambah gelap, angin terdengar menderu, suara-suara binatang buas bersahutan, tak ada hujan namun terdengar ledakkan halilintar yang memekakan telinga. Tak ada orang yang berpapasan dengan perempuan yang sepertinya sudah berubah menjadi manusia setengah setan.

Pergolakan dalam batin yang begitu sakit, perjalanan hidup yang menistakan dirinya, serta cita-cita yang telah terpenggal, membuat jiwanya kosong. Dalam jiwa yang kosong itulah terisi oleh sebuah sel-sel otak yang penuh dengan kekecewaan yang demikian dahsyat. Sel-sel otak seperti itu membuat dirinya menyukai keputusasaan dan kematian.

Langkah perempuan itu terhenti ketika di depannya jurang menganga. Ia telah berdiri pada sebuah tebing yang tinggi. Dipandang jurang menganga itu dengan tatapan tajam, seperti mata setan. Mata setan itu rupanya melihat di bawah tergambar sebuah taman yang indah, ada sungai mengalir yang jernih, tumbuh ratusan bunga yang beraneka warna, dedaunan pepohonan yang hijau, dan menjulang tinggi sebuah gunung biru. Di taman itu terlihat puluhan anak bermain, bercanda, dan berlarian berkejaran.

Apa yang terjadi di bawah menarik perempuan itu. “Aku ingin pergi ke sana,” ujarnya lirih.

“Aku ingin menikmati hidup dengan damai.”

“Aku akan bermain dengan anak-anak itu untuk melepaskan penat dalam jiwaku.”

Perempuan yang berdiri di tebing itu selanjutnya melangkah, terlihat tubuhnya melayang ringan, dan selanjutnya tertarik gravitasi bumi yang kuat sehingga jatuh ke bawah dengan cepat seperti anak panah yang lepas dari busurnya.

***

Samiun kaget begitu masuk ke dalam rumah. Sobar tengah menangis kencang namun tak ada yang mengurus. “Siti, Siti, Siti,” Samiun memanggil istrinya. Meski diulang-ulang namun tak ada respon. Pria itu langsung menghampiri Sobar dan membopongnya. “Cup, cup, cup nak,” ujarnya. Kalimat yang biasa diucapkan untuk meninabobokan bayi itu rupanya tak manjur. Sobar tetap menjerit-jerit dalam tangisnya.

“Di mana Siti,” gumamnya dalam hati.

“Sepertinya anak ini haus dan lapar.”

Sambil membopong anaknya, berjalan menuju dapur. Di tempat itu Samiun membuat susu. Minuman itulah yang hendak diasupkan kepada anaknya agar berhenti menangis. Istrinya pernah mengatakan bahwa Sobar sudah bisa disapih sehingga bisa diberi minum susu yang dibeli dari toko. Pesan itu yang diingat sehingga dirinya berani membuat asupan dari bukan air susu ibu.

Susu yang sudah matang itu dimasukkan dalam botol yang ditutup dengan dot. Agar tangisnya tak menjadi-jadi maka Samiun langsung menyusupkan dot itu pada mulut Sobar. Setelah dot berada di mulut, tangis bayi itu hilang. Terlihat Sobar dengan kuat menyedot susu yang berada dalam botol.

Dirasa tenang dan tidak menangis, Samiun meletakkan Sobar di kasur kecil yang berada di kursi. Setelah bayi itu tergeletak, ia selanjutntya mencari ke mana istrinya berada. Ia hilir mudik di ruang-ruang yang ada di rumah. Bahkan sampai di kolong tempat tidur. Di kolong tempat tidur, perempuan yang dicarinya itu pernah bersembunyi. “Kok nggak ada ya,” ujarnya dengan kesal.

Samiun tak lelah mencari, ia pergi ke rumah-rumah tetangga untuk mencari apakah istrinya ada di tempat itu. Semua tetangga menggeleng saat ditanya apakah melihat istrinya. Rasa bingung pun menyelimuti. Ia berusaha menenangkan diri. Pulang ke rumah merupakan pilihan. Sesampai di tempat yang setiap hari ia diami, ia meletakkan pantatnya. Sebelum berpikir, nafasnya dihembuskan kuat-kuat. “Ke mana kamu istriku?” gumamnya.

“Apakah diculik oleh para pemuda itu?”

“Bukankah operasi sudah selesai, tapi kok istriku hilang secara mendadak.”

“Apa saya harus menanyakan pada Pak Slamet?”

“Jangan, jangan, saya tidak akan bertanya pada Pak Slamet. Kalau bertanya pada dia, masalahnya bisa menjadi panjang.”

Di tengah berpuluh-puluh pertanyaan itu membuat Samiun bertambah penat. Seharian di pasar untuk berdagang telah membuat pegal dan lunglai tubuhnya. Dirinya merenung, apa yang salah darinya sehingga istrinya pergi entah ke mana. “Apa salah saya,” ujarnya dalam batin. Di saat itu dirinya tak sadar, kantuk menyusup dalam tubuhnya hingga akhirnya ia tertidur dan terlelap.

****

            Pagi hari di desa terjadi kegaduhan yang luar biasa. Para warga berlarian menuju ke jurang. Mereka pada menuju ke sana sebab ada informasi ditemukan sesosok mayat perempuan dengan luka di kepala yang sangat mengenaskan. Informasi pertama disampaikan Kang Sukro. Dari Kang Sukro, informasi itu menular secara cepat ke warga yang lain.

            Kang Sukro menemukan mayat perempuan itu dengan posisi tertelungkup saat dirinya mencari ranting kayu. Setiap pagi ia mencari ranting kayu, patahan pohon, selanjutnya diikat per 10 batang. Ikatan itu kemudian dibawa ke pasar untuk dijual sebagai kayu bakar.

            Begitu melihat sesosok mayat itu, semuanya tercengang, ada yang ngeri melihatnya dan langsung memalingkan muka, ada pula yang biasa-biasa. Decak kata meratap, prihatin, bersedih, muncul dari mulut-mulut orang yang berkerumun di tempat itu.

            “Sebaiknya kita bawa ke balai desa mayat ini,” ujar Kang Sukro.

            “Agar tidak menjadi tontonan.”

            “Ya betul, betul, betul,” sahut yang lain menimpali.

            “Kalau begitu yang lain ambil keranda yang berada di samping masjid,” Kang Sukro memerintahkan kepada warga yang lain untuk mengambil keranda mayat.

            Sambil menunggu keranda datang, Kang Sukro mencari pohon pisang yang tumbuh di tempat itu. Syukur pohon yang dicari itu ditemukan. Sabit yang dibawa segera diayunkan pada daun bisa yang terlibat lebar. Ayunan sabit itu diulang lagi pada daun-daun pisang yang lain dengan ukuran yang sama. Setelah memperoleh empat daun pisang, ia bergegas menuju di mayat sesosok mayat terbujur. Dihampiri mayat itu, empat daun pisang yang berwarna hijau segar tadi lalu diletakkan di atas tubuh yang tak bernafas. Ditutupi agar martabat mayat terjaga.

            Masyarakat berbisik-bisik, siapakah perempuan itu. Terdengar bisikkan yang mengatakan, perempuan itu cantik, apakah ia korban pemerkosaan. Di antara mereka pun saling silang percakapan.

            Keranda mayat akhirnya tiba. Keranda yang dipanggul oleh empat orang itu, selanjutnya diturunkan dari pundak, dilettakan di samping mayat. “Mari kita angkat,” ujar Kang Sukro. Kang Sukro dibantu oleh beberapa orang mengangkat mayat yang berada di atas tanah keras itu dipindahkan ke keranda. Empat daun pisang yang menutupi, lebih dahulu disingkirkan.

            Setelah mayat berada di keranda, kain jarik diselubungkan menutupi keranda. “Mari bapak-bapak, kalau sudah siap kita bawa ke balai desa,” ujar Kang Sukro dengan suara haru. Keempat orang tadi kembali memanggul keranda mayat. Sebelum ada beban, keranda itu terasa ringan namun setelah ada mayat membujur di dalamnya, beban terasa sehingga beberapa orang ikut membantu memanggulnya.

            Keranda itu dibawa ke balai desa melintasi jalan-jalan. Warga lain yang berada di lokasi, membuntuti. Di sepanjang jalan, warga yang rumahnya dilewati, berdiri untuk melihat apa yang terjadi.

***

Kegaduhan pada pagi itu terdengar di telinga Samiun. Mendengar ada sesosok mayat di jurang, Samiun langsung terperanjat. ‘Siapakah dia?” gumamnya dalam hati. Batinnya bertanya, masihkah ada pembantaian sehingga ada mayat yang dijumpai warga. Kalau ada pembantaian mengapa Pak Slamet dan Nusiron tidak menemui dirinya untuk dijadikan sebagai penggali kubur. “Sepertinya ada yang lain,” Samiun kembali bergumam.

Pikirannya tiba-tiba tersontak pada istrinya, “Oh tidak, tidak, tidak mungkin,” ujarnya lirih dengan perasaan yang cemas. Meski perasaannya berusaha menenangkan namun pertanyaannya itu selalu mengusik. Untuk mengetahui siapa sesosok mayat itu, Samiun ingin melihatnya sendiri.

Buru-buru ia pergi ke dapur, memasak air, dan menuangkan susu mentah di botol. Setelah air mendidih, air panas itu dituangkan dalam botol yang berisi susu mentah. Campuran air dan susu itu selanjutnya dikocok-kocok agar larutan itu bercampur. Kocokkan itu menghasilkan sebuah susu siap minum. Susu dalam botol itu ditutup dengan dot.

Samiun membuat susu itu untuk memberi asupan pada anaknya. Setelah sibuk di dapur, dirinya kembali ke ruang tengah. Dilihat, anaknya sudah bangun, ia menggerak-gerakkan kaki dan tangan. Samiun merasa senang sebab anaknya tidak menangis. Dihampiri dan seketika itu pula, dot disusupkan dalam mulut mungil itu.

Mulut mungil bayi itu langsung merespon. Disedotnya kuat-kuat susu yang berada di botol itu. Perasaan nyaman saat melihat anaknya menikmati susu buatannya. Pikirannya kembali penasaran siapa sosok perempuan itu. Keinginan untuk melihat siapa ia kembali hadir. “Tapi bagaimana dengan anak ini?” tanyanya dalam hati.

“Tidak mungkin saya tinggal sendiri.”

Samiun merenung, mau dibagaimanakan anaknya itu. Tiba-tiba ide cerdas muncul dalam otaknya. “Iya, iya, aku titipkan pada Mbah Nah Saja,” ucapnya. Ia segera membopong anak itu. Bergegas kemudian menuju rumah Mbah Nah. Rumah yang tak jauh dari kediamannya itu ditempuh dalam waktu singkat.

Sesampai di rumah Mbah Nah, pintu masih tertutup. Diketuknya pintu kayu itu. Tak ada respon sehingga diulang. Setelah diketuk beberapa kali, terdengar suara orang melangkah. “Krieettt....,” begitu bunyi pintu itu dibuka.

Eh kowe to le, Eh kamu to,” sapa Mbah Nah dengan ramah.  

“Iya mbah,” balas Samiun dengan tersenyum. Setelah berbasa-basi, selanjutnya ia menceritakan apa yang terjadi, mulai dari istrinya yang menghilang hingga mendengar berita ditemukan sesosok mayat di jurang. Untuk itu dirinya ingin menitipkan anaknya agar ada yang menjaga selama dirinya pergi ke balai desa untuk melihat siapa mayat itu.

Mendengar ungkapan itu, sepertinya Mbah Nah merasa prihatin hingga membuatnya mengatakan, “ya nggak papa anakmu dititipkan di sini.”

“Kita masih saudara jadi jangan khawatir pada anakmu selama di pangkuanku.”

“Ya mbah, matur suwun, terima kasih,” balas Samiun.

“Kalau begitu saya jalan ya mbah ke balai desa,” ujarnya sambil menyorongkan anaknya ke Mbah Nah. Setelah anak itu berada dalam bopongan Mbah Nah, Samiun langsung bergegas meninggalkan tempat itu.

***

            Kerumunan orang di balai desa semakin membludak. Warga berdesakkan untuk melihat siapa perempuan itu. Kang Sukro tak senang melihat hal yang demikian, sehingga ia menghardik mereka yang berdesak-desakan hanya untuk melihat apa yang ada di keranda.

            Samiun pun tiba di balai desa. Di tempat itu, ia berjumpa dengan Joyo. “Mas,” sapa Samiun.

            “Hai Un, apa kabarmu?” balas Joyo.

            Samiun tersenyum. “Siapa sesosok mayat itu mas?” tanya Samiun pada Joyo.

            “Wah, saya tidak tahu Un,” jawab Joyo.

            “Tapi menurut orang-orang, mayat perempuan itu ciri-cirinya cantik dan berkulit kuning.”

            Mendengar yang demikian, perasaan Samiun menjadi cemas. Detak jantungnya semakin kuat berdebar-debar. Keringat dingin mulai terasa di leher. “Boleh mas saya melihat mayat itu?” Samiun bertanya Joyo.

            Mendapat pertanyaan itu, Joyo memandang Samiun penuh makna. “Memang ada urusan apa kamu dengan mayat itu?” Joyo sepertinya belum tahu masalah yang dihadapi Samiun. Agar Joyo tahu alasan mengapa dirinya ingin mengetahui siapa mayat itu, ia pun membisiki. “Oh begitu to,” ucap Joyo setelah diceritakan alasan mengapa dirinya ingin melihat siapa mayat itu.

“Kalau begitu tunggu di sini ya, aku hubungi dulu Kang Sukro.”

Joyo meninggalkan Samiun. Joyo mencari Kang Sukro untuk menceritakan kemauan Samiun. Joyo celingak-celinguk di tengah kerumunan, matanya jlalatan untuk menemukan Kang Sukro. Tatapan matanya tersandung di pojok balai desa. Di tempat itu terlihat Kang Sukro sedang berbincang dengan polisi. Sepertinya berita itu sudah didengar polisi sehingga aparat pemerintah itu turun tangan.

Joyo menghampiri Kang Sukro. “Kang,” sapa Joyo.

Sapaan itu menghentikan perbincangan Kang Sukro dengan polisi. Kang Sukro heran mengapa Joyo menghampiri dirinya. “Ada apa Yo?” tanya. Tanpa berlama-lama, Joyo membisiki. “Oh begitu to,” ujar Kang Sukro setelah mendengar bisikkan itu.

Informasi itu tidak dipendam, apa yang didengar itu diteruskan pada polisi yang ada di depannya. Mendengar apa yang disampaikan, polisi itu manggut-manggut.

“Ya sudah mari kita antar Samiun melihat mayat itu,” kata Kang Sukro.

Kang Sukro dan polisi langsung menuju ke keranda, sedang Joyo bergegas ke tempat Samiun berdiri. Setelah berada di hadapan Samiun, Joyo berujar, “ayo, sudah dikasih ijin sama Kang Syukro.”

Kedua orang itu bergegas menuju keranda mayat. Joyo harus menyingkirkan beberapa orang yang merintangi jalan. Kerumunan warga merintangi jalan menuju ke tempat keranda di mana berada.

Sesampai di samping keranda, Kang Sukro dan polisi menyambutnya. Dijabat tangan Samiun. “Biar keinginannmu cepat sampai, saya buka ya tutupnya ya mas,” ucap Kang Sukro pada Samiun. Detak jantung Samiun berdebar-debar, tubuhnya lunglai, wajahnya pucat, keringat dingin mengucur, dan matanya berkunang-kunang. Kejiwaan seperti itu sudah dirasakan meski kain penutup keranda belum dibuka.

Saat penutup keranda itu dibuka, terlihat sessosok mayat membujur, dilihat dari pakaiannya, Samiun hafal pakaian itu namun dirinya belum tahu siapa ia, namun begitu wajah mayat itu tertatap oleh matanya, mata Samiun tiba-tiba gelap pekat.

***

            Angin sejuk yang berasal dari kipas yang terbuat dari anyaman bambu itu membangunkan Samiun. Kipas itu digerak-gerakkan oleh Joyo. Begitu matanya membuka, dirinya melihat beberapa orang mengerumuni. Ingatannya muncul bahwa dirinya siuman dari pingsan yang dialami. Dirinya pingsan melihat istrinya membujur dalam kondisi yang mengenaskan.

            “Oh istriku,” rintihnya lirih.

            “Yo di mana istriku?” Samiun bertanya pada Joyo di mana jenazah istrinya.

            Mendapat pertanyaan itu, Joyo termenung, ditatapnya dengan mata sayu. “Sudahlah mas, jangan dipikirkan dulu. Yang penting Mas Samiun sehat,” kata Joyo setengah menasehati.

            “Aku mencintainya,” ratap Samiun.

            “Tolong antar aku ke samping jenazahnya.”

            Mendengar ungkapan seperti demikian, Joyo jadi trenyuh. Ia memandang orang-orang yang berada di sekitarnya, sepertinya ia meminta pendapat bagaimana sebaiknya. Setelah saling berbisik dengan yang lain, orang lain menyetujui permintaan Samiun, maka Samiun dipapah Joyo, ia di antar ke ruang tengah. Begitu melihat apa yang berada di ruang tengah, Samiun langsung menangis. Di ruang tengah terlihat sebuah keranda mayat yang didalamnya membujur mayat yang sudah terbungkus kain kafan putih bersih.

            Di saat dirinya pingsan, rupanya para tetangga dan saudara mengurus jenazah istrinya, ada yang memandikan dan mengkafani. Di ruang itu juga terdengar suara lantunan orang membaca Surat Yasin. Samiun menangis, dirinya tak bisa ikut memandikan dan mengkafani istrinya. “Maafkan istriku,” ujarnya dengan tersedu.

            Pak Modin menghampiri, “Assalamualaikum,” sapanya. Samiun membalas salam itu,

            “Sabar ya mas, bisa jadi ini sudah menjadi ketentuan Allah,” ucap Pak Modin.

            Mendengar apa yang dituturkan itu, Samiun membisu. Pikirannya bertanya, apa yang menyebabkan istrinya seperti itu.

            “Mas,” ucap Pak Modin.

            Sambil mengusap air matanya, Samiun mengalihkan pandangannya ke pria yang sudah biasa mengurus jenazah itu.

            “Sebentar lagi jenazah hendak dikebumikan sebab saya mendengar para penggali kubur sudah menyelesaikan pembuatan liang lahat,” ungkap pria yang selalu menggunakan peci putih itu.

            “Kalau mas setuju, lebih baik kita berangkatkan sekarang.”

            Mendengar apa yang dikatakan Pak Modin, tangis Samiun menjadi-jadi, dengan keberangkatan menuju makam berarti akan memisahkan istrinya dengan dirinya untuk selama-lamanya. “Pak Modin, ijinkan aku melihat wajah istriku,” ucap Samiun dengan sesunggukkan.

            Pak Modin diam mendengar permintaan itu. Ditarik nafasnya dalam-dalam. “Baiklah mas kalau itu permintaannya,” kata Pak Modin dengan nada datar. Dengan didampingi Joyo, Samiun, dan Pak Modin melangkah menuju ke keranda. Pak Modin memberi kode kepada beberapa orang yang berada di ruang tengah untuk mengangkat tutup keranda.

            Keranda pun terbuka, selanjutnya Pak Modin dengan pelan-pelan membuka ikatan tali yang membungkus tubuh jenazah. Begitu terbuka, Samiun langsung memeluk wajahnya istrinya sambil menangis tersedu-sedu. Suasana di ruang tengah pun menjadi haru bahkan di antara mereka ada yang ikut meneteskan air mata.

            Setelah Pak Modin melihat Samiun sudah menumpahkan semua perasaannya, ia segera mengikat kembali tali-tali kafan. Jenazah kembali terbungkus rapi. Samiun pun dipapah kembali menuju tempat dirinya tadi duduk.

Setelah suasana hening, Pak Modin dengan posisi duduk bersimpuh mengatakan kepada seluruh warga yang berada di ruang tengah bahwa sebentar lagi jenazah akan diberangkatkan ke makam. Untuk itu diharapkan seluruh warga untuk membaca Surat Al Fatihah. Apa yang disampaikan Pak Modin itu langsung disambut warga, mereka langsung membaca surat pembuka itu.

Begitu usai membaca Surat Al Fatihah, semuanya pada berdiri, beberapa orang di antaranya mengangkat keranda itu. Keranda dibawa keluar rumah. Di depan rumah, Pak Modin berdoa kembali agar dalam perjalanan menuju ke pemakaman diberi keselamatan dan dijauhkan dari bala.

Samiun yang masih dalam kondisi lemah pun ingin menghantarkan istrinya ke tempat peristrahatan terakhir. Dengan dipapah  Joyo, Samiun ikut dalam iring-iringan jenazah istrinya. Jalan desa menuju pemakaman itu disusuri hingga akhirnya tiba di Kuburan Bibis.

Samiun tahu bahwa di kuburan itu, ada lubang besar yang digalinya. Di lubang itulah puluhan orang-orang PKI dikubur secara massal setelah dibantai. Bekas lubang kubur yang digali itu ditatapnya. Terlihat tanahnya sudah mengering dan permukaan sudah mulai datar. Batu besar yang diletakkan di tengah masih terlihat kokoh berdiri. Hal demikian menunjukkan bahwa kuburan massal itu belum pernah dijamah orang lagi. Hanya alamlah yang mengusik kuburan itu.

Setelah melewati beberapa makam, iring-iringan pengantar  jenazah berhenti di dekat lubang yang sudah menganga. Di tempat itulah, istri Samiun hendak berdiam diri untuk selama-lamanya. Keranda diturunkan, tutupnya pun dibuka, sehingga terlihat jenazah yang membujur kaku.

Sebelum jenazah itu diturunkan, Pak Modin kembali memimpin doa. Selanjutnya suara adzan dikumandangkan. Usai adzan, saudara-saudara Samiun mengangkat jenazah itu dan disodorkan kepada beberapa orang yang sudah menunggu di dalam lubang kubur. Sebab mayat yang hendak dikebumikan itu adalah perempuan maka kain lebar dibentangkan untuk menutup lubang kubur itu. Itu merupakan hijab yang terakhir.

Oleh orang-orang yang berada di dalam lubang kubur, dengan pelan-pelan, jenazah direbahkan ke liang lahat. Selanjutnya liang lahat yang membujur arah utara-selatan itu ditutup dengan papan kayu. Apa yang dilihat itu membuat Samiun menangis, tubuhnya lemas, suaranya hilang, dan organ-organnya sepertinya tak berfungsi.

Tanpa diperintah, para penggali kubur un langsung memindahkan tanah-tanah yang berada di sekeliling lubang ke dalam lubang. Ayunan cangkul yang memindahkan tanah basah itu lama-lama menutup liang lahat dan lubang kubur. Tanah menggunung setelah semua tanah dipindahkan ke tempat asalnya.

Dua orang pengantar jenazah, selanjutnya menancapkan batu nisan. Di batu nisan tertulis nama Siti Nurjanah lengkap dengan tanggal, bulan, tahun lahir dan kematian. Begitu batu nisan sudah menancap di dua sisi, para pelayat duduk mengelilingi makam itu. Dengan dipimpin oleh Pak Modin mereka semua mendoakan agar jenazah yang sudah berada di di alam lain mendapat perlindungan dari Allah dari siksa kubur.

Usai Pak Modin berdoa, satu persatu para pengantar jenazah meninggalkan tempat itu hingga tinggal Samiun dan Joyo. “Sudahlah mas, mari kita pulang,” ujar Joyo.

“Ini sudah menjadi ketentuan dari Allah.”

Mendengar apa yang dikatakan Joyo, Samiun diam. Dirinya tak menolak saat Joyo memapahnya untuk pulang.

****

            Di depan Polisi dan Kang Sukro, Samiun mengatakan bahwa dirinya tak ada masalah dengan istrinya. “Bahkan kami hidup rukun pak,” ujar Samiun dengan jujur.

‘Saya berani sumpah kami tak ada masalah.”

Samiun mengatakan hal demikian hingga bersumpah-sumpah sebab polisi menginterograsi dirinya terkait kematian istrinya. Berdasarkan penyelidikan, istrinya meninggal dunia karena bunuh diri.

“Lalu apa yang menyebabkan istri anda bunuh diri?” tanya polisi dengan tegas.

Samiun diam. Pikirannya menerawang jauh. Bayangannya muncul bahwa selama ini perempuan yang awalnya bernama Sarmini kemudian berganti Siti Nurjanah itu lebih banyak diamnya. Samiun berpikir mungkin perempuan itu tak mencintai dirinya namun karena keadaan yang terpaksa membuat ia berpura-pura mau menjadi istrinya. Itu dilakukan agar dirinya tidak ditangkap bahkan dibunuh oleh orang-orang yang memburu aktivis PKI dan pendukungnya.

Tak mencintai dirinya terbukti, perempuan itu pernah hendak melarikan diri dari rumah yang didiami. Hanya karena ada kejadian luar biasa, di mana ada orang-orang yang membawa senjata clurit, pedang, dan klewang, yang membuat dirinya mengurungkan rencana pelarian itu.

“Hei, ditanya diam saja,” bentak polisi itu.

Bentakan itu membuat Samiun tersadar dari angan-angan masa lalunya.

“Saya tidak tahu pak,” jawab Samiun dengan datar.

Mendapat pertanyaan yang demikian, polisi itu matanya melotot. Melihat hal yang demikian, Kang Sukro menimpali, “sudahlah pak, mungkin ada faktor lain yang menyebabkan istri Samiun bunuh diri.”

“Dilihat dari tanda-tanda yang ada, hubungan Samiun dan istrinya baik-baik.”

“Di desa ini kadang-kadang terjadi hal-hal yang aneh. Banyak cerita tiba-tiba ada orang mati mendadak dan mengerikan.”

Mendengar ungkapan yang demikian, wajah polisi yang awalnya tegang menjadi datar. Semburat rasa takut ada pada wajah polisi itu. “Oh jadi desa ini desa horror ya,” ujarnya dengan nada gemetar.

“Ya sudah kalau begitu, kita pulang saja,” ujar polisi itu sambil mengeloyor pergi.

Melihat polisi itu pergi, Samiun dan Kang Sukro saling menatap dengan pandangan kosong.

****

Semenjak ditinggal istrinya bunuh diri, Samiun setiap hari hilir mudik ke rumah Mbah Nah. Kepada perempuan itu, dirinya menitipkan anaknya, Sobar, bila sedang pergi ke pasar untuk menjual buah kelapa. Syukur Mbah Nah merasa tidak keberatan mengasuh Sobar.

Meski Mbah Nah suka ria mengasuh anaknya, namun Sobar tetap memikirkan bagaimana sebagaian rejeki yang diperoleh di pasar sebagaian diberikan kepada Mbah Nah, selain untuk merawat anaknya jauga sebagai uang kopi, demikian istilah di desa itu untuk memberi upah kepada orang lain.

Di rumah itu, Mbah Nah tidak sendiri, ada Juwok yang setiap hari membantu dirinya untuk membersihkan rumah dan menyediakan makanan dan minuman. Juwok adalah perempuan pucuk gunung yang sudah ikut dengannya sejak lama. Ia ikut Mbah Nah agar bisa dapat makan dan minum. Bila ada rejeki lebih, Juwok sering diberi uang. Recehan atau lembar uang yang diterima dikumpulkan dan bila lebaran ia pakai untuk pulang.

Di tangan Juwok-lah sebenarnya Sobar setiap hari digendong, disuapi, dan diberi minum susu. Meski demikian, Mbah Nah-lah yang mengarahkan Juwok bagaimana merawat Sobar dengan baik dan benar.

***

Kepergian Siti Nurjanah atau Sarmini, rupanya masih menyisakan kepedihan bagi Samiun. Laki-laki itu sangat mencintainya. Betapa tidak mencintai sebab ia adalah seorang perempuan yang cantik, berkulit kuning, dan berambut panjang. Kecantikan yang demikian membuat banyak laki-laki desa, baik yang lajang atau yang sudah punyai istri, iri kepada Samiun. Mereka bertanya mengapa Samiun yang menurut warga desa wajahnya pas-pasan bisa memiliki istri yang demikian.

“Aku heran pada Samiun,” ujar Prayitno di pos ronda pada sebuah tengah malam. Prayitno adalah guru olahraga di sebuah sekolah di desa itu.

“Wajah dia pas-pasan namun istrinya cantik luar biasa.”

“Dari mana dia dapat istri secantik itu.”

Mendengar hal yang demikian, lelaki yang lain sepertinya mengiyakan. “Iya mas, betul pendapat sampeyan,” ujar yang lain.

“Tetapi saya lihat, istrinya itu tertutup,” ujar Suwito.

“Kalau bertemu orang, ia merunduk dan menyembunyikan diri.”

“Mengapa ia seperti itu?”

Apa yang diungkapkan itu membuat semuanya menjadi penasaran. Mereka sepertinya hendak menjawab teka-teki dari sikap istri Samiun yang demikian. Bogel yang dari tadi diam, tiba-tiba beranjak dari duduknya, lalu bangkit dan mendekati para lelaki yang begadang itu.

“Begini, konco-koncoku, teman-temanku,” kata Bogel sambil membenahi sarungnya.

“Pak Slamet, Babinsa yang ada di desa ini, pernah mengatakan ada seorang Gerwani yang lari di desa ini.”

“Gerwani itu menyusup ke rumah penduduk.”

“Ciri-cirinya disebut cantik, berkulit kuning, dan rambut terurai panjang.”

“Bisa saja istri Samiun itu anggota Gerwani.”

Mendengar apa yang dikatakan Bogel, ada yang terperanjat, ada pula yang wajar-wajar saja. Prayitno malah santai menanggapi apa yang diungkapkan Bogel.

“Maupun Gerwani, Gerwano, atau ger-geran, bagi saya nggak masalah,” ujar Prayitno.

“Kalau cantik, apapun asal-usulnya nggak masalah bagi aku.”

“Kalau ia jadi janda, aku langsung melamarnya.”

Mendengar apa yang dikatakan Prayitno, semua tertawa. Bahkan ada yang menimpali, “aku juga mau melamarnya.”

“Huss... jangan sembarangan,” hardik Bogel.

Hardikan pria yang dijuluki dasomuko itu membuat semuanya diam.

“Enak saja kamu mau melamarnya,” ujar Bogel dengan bersungut-sungut.

“Kalau kamu menjadi suaminya, kamu bisa ikut digaruk, dibawa ke sebuah tempat, dan dipenggal kepalamu.”

“Dia orang PKI. Kalau kamu bersama dia, kamu juga PKI.”

Ancaman Bogel membuat semuanya diam membeku.

Telinga Samiun tak tuli. Ia mendengar semua hal itu. Mulai dari istrinya disebut anggota Gerwani sampai istrinya cantik dan banyak yang menaruh pada hatinya. Menanggapi hal yang demikian, Samiun diam tak mau menanggapi. Ia terus membantah kalau istrinya anggota Gerwani. Ia menyebut istrinya dari kalangan priyayi-santri. “Ia masih berdarah biru dan keluarganya sudah naik haji,” ujarnya berulangkali setiap menjelaskan siapa dirinya.

Di saat para lelaki pada melirik istrinya, Samiun bersyukur, kalau istrinya menutup diri dan menghindari pandangan orang. Istrinya bisa jadi selalu waspada dan berusaha menjaga diri. Bila ada sorot mata yang kenal dirinya, bisa-bisa ia ditangkap dan dijebloskan penjara bahkan dibunuh. Untuk menyembunyikan dirinya itulah maka istrinya selalu menundukkan mukanya dan terkadang menutupi dengan kerudung.

Kepergian istrinya membuat jiwa Samiun labil. Suatu hari ia pernah mendatangi sebuah pohon besar di hutan. Di tempat itulah dirinya pertama kali melihat tangan yang melambai-lambai. Tangan itu memberi kode seakan-akan meminta tolong. Samiun yang kebetulan berada di sekitar pohon itu dengan mengendap-endap menghampiri. Begitu perempuan di balik pohon itu dipergoki, dirinya terperanjat sebab sesosok perempuan cantik.

Dari pertemuan itulah akhirnya ia menjadi istri Samiun. Kenangan di pohon itulah yang membuat ia mendatangi tempat itu. Di bawah pohon, angan-angan Samiun melambung entah ke mana, yang pasti dalam angan-angan itu ada istrinya yang ia cintai.

***

Hari demi hari, usia Sobar bertambah. Anak itu tumbuh dengan normal. Sehingga ia bisa berkumpul dan bermain dengan anak-anak yang lain tanpa merasa kesulitan. Setelah duduk di bangku sekolah dasar, SD, Samiun menyekolahkan anaknya itu di sebuah sekolah menengah pertama, SMP. Di sekolah itu, Sobar mempunyai teman yang lebih banyak dan tidak hanya dari satu desa namun satu kabupaten.

Pertama kali sekolah di SMP, Sobar merasa kikuk dan bingung sebab muka-muka baru dihadapannya. Perasaan takut, was-was, dan malu bercampur aduk semuanya. Tak heran Sobar lebih banyak diam menyembunyikan diri. Di saat teman-temannya, bercanda, ia memilih bungkam. Dengan sikap diamnya itu malah membuat dirinya mengerti karakter masing-masing temannya di sekolah, ada yang sok jago, ada yang sombong, ada yang merasa paling pintar, ada juga yang seperti dirinya.

Sebagai sekolah yang mempunyai nama, memang banyak orangtua yang ingin menyekolahkan anaknya menempuh pendidikan di tempat itu namun yang membuat jengkel Samiun sebagai orangtua, sekolah itu sedikit sedikit menarik uang, dengan alasan untuk biaya seragam, buku pelajaran, praktikum, dan lain sebagainya. Bahkan untuk seragam, mulai dari kaos kaki, ikat pinggang, topi, dasi, tanda-tanda tingkatan, semua dikoordinasi oleh sekolah. Akibat yang demikian, biaya yang harus disetor ke sekolah tentu tidak sedikit. 

Bagi orangtua kaya, tarikan uang sebesar itu mungkin tidak menjadi masalah. Lain halnya bagi Samiun, sebagai penjual buah kelapa dan sebagai penggali kubur tentu hal demikian memberatkan dirinya.

“Gimana saya bisa membayar semua tagihan dari sekolah sebesar itu?” ujar Samiun ketika melihat lembaran dari sekolah yang merincikan biaya yang harus ditanggung para wali murid. “Baru bisa dibayar separuh kalau buah kelapa terjual semua,” ujarnya dengan jengkel.

“Kalau mau lunas, sehari harus ada dua orang mati.”

Tak sadar karena jengkel, Samiun mengatakan yang demikian. Sebuah kalimat yang tak pantas mendoakan ada orang mati setiap hari. Ia mengatakan demikian sebab dari upah menggali kubur buat tempat orang meninggal dunia bisa menambah penghasilan dirinya.

Biasanya, Samiun mendengar orang meninggal dari para warga. Setelah mendengar kabar ada orang meninggal ia pergi ke kuburan. Dengan duduk-duduk di pintu gerbang kuburan, pihak keluarga yang meninggal akan menghampiri dirinya untuk meminta tolong membuatkan liang lahat. Selepas acara pemakaman, biasanya para keluarga akan menyodorkan amplop yang berisi uang.

Samiun senang bila ada orang-orang di Pecinan meninggal dunia. Sebab dari menggali kubur orang-orang Pecinan, upahnya lebih tinggi dan lebih banyak. Untuk mengetahui orang Pecinan meninggal, biasanya dirinya suka-jalan-jalan di daerah itu. Bila di daerah Pecinan ada yang meninggal, ia langsung menawarkan diri sebagai penggali kubur. Tawaran yang diajukan, biasanya tak pernah ditolak sebab dalam kondisi kalut dan sedih, biasanya pihak keluarga langsung mengiyakan orang-orang yang menawarkan jasa pengurusan jenazah.

Ia bisa menawarkan jasanya sebab proses pemakamannya berbeda, bila warga sekitarnya meninggal langsung dimakamkan, lain dengan orang Pecinan, proses dari meninggal hingga pemakaman bisa memerlukan waktu 2 sampai 3 hari.

***

Pagi hari di sekolah Sobar terjadi kegaduhan, masing-masing anak bercerita dengan versi masing-masing. Apa yang diceritakan? Kematian Dewi. Dewi adalah salah seorang siswi sekolah itu. Sebuah nasib yang tragis, sepulang less privat bahasa Inggris, Dewi yang mengendarai sepeda tertabrak sebuah mobil yang melaju dari arah yang berlawanan.

Kejadian itu lebih mencekam dan menakutkan sebab terjadi menjelang maghrib di sebuah jembatan tua peninggalan Belanda. Pergantian dari sore ke malam, maghrib, dipercayai masyarakat sebagai sebuah waktu yang perlu mengumandangkan doa sebab pada hari itu diyakini, setan-setan mulai gentayangan.

Cerita dari masing-masing anak itu bumbunya mungkin bertambah renyah sebab pengemudi mobil yang menghempaskan Dewi bersama sepeda mininya itu adalah Pak Soemardi. Pak Soemardi adalah orangtua Dona dan Doni, anak kembar yang juga sekolah di SMP itu, seangkatan dengan Sobar dan Dewi.

Meninggalnya Dewi tentu membuat teman-teman dan pihak sekolah merasa kehilangan. Untuk menunjukkan rasa duka cita, seluruh siswa yang seangkatan dengan Dewi diharapkan melayat bersama. Selepas jam 11.00 siang, ratusan siswa berduyun-duyun menuju ke rumah Dewi dengan naik sepeda. Mereka ada yang berboncengan, ada pula yang sendiri-sendiri.

Sobar saat itu naik sepeda, berboncengan dengan Sukat. Mereka mengayuh sepeda pancal itu bergantian. Rumah Dewi dari sekolah itu lumayan jauh sehingga semua yang menuju ke sana harus mengeluarkan tenaga ekstra.

Setelah keringat bercucuran, sampailah Sobar, Sukat, dan beberapa temannya  tiba di rumah Dewi. Setelah memparkir sepedanya, mereka menuju rumah duka. Belum tiba di rumah duka, dirinya sudah disambut oleh beberapa pemuda. Mereka menyodorkan makanan dan minuman. Tradisi di kampung, meski pihak keluarga dalam keadaan duka, namun mereka tetap menjamu para pelayat.

Santapan, makanan dan minuman, yang diterima oleh Sobar, Sukat, dan yang lain itu tentu menggiurkan mereka sebab perut dan leher sepertinya perlu diisi dan dibilas. Mereka mencari tempat duduk, di sebuah pojok rumah. Di tempat itulah mereka mengunyah makanan yang disodorkan oleh beberapa pemuda tadi.

Di tengah menikmati makanan yang terdiri dari nasi putih, daging ayam, tempe yang diracik, mie, dan sayuran, ratusan temannya yang lain datang. Ratusan temannya itu langsung menyeruak di depan dan samping rumah duka. Mereka datang belakangan bisa jadi mereka santai dalam mengayuh sepeda.

Seiring kedatangan ratusan teman yang melayat ke rumah Dewi, pihak keluarga berkehendak segera mempercepat proses pemakaman. Tak lama kemudian, dari rumah duka keluar keranda mayat yang diselimuti kain hijau yang bertuliskan huruf arab yang lafadz-nya berbunyi Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Keluarnya keranda dari rumah duka membuat suasana menjadi haru. Banyak di antara mereka sedih sebab Dewi adalah anak yang baik dan ramah.

Setelah didoakan oleh Pak Modin, keranda itu langsung diusung menuju ke kuburan. Para pelayat, langsung mengiringi jenazah itu. Di sepanjang jalan, lantunan doa dikumandangkan tak putus-putusnya. Iring-iringan pembawa jenazah itu menyusuri jalan desa, ladang, sawah, dan kebun dilalui.

Dari kejauhan, kuburan itu sudah terlihat. Kuburan itu berpagar pohon hidup, di tengahnya tumbuh pohon besar. Di area itu puluhan orang tengah duduk berkerumun. Mereka menunggu jenazah yang hendak dimakamkan. Lubang kubur itu digali oleh para warga yang sejak tadi pagi berada di tempat itu. Di lubang kubur itulah yang akan menjadi tempat peristirahatan untuk selamanya buat Dewi.

Iring-iringan pembawa jenazah pun memasuki kuburan itu. Setelah melewati beberapa makam, keranda itu tiba di dekat lubang kubur. Selanjutnya diturunkan tepat di sampingnya. Isak tangis terdengar di tengah ratusan orang. Mereka adalah keluarga Dewi. Mereka menangis sebab sebentar lagi akan berpisah untuk selama-lamanya.

Setelah keranda teronggok di samping lubang kubur, kain warna hijau yang menyelimuti dibuka. Begitu tersingkap, sesosok mayat membujur dengan diselimuti kain kaffan putih bersih. Pak Modin pun membacakan doa agar jenazah, ahli kubur, diberi keselamatan selama berada di alam yang baru, alam setelah dunia.

Pak Modin pun meminta para pelayat untuk membaca Surat Yassin dan Al Fatihah. Suara dengung terdengar saat para pelayat membaca doa-doa itu. Begitu doa selesai diucapkan dari ratusan mulut, tiba-tiba terdengar suara adzan. Adzan dikumandangkan untuk mengantarkan jenazah dimasukkan ke liang lahat.

Usai adzan, beberapa orang langsung membopong mayat itu. Sebab mayat itu perempuan, maka di atas lubang kubur dibentangkan kain untuk menutupi. Kain itu merupakan hijab terakhir kalinya buat sang mayat perempuan. Di lubang kubur sudah ada beberapa orang. Mayat itu selanjutnya disodorkan kepada orang yang berada di lubang kubur dan oleh mereka secara perlahan direbahkan secara perlahan-lahan dalam liang lahat. Liang lahat itu selanjutnya ditutup dengan papan kayu. Begitu liang lahat tertutup papan kayu, orang-orang yang berada di lubang kubur naik ke atas.

Para penggali kubur langsung mengayunkan cangkulnya untuk memindahkan tanah yang berada di sekitarnya masuk ke lubang kubur. Secara perlahan tanah mulai menguruk lubang itu. Sobar berada di tepi kubur itu. Salah seorang penggali kubur tahu ada anak Samiun sang penggali kubur berada tak jauh darinya. Penggali kubur itu langsung menyapa, “Bar ayo bantu.” Sobar terperanjat disapa oleh salah satu penggali kubur. Dirinya berpikir siapa orang itu kok hafal dengan dirinya.

“Kamu anaknya Samiun to,” ujar penggali kubur itu sekali lagi,

Sobar secara reflek mengangguk mengatakan iya.

“Bapakmu itu temanku,” penggali kubur itu menjelaskan.

“Sudah ayo bantu menguruk lubang kubur temanmu ini.”

Di tengah rasa malu sebab berada di antara teman-temannya, Sobar mengambil cangkul yang tergeletak di sampingnya. Setelah dipegang, cangkul itu diayunkan ke tanah dan digerakkan ke lubang kubur sehingga memindahkan tanah itu menuju ke dalam. Setelah sekian waktu, akhirnya lubang kubur itu sudah tertutup tanah. Sebuah gundukkan tanah terbentuk di atasnya.

Ketika penimbunan selesai, dua batu nisan ditancapkan di atasnya. Salah satu nisan tertulis dengan jelas nama Dewi serta tanggal lahir dan kematiannya. Begitu batu nisan menancap di gundukan tanah itu, semua duduk melingkar dan Pak Modin pun memimpin doa. Pak Modin memimpin doa dan para pelayat mengamini. Akhir doa semua mengamini dengan panjang dan serempak. Selepas itu, para pelayat meninggalkan tempat.

Sobar yang tangan dan kakiknya terkena tanah basah, juga segera meninggalkan tempat itu. Ia mencari sumur untuk membersihkan tangan dan kaki dari tanah basah yang melekat padanya. Untung tak jauh dari kuburan itu ada rumah penduduk. Ia mendatangi sumur yang ada, “mbah numpang ke sumur buat cuci tangan dan kaki ya,” ujar Sobar pada seorang kakek yang duduk di rumah. Kakek itu sepertinya diam, mungkin pendengarannya kurang. Di tengah ragu-ragu karena belum diberi ijin, tiba-tiba ada suara keluar, “o yo le, o ya mas, silahkan.”

Tak lama kemudian dari rumah itu muncul pria paruh baya. Ia tersenyum dan mempersilahkan Sobar menimba air untuk membersihkan tangan dan kakinya dari kotaran tanah. Ia menimba air. Setelah air yang berada di dalam sumur yang dalam itu berhasil diangkat, air itu diguyurkan ke kaki dan tangan. Air melimpah membasuh semuanya.

Usai membersihkan kaki dan tangan, Sobar mengucapkan terima kasih dan pamit kepada pemilik sumur. Ia meninggalkan tempat itu. Di pintu masuk halaman rumah pemilik sumur, Sobar berpapasan dengan penggali kubur yang tadi menyapa dirinya. Sepertinya ia hendak melakukan hal yang sama, membersihkan tubuh dari kotaran tanah.

“Hai, piye kabarmu,” sapanya.

“Bapakmu sehat kan?”

Ditakoni ojo mlongo ae, ditanya jangan bengong saja.”

Penggali kubur itu sepertinya jengkel pada Sobar sebab saat ditanya ia hanya diam. Penggali kubur itu tiba-tiba tersenyum. Ia sadar, bisa jadi memang Sobar belum kenal dengan dirinya sehingga membuat Sobar bingung.

Gini lo le, begini lho,” ia sepertinya mulai menerangkan.

“Nama saya Gino.”

“Saya teman bapakmu yang suka menggali kubur di ngebong, kuburan China.”

“Aku dulu tahu kamu saat kamu masih SD.”

Dadi awakmu mungkin lali, jadi mungkin kamu lupa.”

“Beberapa bulan ini saja aku nggak ketemu bapakmu sebab aku sibuk ngurus kambing di rumah.”

“Bapakmu masih jadi penggali kubur to?”

Setelah mendengar penjelasan itu, Sobar jadi paham siapa pria yang menyapa dirinya ramah itu.  “Oh Mas Gino to,” ujar Sobar dengan tersenyum.

“Ya mas, bapak masih jadi penggali kubur selain masih jualan buah pohon kelapa.”

“Sudah ya mas kalau begitu, aku buru-buru pulang sudah ditunggu Sukat.”

Mendengar Sobar hendak pergi, Gino langsung berujar, “sik-sik le, bentar-bentar.”

Iki aku sangoni, ini saya beri bekal,” ujarnya sambil menyodorkan beberapa lembar uang ke tangan Sobar. Mendapat uang, tentu Sobar seneng. “Matur suwun mas, terima kasih,” ucapnya sambil sumringah.

“Sudah mas, aku jalan ya,” ucapnya sambil ngeloyor.

Yo le, ati-ati, ya hati-hati ya,’ balas Gino.

****

Waktu terus berjalan, Sobar pun beranjak remaja. Sebagai anak piatu, dirinya bisa tumbuh berkembang sebagai mana anak lainnya. Di saat sendiri saja kadang Sobar berpikir mengapa dirinya tidak mempunyai ibu seperti anak-anak lainnya. Dirinya pernah bertanya pada ayahnya, Samiun, mengapa dirinya tidak mempunyai ibu. Mendapat pertanyaan seperti itu, ayahnya sudah menjelaskan bahwa ibunya meninggal saat dirinya masih kecil.

Jawaban itu sepertinya sudah membuat Sobar paham. Samiun merasa lega sebab anaknya tidak bertanya lebih jauh apa penyebab ibunya meninggal. “Sudahlah nggak usah dipikirkan, yang penting ada bapak,” tutur Samiun pada Sobar setiap menjelaskan soal ibunya.

Sebagai orangtua, Samiun ingin menyekolahkan anaknya sekuat tenaga. Saat ini Sobar sudah duduk di bangku sekolah menengah atas, SMA. Capaian yang demikian merupakan capaian yang bagus untuk di kalangan masyarakat desa, sebab banyak anak-anak selepas SMP mereka tidak melanjutkan sekolah. Tenaganya dibutuhkan orangtuanya untuk membantu di ladang, kebun, dan sawah.

Sebagai anak SMA, sekarang Sobar sudah bisa mengatur dirinya. Hal demikian membuat Samiun tak perlu dipusingkan seperti pada saat dirinya masih kecil yang harus dititipkan pada Mbah Nah. Sobar bahkan sering ikut membantu pekerjaan Samiun dan mempersiapkan kebutuhan sehari-hari.

Ayo le, ayo nak, ikut bapak,’ ujar Samiun pada Sobar pada sebuah siang.

“Ke mana pak?” tanya Sobar.

“Ke kuburan menggali liang lahat,” jawab Samiun.

“Bapak mengajak kamu sebab penggali kubur satunya nggak bisa. Tangannya katanya kesleo.”

Sobar anak yang baik, ia tahu perjuangan ayahnya yang membiayai dirinya untuk sekolah. Untuk itu dirinya tak mau membantah perintah orangtuanya. Ia mengiyakan ajakan itu. “Iya pak,” ujar Sobar dengan pelan. Setelah Sobar tak merasa keberatan, dua orang itu pergi ke kuburan. Di pundak keduanya terpanggul cangkul. Di tangan kanan Samiun memegang sabit, sedang di tangan kiri Sobar membawa linggis. Alat-alat itulah yang akan digunakan untuk menggali tanah di pemakaman untuk dijadikan lubang kubur.

Pada hari itu, Pak Atmo meninggal dunia. Dulunya ia adalah kepala sekolah swasta. Sekolah swasta yang dikelolanya cukup maju. Berbagai prestasi di tingkat kabupaten diraih. Setelah dirinya pensiun, dirinya diganti oleh anaknya.

Menurut kabar, Pak Atmo meninggal dunia karena penyakit gula. Penyakit itu dideritanya sudah sejak lama. Setelah opname di rumah sakit selama dua bulan, akhirnya nyawanya tak tertolong.

Sesampai di kuburan, sudah ada dua penggali kubur lainnya. Empat orang dianggap oleh Samiun sebagai jumlah yang ideal. Kalau hanya dirinya dan Sobar tentu dirasa berat dan memakan waktu yang lama. Dalam menggali kubur, memang di antara penggali kubur saling memberitahu dan bila ada permintaan penggalian akan dikerjakan bersama-sama. Upah yang didapat akan dibagi secara adil.

Pada hari itu, para penggali kubur merasa senang sebab tanah yang digali terasa ringan sebab hujan tadi malam yang mengguyur membuat tanah menjadi lembek sehingga membuat tenaga yang dihempaskan tidak terlalu ngoyo. Tanah yang lembek membuat proses pembuatan lubang kubur dan liang lahat cepat selesai.

Setelah setengah jam penggalian lubang kubur selesai, jenazah Pak Atmo tiba. Proses pemakamannya pun lancar. Rintik-rintik hujan yang turun tak mengganggu proses pembumian jenazah itu.

Sebelum keluarga Pak Atmo meninggalkan peristirahatan terakhirnya, salah seseorang menghampiri Samiun. Dengan sembunyi-sembunyi ia menyelipkan segepok uang. Cara sembunyi-sembunyi merupakan cara yang sopan sebab kalau diberi secara vulgar, di depan mata banyak orang, hal demikian dirasa tak elok. “Terima kasih mas,” ujar Samiun pada orang itu.

“Sama-sama,” ujar pria yang sepertinya anaknya Pak Atmo.

Setelah semuanya meninggalkan tempat itu, kecuali Samiun, Sobar, dan dua penggali kubur lainnya, mereka berempat menuju ke balik pohon besar. Di balik pohon itu mereka membagi uang secara adil. Semuanya merasa senang.

“Sudah ya kang kalau begitu, aku pulang,” ujar salah satu di antara dua penggali kubur itu.

“Ya mas, sama-sama, nanti kalau ada rejeki lagi, kita bagi-bagi,” sahut Samiun.

Meski anaknya sendiri, Samiun tetap membagikan rejeki yang ada juga kepada Sobar. Apa yang dilakukan itu sebagai bentuk menghargai kerja orang lain. Mendapat beberapa lembar uang, Sobar kikuk.  “Nggak usah, nggak usah pak,” ujarnya sambil menyorongkan kembali uang itu. Sobar menolak bisa jadi dilandasi alasan bahwa orangtuanya sudah susah bekerja keras untuk dirinya sehingga tak elok bila menerima uang itu.

“Sudahlah, terima saja, buat pegangan kamu,” ujar Samiun.

Sobar terdiam, dirinya berpikir apa yang dikatakan orangtuanya itu benar. Diakui bahwa di sekolah banyak kegiatan yang  terkadang membutuhkan uang untuk bisa ikut acara-acara itu. “Oh matur suwun, terima kasih, pak kalau begitu,” ucap Sobar.

****

            Semua berteriak girang saat ada pengumuman bahwa pada hari sabtu-minggu ada kegiatang Persami, perkemahan sabtu-minggu, ke Telaga Biru. Telaga Biru adalah sebuah tempat wisata yang jaraknya dari sekolah Sobar sekitar 30 km. Tempat itu merupakan wahana wisata alam di mana danau yang luas terhampar, dikelilingi oleh hutan cemara.

Setiap hari libur, orang ramai mengunjungi. Selain untuk melepas lelah dengan menikmati indahnya alam dan sejuknya hawa pegunungan, juga untuk merasakan lezatnya gurame dan nila bakar.

            Sobar dan teman-temannya ikut dalam Persami itu. Mereka termasuk siswa yang gemar terlibat dalam acara yang berbau alam dan lingkungan. Untuk itu, acara yang jarang-jarang digelar itu akan diikuti.

“Kapan kamu daftar acara itu,” tanya Rudi pada Sobar yang tengah ngaso di bawah pohon.

“Selepas jam sekolah,” balas Sobar.

“Memang kamu juga mau ikut?”

“Ya,” jawab Rudi dengan singkat.

“Sepertinya yang mau ikut banyak.”

“Saya juga ikut sebab Lucia ikut,” ujar Rahmad.

Mendengar apa yang dikatakan Rahmad, mereka yang berada di bawah pohon itu langsung berseru, “huuuu......”

“Cewek saja yang dipikir,” ujar Bagong bersungut-sungut.

Di tengah perbincangan itu, tiba-tiba terdengar dentangan besi yang dipukul berulangkali, “teng, teng, teng, teng....” Suara itu memekakkan telinga. Suara itu menandakan jam ngaso sudah selesai dan mereka harus kembali ke kelas untuk mengikuti jam pelajaran selanjutnya.

Sobar dan yang lain berhambur menuju kelas. Di dalam kelas, teman-temannya yang lain sudah duduk manis. Setelah semua masuk, tak lama kemudian guru matematika, Pak Toti, datang. Kehadiran Pak Toti ke kelas, sikap masing-masing siswa beragam, ada yang suka, ada yang biasa-biasa, ada pula yang benci. Guru itu dianggap oleh banyak siswa terbilang sok, merasa paling hebat. Tak hanya itu, ia sering mencari perhatian pada muridnya sendiri. Kesalahan kecil dari siswa dibesar-besarkan. Dalam mencari perhatian itulah, Pak Toti menghukum semuanya padahal masalah itu tak ada hubungannya dengan pelajaran yang diberikan.

Sobar sendiri sebenarnya tak masalah dengan pola pengajaran Pak Toti namun dirinya berharap agar waktu cepat berlalu bila ia memberi pelajaran. Suasana terasa membosankan bila Pak Toti berada di depan kelas.

Setelah guru matematika itu bercuap-cuap dengan teorinya, dentang besi yang dipukul terdengar kembali. Mendengar suara yang menusuk di gendang telinga itu secara serentak, semuanya berteriak, “horeee....” Mendengar jeritan bahagai itu, Pak Toti tersenyum kecut. Dalam hatinya, ia bergumam, “kayak nonton bioskop saja.”

Dengan muka kecut, guru itu meninggalkan kelas. Serta merta, seluruh yang ada di ruangan menghambur keluar seperti air keluar dari bendungan jebol. Akibat yang demikian mereka ada yang bersenggolan. Lucia yang sedang berjalan pun tersenggol oleh Sobar. Sobar merasakan empuk tubuh gadis paling cantik di sekolah itu.

“Maaf, maaf, maaf,” ujar Sobar dengan sedikit mengiba.

Lucia hanya diam. Sorot matanya tajam. Terlihat meski ia marah namun kecantikannya tak pudar malah bertambah. “Makanya hati-hati,” ujarnya dengan sewot.

Rahmad yang memperhatikan kejadian itu selanjutnya mendekati Sobar, “gila kamu Bar, dapat rejeki,” ujarnya dengan muka masam. Sobar hanya tersenyum. Ia terus melangkah meninggalkan ruangan itu menuju ke ruang Pramuka. Di tempat itulah pendaftaran buat mereka yang ingin ikut Persami. Terlihat sudah banyak siswa mengantri untuk mendaftarkan diri. Di kerumunan pendaftar, Sobar melihat Lucia bersama Rahmi, Nita, dan Sopia. Sobar berpikir, hebat juga itu cewek-cewek cantik pada ikut.

Di saat terpesona melihat mereka, pundak Sobar ditepuk Rahmad. “Hai,” ujarnya sambil menepuk pundak Sobar. Apa yang dilakukan itu membuat Sobar terperanjat. “Bikin kaget saja,” ujarnya dengan bersungut-sungut. Rahmad tertawa melihat hal yang demikian. “Makanya jangan melihat cewek cantik saja,” ucap Rahmad yang masih tertawa.

“Kamu sudah daftar?” laki-laki itu bertanya.

“Ini baru mau,” sahut Sobar.

“Ya sudah kita bareng saja,” Rahmad menimpali.

Mereka masuk dalam antrian. Satu persatu mereka yang ingin ikut Persami dilayani dan dicatat secara resmi sebagai peserta. Syarat yang diminta bisa dipenuhi oleh Sobar. Uang pendaftaran yang tertera bisa dibayar lunas. “Syukur kemarin ada orang mati sehingga orangtua bisa menggali kubur dan mendapat upah,” Sobar mengatakan demikian tanpa sadar.

***

Di halaman sekolah, puluhan siswa dengan seragam Pramuka berbaris rapi. Mereka mengikuti apel untuk upacara pemberangkatan ke Telaga Biru. Acara itu sepertinya acara istimewa sebab dilepas langsung oleh Kepala Sekolah.

Setelah semua barisan disiapkan oleh komandan upacara, Kepala Sekolah melangkah ke tengah lapangan. Saluran pengeras suara berada di depan mulutnya. Selepas komandan upacara melantangkan agar barisan istirahat di tempat, Kepala Sekolah mulai memberi sambutan. “Salam Pramuka,” kata Kepala Sekolah. Salam itu disambut oleh peserta dengan teriakan salam. Tak hanya mengucapkan salam, Kepala Sekolah juga meneriakkan. “Tepuk Pramuka.”

Ajakan melakukan Tepuk Pramuka langsung disahuti oleh semua dengan menepukkan kedua belah telapak tangan sehingga terjadi suara, “prok prok prok, prok prok prok prok...

Setelah senyap, di depan pengeras suara, Kepala Sekolah berdehem. Tanpa disadari, deheman itu masuk ke aliran listrik sehingga suara itu membahana. Kejadian itu membuat semuanya tersenyum sehingga membuat konsentrasi istirahat di tempat terganggu. Melihat kejadian yang demikian, agar cekikikan tertawa itu tak bertambah panjang, Kepala Sekolah langsung memberi sambutan.”

“Anak-anakku sekalian, hari ini kita berbahagia sekali sebab bisa bertatap muka di lapangan sekolah. Ini semua berkat nikmat yang Tuhan berikan kepada kita. Untuk itu selayaknya kita terus bersyukur padaNya.”

“Sebagaimana kita ketahui, bahwa hari ini kalian akan melakukan Persami ke Telaga Biru. Sebuah tempat wisata yang indah dan sejuk. Dalam kegiatan itu, saya harap anda tidak hanya bersenang-senang namun bagaimana kalian bisa melatih kerja sama, solidaritas, sabar, dan mendahulukan kepentingan orang banyak di atas kepentingan pribadi.”

“Selepas acara ini, saya yakin kalian akan menjadi manusia yang tangguh, tahan banting, dan bisa bertahan di tengah kesulitan. Untuk itu manfaatkanlah acara ini dengan sebaik-baiknya.”

Selepas bertutur kata secara panjang lebar, Kepala Sekolah mengakhiri pidatonya. Ia meninggalkan podium dan selanjutnya komandan acara membubarkan barisan. Ketika barisan bubar, semuanya menghambur mencari tempat berteduh. Sebelum mereka menemukan tempat untuk berteduh, tiba-tiba terdengar pengumuman yang memberitahukan kepada seluruh peserta untuk segera menuju truck yang telah tersedia sesuai dengan nomer urut pendaftaran.

Pengumuman itu masuk ke telingan Sobar dan yang lainnya. Mereka melihat nomer urut pendaftaran. Begitu nomer urut diketahui, mereka bergegas menuju truck. Riuh terdengar dari mereka saat mencari truck yang sesuai dengan nomer urut pendaftarannya. Sobar akhirnya menemukan truck yang dicari, ia segera naik ke bak terbuka di bagian belakang. Barangnya ditaruk di pojok. Dirinya menarik nafas dalam-dalam sebab dirinya sudah berada di atas angkutan yang akan membawa ke Telaga Biru. Di tengah asyiknya menikmati suasana, dirinya mendengar suara yang mengatakan, “tolongin dong.” Dirinya mencari arah suara itu. Begitu suara itu ditemukan, dirinya melihat Lucia, Rahmi, Nita, dan Sopia masih berada di bawah. Sobar sontak senang sebab mereka satu truck dengan dirinya.

“Tolongin bantu naik dong,” ujar Lucia sambil memandang Sobar.

Apa yang diinginkan Lucia langsung direspon dengan cepat oleh Sobar, “iya, iya, iya,” ujarnya. Ia langsung melangkah menuju mereka. Tangannya disodorkan dan sodoran tangan itu disambut dengan sodoran tangan Lucia. Setelah berpegangan, kemudian tangan itu ditarik sehingga Lucia terangkat naik ke atas truck.

“Terima kasih ya,” ujar Lucia.

Selanjutnya ia menolong Rahmi, Nita, dan Sopia sehingga semuanya bisa naik di atas truck. Peserta yang lain pun naik secara bergantian dan saling tolong sehingga akhirnya bak terbuka truck itu disesaki oleh peserta.

Batin Sobar senang sekali sebab selain dirinya satu truck dengan para gadis cantik itu, dirinya juga bisa memegang tangan-tangan halus mereka. “Rejeki ini,” gumamnya dalam hati sambil tersenyum.

Saat Sobar melihat truck yang lain, ia melihat Rahmad, Bagong, dan Rudi berada di sana. Ketika Sobar melempar senyum pada mereka, Rudi dan Bagong membalas senyuman itu. Lain dengan Rahmad yang cemburut saja. Rahmad cemburut bisa jadi karena tidak bisa satu truck dengan Lucia, gadis yang ditaksirnya.

***

            Setelah melintasi jalan mendaki, tikungan tajam, dan jepitan tebing, akhirnya beberapa truck yang membawa peserta Persami tiba di Telaga Biru. Truck itu menuju ke depan Kantor Kecamatan. Tempat itu dipilih sebab di depan Kantor Kecamatan ada lapangan luas. Di tanah lapang yang ditumbuhi rumput hijau segar itulah truck-truck yang telah mengangkut para pelajar itu diparkir.

Setelah berhenti sempurna, peserta berhamburan turun. Sobar turun duluan dengan harapan agar bisa menolong Lucia, Rahmi, Nita, dan Sopia. Begitu menginjakkan kaki di tanah, ia berharap sekali agar mereka meminta bantuan pada dirinya untuk bisa turun. Rupanya keinginannya itu sebatas mimpi sebab mereka rupanya memilih melompat dari truck. Begitu lewat di depan Sobar, mereka pun tak menolehnya. “Sialan,” ujar Sobar dengan perasaan kecut.

“Maunya menolong, eh malah dicuekin.”

Kesal, Sobar ingin segera meninggalkan tempat itu. Saat kakinya hendak melangkah, tiba-tiba terdengar suara, “hai tolongin dong.” Mendengar suara itu, Sobar berpikir siapa dia. Bukankah Lucia, Rahmi, Nita, dan Sopia, semuanya sudah turun. “Apakah masih ada gadis yang di atas truck?” tanya Sobar dalam hati. Ia membalikkan badan. Begitu badannya sudah menghadap truck, matanya tertuju pada seorang, “lhaahhhhh...”

Reflek mengatakan demikian. Reflek mengatakan demikian sebab melihat ada Della. Della di sekolah dijuluki si gembrot. Julukan itu tepat disematkan padanya sebab tubuhnya besar seperti gentong. Bobotnya bisa jadi di atas 100 kg. Saking tambun tubuhnya membuat jalannya seperti berat sekali.

Setelah melihat Della, Sobar ingin lari namun dirinya ingat pesan Kepala Sekolah agar bisa belajar solidaritas dan mendahulukan kepentingan orang banyak di atas kepentingan pribadi. Pesan itu yang menahan dirinya untuk tidak lari dan harus menolong Della.

“Iya, iya saya tolong,” sambut Sobar dengan tersenyum.

Della menyodorkan tangan dan sodoran tangan yang besar itu disambut. Digenggamnya tangan Della. Tak disengaja Della melompat. Tak masalah bila lompatan itu mengarah di sampingnya. Masalahnya ketika ia melompat pada arah dirinya berdiri sehinggan tubuh berat itu menabrak tubuh Sobar dan Sobar pun terguling. Lebih sial lagi ketika dalam posisi jatuh, tubuh Della menimpa Sobar yang terlentang. “Heekkkk,” begitu  terdengar suara dari mulut Sobar saat daging seberat 100 kg itu jatuh di atas tubuhnya.

Di tengah rasa sakit, dirinya mendengar suara cekakakan orang tertawa. Rupanya kejadian itu dilihat oleh Lucia, Rahmi, Nita, Sopia, Rudi, Rahmad, Bagong, dan banyak yang lainnya. Mereka terpingkal-pingkal melihat kejadian itu.

“Rasain tuh,” ujar Rahmad dengan spontan.

***

“Ayo kumpul, kumpul, kumpul,” ujar salah seorang kakak panitia Persami, senior di Pramuka. Mendengar perintah itu, semuanya langsung berlarian menuju ke tengah lapangan. Mereka pun membentuk barisan. Setelah pada berjajar, kakak panitia melihat barisan itu tidak rapi sehingga ia memerintahkan untuk merapikan barisan. Perintah kakak panitia itu mampu membuat barisan menjadi lebih rapi. “Nah begitu,” ujar kakak panitia setelah melihatnya.

Ketika semua sudah siap, Kakak Pembina Pramuka Sekolah, Kak Mulyono, memasuki lapangan upacara. Apel itu dilakukan untuk menyambut kedatangan peserta di Telaga Biru. Kak Mulyono menuturkan bahwa selepas apel, selurub peserta yang sudah dibagi kelompoknya diharuskan mendirikan tenda dan perlengkapan lainnya.

“Apakah semuanya siap?!” tanya Kak Mulyono.

Pertanyaan itu dijawab dengan serentak oleh seluruh peserta, “siap.....”

“Bagus,” sahut Kak Mulyono dengan rasa bangga.

“Baik, setelah apel ini selesai, kalian harus secepatnya mendirikan tenda.”

Usai mengatakan demikian, Kak Mulyono mengakhiri pidato. Ia meninggalkan lapangan upacara. Tak seberapa lama, komandan upacara memberi aba-aba bahwa upacara selesai dan barisan dibubarkan.

Peserta langsung menghambur ke kelompok masing-masing dan sibuk mendirikan tenda. Mereka ada yang bertugas menancapkan patok, ada yang bertugas membuat tali temali, ada yang sibuk membentangkan kain tenda. Kerja sama di antara masing-masing kelompok yang mempengaruhi cepat atau lambatnya tenda berdiri.

Di tengah asyiknya para peserta mendirikan tempat yang nanti akan dijadikan ruangan berteduh dari panas dan hujan, bila turun, terlihat Dorki dan Tora duduk di tepi Telaga Biru. Mereka sepertinya asyik ngobrol. Dua orang itu memang terbilang cuek dengan apa yang biasanya disibukkan oleh teman-temannya.

“Saya suka wisata alam,” ujar Dorki.

“Tapi kalau disuruh sibuk-sibuk seperti mereka saya tak mau.”

“Saya juga demikian,” balas Tora.

“Saya suka bebas apa mauku.”

“Biarlah mereka sibuk mendirikan tenda,” Dorki berujar demikian sambil melemparkan batu ke tengah telaga.

“Tak ada kita tak mengurangi kerja mereka.”

“Terlalu banyak bila orang sebanyak itu mendirikan tenda.”

“Kakakku yang aktif di organisasi mahasiswa pencinta alam mengatakan, bila sudah pengalaman, mendirikan tenda cukup dilakukan satu sampai dua orang.”

Tora tersenyum mendengar apa yang dikatakan itu. Mata Tora yang memandang ke sebuah tempat, tiba-tiba tertuju pada sebuah getek, sampan, yang teronggok di tepi telaga. Sampan yang terbuat dari kayu itu menarik hati Tora.

“Dor,” Tora memanggil temannya itu.

Dorki menoleh.

“Ada apa?” tanyanya.

“Itu ada sampan di sana, ayo kita gunakan untuk menyusuri Telaga Biru,” ujar Tora sambil menunjuk apa yang dikatakan itu.

“Mana?” tanya Dorki. Dorki bingung di mana sampan itu sebab warnanya serupa dengan warna tanah dan batu yang ada di sekitarnya, coklat kehitam-hitaman.

“Itu, tu,” Tora pun menjelaskan kembali sambil melemparkan batu ke arah di mana sampan itu teronggok.

Setelah tahu posisi sampan, Dorki manggut-manggut.

“Mau nggak?” Tora menanyakan kembali tawarannya pada Dorki untuk menggunakan sampan itu menyusuri Telaga Biru. Dorki diam tak menjawab. Tak ada kepastian, Tora bangkit dari duduknya dan melangkah meninggalkan temannya itu. Tak disangka, Dorki bangkit dari duduknya dan membuntuti Tora. Kedua orang itu menyusuri tepi Telaga Biru menuju di mana sampan itu berada.

Tiba di tempat itu, Tora sumringah. Dilihat sampan yang membujur itu masih bagus dan di dalamnya ada dayung yang tergeletak. Dipandangi beberapa saat alat angkut di atas permukaan air itu. Setelah puas memandangi, ia mendorong bagian belakang sampan sampai seluruhnya menyentuh air. Setelah semua menyentuh air, sampan itu mengapung.

“Hihihihi....” Tora tersenyum puas.

Sebab tak sabar, ia langsung naik pada sampan dan duduk pada kayu yang menyilang. Sampan bergoyang ke kanan kiri. Gerakkan itu bisa jadi untuk membuat keseimbangan.

”Ayo kalau mau,” ucap Tora sambil menunjukkan dayungnya.

Sebab sudah berulangkali Tora menawari, membuat Dorki merasa tak enak hingga ia langsung menyusul duduk di sampan. Saat Dorki sudah duduk tak jauh dari Tora, sampan tertekan lebih dalam, agar tak kandas, Tora langsung mengayuhkan dayungnya sehingga sampan bergerak di ke atas permukaan yang memiliki kedalaman lebih sehingga sampan tetap bisa mengapung.

Setelah kondisinya stabil, imbang, Tora langsung mengayuhkan dayungnya, sampan pun maju. Dayung pun digerakkan terus sehingga tak sadar, mereka sudah berada di tengah Telaga Biru. Di tengah telaga itu, Dorki dan Tora asyik menikmati indahnya pemandangan, Terlihat hutan dan pegunungan yang mengelilingi tengah diselimuti kabut sehingga samar-samar terlihat.

Suasana hening membuat kecipak ikan yang berenang terdengar begitu jelas. Desah angin berhembus yang menyentuh permukaan air membuat garis-garis terpola. Daun jatuh dari pohon melayang seperti burung kecil yang mengepakkan sayapnya tak putus-putus.

Tanpa disadari, di tengah mereka menikmati harmoni alam, air merembes dari bawah semakin cepat. Setitik lubang yang terus didesak oleh jutaan meter kubik air yang berada di bawah, mengakibatkan lubang itu semakin lama semakin membesar.

Dorki melihat ke celananya, “wah kok basah,” ujarnya. Dirinya heran, tidak menyentuh air tetapi mengapa ada air yang merembes sampai celananya. “Tor celanamu basah?” tanya Dorki padanya.

Tora memegang celananya. “Tidak,” jawabnya singkat.

“Celanaku kok basah ya,” ucap Dorki sambil menunjukkan celananya.

Tora curiga atas apa yang terjadi pada temannya itu dan ia segera melihat apa yang terjadi di tempat yang diduduki oleh Dorki. Begitu melihat apa yang terjadi, wajah Tora langsung pucat. Tubuhnya menjadi lunglai. Dorki tahu terjadi perubahan yang mendadak pada fisik Tora, hingga ia langsung bertanya, “ada apa Tor?”

“Sampan bocor,” ujarnya dengan lirih.

Mendengar apa yang dikatakan itu, Dorki mengalami hal yang sama dengan apa yang dialami Tora, wajahnya menjadi pucat dan tubuhnya lunglai. Mereka bingung apa yang harus dilakukan. Jarak dari tengah telaga ke tepian terbilang jauh. Rumah yang ada di sekeliling telaga dari tempat itu terlihat samar-samar.

“Kamu bisa berenang?” tanya Tora

Dorki menggeleng.

“Kalau kamu?” Dorki balik bertanya.

Tora juga melakukan gerakan yang sama dengan Dorki, menggeleng yang menunjukkan dirinya tak bisa berenang.

“Woiiii, tolooooong..... “ teriak Tora seketika di tengah kecemasan.

“Tolooooongggg saya, perahu bocor,” Dorki menambahkan.

Suara dua anak muda itu sahut menyahut namun sepertinya suara itu hilang ditelan oleh luasnya alam yang menaungi. Suara itu tak menggaung namun diserap oleh batang, ranting, dan daun pada tetumbuhan di sekeliling telaga. Di tengah upaya menyelamatkan diri, air yang meresap ke dalam sampan semakin banyak. Lubang bocor yang mulanya setitik jarum melebar sehingga membuat air leluasa menerjang lubang-lubang itu.

****

            Semua tenda yang berada di lapangan sudah berdiri. Hal demikian membuat tanah lapang yang sebelumnya hamparan rumput hijau, berubah menjadi lautan tenda. Ketika salah satu tenda berdiri, mereka yang menegakkan langsung bernyanyi mempompakan semangat. Saat tenda yang lain menyusul berdiri, suara nyanyian bertambah keras sehingga makin lama suara nyanyian itu semakin terdengar. Suara semakin keras terdengar sebab seluruh tenda pada berdiri.

            Para kakak panitia yang mendampingi selanjutnya menuju ke tenda-tenda itu. Mereka memberikan apresiasi atas keberhasilan mendirikan tenda. “Selamat ya,” ujar kakak panitia kepada salah satu regu di mana salah satu anggotanya ada Sobar.

            “Kalau tenda sudah berdiri, barang yang kalian bawa dimasukkan ke dalam tenda saja,” ujarnya.

            Perintah kakak panitia itu langsung dilaksanakan oleh mereka. Bergegas pada memasukkan barang yang dibawa ke dalam tenda.

            “Lhah anggota regumu berapa?” tanya kakak panitia. Kakak panitia itu heran sebab di regu yang lain ada 12 orang namun dirinya melihat cuma 10 orang.

            “Dua belas kak,” ujar Sima.

            “Dua belas gimana, orang yang saya lihat cuma 10,” bantah kakak panitia itu.

            Mendengar bantahan itu, Sima baru sadar, memang jumlah anggotanya 12 orang tetapi yang mendirikan tenda hanya 10 orang. “Ya memang yang ada di sini cuma 10 orang,” ungkap Sima.

            “Dua orang yang lain ke mana?” kakak panitia itu terus mengajukan pertanyaan.

            Mendapat pertanyaan itu, Sima dan yang lain pada clingak-clinguk, bingung sendiri. Mereka mau menjawab bagaimana, kalau dijawab jujur bahwa mereka tidak tahu, menunjukkan mereka tidak kompak. Kalau dijawab ada urusan pasti kakak panitia tahu jawaban itu bohong sebab semua peserta harus ada di regu masing-masing saat mendirikan tenda. Sebab bingung maka mereka memilih diam.

            “Lhah kok diam, berarti kamu tidak tahu di mana dua temanmu itu,” kakak panitia itu sepertinya merasa jengkel. Ia selalu menanyakan jumlah regu karena dirinyalah yang bertanggungjawab bila ada apa-apa dengan peserta.

            “Sekarang cari dia,” kakak panitia menghardik.

            Kesepuluh orang itu berpencar mencari dua orang temannya. Mereka menyusup ke regu-regu yang lain siapa tahu yang dicari berada. Setiap peserta yang berpapasan selalu ia tanyai. Apa yang dilakukan itu nihil sehingga membuat mereka mencari di tempat sekitar lapangan, di warung-warung dan rumah makan. Setelah semua tempat di-ubek-ubek dan apa yang dicarinya tidak ditemukan, mereka menjadi cemas.

            Mereka kembali ke tenda dan berdiam di tempat itu. Kakak panitia kembali datang ke regu itu dan menanyakan sudah bertemu atau belum dengan kedua anggota regu yang lain. “Belum bertemu kak, kami sudah mencari ke mana-mana,” ungkap Sima.

            Mendengar hal yang demikian, kakak panitia juga ikut-ikutan cemas. Ia melaporkan kejadian itu kepada Kak Mulyono. Mendengar berita itu, Kak Mulyono kaget dan ia menyuruh semuanya untuk mencari di mana kedua orang itu berada. Bahkan Kak Mulyono meminta tolong kepada perangkat desa, aparat polisi, dan anggota Koramil untuk ikut mencari.

            Raibnya kedua orang itu membuat semua dibuat sibuk jadinya. Semua fokus pada upaya pencarian. Dari kejadian itu membuat acara-cara yang hendak digelar dalam Persami, seperti api unggun, pentas seni, dan jurig malam, tertunda bahkan akhirnya dibatalkan.

***

            Pagi hari di salah satu desa yang berada di sisi barat Telaga Biru terjadi kegemparan. Orang-orang pada berkerumun di tepi telaga, mereka berdesakan untuk melihat dua mayat yang mengapung. Kedua mayat dalam posisi saling memeluk.

            Berita ditemukan mayat yang mengapung di tepi telaga itu menyebar ke segala penjuru desa yang mengelilingi danau. Berita itu pun juga masuk ke telinga Kak Mulyono. Mendengar berita itu, ia bersama dengan pembina lainnya langsung bergegas menuju ke tempat kejadian. Beberapa peserta Persami pun ada yang membuntuti mereka.

Tiba di lokasi kejadian, betapa kagetnya Kak Mulyono, kakak panitia, dan peserta Persami lainnya. Kedua mayat yang mengapung itulah yang selama ini dicarinya. Melihat kedua mayat itu adalah muridnya, Kak Mulyono langsung istigfar, “astagfirullah.” Kakak paniti dan yang lain pun juga berujar yang demikian.

Di tengah rasa cemas atas peristiswa itu, mobil polisi datang ke tempat kejadian perkara. Di belakangnya menyusul mobil ambulance. Sepertinya kejadian itu langsung dilaporkan kepada pihak yang berwajib.

Saat polisi datang, mereka yang berkerumun minggir, memberi jalan untuk melihat apa yang terjadi di lapangan. Dua polisi memandang serius apa yang terjadi. “Siapa yang pertama kali melihat?” tanya salah seorang polisi. Kerumunan orang yang berada di tempat itu diam. Polisi itu mengulang kembali pertanyaannya. Tak lama kemudian ada seorang yang mengaku, “saya pak,” ujarnya.

“Ok nanti ikut ke kantor polisi,” polisi itu berujar demikian.

“Itu kan anak sekolah yang sedang kemah di lapangan kecamatan,” gumam polisi itu sambil memandang dua mayat yang mengapung itu. Polisi berani menyimpulkan demikian sebab seragam yang digunakan jelas sekali. Pihak sekolah pun juga sudah melaporkan ada kegiatan kemah di lapangan kepada pos polisi setempat.

“Ada kan gurunya berada di sini?” polisi itu bertanya kembali. Tanpa mengulang pertanyaan, Kak Mulyono langsung menjawab, “ya pak, saya gurunya.”

“Baik nanti juga ikut ke kantor polisi,” balas polisi itu.

“Mari saudara-saudara kita ambil mayat itu dan kita bawa ke Puskesmas,” ajak polisi kepada yang lain. Secara spontan, petugas Puskesmas dan masyarakat langsung mendekati kedua mayat itu, diraihnya kerah bajunya dan ditarik. Setelah berada di darat, dua mayat itu langsung diletakkan di tandu dan selanjutnya dengan bersama-sama dibawa ke mobil ambulance. Ketika mayat-mayat itu dibawa ke ambulance, ada di antara warga yang menutup hidungnya. Mungkin mereka sudah mencium bau tak sedap.

Setelah kedua mayat berada di dalam mobil ambulance, mobil berwarna putih itu membunyikan sirene dan bergegas meninggalkan tempat itu. Meski tempat kejadian sudah bersih dari perkara namun masyarakat masih banyak yang berdatangan untuk melihat kejadian itu. Mereka yang sudah berada di tempat itu pun belum beranjak meninggalkan tempat, mereka masih berbincang tentang peristiwa itu.

***

            “Saat mau mancing pak, tiba-tiba melihat sesuatu yang mengapung,” ujar Pak Amir yang menjadi saksi mata ditemukan kedua mayat itu. Di hadapan polisi yang menginterograsi dirinya ia bercerita apa adanya.

            “Saya pikir itu ikan,” ujarnya Pak Amir lagi.

            “Saya mulai curiga saat apa yang saya lihat kok bentuknya lain.”

“Karena takut itu ikan setan maka saya hampir lari.”

“Sebab saya ingin mendapat ikan untuk dijual maka niat lari saya urungkan.”

“Setelah saya tunggu agar mendekat, perasaan saya kaget bukan kepalang, ternyata apa yang saya lihat itu mayat.”

“Setelah itu saya berteriak-teriak dari tepi telaga yang memberitahukan ada mayat.”

“Dari situlah pak, masyarakat pada berdatangan.”

Mendengar apa yang dikatakan itu, polisi yang menginterograsi sepertinya percaya, ia manggut-manggut selama dijelaskan kejadian itu.

“Ya sudah, laporan anda diterima,” ujar polisi itu.

Polisi itu kemudian melihat ke arah Kak Mulyono.

“Bapak kan guru dua mayat itu kan?” tanya polisi.

“Benar pak,“ jawab Kak Mulyono.

“Kok bisa ia mengalami nasib seperti itu?” tanya polisi lagi.

“Apakah mereka tidak anda awasi?”

Pertanyaan yang diajukan itu sepertinya memojokkan. Kak Mulyono wajahnya menjadi cemas. Sepertinya dirinya berada pada pihak yang salah.

“Begini pak,” Kak Mulyono mulai menjelaskan duduk perkaranya. Ia memberi keterangan mulai dari awal, bahwa semua peserta Persami harus mengikuti apel untuk mendirikan tenda. Setelah kelompok masing-masing 12 orang, semua kelompok diwajibkan untuk mendirikan tenda.

“Saya melihat masing-masing regu bekerja secara kompak dengan 12 orang,” ujarnya.

“Jadi saya tidak mengetahui kalau ada 2 anak yang tidak ikut gotong royong.”

“Mereka meninggalkan lapangan tanpa sepengetahuan saya.”

Mendengar keterangan Kak Mulyono yang demikian, polisi itu menatapnya dengan tajam. Ballpoint yang dipegang, tak sengaja diketuk-ketuknya ke meja.

“Ok, keterangan anda saya serahkan ke atasan saya,” ujar polisi itu.

“Selanjutnya anda kembali ke lapangan dan saya harap kegiatan itu dibubarkan dan seluruh peserta dipulangkan saja sebab tak etis di saat ada yang meninggal dunia, kegiatan terus berlangsung.”

Mendengar himbauan itu, Kak Mulyono langsung menimpali, “baik pak, saya akan kembali ke lapangan dan akan menyudahi acara itu.”

***

Dengan berbagai raut muka, ada yang sedih, jengkel, kecewa, seluruh peserta Peserta membongkar tenda itu. Mereka merubuhkan tenda sebab acara selanjutnya dibatalkan malah acara itu selesai sampai di situ. Mereka oleh Kak Mulyono diharap segera mengemas barang-barang yang dibawa dan selanjutnya kembali pulang.

Mereka ada yang sedih sebab mereka kehilangan teman, sedang yang jengkel dan kecewa sebab acara yang sudah direncanakan itu tiba-tiba bubar gara-gara ada yang tenggelam di Telaga Biru. Sikap anak-anak berbeda sebab perilaku Dorki dan Tora tak selamanya baik dan tak selamanya buruk.

Sobar adalah kawan Tora dan Dorki. Antara Sobar dan kedua orang itu pergaulannya terbilang akrab. Meski demikian, Sobar tak terlalu mencampuri apa kemauan kedua anak itu sebab kalau dirinya mencampuri apa yang dimaui, kadang-kadang merugikan dirinya sebab sering kedua anak itu terlalu banyak membuang waktu. Walau kedua anak itu terkadang sableng  namun Sobar merasakan kehilangan ketika musibah menimpa padanya.

Di tengah peserta mengemasi barang, dari pengeras suara terdengar pengumuman, “bagi barang-barang yang sudah dikemas, harap segera di angkut ke dalam truck.”

“Jangan terlalu lama.”

Pengumuman itu disambut dengan berbagai sikap, ada yang menyikapi dengan koor, “huuuu.... “ Ada pula yang mengatakan, “sabar to pak.”

Tak sedikit yang mengatakan, “siap sudah selesai.”

Bagi yang sudah selesai membongkar tenda dan mengemasi barang, mereka langsung menaikkan ke truck. Satu persatu regu menaikkan barang yang dibawa ke dalam truck hingga akhirnya tak ada lagi barang yang ada di lapangan.

Sebab diburu waktu, karena keadaannya gawat, Kak Mulyono hanya menyuruh mengecek seluruh peserta. Bila sudah komplit maka truck segera diberangkatkan. Dalam suasana duka, terlalu lama kalau harus melakukan apel. Setelah seluruh peserta dinyatakan ada semua, tak ada yang tertinggal, truck itu akhirnya bergerak meninggalkan lapngan kecamatan untuk kembali pulang.

***

            Di rumah sakit daerah, di kamar mayat, terdengar suara tangis yang keras. Tangis itu dihamburkan oleh orangtua Tora dan Dorki. Sambil menangis mereka melihat Tora dan Dorki yang membujur kaku, “hoalah kowe iku piye to le, aduh kamu itu gimana sih nak,” ratap orangtua Tora dengan sesunggukkan.

            “Ibu sudah berpesan hati-hati, malah kamu kok seperti itu,” ibu dari Tora menangis sekuat-kuatnya.

            Tak kalah meratap orangtua Dorki. Orangtuanya menangis sambil memeluk mayat yang sudah dimandikan dan dikafani itu. “Nak, nak, mengapa kamu tega meninggalkan ibu,” ujar ibunya Dorki sambil menangis.

“Padahal kemauanmu untuk dibelikan sepeda motor sudah ibu turuti.”

Melihat yang demikian, saudara keluarga Dorki dan Tora serta Kepala Sekolah, guru, dan beberapa siswa yang berada di kamar mayat itu ikut menenangkan. “Sabar ya ibu,” ujar Kepala Sekolah.

“Manusia tak kuasa menerima apa yang sudah ditentukan Tuhan,” ujar Kepala Sekolah untuk menenangkan mereka.

“Dorki dan Tora adalah anak yang baik.”

“Ikhlaskanlah kepergiannya, di sana ia akan bahagia seperti pada masa-masa sekolah yang selalu ceria.”

Apa yang dituturkan itu sepertinya mampu menghibur kedua ibu dari kedua anak itu sehingga tangisnya mereda. Saat tangisnya mereda, Kepala Sekolah mengajak kedua ayah anak itu untuk berbincang di luar bangunan kamar mayat.

Sesampai di ruang yang ada kursi dan meja, mereka bertiga duduk. Kepala sekolah diapit oleh ayah dari Tora dan ayah dari Dorki. “Maafkanlah saya sehingga musibah ini menimpa buah hati bapak-bapak sekalian,” ujar Kepala Sekolah.

Mendengar apa yang dikatakan itu, kedua orangtua itu diam, tak merespon. Sepertinya mereka kesal sebab sepertinya panitia tak memperhatikan kedua anaknya sehingga mereka bisa mengalami kejadian seperti itu.

“Saya bisa memahami perasaan bapak-bapak sekalian,” ucap Kepala Sekolah.

“Mungkin bapak-bapak menyalahkan kami karena tidak mengawasi kedua anak itu.”

“Bisa jadi kami khilaf namun ini di luar kehendak kami.”

“Semuanya akan kami jadikan pelajaran ke depan, agar musibah ini tak terulang.”

Apa yang dikatakan Kepala Sekolah itu bisa jadi membuat hati kedua orangtua itu mulai mencair dari kebekuan. Apa yang terjadi bisa jadi seperti apa yang dikatakan itu. Meski demikian mereka tetap diam.

“Dorki dan Tora adalah anak yang baik,” ungkap Kepala Sekolah.

“Mereka adalah teman yang setia.”

“Yang saling mengisi dalam suka dan duka.”

“Bagaimana kalau kubur mereka di dekatkan saja?”

Mendengar saran Kepala Sekolah, wajah kedua orangtua itu sepertinya berkerut penuh dengan pertimbangan.

“Dorki dan Tora adalah siswa kami,” ucap Kepala Sekolah.

“Jadi biarlah sekolah yang mengurus pemakaman kedua anak itu.”

“Bagaimana bapak-bapak setuju?”

Kedua orangtua itu saling bertatap, apakah mereka menerima saran dan tawaran Kepala Sekolah itu, sepertinya mereka sedang merenung dan berpikir.

“Saya harus berkata apa,” ujar ayah dari Tora.

“Semua sudah terjadi.”

“Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan sebab rasa sakit ini masih terasa.”

“Kita tidak tahu apa yang akan terjadi esok,” kata ayah dari Dorki.

“Kalau tahu apa yang terjadi esok, mungkin anakku kularang ikut dalam kegiatan itu.”

“Jadi apa yang terjadi di luar kehendak kita.”

“Kalau bapak Kepala Sekolah mau mengurus pemakaman anak saya, saya tidak masalah. Paling penting bagi keluarga kami adalah anaknya saya bisa bahagia di sana.”

Mendengar apa yang dikatakan ayah dari Dorki, Kepala Sekolah mengangguk. “Iya bapak, kami semua yang ada di sekolah akan selalu mendoakan buah hati bapak-bapak sekalian.”

“Kalau begitu saya akan menghubungi seluruh guru dan pegawai yang lain untuk mempersiapkan pemakaman Dorki dan Tora esok hari.”

****

            “Bar bapakmu penggali kubur ya?” tanya Pak Sasmito pada Sobar. Pak Sasmito adalah guru geografi di SMA itu.

            “Ya pak,” ujar Sobar dengan sopan.

            “Kebetulan Bar, sekolah ini membutuhkan bapakmu,” ujar Pak Sasmito dengan sumringah. Mendengar apa yang dikatakan itu, Sobar heran. Mengapa Pak Sasmito mengatakan membutuhkan orangtuanya.

“Dibutuhkan apanya pak, menggali kubur buat keluarga Pak Sasmito?” tanya Sobar dengan polos.

“Husss....” hardik Pak Sasmito pada Sobar.

“Bocah sableng,” umpatnya.

“Masak kamu nggak tahu kalau Dorki dan Tora mau dimakamkan berdekatan di Kuburan Jeruk Parut.”

“Hah?!” Sobar keheranan mendengar kabar itu.

“Jangan ha heh ha heh,” kata Pak Sasmito.

“Bisa tidak orangtuamu menggalikan lubang kubur buat dua orang?”

Mendengar tawaran itu, Sobar diam. Tentu bila tawaran itu diterima, Samiun, orangtuanya, akan mendapat uang yang lumayan, sebab langsung menggali dua lubang kubur. Bagi orangtuanya tawaran itu pasti tawaran yang menggiurkan.

Dalam angan-angan ada uang di balik kesedihan, tiba-tiba perasaan Sobar muncul dalam hati yang terdalam. Mengapa kesempatan itu tak digunakan, mengapa pekerjaan itu tak diambilnya sendiri.

“Kalau untuk menggali kubur saya saja bisa pak,” kata Sobar.

“Saya sudah sering diajak orangtua saya menggali kubur.”

“Orangtua saya sudah mengajari bagaimana menggali kubur dan membuat liang lahat secara benar dan cepat.”

Apa yang dikatakan Sobar membuat Pak Sasmito terperangah.

“Benar katamu itu?” tanya Pak Sasmito dengan ragu-ragu.

“Benar pak,” jawab Sobar.

“Yang penting ada 10 teman yang ikut membantu.”

Sobar menyakinkan apa yang sudah pernah ia lakukan. Setelah diyakinkan, Pak Sasmito sepertinya percaya apa yang dikatakan itu.

“Ya sudah, besok kamu dan 10 teman yang lain, pagi-pagi ke Pemakaman Jeruk Parut,” kata Pak Sasmito.

“Kalau kamu nggak datang, saya lapor Kepala Sekolah agar kamu dikeluarkan.”

“Jangan khawatir pak, mana pernah Sobar bohong,” Sobar menimpali.

***

            Pagi-pagi Sobar, Rahmad, Rudi, Bagong, dan ketujuh temannya yang lain sudah berada di Pemakaman Jeruk Parut. Di tangan mereka tergenggam cangkul, linggis, sabit, sekop, dan peralatan sejenis serta yang lainnya. Alat-alat itu akan digunakan untuk membuat dua lubang kubur.

            Sesampai di pemakaman itu, Sobar mencari tempat di mana ada tanah yang bisa dibuat dua lubang kubur. Ia berkeliling di pemakaman. Sepertinya susah mencari tanah yang tersisa sebab pemakaman itu sudah padat. Terlihat di antara makam sudah saling berhimpit bahkan saling tumpang tindih. Meski demikian Sobar tidak putus asa, matanya terus menyorot ke setiap jengkal tanah yang ada.

Entah karena beruntung atau nalurinya sudah terlatih, lokasi tanah yang dicari ditemukan. “Nah di situ,” ujarnya sambil menunjuk tempat yang berada di bawah pohon kamboja. Untuk lebih jelasnya, Sobar menghampiri tempat itu. Sesampai di tempat itu, kakinya melangkah dengan tegap. Mungkin ia mengukur panjang dan lebar lubang kubur. “Pass,” ujarnya dengan mantap.

“Teman-teman, sini,” teriak Sobar pada para sahabatnya itu.

Apa yang diteriakkan itu masuk ke 20 telinga. Mereka bergegas ke tempat di mana Sobar berada. “Sudah ketemu tanahnya?” tanya Rahmad.

“Sudah,” jawabnya dengan singkat.

“Kita bagi dua kelompok, satu menggali lubang di sini, satunya di sini,” ujar Sobar sambil menunjuk tanah yang akan dikeruk. Tanpa membuang waktu, mereka langsung mengayunkan cangkul. Setelah beberapa ayunan cangkul membelah tanah, sekop digerakkan untuk mengangkat tanah yang berserak. Apa yang dilakukan itu dilakukan berulang-ulang dan bergantian. Sobar yang gesit melakukan itu sesekali memberi petunjuk kepada teman-temannya bagaimana agar lubang kubur yang dibuat, sisi-sisinya kuat dan tak longsor. Sebab bila sisi-sisinya tak kuat nanti akan merusak bentuk lubang kubur.

Kerja keras dan gotong royong dari mereka buat temannya yang sebentar lagi akan susupkan di sela-sela tanah itu akhirnya rampung. Dua lubang kubur telah menganga. Sambil menunggu jenazah tiba, mereka beristirahat di bawah pohon waru. Daunnya yang lebat melindungi mereka dari terik sinar matahari yang menyengat.

Entah karena capek atau tak ada yang penting dibincangkan, mereka lebih banyak diam padahal biasanya setiap saat bila ada waktu selalu gojekan, cengengesan, bercanda. Ketika diam menyelimuti, Pak Sasmito terlihat datang dengan tukang kebon sekolah. Tukang kebon menenteng tas kresek warna hitam. Tangannya yang menegang menunjukkan apa yang dibawanya itu berat.

“Gimana, sudah selesai lubang kubur yang digali?” tanya Pak Sasmito sambil menghampiri anak-anak didiknya itu.

“Sudah pak,” ujar Sobar sambil mengusap keringatnya yang masih bercucuran.

“Terima kasih semua ya, kerja kalian bagus,” ujar Pak Sasmito menimpali.

“Kalian murid yang baik.”

“Terus kapan pak, jenazahnya dikebumikan?” tanya Rudi yang duduk di samping Bagong.

Mendapat pertanyaan itu, Pak Sasmito terhenyak. Dirinya diam. Sepertinya ia tidak tahu kapan jenazah Dorki dan Tora dikebumikan. Ia mengalihkan perhatian. “Sudah kita makan dulu,” ujarnya. Kebiasaan di desa adalah, pihak keluarga yang anggotanya meninggal dunia, ia mempersiapkan nasi kepada para penggali kubur. Nasi itu dikirim ke pemakaman selepas penggalian lubang kubur selesai.

Sebab mereka lapar, karena tenaganya dihempaskan untuk mengeruk tanah, maka mereka butuh energi baru. Untuk itu, makanan yang disodorkan kepada mereka langsung dijamah dan segera disantapnya. Mereka menikmati makanan yang isinya tahu, tempe, sambal, dan sedikit sayuran itu. Teh yang berada di teko pun diguyur ke gelas-gelas yang tersedia. Dari gelas itulah teh manis itu ditegukkan ke mulut untuk membasuh keringnya tenggorokkan.

Satu persatu kesebelas orang itu menghabiskan makanan yang dibuat untuk mereka. Wajah-wajah yang sebelumnya lemas dan loyo kembali menjadi trengginas. Perubahan itu terjadi setelah energi diasupkan kepada mereka.

Angin semilir yang berhembus di pemakaman Jeruk Parut hampir menidurkan mereka. Rasa kenyang yang membebani perut menambah rasa kantuk semakin berat dipikul. Di antara melek dan merem, tiba-tiba ada seseorang menghampiri mereka. Orang itu membisiki Pak Sasmito. Mendapat bisikan itu, Pak Sasmito mengangguk.

“Anak-anakku semua, siap-siap ya,” ujar Pak Sasmito.

“Sebentar lagi jenazah akan tiba.”

Mendengar apa yang dikatakan, semuanya menjadi tegang. Kecuali Sobar, mereka baru pertama kali menggali lubang kubur sehingga mereka was-was, cemas, dan takut. Mereka masih merasa ngeri dan takut melihat jenazah yang dikaffani. Apalagi film-film yang sering di putar di lapangan desa, layar tancap, berkisah tentang pocong dan setan lainnya. Dalam film tersebut, ada adegan bagaimana orang yang sudah meninggal dunia, hidup kembali. Sosoknya menjadi pocong yang tak hanya gentayangan namun juga menghisap darah manusia.

Di tengah rasa cemas dan takut, dari kejauhan terlihat iring-iringan jenazah. Biasanya dalam iring-iringan itu terdapat satu keranda namun kali ini dua keranda. Banyak orang mengiringi dua keranda itu. Di depan keranda, orangtua Dorki dan Tora didampingi oleh keluarga. Mereka dirundung kesedihan yang begitu mendalam. Saudara mendamping mereka untuk memberi motivasi dan petuah kesabaran. Dengan motivasi dan petuah kesabaran itulah yang bisa menenangkan hati dan pikiran orangtua Dorki dan Tora.

Setelah iringi-iringin jenazah itu melewati makam yang lain, dengan menerabas atau melangkahi, akhirnya tiba di tempat di mana kedua jenazah itu akan diistirahatkan untuk selama-lamanya. Isak tangis dari orangtua Dorki dan Tora serta saudaranya membuat suasana mengharukan. Teman-teman sekolah yang ikut mengantar jenazah juga menunjukkan perasaan yang sama, kehilangan.

Setelah keranda diturunkan dan kaki-kakinya menancap di tanah, kain penutup keranda yang berwarna hijau itu dibuka. Entah pikiran apa yang ada di otak para pelayat setelah melihat dua jenazah yang dibalut kain kaffan membujur kaku.

Pastinya suara tangis dari orang-orang yang mencintai semakin deras terdengar. Orang terdekatnya pun kembali menenangkan agar mereka iklhas dan tabah ditinggal pergi untuk selamanya.

Sebelum kedua jenazah itu dikebumikan, Pak Modin memimpin doa. Dalam doanya Pak Modin berharap kepada Allah agar kedua jenazah itu dilindungi dari siksa kubur yang pedih. Pak Modin juga berdoa agar keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran dan keikhlasan. Selesai berdoa, Pak Modin meminta agar para pelayat membaca Surat Al Fatihah. Apa yang dimaui pengurus jenazah desa itu langsung disanggupi para pelayat. Mereka langsung melafadzkan surat itu. Dengan terdengarnya suara “amin” secara serempak, berarti mereka usai membaca Surat Al Fatihah.

“Nah sekarang mari kita turunkan jenazah ini,” ujar Pak Modin.

“Tolong beberapa yang lain turun ke lubang kubur.”

Perintah itu langsung disambut pelayat yang lain, enam orang langsung turun di dua lubang kubur. Masing-masing kubur 3 orang. Setelah mereka siap, beberapa orang membopong kedua jenazah dan menyodorkan ke masing-masing kubur. Setelah berpindah tangan ke orang yang berada di lubang kubur. Mereka yang berada di lubang kubur merebahkan mayat itu dengan pelan-pelan di dalam liang lahat. Setelah jenazah itu direbahkan, salah seorang di antara mereka menutupkan papan kayu pada liang lahat. Setelah tertutup, mereka naik meninggalkan lubang kubur itu.

“Bapak-bapak, ibu-ibu sekalian, silahkan menaburkan tanah ke dalam lubang kubur sebelum penggali kubur mengurukkan tanah ke dalam,” ujar Pak Modin.

Dengan diiringi tangis dan tubuh yang lunglai, ibu dari Dorki dan Tora melemparkan tanah yang dijumput ke dalam kubur. Langkah itu diikuti oleh ayah dari kedua jenazah dan selanjutnya semua ikut menaburkan tanah.

“Silahkan mas-mas penggali kubur untuk menutup kubur,” kata Pak Modin. Pak Modin memanggil mas-mas sebab melihat para penggali kubur itu masih belia. Serta merta para pelajar yang untuk sementara menjadi penggali kubur itu langsung memegang alat-alat yang dibawa tadi, mereka maju dan langsung memindahkan tanah yang berada di sekeliling disorongkan ke dalam lubang kubur. Bisa jadi karena masih muda maka tenaga yang dikeluarkan sangat besar sehingga kedua lubang kubur itu sudah tertimbun tanah. Di atasnya sekarang terlihat tanah yang menggunduk.

Tak lama kemudian, dari pihak masing-masing keluarga menancapkan nisan. Di nisan putih itu tertulis nama Dorki dan Tora serta ada tanggal, bulan, tahun lahir dan meninggalnya. Setelah batu nisan itu tertancap, seluruh pelayat mengelilingi dua makam yang tanahnya masih basah itu. Pak Modin segera memimpin doa agar proses pemakaman segera selesai. Doa-doa pun dilafadzkan dan diakhiri dengan kata amin secara serempak.

Satu per satu para pelayat meninggalkan peristirahat terakhir, hingga tinggal kesebelas penggali kubur belia itu. Setelah sepi, Pak Sasmito menghampiri mereka. “Terima kasih ya nak,” ujarnya.

“Kalian berbakat jadi penggali kubur.”

“Lubang kubur dan liang lahat yang kalian buat bagus dan kuat.”

Mendengar apa yang dikatakan Pak Sasmito, wajah-wajah datar yang menyemburat. Tak ada kebanggaan atau kekecewaan ketika ungkapan itu dikatakan.

“Sudah kalau begitu ya, hari sudah siang, mari kita pulang,” ucap Pak Sasmito sambil ngeloyor meninggalkan mereka. Diperlakukan demikian, naluri Sobar langsung keluar dari emosinya. “Pak, pak, itunya gimana?” tanya Sobar. Langkah guru geografi itu dicegah oleh pertanyaan itu, Pak Sasmito berhenti dan menoleh. “Itunya gimana maksudmu Bar?” tanya balik Pak Sasmito.

“Upahnya pak,” jawab Sobar dengan singkat.

Ditagih upah, muka Pak Sasmito langsung merah. Sepertinya ia marah dan tidak suka mendapat pernyataan itu. “Upah gimana maksudmu?” Pak Sasmito.

“Upah dari menggali kubur pak,” Sobar menerangkan.

Pak Sasmito yang awalnya hanya marah di wajah, kemarahan itu akhirnya diledakkan.

“Kamu itu gimana to, yang meninggalkan kan temanmu, masak kamu minta upah.”

“Kalian tidak sopan.”

“Kamu kan belum jadi penggali kubur beneran, kok sudah minta upah.”

Tahu Pak Sasmito marah-marah, semuanya diam. Mereka tak mau bertanya kembali soal upah. Sobar dalam hatinya mencibir. Pak Sasmito pura-pura alim bahwa dari apa yang dilakukan itu tak ada upahnya. Padahal dari pihak sekolah sudah mengeluarkan uang untuk membayar jasa penggali kubur. Pak Sasmito di sekolah sudah menjadi rahasia umum suka menggelapkan uang-uang kegiatan sekolah. Kasusnya pun sudah pernah dibawa ke aparat penegak hukum namun entah mengapa kasusnya itu menguap tak jelas kabarnya.

Pak Sasmito mendelik memandang mereka. Marahnya belum selesai. Di tengah situasi itu, tiba-tiba ranting pohon waru jatuh. “Braakkkk.... “ Ranting itu jatuh tepat mengenai kepala Pak Sasmito. “Aduuhh....,” ratapnya. Melihat kejadian itu semuanya tertawa, tawanya disimpan dalam hati.

Pak Sasmito segera memegang kepalanya dan membersihkan rambut yang ada di kepalanya itu dari getah daun pohon waru. Merasa diperingatkan oleh kejadian itu, pandangannya berubah menjadi ramah.

“Begini ya nak, sekolah tidak mempunyai anggaran untuk membayar jasa penggali kubur,” katanya.

“Untuk itu sekolah membutuhkan kalian.”

Apa yang dikatakan itu membuat Sobar tetap tak percaya.

“Tapi jangan khawatir,” ujar Pak Sasmito lagi.

“Nanti saya akan bilang kepada guru agama dan guru Pendidikan Moral Pancasila, agar kamu semua mendapat nilai di raport untuk mata pelajaran itu dengan nilai 10.”

“Nilai 10 karena kamu sudah melakukan tindakan yang mulia.”

Mendengar janji dari Pak Sasmito bahwa mereka akan mendapat nilai 10 dari mata pelajaran agama dan Pendidikan Moral Pancasila membuat kesebelas anak muda itu melongo. 

****

            Di pucuk pohon kelapa, Samiun memilih dan memilah buah kelapa yang hendak diunduh. Setelah menemukan buah pohon kelapa yang layak untuk dijual, tangkai buah pohon kelapa itu diplintir hingga putus. Satu persatu buah pohon kelapa jatuh berdebum di tanah setelah diplintirnya.

Dirasa cukup, ia berniat turun. Satu persatu takik diinjak untuk menuju ke bawah. Tiba-tiba saat berada di tengah batang pohon kelapa yang menjulang tinggi, matanya berkunang-kunang. Badannya keluar keringat dingin. Samiun berusaha sekuat tenaga untuk bisa menguasai diri agar tetap bisa berpegangan pada batang pohon kelapa itu.

Setelah merasa keadaannya baik, ia melanjutkan menurunkan kaki untuk menuju ke bawah. Tiba-tiba apa yang dikhawatirkan itu terjadi, matanya bertambah berkunang-kunang dan tubuhnya semakin melemah. Akibatnya, injakkan kaki di takik-takik tak mempunyai cengkraman. Tanpa disadari, pegangan tangannya di batang kelapa melemah. Selanjutnya dirasakan dirinya melayang.

Saat membuka mata, Samiun kaget sebab dirinya sudah berada di tempat pembaringan. Sobar dan beberapa tetangga berada di sampingnya. Rasa nyeri dan sakit terasa di sekujur tubuh Samiun. Di bagian-bagian yang lecet diberi ramuan dari daun pepaya yang ditumbuk.

Samiun sadar dirinya tadi jatuh dari pohon kelapa. Peredaran darah yang tak normal membuat organ-organnya tak berfungsi hingga akhirnya hilang kesadaran. Penyakit darah tinggi yang melekat pada diri Samiun membuat kesehatannya dari waktu ke waktu semakin memburuk. Penyakit itu bisa menyusup ke dalam tubuh sebab dirinya secara tak sadar gemar mengkonsumsi garam. Bila membuat gorengan, ia selalu menabur garam pada makanan itu.

Di pembaringan, Samiun terlihat lemas, pandangannya sayu, dan wajahnya pucat. Tangannya sepertinya susah digerakkan. Dalam kondisi seperti itu, dirinya menyapa anaknya, “Bar.”

Anak dari hasil perkawinan tak resmi dengan Sarmini atau Siti Nurjanah itu dipandangnya. Di pegang tangannya. “Bar, bapak sekarang sudah tua,” ujarnya.

“Bapak senang kamu sudah besar.”

“Bapak merasa kamu sudah bisa mengganti peran bapak.”

“Kalau bapak tinggal, saya yakin kamu sudah bisa mandiri.”

Mendengar apa yang dikatakan itu, Sobar membisu. Ia belum merasakan sesuatu firasat. Ia hanya mengatakan, “iya pak,” setiap orangtua semata wayang itu berujar. Di tengah rasa sakit yang mendera, Samiun terus ingin memberi pesan kepada Sobar.

“Bar, di sekitar rumah ini ada lima buah pohon kelapa.”

“Buah dari kelima pohon kelapa itu cukup memberi penghidupan kepadamu.”

“Unduhlah buah pohon kelapa bila sudah masak dan juallah di pasar.”

“Ya pak, saya akan melaksanakan apa yang dikatakan,” Sobar menimpali apa yang dikatakan itu.

Suara desah berat terdengar lirih di telinga Sobar. Orangtuanya ingin mengambil nafas secara normal namun karena organ yang ada tak berfungsi maka cara bernafas yang dilakukan terasa sulit.

“Bar,” ujar Samiun kembali.

“Bapak sudah mengajari kamu menggali kubur.”

“Gunakanlah ketrampilan itu.”

“Banyak orang yang memandang pekerjaan itu hina, kotor, dan mengerikan.”

“Meski demikian semua orang membutuhkan jasa penggali kubur.”

“Selama ada kematian, penggali kubur selalu akan hadir dan dibutuhkan.”

“Jadi kamu akan dibutuhkan oleh warga desa ini bahkan warga desa yang lain.”

Setelah mengatakan panjang lebar tentang penggali kubur, tak ada suara yang keluar dari Samiun. Melihat hal yang demikian, Sobar langsung merespon dengan memanggilnya, “pak, pak, pak.” Rupanya firasat Sobar sudah muncul. “Bapak baik-baik kan?” tanya Sobar.

Disapa anaknya, Samiun membuka matanya. Ia memandang wajah anaknya dengan seksama. “Bar,” orangtuanya kembali menyebut namanya.

“Setelah bapak pergi, sebaiknya kamu cepat menikah agar kamu bahagia.”

“Didiklah anakmu baik-baik dan sekolahkan setinggi-tingginya.”

Setelah itu tak ada suara yang dituahkan oleh Samiun. Sepi dan hening terasa di ruang itu. Sobar langsung memanggil orangtuanya itu, “pak, pak, pak.” Panggilan itu tak dijawab, Sobar pun mengulang panggilan. Tak ada jawaban, tubuhnya pun diguncang-guncang. Tetangganya yang berada di sekitar pembaringan ikut cemas dan bingung apa yang hendak diperbuat.

“Pak, pak... pak,” panggilan itu semakin keras. Tak lama kemudian, suara tangis meledak. Sobar histeris. Sepertinya ia sadar bahwa orangtuanya telah pergi untuk selamanya. Tetangganya mencoba merasakan apakah nyawa sudah tidak bersemayam di raga Samiun. Dipegang kakinya dan dirasakan apakah ada denyut nadi atau tidak. Setelah dirasa tak ada denyut maka tetangganya itu juga yakin bahwa nyawa Samiun telah meninggalkan raganya. Tanpa disuruh, para tetangga itu mengabarkan kepada yang lain.

Kabar meninggalnya Samiun menjalar cepat kepada para warga. Tak heran bila keriuhan terjadi di rumah itu. Meninggalnya Samiun juga terdengar di telinga para penggali kubur yang lain. Kabar itu juga sampai kepada para penggali kubur di desa tetangga. Sebagai bentuk rasa persaudaraan, para penggali kubur siap membantu proses pemakaman.

***

            Dua tahun setelah Samiun meninggal dan tak lama selepas lulus SMA, Sobar telah berkeluarga. Ia menikah dengan Maryati gadis dari desa sebelah. Maryati temannya saat di SMP. Selepas SMP, Maryati tidak melanjutkan sekolah, ia memilih membantu orangtuanya di sawah.

Dalam perjalanan waktu, Maryati memberikan dua anak dari pernikahan itu. Dalam perjalanan hidup, Sobar melaksanakan wasiat orangtuanya, tetap sebagai petani buah kelapa dan penggali kubur.

***

            “Bar, Bar, Bar,” teriak Pak Modin sambil mengetuk pintu rumahnya. Raut muka Pak Modin cemas. Pintu rumah Sobar kembali diketuk. Dua orang yang mendampingi Pak Modin pun ikut mengetuk pintu. Mereka segera ingin bertemu dengan Sobar meski malam sudah larut. Suasana senyap mengelilingi rumah itu. Terdengar suara jengkerik bersahut-sahutan.

            “Assalamu’alaikum,” kalimat salam diucapkan saat tak ada respon dari dalam rumah. Kurang puas dengan salam, lagi-lagi Pak Modin mengetuk pintu kembali. Pengurus jenazah desa itu berpikir, Sobar sudah lelap dalam tidurnya sebab siang tadi ia menggali kubur buat jenazah Pak Ramelan.

            Di saat ada pikiran dari Pak Modin untuk meninggalkan rumah itu. Terdengar suara langkah menuju pintu. Tak lama kemudian, pintu itu terbuka. Dengan mata berkedip-kedip serta suara parau, Sobar menyapa, “eh Pak Modin.”

            “Ada apa pak? Ada warga yang meninggal?”

            Pak Modin tersenyum mendapat pertanyaan itu. “Bukan, bukan, tak ada warga yang meninggal,” ujarnya. Ia pun segera memberitahu kenapa dirinya malam-malam datang menemui Sobar.

“Selepas isya saya baru sadar bahwa tali kaffan jenazah Pak Ramelan belum dilepas.”

“Hah?!” Sobar kaget.

“Saya juga sudah menghubungi keluarga Pak Ramelan masalah ini,” ujar Pak Modin.

“Selepas saya beri tahu, keluarga memanggil para warga untuk datang ke rumah dan membaca Surat Yasin sambil lek-lekkan, begadang.”      

“Untuk itu saya memberitahu kepada kamu agar besok, pagi-pagi, kita dengan keluarga Pak Ramelan, para warga, dan penggali kubur yang lain untuk membongkar kembali kuburan itu.”

“Saya sudah memberitahu padamu. Selanjutnya saya kembali ke rumah keluarga Pak Ramelan untuk membaca Surat Yasin dan lek-lekkan.”

Pak Modin bersama dua orang yang mendampingi, selanjutnya meninggalkan rumah Sobar. Ditinggal Pak Modin, Sobar langsung menguap. Selepas menguap wajahnya menjadi tegang. Perasaan cemas melanda dirinya.

Menurut kepercayaan masyarakat, bila tali kaffan jenzah belum dilepas atau dibuka, maka jenazah itu akan getanyangan. Mereka akan mencari orang untuk meminta tolong untuk dibukakan tali kaffannya. Jangankan membuka tali kaffannya, menghadapi pocong saja warga sudah ketakutan. Ada cerita seorang warga dikejar-kejar pocong, bisa jadi pocong itu minta tolong untuk dibukakan tali kaffannya.

Ada pula cerita dukun dari dusun jauh, bertarung dengan pocong. Pocong itu meminta tolong untuk dibuka tali kaffannya pada dukun yang saat itu ditemui di jalan pada larut malam. Dukun mau membukakan tali kaffan pocong itu namun dengan syarat tali kaffannya menjadi miliknya untuk dijadikan jimat. Menurut dukun itu, tali kaffan pocong bisa digunakan untuk menghilang. Permintaan itu ditolak oleh pocong sehingga terjadi pertarungan antara dukun dan pocong.

Semua cerita di atas benar atau tidak? Entahlah, kembali kepada sikap masing-masing para warga desa.

Kabar belum dilepasnya tali kaffan jenazah menyebar ke segala penjuru mata angin. Kabar itu membuat para warga dicekam rasa ketakutan. Mereka was-wasa jangan-jangan pocong itu akan mendatangi rumah mereka. Untuk menghindari kekhawatiran itu, mereka berkumpul di rumah-rumah yang dianggap bisa menangkal kehadiran mahkluk halus itu.

Bila para warga desa pada ketakutan dengan kabar yang demikian, lain halnya dengan Ki Waseso dan Ki Bowo Laksono. Dua dukun itu senang mendengar kabar ada jenazah yang belum dilepas tali kaffannya. Kejadian seperti itulah yang ditunggu-tunggu.

Pada malam itu, Ki Waseso dan Ki Bowo Laksono, berada di tempat yang berbeda, di sebuah tempat yang disebut para warga sebagai tempat yang sering didatangi makhluk halus. Di tempat itu kedua dukun sakti itu menunggu kedatangan pocong yang meminta tali kaffannya dilepas. Kedua dukun itu pasti mau melepas tali kaffan namun dengan syarat tali kaffannya diberikan padanya. Biasanya dalam pertemuan itu terjadi pertarungan antara dukun dan pocong. Pihak yang kalah akan menjadi abdinya.

Detik demi detik, menit demi menit, dan jam demi jam berjalan. Suasana desa dalam pergantian waktu itu dilanda rasa ketakutan yang luar biasa. Dalam malam itu mereka banyak yang yakin pocong sedang gentayangan.

Setelah waktu berjalan, dari sebuah surau terdengar suara adzan subuh. Mendengar suara adzan itu menunjukkan bahwa malam telah berakhir dan pagi menjelang tiba. Selepas adzan subuh, warga yakin bahwa makhluk halus tak akan berani mengganggu warga sebab sinar matahari sudah memancarkan cahayanya.

Para warga bersyukur pada malam itu tak terjadi apa-apa. Lain halnya dengan Ki Waseso dan Ki Bowo Laksono. Mereka kecewa sebab makhluk yang ditakuti warga itu tak memghampiri dirinya. “Kurang sesajen,” ujar Ki Waseso menggurutu. Ia pun meninggalkan Klampis Ireng, sebuah tempat yang dipercayai sebagai tempat berkumpulnya makhluk halus seperti gondoruwo, pocong, tuyul, kuntilanak, wewe gombel, tong-tongsot, banas pati.

***

Di depan rumah keluarga Pak Ramelan sudah ada Pak Modin dan para warga. Mereka pagi-pagi berada di rumah keluarga Pak Ramelan karena sepakat untuk pergi ke kuburan untuk membongkar makam sebab tali kaffan yang mengikat jenazah Pak Ramelan belum dilepas.

“Di mana Sobar?” tanya Pak Modin dengan sedikit kesal.

“Katanya pagi-pagi sudah berada di sini tapi kok belum muncul.”

“Tanpa dia pembongkaran kuburan tak akan jalan.”

Di saat gundah gulana menunggu Sobar, tiba-tiba pria itu terlihat batang hidungnya. Ia muncul dengan memanggul cangkul. Melihat hal yang demikian, semuanya senang. “Maaf terlambat,” ujar Sobar.

“Anak dan istri tadi masih mau ditemani.”

Apa yang dikatakan itu dimaklumi oleh mereka, sebab pada malam itu semua warga cemas sebab beredar kepercayaan ada pocong gentayangan.

“Ya sudah kalau begitu kita berangkat,” ujar Pak Modin.

Puluhan orang itu bersama menuju kuburan di mana Pak Ramelan di istirahatkan untuk selama-lamanya. Setelah menempuh jalan-jalan yang menyusuri desa, tibalah mereka di pintu gerbang kuburan. Di depan pintu gerbang, perasaan mereka was-was dan khawatir bercampur dengan rasa takut. Pikirannya mereka, makam itu sudah rusak karena jenazah bangkit dari kubur.

“Sebelum masuk ke kuburan mari kita berdoa dulu,” ujar Pak Modin. Apa yang dikatakan itu membuat rasa tenang. “Assalamu’alaikum ya ahli kubur....,” sapa Pak Modin saat masuk ke dalam kuburan itu. Selanjutnya mereka bersama menuju tempat di mana Pak Ramelan dimakamkan.

Tiba di tempat yang dituju, semua menghela nafas lega sebab di makam itu tak ada tanda-tanda yang aneh. Gundukan tanah basah masih belum berubah. Hanya bunga-bunga yang ditabur kemarin tampak berserakan. Semua maklum sebab angin malam yang menebarkan bunga-bunga tiga warna itu.

“Silahkan Mas Sobar untuk menggali,” kata Pak Modin.

“Tolong yang lain bisa membantu Mas Sobar.”

Mereka bahu membahu membongkar makam itu, terlihat muka keluarga Pak Ramelan yang hadir di makam itu cemas. Setelah cangkul mengayunngayun dan sekop naik turun, makam itu terkuak. Jenazah belum terlihat sebab papan kayu masih menutupi liang lahat. Pada detik-detik itulah suasana tegang kembali. Mereka ada yang berpikir, jenazah tak ada sebab telah meninggalkan tempat itu untuk gentayangan.

Pak Modin pun turun ke dalam lubang kubur, didampingi pihak keluarga. Setelah membaca doa, papan kayu yang yang menutupi liang lahat dibuka. “Blakkk...” Suara papan kayu itu terangkat. Begitu dibuka, terlihat jenazah yang masih utuh membujur di tempat itu. Semua bersyukur sebab tidak ada tanda-tanda yang aneh pada mayat itu.

Tanpa banyak membuang waktu, tali-tali kaffan yang masih terikat langsung dilepas. Setelah dilepas, Pak Modin mengamati kembali, apakah masih ada tali yang belum dibuka. Yakin semua sudah terlepas, papan kayu itu dikembalikan seperti asalnya sehingga liang lahat yang menyimpan jenazah Pak Ramelan itu tertutup kembali.

Sebelum meninggalkan lubang kubur, ia memanjatkan doa. Doa berakhir, ia melompat meninggalkan lubang kubur. Pihak keluarga Pak Ramelan pun demikian.

“Silahkan Mas Sobar untuk menguruk kembali lubang kuburnya,” ujar Pak Modin.

Sobar dan yang lain bahu membahu menguruk kembali lubang kubur itu.

****

Di perbatasan desa, nampak ratusan pemuda saling berhadap-hadapan. Para pemuda itu ada yang membawa clurit, klewang, pedang, samurai, ketapel, linggis, bahkan ada senjata rakitan. Jarak sepuluh meter diantara dua kelompok pemuda itu terlihat batu bata dan batu kali yang berserakan. Sepertinya batu bata dan batu kali itu habis dibuat untuk saling lempar.

Hoi kalau berani maju!” ujar salah seorang pemuda bertubuh gempal sambil mengayunayunkan klewangnya. “Nyalimu ciut ya!” balas pemuda di seberangnya sambil menunjukkan linggisnya yang panjang.

Saling umpat dan ejek pun semakin seru di antara dua kelompok pemuda dari dua desa yang berbeda itu. Dua kelompok pemuda itu sudah sering bentrok hanya gara-gara masalah sepele. Meski bentrokan itu selalu memakan korban jiwa namun mereka tidak pernah kapok melakukan.

Kemiskinan dan pengangguran itulah yang membuat bentrokan itu sebagai bentuk untuk mengusir kebosanan dan mengisi waku kosong. Para sesepuh desa yang sudah sering kali mendamaikan mereka, usahanya sering sia-sia. Dihadapan para sesepuh, para pemuda itu sepakat damai namun begitu kesepakatan damai usai, beberapa bulan kemudian bentrokan terjadi lagi.

Entah siapa yang memulai, tiba-tiba kedua kelompok pemuda itu saling serang dalam jarak dekat. Sabetan clurit, klewang, dan samurai, pun terjadi. Jeritan suara minta tolong, minta ampun, dan kesakitan terdengar dengan keras diantara aksi saling membunuh itu.

Saat ada korban bergelimpangan, roboh ke tanah, para pemuda yang terlibat bentrok itu dengan reflek berlari menjauh dari tempat itu dengan ketakutan kembali ke desa asalnya. Mereka para pengecut, tak mau bertanggungjawab bila ada korban. Ketika sudah tidak ada klebatan clurit, klewang, dan samurai terlihat 10 tubuh terbujur kaku. Lima dari pemuda desa sebelah dan lima dari desa Sobar tinggal.

Bentrok dan korban jiwa yang berjatuhan membuat warga dua desa itu pun geger. Semua warga desa bergegas menuju ke perbatasan desa. Begitu tiba di tempat itu, jerit dan isakan tangis terdengar ketika melihat 10 pemuda mati sia-sia. Tak tega melihat jenazah yang penuh luka akibat sabetan beda tajam, warga segera mengangkat jenazah dan mengantarnya ke rumah orangtua masing-masing. Ceceran darah segar masih nampak jelas di perbatasan desa meski para warga telah meninggalkan tempat itu.

***

Assalamu’alaikumkulo nuwun,” ujar Jayeng. Dirasa ucapan yang demikian kurang terdengar, Jayeng mengetuk pintu rumah Sobar. “Tok, tok, tok,” begitu bunyi ketika tangan Jayeng mengetuk pintu yang terbuat dari kayu mahoni itu. Kurang mendapat respon, Jayeng lebih mengeraskan ketukkanya, “Tok, tok, tok!”

Upaya Jayeng mengetukkan pintunya lebih keras rupanya berhasil. Sobar dengan memperbaiki posisi sarungnya bergegas keluar dari kamarnya. Sobar kesiangan bangun karena tadi malam susah tidur akibat memikirkan nasibnya. “Ada berita duka Bar,” Jayeng segera menjelaskan kedatangannya. Belum sempat bertanya siapa yang meninggal, Jayeng kembali mengabarkan, “lima pemuda desa ini tewas akibat tadi pagi bentrok dengan pemuda sebelah.”

Astagfirlullahaladzim,” Sobar kaget bukan main.

“Kok bisa?” dirinya bertanya.

“Ya karena masing-masing kelompok pemuda membawa senjata tajam,” papar Jayeng.

Masya Allah,” wajah Sobar sedih dan berduka. Hatinya pun trenyuh.

Dalam kepedihan itu angan-angan Sobar membisikkan kalimat, “lima liang lahat ini sebuah rejeki besar.” Dari lima liang lahat itu bisa untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga dan membiayai anak pertama masuk SMA dan membelikan baju sekolah baru untuk anak kedua.

Antara hati dan angan-angan Sobar mengalami seperti apa yang telah dilakukan dua kelompok pemuda dari dua desa tadi yakni bertikai. Akibat pertikaian antara angan-angan dan hati membuat mata Sobar menerawang entah ke mana. “Mas ayo ke kuburan,” ucap Jayeng. Ucapan itu menyadarkan Sobar dari tatapan kosong.

Secara sontak ia membawa peralatan untuk menggali kubur. Ia menjemput Kudir, Warso, dan Miko untuk diajak menggali lima liang lahat. Sesampai di kuburan, ayunan suara cangkul yang menghujam ke tanah tidak mampu mengusik pertikaian antara hati dan angan-angan Sobar. Kematian lima pemuda desa itu bagi Sobar berada di antara kegembiraan dan kesedihan. Sobar merasa senang akan mendapat rejeki sehingga bisa mencukupi kebutuhan anak dan istri namun di sisi lain dirinya menangis karena saudara-saudaranya satu desa harus masuk liang lahat yang digalinya.

Ikuti tulisan menarik Ardi Winangun lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler