x

Iklan

Ardi Winangun

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Inklusifitas Kartini, dari Membaca dan Menulis J. H. Abendano

Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

J. H. Abendanon dituduh merekayasa surat-surat Kartini, akibatnya apa agama Kartini menjadi perdebatan.  Perdebatan soal agama Kartini itu dijawab Th. Sumartana dalam buku yang berjudul Mission at The Crossroad: Indigeneous Churches, european Missionaries, Islamic Assosiation, and Socio-Religious Change in Java 1812-1936 (Jakarta: BPK GM, 1994).

Kalau diselusuri, agama Kartini sejatinya adalah Islam. Raden Ajeng Kartini adalah bangsawan Jawa, putri Bupati Jepara, Jawa Tengah, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara.

Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwono VI. Dalam memberikan pendidikan agama Islam, ayahnya memanggilkan guru ngaji untuk mengajar Kartini. Di dalam buku yang ditulis Th Sumartana juga mengakui bahwa Kartini lahir dan meninggal sebagai muslimat, hlm 67.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mengapa terjadi bias terhadap agama Kartini? Sebab Kartini dalam kumpulan suratnya, Habis Gelap Terbitlah Terang(Door Duisternis tot Licht), tergambarkan sebagai seorang yang sangat terbuka dengan ajaran Kristen dan bergaul dengan pengikutnya tanpa merasa takut dicap melanggar agama Islam.

Bagaimana Kartini bisa paham dengan agama Kristen? Dari membaca buku kiriman Tuan Dr. Nicolaus Adriani. Nicolaus Adriani adalah seorang ahli bahasa dari Belanda. Ia pada tahun 1894 dikirim oleh Perkumpulan Kitab Injil Belanda untuk mempelajari bahasa-bahasa Toraja di Sulawesi Tengah dan mempersiapkan terjemahan Kitab Injil. Nicolaus Adriani dikenalkan kepada Kartini oleh Keluarga Abendanon saat Kartini di Betawi. Kartini tahu Nicolaus Adriani adalah seorang misionaris

Buku yang dikirim Nicolaus Adriani kepada Kartini seperti ceramah zending; buku tentang Budha, Waarheid en Vrede (Kenyataan dan Perdamaian) dan De Ziel van een Volk;  Naar’t grote Licht (Menuju ke Cahaya besar); buku-buku Kristen seperti Nyai Magdalenah (Maria Magdalena), Quo Vadis, Wij Beiden (Kami Berdua); dan buku Yahudi Droomen van het Ghetto.

Bagaimana sikap Kartini ketika menerima kiriman itu? Surat tertanggal  24 September 1902, mengatakan, “… Kami mengucapkan terima kasih banyak atas kebaikan hati tuan mengirimi kami bacaan yang banyak mengandung pengajaran, yang memikat hati dan menarik perhatian. Kami sangat menikmatinya dan banyak yang kami resapkan. Dengan banyak perhatian kami juga mengikuti corat-coret kehidupan Nyai Magdalenah. Sudah teramat sering kami membaca tentang perempuan yang saleh dan takwa kepada Allah. Yang terakhir kalau tak salah dalam Hollandse Revue. Sayang sekali Mapane (sebuah tempat di Teluk Tomini, Sulawesi Tengah) jauh sekali dan sulit benar dicapai. Senang sekali hati kami apabila dapat berkunjung pada tuan! Banyak sekali yang ingin kami sampaikan apabila dapat berkunjung pada tuan! Banyak sekali yang ingin benar kami bicarakan dengan tuan, dan sulit untuk mengatakan semuanya dalam surat.

Setahun sebelumnya, dirinya menerima buku mengenai Budha. Dalam suratnya, 10 Agustus 1901, diungkapkan, Saya baru menerima karya Fielding dari negeri Belanda yang membicarakan ajaran Budha. Menurut kupasan-kupasan yang saya baca tentang buku itu karangan pasti sangat bagus. Karangan itu diterjemahkan dari bahasa inggris oleh Felix Ort, redaktur Waarheid en Vrede. Dari namanya tuan pasti mengenal. Ia mencitacitakan dan mempropagandakan keyakinan yang sangat bagus: menaklukan kejahatan dengan cinta kasih. Sangat bagus dalam teori, tetapi bukan main sukar dalam pelaksanaan. Kami sangat tertarik akan hal itu, kami juga membaca bukunya yang bagus: Naar’t grote Licht (Menuju ke Cahaya besar), yang membicarakan semua persoalan sehari-hari yang memerlukan penyelesaian.

Dipingit dalam sebuah rumah membuat waktu-waktu Kartini dihabiskan untuk membaca dan selanjutnya menulis surat. Kesibukan ayahnya sebagai bupati inilah yang membuat Kartini secara diam-diam belajar agama Kristen, Budha, Yahudi, dan ateis. Dari sinilah ketika berdialog dengan Nicolaus Adriani, Kartini menunjukan bahwa ia mampu memahami agama Kristen, Budha, Yahudi, dan ateis dengan baik.

Kristenisasi Nicolaus Adriani di Jawa bagi Kartini dianggap bukan sebagai ancaman atau kekhawatiran di mana rakyat Hindia pada waktu itu sudah banyak yang memeluk agama Islam. Suratnya tertanggal 19 Maret 1901, mengatakan Alangkah suka ria hati kami, apabila lambat laun kami boleh mengucapkan selamat datang kepada tuan di Jepara. Tuan tidak salah, kamu memang menaruh rasa simpati yang sangat besar kepada pekerjaan zending Kristen di Hindia Belanda. Dan kami menaruh minat kepada semua yang menyangkut pekerjaan, usaha dan hidup orang-orang yang berbudi luhur, yang bertempat tinggal di daerah-daerah yang paling terpencil, masih hutan rimba...”

Kartini tahu Nicolaus Adriani melakukan gerakan kristenisasi. Dalam suratnya Kartini mengatakan, “Dengan penuh perhatian saya mengikuti tuan dalam kedua karangan Tuan. Saya berterima kasih atas kesempatan yang tuan berikan kepada kamu untuk mendengar demikian banyak hal yang penting, yang semuanya sangat baru bagi kami.”

Lebih lanjut dikatakan Kartini, Belum lama berselang sekali lagi kami membaca Maatschappelijk Werk in Indie, laporan kongres yang diadakan pada kesempatan Pameran Nasional Karya Wanita di Den Haag 1898, dan seperti pada ceramah-ceramah sebelumnya, lama kami membaca-baca pengumuman pekerjaan zending Kristen di Hindia Belanda.

Berada di tengah ummat lain bagi Kartini bukan suatu hal yang baru. Sebelum menerima buku dari Nicolaus Adriani, Kartini sudah sering berada di tengah ummat lainnya, dalam suratnya diceritakan, pada tahun 1896 kami beruntung dan berbahagia menghadiri suatu upacara yang barangkali akan tetap satu-satunya yang kami lihat sepanjang hidup kami, yaitu peresmian gereja di Kedung Penjalin. Datang di gereja Kristen dan menyaksikan semua kebaktian, merupakan hal yang pertama kalinya bagi kami.

Tak hanya pergi ke gereja dan melihat kebaktian, dalam penggalan surat yang lain diungkapkan, ingin sekali kami tinggal untuk sementara waktu di pos zending tuan. Di tengah kaum zending. Senang sekali rasanya berada di tengah-tengah orang-orang yang berhati suci, yang semata-mata hidup demi cinta kasih. Keinginan Kartini untuk tinggal di pos zending juga dianggapnya sebagai langkah yang haram, seperti dirinya saat berkunjung ke gereja Kedung Penjalin.

Dalam suratnya yang terakhir kepada Nicolaus Adriani, 5 Juli 1903, Kartini menuturkan, Nyonya Van Kol banyak menceritakan kepada kami tentang Jesus yang tuan muliakan itu, tentang rasul-rasul Petrus dan Paulus, dan kami senang mendengarnya.

Kami tidak peduli agama mana yang dipeluk orang atau bangsa mana dia. Jiwa besar tetap jiwa besar, akhlak mulia tetap akhlak mulia. Hamba Allah ada pada tiap-tiap agama, di tengah-tengah bangsa.

Saya telah membaca Quo Vadis. Saya kagumi dan sayangi para syahid yang berada dalam penderitaan yang sepahit-pahitnya itu masih bersyukur dan percaya menengadah ke atas, masih memaklumkan puji-pujian terhadap-Nya dalan nyanyian yang indah. Saya telah menderita bersama mereka, dan saya bersorak-sorak bersama mereka.

Tuan tahu Wij beiden karangan Edna Lyall! Itu pun bagus benar: buku itu membicarakan orang-orang ateis dan Kristen, membicarakan agama Kristen dan pemutarbalikannya yang terkutuk. Seperti yang sayang sekali tidak jarang terdapat di dunia. Dikisahkan tentang tokoh besar ateis, Luke Raeburn, di samping tokoh Erica Raeburn yang berjiwa besar dan mulia yang dari ateis sejati menjadi pemeluk agama Kristen yang bertakwa, saleh, dan beriman. Ayah dan anak yang saling mencintai sepenuh hati dan bergaul dengan mesra.

Kami telah membaca pula De Ziel Van Een Volk tentang agama Budha, buku yang sangat bagus pula. Sekarang kami ingin membaca tentang agama Yahudi (betulkah demikian?) Barangkali buku Droomen Van Het Ghetto karangan Zangwill akan memberikan sesuatu yang kami cari.     

J. H. Abendanon dituduh merekayasa surat-surat Kartini, akibatnya apa agama Kartini menjadi perdebatan.  Perdebatan soal agama Kartini itu dijawab Th. Sumartana dalam buku yang berjudul Mission at The Crossroad: Indigeneous Churches, european Missionaries, Islamic Assosiation, and Socio-Religious Change in Java 1812-1936 (Jakarta: BPK GM, 1994).

Kalau diselusuri, agama Kartini sejatinya adalah Islam. Raden Ajeng Kartini adalah bangsawan Jawa, putri Bupati Jepara, Jawa Tengah, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara.

Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwono VI. Dalam memberikan pendidikan agama Islam, ayahnya memanggilkan guru ngaji untuk mengajar Kartini. Di dalam buku yang ditulis Th Sumartana juga mengakui bahwa Kartini lahir dan meninggal sebagai muslimat, hlm 67.

Mengapa terjadi bias terhadap agama Kartini? Sebab Kartini dalam kumpulan suratnya, Habis Gelap Terbitlah Terang(Door Duisternis tot Licht), tergambarkan sebagai seorang yang sangat terbuka dengan ajaran Kristen dan bergaul dengan pengikutnya tanpa merasa takut dicap melanggar agama Islam.

Bagaimana Kartini bisa paham dengan agama Kristen? Dari membaca buku kiriman Tuan Dr. Nicolaus Adriani. Nicolaus Adriani adalah seorang ahli bahasa dari Belanda. Ia pada tahun 1894 dikirim oleh Perkumpulan Kitab Injil Belanda untuk mempelajari bahasa-bahasa Toraja di Sulawesi Tengah dan mempersiapkan terjemahan Kitab Injil. Nicolaus Adriani dikenalkan kepada Kartini oleh Keluarga Abendanon saat Kartini di Betawi. Kartini tahu Nicolaus Adriani adalah seorang misionaris

Buku yang dikirim Nicolaus Adriani kepada Kartini seperti ceramah zending; buku tentang Budha, Waarheid en Vrede (Kenyataan dan Perdamaian) dan De Ziel van een Volk;  Naar’t grote Licht (Menuju ke Cahaya besar); buku-buku Kristen seperti Nyai Magdalenah (Maria Magdalena), Quo Vadis, Wij Beiden (Kami Berdua); dan buku Yahudi Droomen van het Ghetto.

Bagaimana sikap Kartini ketika menerima kiriman itu? Surat tertanggal  24 September 1902, mengatakan, “… Kami mengucapkan terima kasih banyak atas kebaikan hati tuan mengirimi kami bacaan yang banyak mengandung pengajaran, yang memikat hati dan menarik perhatian. Kami sangat menikmatinya dan banyak yang kami resapkan. Dengan banyak perhatian kami juga mengikuti corat-coret kehidupan Nyai Magdalenah. Sudah teramat sering kami membaca tentang perempuan yang saleh dan takwa kepada Allah. Yang terakhir kalau tak salah dalam Hollandse Revue. Sayang sekali Mapane (sebuah tempat di Teluk Tomini, Sulawesi Tengah) jauh sekali dan sulit benar dicapai. Senang sekali hati kami apabila dapat berkunjung pada tuan! Banyak sekali yang ingin kami sampaikan apabila dapat berkunjung pada tuan! Banyak sekali yang ingin benar kami bicarakan dengan tuan, dan sulit untuk mengatakan semuanya dalam surat.

Setahun sebelumnya, dirinya menerima buku mengenai Budha. Dalam suratnya, 10 Agustus 1901, diungkapkan, Saya baru menerima karya Fielding dari negeri Belanda yang membicarakan ajaran Budha. Menurut kupasan-kupasan yang saya baca tentang buku itu karangan pasti sangat bagus. Karangan itu diterjemahkan dari bahasa inggris oleh Felix Ort, redaktur Waarheid en Vrede. Dari namanya tuan pasti mengenal. Ia mencitacitakan dan mempropagandakan keyakinan yang sangat bagus: menaklukan kejahatan dengan cinta kasih. Sangat bagus dalam teori, tetapi bukan main sukar dalam pelaksanaan. Kami sangat tertarik akan hal itu, kami juga membaca bukunya yang bagus: Naar’t grote Licht (Menuju ke Cahaya besar), yang membicarakan semua persoalan sehari-hari yang memerlukan penyelesaian.

Dipingit dalam sebuah rumah membuat waktu-waktu Kartini dihabiskan untuk membaca dan selanjutnya menulis surat. Kesibukan ayahnya sebagai bupati inilah yang membuat Kartini secara diam-diam belajar agama Kristen, Budha, Yahudi, dan ateis. Dari sinilah ketika berdialogdengan Nicolaus Adriani, Kartini menunjukan bahwa ia mampu memahami agama Kristen, Budha, Yahudi, dan ateis dengan baik.

Kristenisasi Nicolaus Adriani di Jawa bagi Kartini dianggap bukan sebagai ancaman atau kekhawatiran di mana rakyat Hindia pada waktu itu sudah banyak yang memeluk agama Islam. Suratnya tertanggal 19 Maret 1901, mengatakan Alangkah suka ria hati kami, apabila lambat laun kami boleh mengucapkan selamat datang kepada tuan di Jepara. Tuan tidak salah, kamu memang menaruh rasa simpati yang sangat besar kepada pekerjaan zending Kristen di Hindia Belanda. Dan kami menaruh minat kepada semua yang menyangkut pekerjaan, usaha dan hidup orang-orang yang berbudi luhur, yang bertempat tinggal di daerah-daerah yang paling terpencil, masih hutam rimba...”

Kartini tahu Nicolaus Adriani melakukan gerakan kristenisasi. Dalam suratnya Kartini mengatakan, “Dengan penuh perhatian saya mengikuti tuan dalam kedua karangan Tuan. Saya berterima kasih atas kesempatan yang tuan berikan kepada kamu untuk mendengar demikian banyak hal yang penting, yang semuanya sangat baru bagi kami.”

Lebih lanjut dikatakan Kartini, Belum lama berselang sekali lagi kami membaca Maatschappelijk Werk in Indie, laporan kongres yang diadakan pada kesempatan Pameran Nasional Karya Wanita di Den Haag 1898, dan seperti pada ceramah-ceramah sebelumnya, lama kami membaca-baca pengumuman pekerjaan zending Kristen di Hindia Belanda.

Berada di tengah ummat lain bagi Kartini bukan suatu hal yang baru. Sebelum menerima buku dari Nicolaus Adriani, Kartini sudah sering berada di tengah ummat lainnya, dalam suratnya diceritakan, pada tahun 1896 kami beruntung dan berbahagia menghadiri suatu upacara yang barangkali akan tetap satu-satunya yang kami lihat sepanjang hidup kami, yaitu peresmian gereja di Kedung Penjalin. Datang di gereja Kristen dan menyaksikan semua kebaktian, merupakan hal yang pertama kalinya bagi kami.

Tak hanya pergi ke gereja dan melihat kebaktian, dalam penggalan surat yang lain diungkapkan, ingin sekali kami tinggal untuk sementara waktu di pos zending tuan. Di tengah kaum zending. Senang sekali rasanya berada di tengah-tengah orang-orang yang berhati suci, yang semata-mata hidup demi cinta kasih. Keinginan Kartini untuk tinggal di pos zending juga dianggapnya sebagai langkah yang haram, seperti dirinya saat berkunjung ke gereja Kedung Penjalin.

Dalam suratnya yang terakhir kepada Nicolaus Adriani, 5 Juli 1903, Kartini menuturkan, Nyonya Van Kol banyak menceritakan kepada kami tentang Jesus yang tuan muliakan itu, tentang rasul-rasul Petrus dan Paulus, dan kami senang mendengarnya.

Kami tidak peduli agama mana yang dipeluk orang atau bangsa mana dia. Jiwa besar tetap jiwa besar, akhlak mulia tetap akhlak mulia. Hamba Allah ada pada tiap-tiap agama, di tengah-tengah bangsa.

Saya telah membaca Quo Vadis. Saya kagumi dan sayangi para syahid yang berada dalam penderitaan yang sepahit-pahitnya itu masih bersyukur dan percaya menengadah ke atas, masih memaklumkan puji-pujian terhadap-Nya dalan nyanyian yang indah. Saya telah menderita bersama mereka, dan saya bersorak-sorak bersama mereka.

Tuan tahu Wij beiden karangan Edna Lyall! Itu pun bagus benar: buku itu membicarakan orang-orang ateis dan Kristen, membicarakan agama Kristen dan pemutarbalikannya yang terkutuk. Seperti yang sayang sekali tidak jarang terdapat di dunia. Dikisahkan tentang tokoh besar ateis, Luke Raeburn, di samping tokoh Erica Raeburn yang berjiwa besar dan mulia yang dari ateis sejati menjadi pemeluk agama Kristen yang bertakwa, saleh, dan beriman. Ayah dan anak yang saling mencintai sepenuh hati dan bergaul dengan mesra.

Kami telah membaca pula De Ziel Van Een Volk tentang agama Budha, buku yang sangat bagus pula. Sekarang kami ingin membaca tentang agama Yahudi (betulkah demikian?) Barangkali buku Droomen Van Het Ghetto karangan Zangwill akan memberikan sesuatu yang kami cari.     

J. H. Abendanon dituduh merekayasa surat-surat Kartini, akibatnya apa agama Kartini menjadi perdebatan.  Perdebatan soal agama Kartini itu dijawab Th. Sumartana dalam buku yang berjudul Mission at The Crossroad: Indigeneous Churches, european Missionaries, Islamic Assosiation, and Socio-Religious Change in Java 1812-1936 (Jakarta: BPK GM, 1994).

Kalau diselusuri, agama Kartini sejatinya adalah Islam. Raden Ajeng Kartini adalah bangsawan Jawa, putri Bupati Jepara, Jawa Tengah, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara.

Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwono VI. Dalam memberikan pendidikan agama Islam, ayahnya memanggilkan guru ngaji untuk mengajar Kartini. Di dalam buku yang ditulis Th Sumartana juga mengakui bahwa Kartini lahir dan meninggal sebagai muslimat, hlm 67.

Mengapa terjadi bias terhadap agama Kartini? Sebab Kartini dalam kumpulan suratnya, Habis Gelap Terbitlah Terang(Door Duisternis tot Licht), tergambarkan sebagai seorang yang sangat terbuka dengan ajaran Kristen dan bergaul dengan pengikutnya tanpa merasa takut dicap melanggar agama Islam.

Bagaimana Kartini bisa paham dengan agama Kristen? Dari membaca buku kiriman Tuan Dr. Nicolaus Adriani. Nicolaus Adriani adalah seorang ahli bahasa dari Belanda. Ia pada tahun 1894 dikirim oleh Perkumpulan Kitab Injil Belanda untuk mempelajari bahasa-bahasa Toraja di Sulawesi Tengah dan mempersiapkan terjemahan Kitab Injil. Nicolaus Adriani dikenalkan kepada Kartini oleh Keluarga Abendanon saat Kartini di Betawi. Kartini tahu Nicolaus Adriani adalah seorang misionaris

Buku yang dikirim Nicolaus Adriani kepada Kartini seperti ceramah zending; buku tentang Budha, Waarheid en Vrede (Kenyataan dan Perdamaian) dan De Ziel van een Volk;  Naar’t grote Licht (Menuju ke Cahaya besar); buku-buku Kristen seperti Nyai Magdalenah (Maria Magdalena), Quo Vadis, Wij Beiden (Kami Berdua); dan buku Yahudi Droomen van het Ghetto.

Bagaimana sikap Kartini ketika menerima kiriman itu? Surat tertanggal  24 September 1902, mengatakan, “… Kami mengucapkan terima kasih banyak atas kebaikan hati tuan mengirimi kami bacaan yang banyak mengandung pengajaran, yang memikat hati dan menarik perhatian. Kami sangat menikmatinya dan banyak yang kami resapkan. Dengan banyak perhatian kami juga mengikuti corat-coret kehidupan Nyai Magdalenah. Sudah teramat sering kami membaca tentang perempuan yang saleh dan takwa kepada Allah. Yang terakhir kalau tak salah dalam Hollandse Revue. Sayang sekali Mapane (sebuah tempat di Teluk Tomini, Sulawesi Tengah) jauh sekali dan sulit benar dicapai. Senang sekali hati kami apabila dapat berkunjung pada tuan! Banyak sekali yang ingin kami sampaikan apabila dapat berkunjung pada tuan! Banyak sekali yang ingin benar kami bicarakan dengan tuan, dan sulit untuk mengatakan semuanya dalam surat.

Setahun sebelumnya, dirinya menerima buku mengenai Budha. Dalam suratnya, 10 Agustus 1901, diungkapkan, Saya baru menerima karya Fielding dari negeri Belanda yang membicarakan ajaran Budha. Menurut kupasan-kupasan yang saya baca tentang buku itu karangan pasti sangat bagus. Karangan itu diterjemahkan dari bahasa inggris oleh Felix Ort, redaktur Waarheid en Vrede. Dari namanya tuan pasti mengenal. Ia mencitacitakan dan mempropagandakan keyakinan yang sangat bagus: menaklukan kejahatan dengan cinta kasih. Sangat bagus dalam teori, tetapi bukan main sukar dalam pelaksanaan. Kami sangat tertarik akan hal itu, kami juga membaca bukunya yang bagus: Naar’t grote Licht (Menuju ke Cahaya besar), yang membicarakan semua persoalan sehari-hari yang memerlukan penyelesaian.

Dipingit dalam sebuah rumah membuat waktu-waktu Kartini dihabiskan untuk membaca dan selanjutnya menulis surat. Kesibukan ayahnya sebagai bupati inilah yang membuat Kartini secara diam-diam belajar agama Kristen, Budha, Yahudi, dan ateis. Dari sinilah ketika berdialogdengan Nicolaus Adriani, Kartini menunjukan bahwa ia mampu memahami agama Kristen, Budha, Yahudi, dan ateis dengan baik.

Kristenisasi Nicolaus Adriani di Jawa bagi Kartini dianggap bukan sebagai ancaman atau kekhawatiran di mana rakyat Hindia pada waktu itu sudah banyak yang memeluk agama Islam. Suratnya tertanggal 19 Maret 1901, mengatakan Alangkah suka ria hati kami, apabila lambat laun kami boleh mengucapkan selamat datang kepada tuan di Jepara. Tuan tidak salah, kamu memang menaruh rasa simpati yang sangat besar kepada pekerjaan zending Kristen di Hindia Belanda. Dan kami menaruh minat kepada semua yang menyangkut pekerjaan, usaha dan hidup orang-orang yang berbudi luhur, yang bertempat tinggal di daerah-daerah yang paling terpencil, masih hutam rimba...”

Kartini tahu Nicolaus Adriani melakukan gerakan kristenisasi. Dalam suratnya Kartini mengatakan, “Dengan penuh perhatian saya mengikuti tuan dalam kedua karangan Tuan. Saya berterima kasih atas kesempatan yang tuan berikan kepada kamu untuk mendengar demikian banyak hal yang penting, yang semuanya sangat baru bagi kami.”

Lebih lanjut dikatakan Kartini, Belum lama berselang sekali lagi kami membaca Maatschappelijk Werk in Indie, laporan kongres yang diadakan pada kesempatan Pameran Nasional Karya Wanita di Den Haag 1898, dan seperti pada ceramah-ceramah sebelumnya, lama kami membaca-baca pengumuman pekerjaan zending Kristen di Hindia Belanda.

Berada di tengah ummat lain bagi Kartini bukan suatu hal yang baru. Sebelum menerima buku dari Nicolaus Adriani, Kartini sudah sering berada di tengah ummat lainnya, dalam suratnya diceritakan, pada tahun 1896 kami beruntung dan berbahagia menghadiri suatu upacara yang barangkali akan tetap satu-satunya yang kami lihat sepanjang hidup kami, yaitu peresmian gereja di Kedung Penjalin. Datang di gereja Kristen dan menyaksikan semua kebaktian, merupakan hal yang pertama kalinya bagi kami.

Tak hanya pergi ke gereja dan melihat kebaktian, dalam penggalan surat yang lain diungkapkan, ingin sekali kami tinggal untuk sementara waktu di pos zending tuan. Di tengah kaum zending. Senang sekali rasanya berada di tengah-tengah orang-orang yang berhati suci, yang semata-mata hidup demi cinta kasih. Keinginan Kartini untuk tinggal di pos zending juga dianggapnya sebagai langkah yang haram, seperti dirinya saat berkunjung ke gereja Kedung Penjalin.

Dalam suratnya yang terakhir kepada Nicolaus Adriani, 5 Juli 1903, Kartini menuturkan, Nyonya Van Kol banyak menceritakan kepada kami tentang Jesus yang tuan muliakan itu, tentang rasul-rasul Petrus dan Paulus, dan kami senang mendengarnya.

Kami tidak peduli agama mana yang dipeluk orang atau bangsa mana dia. Jiwa besar tetap jiwa besar, akhlak mulia tetap akhlak mulia. Hamba Allah ada pada tiap-tiap agama, di tengah-tengah bangsa.

Saya telah membaca Quo Vadis. Saya kagumi dan sayangi para syahid yang berada dalam penderitaan yang sepahit-pahitnya itu masih bersyukur dan percaya menengadah ke atas, masih memaklumkan puji-pujian terhadap-Nya dalan nyanyian yang indah. Saya telah menderita bersama mereka, dan saya bersorak-sorak bersama mereka.

Tuan tahu Wij beiden karangan Edna Lyall! Itu pun bagus benar: buku itu membicarakan orang-orang ateis dan Kristen, membicarakan agama Kristen dan pemutarbalikannya yang terkutuk. Seperti yang sayang sekali tidak jarang terdapat di dunia. Dikisahkan tentang tokoh besar ateis, Luke Raeburn, di samping tokoh Erica Raeburn yang berjiwa besar dan mulia yang dari ateis sejati menjadi pemeluk agama Kristen yang bertakwa, saleh, dan beriman. Ayah dan anak yang saling mencintai sepenuh hati dan bergaul dengan mesra.

Kami telah membaca pula De Ziel Van Een Volk tentang agama Budha, buku yang sangat bagus pula. Sekarang kami ingin membaca tentang agama Yahudi (betulkah demikian?) Barangkali buku Droomen Van Het Ghetto karangan Zangwill akan memberikan sesuatu yang kami cari.     

Ikuti tulisan menarik Ardi Winangun lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler