x

Seorang demonstran memakai topeng dengan mulut dilakban simbol pembungkaman saat aksi unjuk rasa memprotes UU Keamanan Publik di Madrid, Spanyol, 1 Juli 2015. Undang-undang yang dijuluki `Law Gag` ini membatasi kebebasan menyuarakan pendapat, bereksp

Iklan

Pratiwi Febry

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Langkah Mundur Kebebasan Berekspresi di Indonesia

Tulisan ini berlatar belakang meresponi sejumlah pemubaran kegiatan di berbagai tempat sebagai ancaman demokrasi Indonesia melalui politik perijinan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Politik Perijinan yang berlaku hari ini sangat berbahaya bagi iklim demokrasi. Karena implementasi politik perijinan membuka ruang lebar bagi tindakan represif aparat maupun kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat lainnya. Di sisi lain kebijakan politik perijinan juga sudah tidak lagi sejalan dengan semangat era reformasi yang membuka ruang lebar bagi kebebasan berekspresi, berkumpul serta berpendapat. Lahirnya UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menjadi titik baliknya.

Yang dimaksud oleh Penulis dengan politik perijinan dalam hal ini ialah diberlakukannya sejumlah prosedur yang mengharuskan masyarakat memperoleh ijin keramaian dari pihak kepolisian sebelum melakukan kegiatan baik di ruang publik maupun privat. Dan alasan prosedur ijin keramaian ini seringkali digunakan oleh pihak Kepolisian untuk melegitimasi tindakan represif, pembatasan ruang ekspresi dan berpendapat masyarakat, bahkan sampai pada pembubaran kegiatan.

Pada awal 2016 ini terdapat kurang lebih 7 (tujuh) kasus pengekangangan kebebasan berekspresi, berkumpul dan berpendapat di tanah air. Bermula dari pembubaran yang disertai intimidasi dalam One Billion Rising (OBR) di Yogyakarta, dilanjutkan dengan pembubaran pelatihan LGBT yang diselenggarakan oleh Arus Pelangi di Jakarta, pembubaran Belok Kiri Festival di Taman Ismail Marzuki, penghentian pemutaran film Pulau Buru di Goethe Institut, pembubaran festival Tubuh di Bandung, penghentian pertunjukkan monolog Tan Malaka di Bandung, dan terakhir ialah pembubaran aksi perayaan hari Ketiadaan Tanah Internasional di Palu, Sulawesi Tengah.

Sejak dahulu rupanya politik perijinan memang sudah menjadi problem mengakar bagi pembangunan iklim demokrasi Indonesia. Yang menjadi soal pada era orde baru sebelum lahirnya SKB 2 Menteri tahun 1995 ialah ketidakpastian dan ketidakjelasan operasionalisasi Pasal 510 KUHP serta pemahaman yang multi-interprtatif terhadap kebijakan. Problematika tersebut melahirkan sejumlah tindakan sewenang-wenang, represif dan anti demokrasi. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kebijakan politik perijinan lahir dari kebijakan represif warisan hukum pidana Belanda yang masih hidup sampai saat ini dalam Pasal 510 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kebijakan ini dilanggengkan oleh regim orde baru dengan diterbitkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan Keamaanan Republik Indonesia No. 153 tahun 1995 dan No. KEP/12/XII/1995 tanggal 26 Desember 1995 tentang petunjuk pelaksanaan mengenai perizinan. SKB tersebut menjadikan pasal 510 KUHP (tentang izin keramaian) dan UU No. 5/PNPS/1963 (tentang pengawasan kegiatan politik) sebagai rujukannya.

Pasca lahirnya SKB, Kapolri -Jenderal (Pol) Banurusman Astrosemitro- menindaklanjutinya dengan mengeluarkan petunjuk lapangan (juklap) Kapolri No.Pol: Juklap/02/XII/1995 tanggal 29 Desember 1995 mengenai perizinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat. Juklap ini merupakan pembaharuan dari Juklap Kapolri sebelumnya No. 28 Tahun 1991 tentang Perizinan.

Semangat awal Kepolisian mengeluarkan Juklap tersebut ialah memberikan kepastian hukum dan meningkatkan kualitas layanan Kepolisian kepada masyarakat dalam memberikan perlindungan atas kebebasan berkumpul, berekspresi dan berpendapat. Hal ini disampaikan oleh Brigjen (Pol) Ketut Ratta, Kadispen Polri saat itu. Bahkan beliau sempat menyatakan jika ijin tidak dikeluarkan oleh Kepolisian selambatnya 3 (tiga) hari sebelum kegiatan diselenggarakan, maka berarti kegiatan tersebut memperoleh ijin. Sangat disayangkan kalau hari ini implementasi Juklap Kepolisian justru dimaknai sebaliknya yang bersifat pembatasan. Jika dalam 3 (tiga) hari sebelum kegiatan belum juga memperoleh surat ijin dari pihak Kepolisian maka kegiatan tidak boleh dilangsungkan.

Jelas dengan demikian kemerdekaan berkumpul, menyampaikan pendapat dan berekspresi di ruang publik akan sangat dibatasi. Padahal konstitusi melalui Pasal 28 jelas menjaminnya. Tidak berhenti pada Konstitusi, pemerintah sesungguhnya dalam semangat reformasi pada 1998, bersama dengan DPR melahirkan sebuah kebijakan yang mematahkan kebijakan represif politik perijinan melalui disahkannya UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Muka Umum pada 26 Oktober 1998.

UU No. 9 Tahun 1998 menggantikan regim politik perijinan dengan regim pemberitahuan. Aparat kepolisian diposisikan sebagai penjamin kepastian hukum masyarakat dalam konteks kebebasan berpikir, berkumpul, berpendapat dan berekspresi. Secara asas hukum dengan sendirinya Juklap Kepolisian tentang Perijinan yang menjadi dasar keberlakuan politik perijinan gugur. Lex Posterior derogat Legi Priori – hukum yang terbaru mengesampingkan hukum yang lama.

Landasan jaminan perlindungan hak kewarganegaraan dan jaminan hukum inilah yang menjadi argumentasi utama mengapa politik perijinan harus segera dihapuskan. Lagipula Juklap Kepolisian tahun 1995 yang masih saja marak digunakan hari ini sama sekali tidak menemukan dasar hukum keberlakuannya dalam tatanan peraturan perundang-undangan. Iklim demokrasi harus tetap dibangun dengan setia, dan melanggengkan politik perijinan jelas merupakan langkah mundur kebebasan berekspresi, berpikir, berpendapat dan berkumpul di alam demokrasi Indonesia .



[1] Ditulis oleh Pratiwi Febry dalam tugas penulisa opini di Tempo Institute

Ikuti tulisan menarik Pratiwi Febry lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler