x

Perketat-Seleksi-KPI

Iklan

dirga maulana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

KPI dan Pupusnya Harapan Publik

Pemilihan komisioner KPI ditengarai sarat kepentingan politik. Pasalnya, sembilan nama terpilih kerap berpatron ke partai politik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat ditengarai merupakan keputusan politis dalam memilih komisioner KPI. Pasalnya, sembilan nama terpilih kerap berpatron ke partai politik. Ironisnya, kenapa orang yang independen dan memiliki integritas pada penyiaran tidak mendapatkan suara di DPR.

Memang, pemilihan Komisioner KPI cukup panjang nan berliku. Pencalonan Komisioner KPI 2016-2019 akhirnya ditetapkan oleh DPR RI. Sembilan nama itu antara lain: Nuning Rodiyah (54 suara), Sudjarwanto Rahmat Muhammad Arifin (52 suara), Yuliandre Darwis (51 suara), Ubaidillah (46 suara), Dewi Setyarini (45 suara), H. Obsatar Sinaga (45 suara), Mayong Suryo Laksono (45 suara), Hardly Stefano Fenelon Pariela (34 suara), Agung Suprio (24 suara). Sembilan orang ini yang akan menahkodai Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga regulator independen (independent regulatory body) yang melaksanakan ketentuan Undang-Undang Penyiaran.

 

Dua Isu Krusial

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Terlepas dari keamburadulan mekanisme penetapan sembilan nama komisioner terpilih, mereka kini mengemban amanah publik untuk mengatur dan menegakkan hukum lalu lintas penyiaran di Indonesia. Dua isu krusial yang dihadapi komisioner KPI ke depan, pertama; KPI bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika akan memproses perpanjangan izin 10 stasiun televisi swasta tahun ini, dan kedua, KPI juga mengatur serta mengawasi pemanfaatan lembaga penyiaran untuk kepentingan politik pemilihan umum 2019. (Tempo, 2016).

Kita bisa saksikan sendiri bagaimana wajah pertelevisian di Indonesia yang melulu menayangkan sajian konyol berbentuk candaan dan sinetron yang kurang mendidik. Hampir di semua stasiun televisi menayangkan program yang serupa. Lagi nge-trend film Korea, semuanya Korea. Demam film Turki semuanya menayangkan film Turki. Keranjingan film India, semuanya berlomba menayangkan film India dan meluasnya ajang pencarian bakat, semuanya menyajikan pencarian bakat. Publik selalu mendapat konten yang seragam. Program tayangan yang kerap bermasalah tetap bisa tayang. Walaupun memang KPI memiliki mekanisme, seperti memberi teguran awal dan sanksi pemberhentian sementara program siaran yang bermasalah. Tapi karena orang produksi televisi lebih pintar daripada KPI, mereka kerap mensiasatinya. Di sini ketegasan KPI diuji dalam menegakkan hukum penyiaran.

Selanjutnya, sepuluh stasiun televisi yang akan habis masa sewa frekuensinya apakah sudah dikaji ulang oleh komisioner KPI periode sebelumnya dan menjadi tantangan untuk komisioner KPI terpilih. Kalau ternyata komisioner KPI terpilih lebih lembut dan tidak mengetahui medan perjuangan, maka akan terasa sulit berhadapan dengan raksasa industri pertelevisian.Atau komisioner KPI terpilih memilih mengharmonikan antara idealisme KPI dengan industri televisi. Memang pilihan yang dilematis.

Kemudian, faase pemilihan umum dengan riak pesta demokrasi dengan pemanfaatan media massa terutama televisi dalam melakukan propaganda politik kerap terjadi. Propaganda politik itu dalam bentuk iklan politik, berita politik yang menggiring opini khalayak dan program acara settingan. Jika hal ini tidak diurus dengan benar, maka televisi menjadi medium propaganda. Hak publik tercerabut dalam mengkonsumsi konten bermutu dan informasi yang bias.

Komisioner bisa belajar dari pemilihan umum 2014, yang menjadi contoh pertarungan sengit antar pemilik media. Pemilik media yang juga cum politisi berkompetisi juga dalam pemilu. Sebut saja Surya Paloh, pemilik surat kabar Media Indonesia dan Metro TV yang juga Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (NasDem).; Aburizal Bakrie, bos stasiun televisi ANTV, TvOne, dan portal berita Vivanews yang juga Ketua Umum DPP Partai Golongan Karya (Golkar); serta Harry Tanoesoedibjo, Raja MNC Group yang menguasai stasiun televisi RCTI, MNC TV, dan Global TV, Surat Kabar Sindo, jaringan radio Sindo Trijaya, serta media daring Okezone.

Sejumlah riset dan hasil pemantauan terhadap performa media pada pemilu 2014 menunjukkan betapa tiga “raja media” itu mengelola pemberitaan yang bias untuk kepentingan pemilik media, tidak akurat dalam penyampaian fakta, serta menyerang lawan-lawan politik. (Ignatius Haryanto, 2015). Dengan kondisi seperti ini bagaimana komisioner KPI melakukan terobosan dalam melawan digdaya pengusaha media yang juga politisi?

Dua tantangan ini menjadi permasalahan serius yang mesti dijawab serta komisioner dengan melakukan aksi nyata dalam hal perumusan regulasi penyiaran. Atau memang ada agenda lain dalam penetapan sembilan komisioner yang notabene didukung oleh partai politik. Dukungan tersebut tersirat dalam pengambilan voting dalam mekanisme penetapan di DPR. DPR melihat peluang strategis dalam melakukan lobi-lobi politik dan melihat konteks ke depan agar KPI tidak memiliki taji. Inilah realitas politik penyiaran saat ini.

Tentu publik berharap frekuensi sebagai sumber daya alam terbatas yang disewakan ke pemilik modal digunakan untuk kepentingan publik.Ironisnya, sewa frekuensi itu seakan-akan menjadi titik balik pemilik untuk melangsungkan kepentingan ekonomi, politik dan kelompok. Jika begitu pupus sudah harapan publik jika komisioner KPI terpilih menjadi cukong para pemilik industri pertelevisian.

 

Oleh Dirga Maulana

Ikuti tulisan menarik dirga maulana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler