x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Saat Kekuasaan Menggerus Karakter

Lebih sering terjadi, kekuasaan mengendalikan penguasa ketimbang sebaliknya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Kekuasaan merupakan hal fundamental dalam hubungan antarmanusia sebagaimana energi merupakan konsep fundamental dalam fisika.”
--Bertrand Russell (1872-1970)

 

Mungkin perubahan ini membuat Anda bertanya-tanya: ketika rekan kerja Anda dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi, ia mulai sukar ditemui, jarang makan siang bersama lagi. Mengapa begitu? Bisik-bisik beredar: ia terlalu sibuk untuk bergaul seperti dulu lagi. Tanggung jawabnya bertambah besar dan ia harus menemui orang-orang yang posisinya sederajat.

Namun Sukhvinder Obhi, seorang ahli saraf (neuroscientist) di Wilfrid Laurier University, Ontario, Kanada, punya jawaban yang berbeda. Obhi mengatakan: kekuasaan mengubah secara mendasar bagaimana otak bekerja. Bersama sejawatnya, Jeremy Hogeveen dan Michael Inzlicht, Obhi menunjukkan bukti hasil penelitiannya.

Obhi dan sejawat mengamati apa yang disebut mirror system yang berisi neuron-neuron yang akan aktif manakala kita melakukan sesuatu maupun ketika melihat orang lain melakukan sesuatu, misalnya mengambil secangkir kopi. Apakah Anda yang mengambil kopi atau Anda melihat orang lain yang melakukannya, mirror system Anda akan aktif. Mirror system seakan-akan ‘menempatkan’ Anda ke dalam benak orang lain

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Karena tindakan kita bertautan dengan pikiran yang lebih dalam—seperti keyakinan dan niat—kita pun mulai berempati pada apa yang memotivasi orang lain untuk melakukan suatu tindakan. Ini membuat kita lebih memahami apa yang dipikirkan orang lain. Obhi memberi contoh: “Ketika saya memerhatikan seseorang mengambil secangkir kopi, mirror system mengaktivasi representasinya di dalam otak saya yang akan aktif bila saya mengambil secangkir kopir.” Dari sinilah, kita dapat mengetahui: “Oh, orang itu ingin minum kopi.”

Obhi dan timnya ingin mengetahui apakah perasaan berkuasa atau tidak berdaya akan mengubah bagaimana mirror system merespons orang lain yang melakukan tindakan tertentu. Ternyata, perasaan tidak berdaya sangat mengaktifkan mirror system—orang-orang jadi sangat berempati. Tapi, ketika orang-orang merasa berkuasa, sinyal dari mirror system tidak tinggi, orang menjadi kurang berempati. Intinya: kekuasaan menghilangkan semua ragam empati.

Temuan ini, menurut Dacher Keltner, psikolog sosial di University of California, Berkeley, AS, sesuai dengan tren dalam riset psikologi. Mereka yang berempati akan berusaha melakukan penyesuaian bila berada di dalam kelompok—apakah sedang bekerja dalam tim atau tengah makan malam bersama keluarga; ia yang merasa berkuasa akan berlaku bak Don Corleone. Kekuasaan yang besar, kata Keltner, mencabut kemampuan berempati dan membuat seseorang merasa jadi paling benar dan paling berkuasa. 

Kekuasaan juga mendongkrak egosentrisitas—memandang diri sendiri sebagai lebih penting, jika bukan yang terpenting dibandingkan hal lain. Salah satu konsekuensi dari menurunnya rasa empati dan meningkatnya egosentrisitas ialah kecenderungan untuk memandang orang lain sebagai alat untuk mencapai tujuan; menjadikan orang lain sebagai instrumen. Sebagai instrumen, orang kebanyakan didekati selagi diperlukan dan dijauhi ketika sudah berkuasa.

Deborah Gruenfeld dan sejawatnya (2008) dari Universitas Stanford menemukan bukti seperti ini: Apabila kita mulai merasa berkuasa atas orang kebanyakan, kita mulai melihat orang lain sebagai obyek. Kita cenderung memandang orang lain dalam konteks seberapa bermanfaat orang lain bagi kita dan kurang menghargai orang lain dari sisi kualitas personalnya yang tidak berkaitan dengan manfaat itu. Orang-orang yang berkuasa, menurut Gruenfeld, akan menghubungi orang lain bila mereka memerlukan sesuatu dari orang tersebut. Jika tidak lagi membutuhkannya, mereka akan membuangnya.

Para peneliti ini, khususnya Keltner, melihat adanya perubahan pada perilaku orang-orang yang sebelumnya tidak berkuasa dan kemudian memegang kekuasaan. Menurut Keltner, meskipun orang-orang pada umumnya memperoleh kekuasaan melalui sifat-sifat dan tindakan yang terlihat akan memajukan kepentingan orang lain, seperti berempati, mendorong kolaborasi, keterbukaan, bersikap adil, serta berbagi; namun ketika mereka mulai merasa berkuasa atau menikmati posisi istimewa, kualitas-kualitas tadi mulai tergerus.

Beberapa waktu kemudian kekuasaan membuat seseorang lebih mungkin bersikap kasar, pemarah, egois, dan berperilaku tidak etis. Inilah fenomena ‘paradoks kekuasaan’. Ketika tangga kekuasaan yang mereka daki semakin tinggi, perilaku mereka justru semakin buruk. Kualitas-kualitas baiknya mulai tanggal satu per satu digerus oleh hasrat kekuasaan. Yang mengejutkan, pergeseran ini dapat berlangsung cepat, terlebih lagi bila kekuasaan itu demikian besar.

Kekuasaan pertama-tama akan menggerogoti karakter orang yang tengah berkuasa agar ia menyelewengkan kekuasaan yang diamanahkan kepadanya. Mendiang Abraham Lincoln, presiden ke-16 AS yang hidup sepanjang 1809-1865, pernah mengingatkan perkara ini ketika ia berkata: “Hampir setiap orang akan sanggup menanggung penderitaan, tapi jika engkau ingin tahu karakternya, berilah ia kekuasaan.” (sumber ilustrasi: startit.rs) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler