x

Nasib Ujian Nasional Diputuskan Pekan Ini

Iklan

Paulus Mujiran

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Polemik Moratorium Ujian Nasional

Mendikbud menyatakan UN akan dihentikan sementara karena dipandang tidak memberikan kontribusi signifikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bermaksud melakukan moratorium atau penghapusan Ujian Nasional (UN) pada 2017. Mendikbud Muhadjir Effendy menyatakan UN akan dihentikan sementara karena dipandang tidak memberikan kontribusi signifikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Penyelenggaraan UN justru membebani siswa  dengan beragam model belajar yang menakutkan sementara kemampuan menyerap pelajaran selama proses pembelajaran cenderung dipersempit.

UN justru membuat stress namun tidak memicu semangat siswa menguasai mata pelajaran. Keinginan belajar lebih disebabkan agar lulus bukan untuk menjadi kompeten. Namun moratorium ini disambut polemik masyarakat. Ada sementara pemikiran moratorium UN dilaksanakan di situasi yang kurang tepat karena proses persiapan untuk UN 2017 sudah separo jalan. Artinya baik guru dan siswa telah menyiapkan beragam cara dan strategi agar siswa mampu mengikuti UN 2017.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di pihak lain kalangan setuju dengan penghapusan menyambut gembira wacana moratorium UN ini. Kelompok ini beranggapan sudah saatnya evaluasi yang bersifat seragam secara nasional ditiadakan. Evaluasi bukan menjadi tugas utama pemerintah namun guru sebagai pendidik yang setiap hari berhadapan dengan siswa sebagai subyek pembelajaran. Bahkan dalam prakteknya UN dinodai dengan kecurangan yang dilakukan penyelenggara yakni birokrasi pendidikan, guru, siswa dan kepala sekolah.

Dalam kacamata itu UN dipandang kurang tepat sasaran. Jika UN dipandang sebagai cermin maka hasil UN justru potret telanjang anak-anak di pelosok diadu dengan anak-anak ibukota yang tentu hasilnya sangat tidak menggembirakan. Masyarakat juga sebagian masih menghendaki UN tetap dipertahankan dengan argumen yang juga tidak kalah rasionalnya. Seperti kerap dinyatakan para pejabat yang mendukung pelaksanaan UN, dengan cara ini siswa terpacu bekerja keras dalam belajar.

Mereka juga beralasan meski terus mengundang polemik sejak kelahirannya namun anak didik terpacu belajar untuk mendapatkan nilai baik dalam UN. Di masyarakat termasuk sekolah upaya menyambut UN dilakukan dengan aneka macam  kegiatan seperti pemberian pelajaran tambahan, drill, les, yang itu semua menciptakan iklim pembelajaran yang baik. Ketatnya persaingan plus bumbu-bumbu kalau tidak lulus menciptakan suasana UN yang memiriskan.

Di pihak lain terdapat kebanggaan karena parameter kelulusan dilakukan secara nasional yang berarti anak-anak di daerah mendapat kesempatan diukur secara sama dengan anak-anak dari daerah lain. Dan bagi guru pekerjaan jauh lebih ringan karena pada musim UN tugas mereka hanya menjadi pengawas sementara tanggung jawab membuat soal ada pada pihak lain. Namun demikian harus diakui penyelenggaraan UN selama ini tidak cukup dijadikan patokan mutu pendidikan.

Ketika UN dijadikan penentu kelulusan yang marak justru kecurangan karena sekolah dan siswa berlomba-lomba mendapatkan nilai yang baik agar prestise sekolah terdongkrak. UN tidak menghargai  budaya proses karena proses pembelajaran selama sekian tahun hanya diujikan dalam beberapa mata pelajaran. Itu pun bernuansa ketidakadilan karena ada siswa dengan fasilitas lebih dapat mempersiapkan dengan baik sementara lebih banyak lain tidak memiliki kemampuan mengikuti bimbingab belajar, les dan latihan soal.

Moratorium UN memang akan melahirkan pro dan kontra. Kemendikbud sebagai pihak yang melemparkan wacana ini harus sudah mengantisipasi bentuk lain atau pengganti ketika UN dihapuskan sementara. Hal ini untuk menghindari polemik agar sampai pada UN 2017 siswa dan guru tidak dibingungkan dengan bentuk ujian akhir karena waktunya kian mendesak. Yang tetap harus diingat perubahan kebijakan ini korbannya adalah siswa. Karena merekalah yang akan menjadi subyek UN sekaligus sasaran perubahan kebijakan.

Dalam hal ini beberapa langkah harus dilakukan Kemendikbud antara lain bentuk pengganti UN yang akan dilaksanakan. Jika ujian akhir apapun namanya diserahkan kepada sekolah sudah semestinya dengan petunjuk lengkap dan jelas. Jika terpaksa dilakukan pada 2017 waktunya tinggal 2-3 bulan lagi karena masih memerlukan waktu sosialisasi, pelatihan guru dan pembuatan soal. Jika pun diserahkan kepada sekolah tidak boleh kemudian kualitasnya diturunkan hanya untuk mengejar yang penting ujian akhir terlaksana.

Selain itu Kemendikbud harus membantu guru-guru di daerah agar kompeten dan percaya diri menguji siswanya sendiri. Ini menjadi tantangan karena yang berhak mengevaluasi siswa adalah guru. Namun ketika mandat itu diberikan kepada guru sepenuhnya belum tentu mereka siap. Agar tidak menimbulkan keresahan guru dan siswa petunjuk penyelenggaraan UN pengganti harus segera diterbitkan. Yang penting siswa tidak mengalami demoralisasi dalam belajar meki kebijakan berubah.

Pada akhirnya tugas guru tetap harus didorong agar memotivasi siswa agar rajin belajar menghadapi ujian akhir. Saat ini bentuknya memang masih ditunggu. Tetapi guru tidak boleh berputus asa sekalipun kebijakan mengenai UN terus berubah. Anggaplah perubahan-perubahan ini sebagai dinamika yang mendewasakan dunia pendidikan.

Oleh: Paulus Mujiran

Pendidik, Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata Semarang

Ikuti tulisan menarik Paulus Mujiran lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler