x

Iklan

Ihsan Reliubun

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Monalisa

Aku merindukan kematian, karena alam tidak menghendaki hidupku. Dalam lemari pakaian Monalisa tersimpan satu buah kotak kecil berbentuk segi empat. Kotak

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aku merindukan kematian, karena  alam tidak menghendaki hidupku.

Dalam lemari pakaian Monalisa tersimpan satu buah kotak kecil berbentuk segi empat. Kotak berwarna hitam. Saat Elisa merapikan pakaian di lemari, tangannya menyentuh kotak itu. Elisa tidak peduli dengan isi di dalamnya.

***

... Namaku Monalisa, ayahku seorang seniman. Seni membuatku hidup dan tumbuh menjadi seorang gadis remaja. Seni telah mengajariku bagaimana bertahan hidup, ketika sebagian dari mereka berspekulasi tentang hidup yang damai. Namun, kedamaian itu kerap dicaci-maki.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun 1994 lahir seorang gadis di tanah bekas jajahan Portugis, karena rempahnya. Monalisa, “hitam manis”, sebutan untuk gadis remaja di Maluku. dengan mata  sehitam kulitnya, rambutnya yang ikal. Raup tubuh menuai aroma seorang perempuan apik. Ukuran tubuhnya tidak setinggi Lintang, perempuan Prancis—Indonesia, yang diceritrakan Leila S. Chudori dalam novel Pulang.

“Tanah kita pernah tertimpa perang antarsaudara, Islam dan Kristen.”

Gerard bercerita kepada Monalisa, sambil duduk di dipan, malam itu rintik hujan turun pelan. Mereka memandang purnama bergeser dan mulai menghitam. Kemudian disusul awan hitam.  Anak itu (Monalisa) tampak takut, melihat awan yang semakin dekat di mata. Hujan turun deras, mereka saling pandang.

***

Monalisa lahir atas mani seorang seniman, Gerard dan Elisa. Tetapi saat itu, ayahnya tidak bergelut lagi di dunia melukis. Kanvas yang membuat Gerard selalu menggurat-gurat bentuk tubuh itu, kembali menghitam, dan nanar. Itulah depresi, karena hitam selalu mengelabuinya. Karena hitam membuat pandangan mata selalu gelap, bukan karena retina mata yang gagal normal. Tapi itulah kesedihan. Kesedihan atas sabda-sabda kehilangan anaknya.

Usia tujuh tahun Monalisa belajar mencintai seni dari Gerard. Darah seorang pelukis itu mengalir ke Monalisa, sampai ia tertular menjadi seorang seniman pula. Karya lukis Gerard semua diarsipkan, tetapi di saat dramaistik ’99 menjadi klimaks, semua hangus terbakar tanpa sisa. Rumah dan segala tete-bengek sirna bersama amukan api.

Monalisa juga piawai di bidang menulis, ia sering membuat karya sastra berupa cerpen, puisi. Ia juga pandai menari. Suatu hari, komunitas teater yang dibentuk bersama teman-temannya berhasil dikenal dan disukai masyarakat. Monalisa yang tertarik dalam dunia seni itu membuatnya semakin girang, ‘tak pelik tinggalkan dunia seni, dunia yang penuh interpretasi itu.

Suatu hari Monalisa diundang untuk membawa tarian khas daerah dalam acara peresmian gong “Perdamaian Dunia” yang diresmikan presiden RI ketujuh.

Dari situ Monalisa semakin tertarik mencintai dunia seni. Pujian selalu datang dari anak muda, orangtua,—dan siapa saja yang pernah menonton pentasnya. Ia girang mengayunkan lentik-lentik jari, menyatu-padu dalam tarian sawat di panggung perdamaian dunia. Mereka pun kerap melakukan demonstrasi dengan ciri khas mereka, terutama dalam manifesto perdamaian. Monalisa mengandalkan gerak tubuh dan tatapannya untuk menyampaikan pesan-pesan damai dalam tariannya.  

Lewat tarian khas budaya, puisi,  mereka berhasil mengenal pilu orang-orang sekitar mereka. Kelompok mereka terdiri dari gabungan mahasisawa di berbagai kampus. Tetapi kebanyakan dari mereka adalah remaja-remaja pengangguran.  Dalam komunitas seni, Monalisa yang usianya paling muda dari sekian banyak  teman-teman dalam komunitas.

Kampanye perdamaian selalu dibentuk dalam drama, teater, sampai pada membaca puisi—dengan sajak yang dibuatnya sendiri. Menurutnya, dengan seni ia belajar menjaga kebudayaan nenek moyangnya. Merangkul kebersamaan tanpa sekat. Mereka berdamai dengan seni—untuk menciptakan perdamaian yang pernah dibentur guntur dan kilat, senapan, parang, granat—dan segala hal yang  mampu menebas nafas.  Sehingga guyurnya mampu memisahkan tubuh dan nyawa. Ada  sekat yang membatu, tapi Monalisa membuatnya mengalir seperti Gangga di India.

Dari aktivitasnya sebagai pencinta seni, serta ketokohannya sebagai seorang aktivis perdamaian di tanah nenek moyangnya. Monalisa berdiri atas nama perdamaian. Seni sebagai instrumen pencipta harmonis antarsesama. Mereka menari-nari penuh keyakinan dan cita.

Suatu hari, datang seorang lelaki membawa surat undangan yang isinya mengundang Monalisa untuk diwawancara stasiun televisi suwasta di Jakarta.

“Bagaimana menurut Ayah dan Ibu?”  sambil Monalisa membaca isi surat itu di hadapan orangtuanya.

“Semuanya terserah Monalisa. Ayah dan Ibu selalu mendukungmu, mendoakanmu,” ujar Gerard saat mereka duduk di teras rumah. Berunding untuk kepergian Monalisa menghadiri panggilan stasiun televisi tersebut. Monalisa mengiayakan tawaran itu.

***

Setelah kembali dari undangan wawancara dan dialog perdamaian di Jakarta, Monalisa menerima telepon. Orang yang menelpon adalah seorang pembawa acara televisi beberap hari yang lalu. Dia menyampaikan pesan dari petinggi PBB di New York, Amerika Serikat yang kemudian disusul dengan surat undangan ke Monalisa lewat emailnya. Panggilan itu datang menjelang Hari Perdamaian Internasional. Monalisa menerima undangan tersebut.

Tibanya di gedung PBB Monalisa diutus untuk menyampaikan gagasan terkait “Membangun Kesadaran di Kalangan Anak Muda” khususnya di daerah-daerah yang pernah tertimpa perang antaragama.

Sambutan di Hari Perdamaian Internasional yang jatuh pada 21 September—yang digelar oleh organisasi bangsa-bangsa yang berdiri pada 24 Oktober 1945 itu, hening. Tiba-tiba gema suara tepuk tangan riuh dan ramai. Sorak suara memecah menumpas gedung mewah itu. Mendengar pesan-pesan damai yang dibentangkan di antas mimbar. Tembok-tembok gedung yang ikut menyaksikan gagasan si gadis hitam manis itu—ikut luluh.

“Peace does not need to be searched, because peace is by itself already exists. Live humans themselves have reconciled”.

Dengan senyum tipis, sembari diucapkan kata-kata itu sebelum Monalisa menutup sambutannya. Suara tepuk tangan seketika ramai, suara siul meluap di ruangan, di mimbar itu ia membalas pujian orang-orang asing itu dengan menunduk kepala sejenak. Monalisa melangkah turun menuju tempat duduknya.

Kota New York, menyambut haru bahasa perdamaian! Anak-anak yang bicara atas nama luka, beban, dan kebencian, lenyaplah!

***

Aku merindukan kematian, karena  alam tidak menghendaki hidupku!

Monalisa dikabarkan meninggal dunia, sajak-sajak perdamaian merenggut tubuhnya. Jiwanya kembali melalang buana, tenggelam dalam bahasa perdamaian. Tuhan mencukupi kehidupannya di usia muda.

Monalisa pulang tanpa nestapa, melainkan damai! Melainkan sebuah perjuangan

Melainkan kemerdekaan usia muda, bagi Tuhan telah cukup ditunaikan ....

Kepergiannya seperti barisan kalimat yang sulit ditafsirkan, dialah seni, sesuatu yang harus diinterpretasi. Kematian menjadi begitu dekat, kematian menjadi lebih hebat dari semua kehebatan. Kematian menjadi kesepakatan Tuhan yang sesungguhnya, siapa yang bisa mengelak? Ketika mereka enggan ditaklukan!

Pulang satu pekan lalu, setelah merayakan hari perdamaian di New York, Monalisa ikut menghembuskan nafas terakhirnya di tanah nenek moyangnya. Mati di tanah kelahirannya adalah cita-cita dan impian Monalisa. Perempuan yang bermimpi akan membawa perdamaian bagi negerinya, tanah nenek moyangnya harus damai. Bukan hanya perang yang pernah diceritakan ayahnya, tetapi pembunuh, perampok, koruptor harus berdamai. Damai untuk tidak membunuh, merampok, korupsi.

Di sebidang tanah, warna-warni bunga jatuh, semacam sebuah negeri yang sedang menyaksikan salju jatuh pada musimnya. Gerard dan Elisa siang itu semacam pohon kayu kering di musim hujan, daun-daunnya gugur, gemuruh hujan turun menyamai ranting-rantingnya. Air mata, tak ada alasan untuk dibendung. Pemakaman Monalisa berlangsung sampai selesai.

Matahari menikam ubun kepala yang tampak mati rasa. Keringat bercampur air mata, suami istri itu masih tersendat, tenggelam di kedalaman kesedihan. Kematian seperti gelap yang datang  menjawab seduh-sedan dalam bahasa multitafsir. Tubuh Gerard dan Elisa meringkih di tanah tertimbun yang ditabur bunga. Mereka yang berdoa, menabur kembang, berkaus hitam melangkah pulang sambil menitip doa. Entah, doa dari gunung, laut, dan jagat raya tertumpah di sana.

***

Mendengar kematian Monalisa sekumpulan orang datang mengucapkan rasa bela sungkawa. Rasa kehilangan tidak hanya dicicipi Gerard dan Elisa, melainkan orang-orang di sekitar mereka. Tokoh perdamaian yang berpulang itu, lenyap! Air mata mencekam semacam bulan sedang berganti musim. Kematian tanpa sebab. Dua aktor yang menulis kematian Monalisa, Tuhan dan manusia!

Belasan wartawan mendatangi rumah Gerard, menanyakan sebab kematian Monalisa. Setelah melihatnya tampil di televisi, Monalisa menjadi idola di negerinya: tokoh politik, pemerintah, polisi, TNI, semua mengincarnya,  kematianya  seperti ‘tak berujung. Hanya pembunuh, perampok, pencuri yang tahu jawabannya. Siapa mereka?

Gerard dan istrinya menjadi sasaran pertanyaan wartawan sebab kematian Monalisa.

“Saya, mendengar Monalisa meninggal karena mengidap kanker otak, apa itu betul?” tanya saya sambil menyodorkan alat rekamku.

“Saya sendiri bingung. Saya tidak pernah tahu sakit yang akan berujung pada kematiannya,” jawab Gerard.

Apa tanggapan anda, dengan keterangan pihak rumah sakit?

“Kita baru tahu, kalau anak kita sudah dirawat rumah sakit, sebelum itu Monalisa sendiri tidak cerita tentang sakitnya, setelah meninggal kita diberikan sepucuk surat dari dokter terkait keterangan penyakit Monalisa. Saya dan istriku hanya diam, tidak ada komentar,” jawab Gerard.

“Monalisa pernah mengidap sakit lain sebelum itu?”

“Tidak ada!”

“Tiga media di Jakarta memberitakan kematiannya disebabkan oleh kanker otak, sesuai keterangan tempat Monalisa dirawat,” tanyaku lagi.

“Saya ragu dengan ucapan dokter, dari tempat Monalisa dirawat mereka tidak menelpon dan bicara soal kanker otak itu. Semacam ada yang disembunyikan dari kami, orangtuanya,” Gerard berdiri tinggalkan tempat duduk, menuju ruang tengah. Gerard kembali dengan mata berkaca-kaca.

“Kapan anda menemui Monalisa di tempat perawatan?”

“Setelah dikabarkan anak saya meninggal,” perlahan air mata Gerard menetes.

Hari yang berkabung gelap, dan luka atas kematian masih membekas. Nestapa masih menghujat Gerard dan Elisa. Dan kehilangan adalah konsekuensi dari yang hidup dan memiliki.

Saya matikan alat rekaman. Rasa sedih kembali menghujat. Saya bertanya dalam hati, seperti menebak, menduga, semuanya bercampur jadi satu, pikiranku mulai “licik”. Mendengar ungkapan Gerard, saya berpikir ada yang disembunyikan dari kematian Monalisa, bukan dari Gerard dan Elisa istrinya, tetapi .... Kemudian saya mengingat tentang Munir, Widji Tukul, tentang kematian dalam sebuah siasat. Siasat yang dibuat-buat. Siasat yang disembunyikan, dan sengaja diam dalam persembunyian.

PBB memberi panggung untuk Monalisa berpandangan tentang perdamaian, tetapi negeriku mengharamkan perdamaian. Diciduk, dieksekusi entah diapakan lagi. Siapa yang berteriak menyanyikan lagu-lagu perdamaian, maka kematian adalah sahabat sejati baginya. Negeriku kini hanyut dalam pergulatan politik di masa Orba. Tidak mudah untuk berpendapat terang-terangan sistem otoritas Orba masih ada, sekalipun akar-akarnya telah dicabut.

Mengapa sebulan kematian Monalisa baru datang para wartawan untuk mengungkap tabir? Itulah pers, yang hidup di bawah perintah penguasa! Mereka punya cara untuk menutup mulut. Itulah kematian yang ditulis oleh manusia. 

Saya beranjak keluar dari rumah Gerard. Setelah mencapai lebih 20 meter dari Gerard dan istrinya. Sejenak saya menghidu udara segar, karena suasana di dalam rumah Gerard membuatku terpasung dalam romantika kesedihan ketika mendengar  ungkapannya. Suara tangis dengan percakapan yang terdengar putus-putus datang dari dalam rumah.

Saya membuka handphone, ada pesan singkat dari redaktur.  Ia menanyakan hasil liputan dengan keluarga Monalisa. Saya balas pesan itu, dengan menunda untuk mengirim beritanya.

***

“Halo!”

“Ini siapa?”

“Saya, wartawan, Bu!”

“Tit! Tit! Tit,” orang itu mematikan teleponnya, saat memberitahu identitasku dan maksud menelpon.

Telepon dimatikan, setelah saya hubungi kembali, nomor tersebut di luar jangkauan. Tiga kali saya mengulang menelpon pihak rumah sakit yang sempat merawat Monalisa. Perempuan yang menerima teleponku menghilang begitu saja.

Terdengar suara gaduh yang hampir merobohkan tiang-tiang penyangga rumah. Terdengar kata-kata sumpah serapah menyerang kuping saya. Saya berbalik badan melempar pandangan ke arah suara itu. Elisa menangis.

“Aku harus meminta para dokter itu memberi keterangan yang jelas tentang kematian anak kita, Gerard. Aku tidak percaya atas keterangan dokter sialan itu. Aku yakin Monalisa tidak mengidap kanker. Ada yang salah dengan keterangan itu, Gerard!” dengan lantang, Elisa menangis sambil memukul-mukul bahu suaminya.

Gerard memeluk Elisa sambil mengusap-usap rambutnya yang berantakan.

“Ssstt, siapa yang bisa menolak kehendak Tuhan, Elisa?”

“Tidak ada! Tapi aku tidak percaya dengan keterangan dokter. Bukankah pekan lalu Monalisa memberi kabar bahwa dia sehat-sehat saja?”

“Tapi ....”

“Tapi, apa?” suara Elisa semakin keras.

“Kita tidak memiliki bukti, bahwa Monalisa benar tidak mengidap kanker otak!”

“Terserah, tapi kita harus minta kejujuran rumah sakit atas keterangan yang sebenarnya,” mata Elisa melotot tajam seperti harimau yang sigap menerkam mangsanya.

***

Elisa teringat kembali  kotak hitam. Kotak yang tersisip di lemari pakaian Monalisa. Isi kotak yang tidak sempat dilihat saat itu membuat Elisa penasaran. Pagi hari di meja kecil, bundar, suami istri itu sedang mencicipi sarapan pagi.

“Apa yang kamu simpan dalam kotak hitam di lemari pakaian Moanalisa,” Gerard bingung mendengar pertanyaan Elisa.

“Saya tidak menyimpan sesuatu pun di lemari,” bantah Gerard.

“Saya pun tidak!”

“Mungkin itu punya Monalisa!”

Sambil mencicipi pisang ambon yang digoreng matang, Elisa membayangkan kotak tersebut. Bukan saja tentang isi kotak yang ditemukan saat itu. Tetapi, pakaian Monalisa yang harus dibagikan ke kerabatnya. Membagikan pakain orang yang sudah wafat kepada anak-anak sebayanya menjadi tradisi di keluarga Elisa. Sekejap Elisa tinggalkan tempat sarapan, letakan sepotong pisang goreng yang tengah digigit bagian atasnya. Gerard hanya memandang tingkah istrinya yang sedikit aneh, tidak seperti pagi kemarin.

***

Semakin dekat waktu deadline-ku menerbitkan obituari Moanalisa. Namun, guru, pejabat, anak-anak se-komunitas menolak berkomentar. Begitu juga dokter yang ditelepon saat itu. Ketika bicara tentang Monalisa, bahasa menjadi hening! Keruh. Kematian itu datang! Sebagai tanda, kehidupan harus diselesaikan.

“Kurang lebih di Indonesia, masih ada yang berkoar-koar tentang rasialisme. Paham apakah itu? Saya kira rasialisme di Amerika sudah selesai atas pertikaian antara kulit putih dan kulit hitam. Bukankah kita harus menyongsong perdamaian serapi mungkin?” kata Monalisa saat diwawancarai. Saya serius menonton Monalisa di YouTube saat diundang di salah satu stasiun televisi.

***

Surat:

“Perdamaian tidak perlu dicari, karena perdamaian itu sendiiri sudah ada. Tinggal bagaimana manusia itulah yang mau berdamai.”

Dari sini aku belajar tentang sebuah jalan; jalan damai. Aku belajar dari pahit yang pernah mengunyah negeriku. Untuk itu Aku bicara apa adanya, Aku bicara atas semua luka manusia. Bahwa, hanya damai. Ya! Damai adalah tiket menempuh harmonis.

Dengan ini, aku melihat semua kepala itu sama besar. Aku melihat kuku-kuku anak jalanan itu sama besar. Aku manusia, itu alasannya aku ingin damai,

Ayah ....

Dari tanahku yang pernah bising dengan pemberontakan antaragama, sampai di kancah nasional dan internasional orang bertanya tentang luka yang pernah dialami saudara-saudariku di negeriku. Tapi aku tak tahu harus menjawab apa. Aku hanya mengeluarkan sepotong bendera kecil itu, dan orang-orang yang menatapku hanya mengangguk. Mereka paham maksudku.

Suatu saat ibu atau ayah akan baca tulisan ini. Dengan sepotong bendera merah-putih di tangan dan surat lusuh ini sebagai kenanganku. Aku pergi dengan perdamaian yang kutanamkan dalam diamku.

Ayah!

Aku menduga, kelaparan adalah racun yang mudah merangsang orang untuk bertikai, begitu juga jabatan, tahta. Karena ada orang besar dan berdasi, rapi pakaiannya, besar halaman rumahnya tapi merasa kantongnya kosong, maka dia harus berpura-pura menjadi maling. Di sana hadirlah semua amarah berupa topan: mengecam dan mengancam, terjadilah .... Ah, aku tak bisa menyebutnya!

Ayah!

“Perdamaian tidak perlu dicari, karena perdamaian itu dengan sendiri sudah ada. Tinggal bagaimana manusia sendiri yang mau berdamai.”

Ada rumah ibadah yang menjulang, mereka dengan keyakinan yang beda. Ada pendeta, pastor, imam, mereka berdiri menghadap langit, mereka mentap sembari mengangkat kedua tangan adalah tempat Tuhan duduk, mungkin di atas dipan, batu, atau apa. Tetapi, mereka yakin bahwa Tuhan tau.

Mereka itulah orang-orang dewasa, memahami esensi penciptaan manusia bersuku-bangsa. Mungkin mereka pelajari dari kitab-kitab samawi, di mana, di dalamnya ada bahasa perdamaian di situ.

Aku selalu memandang Masjid, Gereja, Vihara, Pura, dan Litang semuanya sama: sebuah mimbar tempat Tuhan menunggu doa manusia. Aku melihat doa-doa mereka sama seperti doa yang pernah diajarkan ayah dan ibu padaku.

Ayah!

Suatu saat kalian akan tahu, mengapa aku harus pergi, karena sebagian dari mereka tidak menghendaki hidupku. Tapi kematian adalah perdamaian yang abadi.

Sekali-kali jangan pernah jadi pembenci, Ayah. Aku dilahirkan dari rahim yang damai, dtitipkan cinta dan kasih sayang, bukan tetesan mani seorang pembenci. Biarkan saja aku menanggung kebencian itu. Dengan melenyapkanku, mereka bisa hidup damai dan tentram. Karena itu tujuanku!

Monalisa, 30 September 2013

***

Gerard dan Elisa diserang air mata di pipi. Tidak ada jeda yang bisa menghentikan derasnya kesedihan mereka. Suami-istri itu sedih membaca surat yang ditulis Monalisa. Bahasa yang harmonis juga menggugah. Pukul 07.00 Wit saya tiba di rumah Gerard. Mata menjadi merah berkaca-kaca, Elisa masih menarik-narik hingusnya dengan hidung berkali-kali. Saya memberi salam sebelum masuk, sementara sarung yang di pakai Elisa sesekali ia gunakan untuk membersihkan hidungnya, matanya.

Kami duduk di kursi ruang tengah, sinar matahari menembus dinding papan yang mulai reyot. Cahaya kuning sebesar lubang dinding itu membekas di lantai dekat kotak hitam serta sepenggal surat. Elisa duduk membelakangi kami. Gerard mulai melangkah mengambil surat di lantai, dengan tangan kanan saya menerima pemberian surat itu. Saya membacanya sampai habis sambil melirik Gerard, kemudian pandangan kuarahkan ke Elisa. Sementara di luar angin kencang, awan hitam mengembang, hujan turun lekas dan lebat. Semakin hebat! Seraya aroma kesedihan terus mengusik pagi itu.

Saya tutup kisah Monalisa, karena kode untuk tidak membuka kisahnya, membuatku takut. Juga mereka di luar sana! Namun, demi sebuah kebenaran kita harus berani menolak lupa.

Ihsan Reliubun

Ikuti tulisan menarik Ihsan Reliubun lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB