x

Iklan

Ihsan Reliubun

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Julukan 'Nyai' dalam Sejarah Pala Banda

Status "Nyai" menjadi julukan populer masa penjajahan Belanda. Kata “Nyai” merupakan julukan perempuan simpanan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Buku          : Mirah dari Banda          

Penulis       : Hanna Rambe

Penerbit     : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Halaman     : iv + 388

ISBN          : 978-979-461-770-0

 

Status "Nyai" menjadi julukan populer masa penjajahan Belanda. Kata “Nyai” merupakan julukan perempuan simpanan, yang dijadikan budak oleh orang-orang Belanda.

Mantan wartawan harian pagi Indonesia Raya, Hanna Rambe, merekam cerita itu dalam novelnya Mirah dari Banda. Edisi pertamanya diterbitkan oleh Universitas Indonesia Press, 1983.

Buah pala menjadi tujuan pelayaran bangsa Belanda ke Maluku, tempatnya di Pulau Banda. Sejak tahun 1599 Belanda pertama kali tiba di Banda. Di Banda, Belanda berusaha menetap dan berkuasa, sampai muncullah Jepang untuk mengusir balik Belanda.

Kedatangan Belanda yang diceritakan dalam buku setebal 388 halaman itu, tidak sekedar melakukan perdagangan pala dan fuli (bunga pala), dari masyarakat Banda, melainkan berkuasa dan menghancurkan kembali peradaban masyarakat di Maluku, khususnya tanah penghasil pala.

Perempuan kelahiran Jakarta, 23 November 1940 itu tidak segan menceritakan kembali sisi paling kelam tentang perempuan-perempuan yang menjadi budak di tanah mereka. Banda saat itu harum dengan aroma buah pala, juga menjadi petaka. Hanna, gambarkan masa kelam itu dialami tokoh utama dalam novelnya, Mirah.

Novel bersampul hitam dengan gambar seorang perempuan memakai kebaya mencapai terbitan ketiga—yang diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010. Untuk merampungkan isi novel dan sejarah Banda yang di tuangkan dalam Mirah dari Banda dilakukan riset selama satu bulan.

Menurut Hanna dalam novelnya, Mirah adalah perempuan berusia lima tahun. Belanda mencurinya dari Pulau Jawa, Semarang. Bukan hanya Mirah, tetapi pembantunya Yu Karsih ikut dibawa lari. Di Banda Yu Karsih dipekerjakan di kebun pala, hingga dijadikan “Nyai” oleh Belanda, kemudian dibebaskan setelah kontrak kerja selesai—dan memilih menikah lelaki pribumi baru ia kembali ke kampung halamannya.

Mirah, menetap di Banda sampai tua. Ia bekerja seperti Yu Karsih. Keinginannya untuk menikah dengan orang pribumi pun gagal, Belanda merebut semua hak-haknya, termasuk hak memilih suami. Mirah mulai dewasa, menjadi gadis cantik, rupanya yang molek menjadi incaran Tuan Besar (pemilik kebun pala). Entah! Apakah kecantikan itu petaka? Mirah disebut sebagai “Nyai”, sekalipun merasa menjadi manusia terjajah Mirah tidak melawan, tidak berontak. Mirah dijadikan perempuan simpanan Tuan Besar.

“Demikianlah penghidupan yang harus saya jalani, selalu menjadi bulan-bulanan kesenangan orang lain. Kesenangan saya sendiri yakni hidup tentram dan sederhana tak pernah diperdulikan orang. Mereka semua orang-orang asing yang tak pernah saya kenal. Orang terbuang juga yang telah dibeli oleh para majikan, dan wajib menuruti perintah mereka,” tulis Hanna di pertengahan cerita.

Keinginan untuk kembali ke tanah asalnya tidak membuah hasil, kampung halaman dan orangtuanya pun sudah ia lupa. Akibat diculik masih berusia lima tahun. Mirah hanya ingat ia berasal dari Jawa, tetapi tidak tau kampung halaman tempat ia diasuh orangtuannya. Di awal cerita, Hanna sudah mempertemukan Wendy dengan Mirah. Wendy adalah cucu Mirah, namun mereka tak saling kenal. Perang antara Belanda dan Jepang membuat Mirah kehilangan anak perempuannya, Lili.

Lili adalah anak Mirah dengan Tuan Besar yang dilahirkan tanpa menikah. Saat kekalahan Belanda, Lili menjadi tawanan Jepang, kemudian dihamili oleh seorang serdadu Jepang di camp tahanan, sehingga lahirlah Wendy—yang kemudian diasuh oleh orang Australia, setelah Lili meninggal.

Kepiawian Hanna bercerita cukup menegangkan, juga membuat pembaca nestapa, karena Wendy yang sudah bertemu Mirah, neneknya, tidak diungkapkan langsung hubungan darah mereka. Sampai Wendy pun kembali ke Australia setelah masa liburan bersama suaminya selesai.

Karya Mirah dari Banda merupakan Novel kelima Hanna, ini merupakan arsip sejarah, juga suara tentang sisi gelap perempuan yang berusaha memperjuangan harkat dan martabat mereka di masa penjajahan. Hanna ingin menegaskan bahwa “Nyai” adalah rekayasa sejarah, bukan keinginan mutlak dari Mirah, yang mewakili semua para “Nyai” dalam novelnya.

Secara manusiawi, menjadi “Nyai” atau budak bukanlah keinginan perempuan petani pala saat itu. Bukan juga kesalahan sang pencipta. “Nyai” adalah panggilan yang terbentuk dari sejarah. Inilah yang ingin disampaikan Hanna dalam Mirah dari Banda.

“Salahkah Tuhan menciptakan dan menganugerahkan pala kepada penduduk Banda? Tidak. Tuhan, tidak pernah bersalah bukan? Tuhan Mahatahu, Mahakuasa, dan sempurna. Manusialah yang tidak pandai menghargai karunia-Nya. Manusia habis dicabik-cabik oleh egoisme,” tulis Hanna pada halaman 373.

Dari keegoisme inilah terjadi pembunuhan yang menewaskan 15.000 masyarakat oleh Jean Pieterszoon Coen di pulau itu. Hasil riset yang dilakukan Hanna untuk memperoleh jumlah kematian masyarakat Banda cukup mengguncang perasaan pembaca. Kematian ribuan orang di Banda juga ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Pram menyebutnya sebagai Genosida.

Akhirnya, beberapa kesalahan ketik dalam novel itu tidak menampakan rasa bosan bagi pembaca. Karya apik yang ditulis Hanna cukup membuat pembaca gamang dengan kekuasaan Belanda saat menduduki Pulau Banda. Namun, kekalahan Belanda sebuah impian Mirah untuk tetap hidup. Mirah kembali menjadi seorang petani pala dan fuli yang merdeka.

Ikuti tulisan menarik Ihsan Reliubun lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler