x

Iklan

Sandyawan Sumardi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Lucu Sekali Negeri Ini~Sandyawan Sumardi

Terus terang saya tidak peduli kalau dituduh pencari kekuasaan politik, murtad, sosialis, komunis atau apa pun.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"LUCU SEKALI NEGERI INI"

(REFLEKSI I. SANDYAWAN SUMARDI)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jakarta, 10 Februari 2017

 

Hem.... Lucu sekali negeri ini! (Saya tidak ingin berucap: “Sial sekali si Sandyawan ini!).

 

Bayangkan. Saya tidak sedang membuat pernyataan publik apa pun. Saya sedang bekerja biasa-biasa saja, ya memang dengan segala keterbatasan saya, saya masih bersusah-payah menemani, mendampingi, dan membela korban-korban penggusuran terutama komunitas warga Bukit Duri yang tak usai-usai juga perkara deritanya, meski pada tanggal 5 Januari 2017 lalu gugatan hukumnya terhadap kebijakan penggusuran Pemprov DKI dan BBWSCC (Kepmen PU-PR) di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negera (PTUN) dinyatakan menang secara mutlak. Artinya penggusuran yang dilakukan secara paksa oleh Pemprov DKI jelas merupakan tindakan melawan hukum.

 

Tapi tiba-tiba Kamis pagi 9 Februari 2017, saya mendengar suara kegaduhan di media sosial dan telpon pribadi: bahwa nama saya telah dipakai orang (saya sama sekali tidak dihubungi) untuk bicara pada komunitas Kristen-Katolik guna menghimbau: jangan memilih gubernur petahana. Dan ajaibnya, kontan, spontan langsung justru saya yang kembali menerima anugerah bully-bully-an sumpah-serapah dan caci-maki, terutama dari para kasmaran pengidola gubernur petahana (yang semoga bukan mesin alias akun palsu), seperti yang lalu-lalu juga: “Bodoh”, “guobluok”, “ketahuan aslinya setelah dibuka kulitnya oleh Ahok”, “Bunglon”, “pencari kekuasaan belaka”, “penjual kemiskinan”, “sosialis”, “komunis”, “murtad”, “sudah jadi mualaf”, “habib Sandyawan”, dlsb.

 

Hebohnya lagi, saya langsung didesak oleh beberapa sahabat (yang kebanyakan dulunya ketika masih mahasiswa pernah saya dampingi untuk belajar tentang makna “kemanusiaan yang adil dan beradab” melalui proses “live-in” hidup bersama di tengah kehidupan komunitas-komunitas kaum miskin sekitar kami ketika itu) agar saya segera harus melakukan klarifikasi publik,  penjelasan publik, bahkan pertanggungjawaban publik seakan saya telah melakukan kesalahan publik dan dosa besar kepada publik.

 

He he he… Luar biasa…

 

Pada dasarnya saya memahami realisme politik (kekuasaan) di negeri ini. Peristiwa Pilkada adalah keniscayaan politik demokrasi, tapi saya sudah tidak percaya kalau kekuasaan politik (partai) di negeri ini dewasa ini bakal mampu melahirkan kebaikan dan keadaban publik dan bakal benar-benar memerjuangan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

Coba saja diingat, ke mana itu para politikus, “orang-orang baik” sahabat-sahabat saya yang berada dalam lingkaran kekuasaan birokrasi, entah di eksekutif, legislatif maupun yudilatif, termasuk para pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI, baik No 1, 2 maupun 3, ketika kami komunitas warga Bukit Duri dari sejak diancam-ancam sampai digusur-paksa sungguhan pada tanggal 28 September 2016? Ke mana para pesohor itu? Tidak satu pun. Tidak seorang pun dari para peraih jabatan itu bersedia hadir, sekadar menyaksikan, menemani bersama kami orang-orang pinggiran komunitas warga di ruang sisa, di dataran rendah Jakarta ketika digusur-paksa? Yang tekun-tegar penuh harga diri hadir bergandengan tangan solidaritas penuh kerendahan hati adalah para warga Bukit Duri sendiri, solidaritas spontan para tetangga sesama warga kampung, sahabat-sahabat Ciliwung Merdeka, para pengacara nafas panjang dan arsitek kaki telanjang, para guru penuh sahaja anak-anak Sanggar Ciliwung, para sahabat seniman budayawan termasuk mas Yayak Iskra dan pak Jaya Suprana.

 

Juga tidak masalah sama sekali kalau saya dituduh murtad, bahkan tidak beragama sekalipun. Bagi saya, hadir, menyayangi, menemani, bekerja dan berjuang bersama warga korban ketidakadilan dan keserakahan kekuasaan, adalah sebuah tindakan meluhur-muliakan dua subyek sekaligus: Tuhan Sang Penyelenggara Kehidupan dan wajah kemanusiaan kita. Dengan “preferencial option for the poor“, pilihan mengutamakan orang miskin di lingkungan hidup saya, saya sedang menumbuh-kembangkan kemanusiaan saya sendiri, sesama dan alam semesta. Kaum miskin dan tanah air tempat bermukimnya adalah ibu bumi kehidupan kita. Dalam tatapan mata dan senyuman ibu, kita bercermin!  Benar, saya percaya penuh pada “Sabda Bahagia” Sang Guru Sejati dalam Khotbah di Bukit  (Mat 5: 1-11).

 

“Total Conversation”

 

Keterlibatan adalah “percakapan menyeluruh” (“Total Conversation“), berdialog dengan perkara-perkara kehidupan sehari-hari, dengan keraguan, krisis, kegembiraan, kecemasan, duka-cita, dengan ilmu pengetahuan, antropologi, manajemen, ilmu ekonomi, astronomi, politik, hukum, arsitektur, dengan kemiskinan, dengan kekuasaan, dengan seni, sastra budaya, dengan kemanusiaan.

 

Memang sudah sejak awal tahun 1990-an saya ini bersama kawan-kawan ISJ (Institut Sosial Jakarta), JMJ (Jentera Muda Jakarta) dan TRK (Tim Relawan untuk Kemanusiaan) melakukan kerja kemanusiaan mendampingi komunitas-komunitas miskin urban di Jakarta, yang sering sekali mengalami penggusuran-paksa dan PHK massal sepihak, ya para warga tumbal pembangunan kota. Mereka itu ya pemulung, tukang becak, pedagang kaki lima, asongan, buruh, dan nelayan.

 

Bahkan di tahun 1996, saya bersama Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) membantu korban-korban ketidakadilan dan kekerasan politik dalam Kasus 27 Juli 1996 (penyerbuan kantor PDI Perjuangan oleh militer, preman dan polisi). Sebagai konsekuensi gerakan suaka kemanusiaan kami bersama KH. Abdurrahman Wahid, Mardjuki Darusman, Dos Reis Amaral, Hilmar Farid, Nursyahbani, Stanley Adi Prasetya, dll. dan saya harus menghadapi 24 kali persidangan di Pengadilan Negeri Bekasi. Tuntutan awal adalah penjara seumur hidup karena semula direncanakan oleh jaksa akan dikenai pasal “haatzaai artikelen”, pasal-pasal dalam KUHP peninggalan Belanda karena tindakan kemanusiaan menolong korban yang saya lakukan itu justru dianggap telah melawan  “kerajaan Orde Baru”, melawan pemerintahan waktu itu.  Kemudian tuntutan jadi mengecil hanya berdasarkan pasal 221 KUHP yaitu melindungi orang yang sedang dicari pihak kepolisian. Ya sesudah kasus 27 Juli 1996, Pangdam Jaya Jend. Sutiyoso waktu itu membuat pernyataan publik, perintah tembak di tempat bagi anak-anak PRD yang waktu itu sedang dikambinghitamkan sebagai pelaku penyerbuan di kantor PDI Perjuangan. Nah memang, kami Tim Relawan Kemanusiaan, selain memang memberi suaka melindungi anggota-anggota PDIP korban serbuan di kantor PDIP itu, kami juga memberi suaka dan melindungi beberapa anak-anak PRD, Budiman cs. dari kemungkinan jadi korban perintah tembak di tempat oleh Pangdam Jaya ketika itu. Apalagi sejak itu terutama di tahun 1997, bahkan sampai sekarang, kami juga terlibat dalam advokasi untuk orang-orang muda yang dihilang-paksakan bersama sahabat saya Munir dan KontraS. Syukurlah kemudian majelis hakim PN Bekasi waktu itu membebaskan saya dari segala tuduhan.

 

Tahun 1998, saya bersama Tim Relawan Kemanusiaan (TRK) memberikan bantuan kemanusiaan secara total untuk korban-korban (meninggal mencapai 1188 orang, luka-luka, korban kekerasan seksual, kehilangan harta benda, korban penjarahan massal, pembakaran rumah) dalam peristiwa tragedi 12-13-14-15 Mei 1998 di Jakarta, Solo dan Palembang. (Lihat: laporan ringkasan eksrkutif TGPF Tragedi 12-15 Mei 1998). Untuk melakukan pembelaan dan advokasi kemanusiaan ini, saya bersama beberapa tokoh kemanusiaan, selain mendampingi beberapa korban yang memberikan kesaksian publik, juga memberikan pidato (“intervention“) di depan para pelapor khusus di gedung PBB, Switzerland, dan di Kongres Amerika di Washington DC.

 

Di tahun 1999-2005, saya bersama TRK dan JRK, kemudian juga pro-aktif memberikan bantuan kemanusiaan bekerjasama dengan relawan-relawan lokal, bagai gerakan palang merah, terutama bantuan kemanusiaan pada korban-korban tragedi kekerasan politik di Aceh, Ambon, Poso, Papua dan Timor Leste.

 

Tahun 2000, saya mulai tinggal di Bukit Duri, bantaran sungai Ciliwung. Melalui pembangunan Sanggar Ciliwung Merdeka yang didirikan di RT 06, RW 012 Kel. Bukit Duri, Kec. Tebet, Jakarta Selatan,  yang pada tanggal 13 Agustus 2000, diresmikan oleh KH. Said Aqiel Siradj, kami melakukan pendidikan (kesadaran dan ketrampilan sosial) pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, lingkungan hidup, ekonomi mandiri, tata-ruang, dan seni budaya. Relawan-relawan muda fasilitator pemberdaya yang cerdas, bernurani dan bernyali datang dari berbagai kalangan anak-anak muda kampung Bukit Diri sendiri, para profesional, para mahasiswa, bahkan ada dari pelajar SMA seperti puteri KH. Abdurrahman Wahid dan puteri dari ibu Karlina Supelli.

 

Di tahun 2001, Ciliwung Merdeka bersama warga Bukit Duri membangun Rumah Bambu (Rumah Panggung) di samping Sanggar Ciliwung Merdeka, sebagai Bengkel Kreatif Pemberdayaan Ekonomi Warga Bukit Duri. Dari bengkel kerja inilah diwujudkan bisnis warga di bidang sablon kaos T’shirt, spanduk, bendera, dlsb. Pendidikan hadap masalah (“problem posing education”) di kalangan anak-anak, remaja, ibu-ibu dan lelaki dewasa, rupanya mulai membuahkan hasil. Ketika terjadi banjir besar tahun 2002, komunitas warga Bukit Duri bukan hanya terbukti mampu bahu-membahu menolong diri sendiri, tapi melalui pendirian posko-posko bantuan darurat kemanusiaan, dapur umum, posko kesehatan, dan “mobile clinic” yang dimotori oleh para relawan medis dokter dan perawat mengadakan  pengobatan massal. Komunitas warga Bukit Duri bersama Ciliwung Merdeka serta Jaringan Relawan Kemanusiaan (JRK), dengan segala keterbatasannya, telah menjadi fasilitator bantuan kemanusiaan darurat di titik-titik lokasi  kumunitas warga yang jadi korban banjir di Jabodetabek, misalnya Kampung Melayu, Condet, Penas, Tanjung Duren, Jembatan Besi, Grogol, Cengkareng Timur,  Teluk Gong, Waduk Pluit, Kelapa Gading, Bekasi.

 

Pasca banjir besar tahun 2002 itu juga Ciliwung Merdeka menjadi perantara berbagai pihak bantuan masyarakat untuk membantu komunitas warga Bukit Duri, melalui Tim DPK (Dewan Perwakilan Kampung) membangun 5 sumur bor/sumur alam, membangun dan membenahi gorong-gorong air, sistem resapan air, membangun turap sungai Ciliwung dengan bronjong kawat berisi batu, turap dengan bambu, menanam tanaman penahan erosi dan sedementasi sungai seperti bambu, pohon lo, pohon ipik, dlsb., serta secara gotong-royong membangun 14 rumah panggung milik warga yang hancur karena banjir, serta membangun Mushala Assa’adah di RT 06/RW 12, Bukit Duri.

 

Pada saat banjir besar tahun 2002 itu juga, tokoh sosialis Indonesia, mantan sekretaris Bung Karno dan Bung Hatta, Ibu Mursia Saafril (sekarang usianya di atas 96 tahun!), datang membawa 14 ibu-ibu dari Koperasi Setia Bhakti Wanita Jawa Timur, koperasi tanggung renteng yang didirikannya  (salah satu koperasi di Indonesia), dan merintis pendirian Koperasi Tanggung Renteng Ibu-Ibu Bukit Duri.

 

Di awal tahun 2003, kami juga mengajak warga Bukit Duri untuk membantu korban tanah longsor di beberapa tempat, misalnya di Sukabumi. Bahkan Ciliwung Merdeka pernah ikut membantu para petani yang jadi korban kekerasan oleh aparat brimob yang lebih membela PT. Perhutani ketimbang para petani di Cibaliung, Pandeglang.

 

Sebelumnya pada  bulan Februari 2001, komunitas warga Bukit Duri terlibat dalam memberikan bantuan kemanusiaan terhadap ribuan warga etnis Madura yang kembali ke kepulauan Madura, karena menjadi korban konflik Sampit, Kalimantan Tengah, antara etnis Dayak dan Madura, yang mengakibatkan jatuhnya korban dari dua-belah pihak, lebih dari 500 orang meninggal, dan lebih dari 100.000 warga, terutama warga kehilangan tempat tinggal.

 

Dalam tragedi bencana alam maha dahsyat gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara 24 Desember 2003, komunitas warga Bukit Duri bersama Jaringan Relawan Kemanusiaan (JRK) juga terlibat memberikan bantuan kemanusiaan di Aceh Barat dan Pulau Nias (membuka posko bantuan darurat untuk medis, logistik, di dusun Kuala Tuha, membangun 126 rumah panggung untuk warga, membangun Meneusah, klinik percontohan, pasar ikan, pemberdayaan penjual ikan keliling  “mogee” dan membuat 4 kapal penangkap ikan di pantai Kuala Tuha, membangun sekolah madrasah 3 tingkat untuk usia SD, SMP, dan SMA, sebuah masjid besar, pemberdayaan ekonomi kampung melalui peternakan.

 

Sekali lagi dalam banjir besar Jakarta di tahun 2007, meskipun kampung Bukit Duri sendiri 75% tenggelam, komunitas warga Bukit Duri bersama Ciliwung Merdeka, dengan penuh semangat bahu-membahu membantu di 32 titik korban banjir di Jabodetabek, melalui kerja Tim SAR 24 anak-anak muda pinggir kali yang licah dan perkasa dengan 6 perahu karetnya berhasil menyelamatkan beberapa nyawa korban banjir di Bukit Duri-Kampung Pulo sendiri, Waduk Pluit, Kelapa Gading dan Grogol. Bantuan medis dalam wujud “mobile clinic” (4 mobil ambulans pinjaman) untuk pengobatan massal (waktu itu dibantu 27 dokter dan beberapa relawan tenaga medis lainnya), dan penyalur bantuan logistik (terpal, selimut, alat sekolah, dlsb) dari KWI.

 

Tahun 2008 warga komunitas bantaran sungai di Bukit Duri dan Kampung Pulo, menyelenggarakan Gerakan Lingkungan Hidup Ciliwung Merdeka (GLH-CM), dengan membangun Rumah Kompos di depan pos RT 011 RW 03,  Kampung Pulo, Kel. Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur (yang mampu memproduksi kompos organik dan menjadi  budidaya kompos organik percontohan di Jakarta), membangun Klinik Rumah Sehat Ciliwung Merdeka (RSCM), membangun 5 Pos RT yaitu di RT 05, 06, 07, 08 RW 12 Bukit Duri, dan Pos RT 11 RW 03, Kampung Pulo. Juga pada saat itu juga dipasang pompa-pompa penyulingan air bersih di tiap RT yang difasilitasi oleh Ciliwung Merdeka. Karena kerja keras bersama warga di bidang pembangunan lingkungan hidup ini, baik RW 12 di Bukit Duri maupun RW 03 Kampung Pulo mendapatkan penghargaan dari Walikota masing-masing.

 

Di tahun 2009 Ciliwung Merdeka dan Jaringan Relawan Kemanisiaan (JRK) dibantu warga Bukit Duri dan Kampung Pulo, sudah mulai mengadakan pemetaan wilayah/ruang, dan studi sejarah kampung di Bukit Duri dan Kampung Pulo.

 

Sehingga di tahun 2010, ketika kami semakin meyakini bahwa untuk melakukan perubahan sosial di suatu wilayah, harus ada (1) perubahan mental, SDM-nya, manusianya, komunitasnya, (2) perubahan sistem sosial, sistem komunikasi, sistem kerjasama antar warga, antar RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Walikota, Pemprov DKI, dan (3) perubahan lingkungan fisik, yaitu pembangunan turap sungai, pemberihan kali, kedisiplinan dan pemberdayaan sampah, pembangunan fasos-fasum kampung. Itulah sebabnya pemilikan desain alternatif usulan pembangunan “Kampung Susun Manusiawi Bukit Duri” (dimotori oleh arsitek Ivana Lee, ibu Inne Rifai, dan Yu Sing) sebenarnya sudah muncul sejak tahun 2010.

 

Di tahun 2011, Ciliwung Merdeka menfasilitasi penyelenggaraan pementasan budaya Teater Musikal Komunitas Ciliwung Merdeka dengan judul “Ciliwung Larung”. Sebuah pementasan kolosal yang melibatkan 150 personil dari komunitas remaja serta ibu-ibu Bukit Duri dan Kampung Pulo. Pementasan Teater Musikal Ciliwung Merdeka di gedung Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki pada tanggal 5-6 Juli 2011 pada dasarnya merupakan ekspresi otentik kerinduan dan kesadaran kolektif seluruh realitas perjuangan hidup manusia komunitas ruang sisa bantaran sungai Ciliwung.

 

Pada akhir Juli 2012, Jokowi dan Ahok, didampingi oleh beberapa orang PDIP dan Gerindra, mengunjungi komunitas warga Bukit Duri, mereka berdua dalam kesempatan kampanye dalam waktu yang tidak bersamaan, masing-masing datang dan duduk di dipan kayu Sanggar Ciliwung Merdeka, untuk berdialog secara bebas merdeka dengan perwakilan warga miskin urban Jakarta itu.

 

Dalam kesempatan bertemu dengan calon gubernur dan wakil gubernur DKI dalam Pilkada DKI 2012 itu, kami menyadari sebagai warga negara Indonesia kami warga Bukit Duri dan Kampung Pulo serta warga komunitas urban lainnya, mempunyai hak dan kewajiban. Kami mempunyai hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, hak untuk menetukan nasib kami sendiri, hak atas pembangunan, lingkungan, penikmatan sumber daya alam, harmoni sosial, dan pertumbuhan sosial-ekonomi. Hak untuk berpendapat, berpartisipasi, bebas dari diskriminasi.  Hak atas tempat tinggal yang layak dan perlindungan dari penggusuran-paksa. Apalagi penggusuran-paksa demi sekadar pembangunan infrastruktur fisik semata, namun menghancurkan infrastruktur ekonomi, sosial dan budaya.

 

Sebaliknya, kami sebagai warga negara Indonesia yang sah juga menyadari kewajiban kami untuk mewujudkan Pancasila dan UUD 1945, mentaati segala hukum dan peraturan yang berlaku di negeri ini, khususnya di Pemprov DKI, demi terwujudnya pembangunan kota Jakarta yang manusiawi, adil dan beradab. Kota yang demokratis-partisipatif, ekologis, bersekutu dengan alam, kota yang senantiasa berdiri di atas kaki akar budaya kebhinekaan Indonesia sendiri, kota yang terbuka, maju dan berkelanjutan.

 

Dan justru karena itulah, kami solidaritas kemanusiaan warga Bukit Duri, tetap dan semakin kuat dengan usulan kami selama ini untuk membangun “Kampung Susun Manusiawi Bukit Duri”, sebagai Rusunami (Rumah Susun Milik Sendiri) di wilayah Bukit Duri, meski tidak lagi di bantaran sungai Ciliwung.

 

Usulan ini sebagai solusi alternatif yang sudah kami kaji matang-matang, bahkan konsep desainnya sudah disetujui oleh Joko Widodo, sehari setelah beliau ditetapkan sebagai Gubernur DKI Jakarta dalam kunjungannya di komunitas Bukit Duri pada tanggal 16 Oktober 2012.

 

Pada bulan Desember 2014, baik komunitas warga Bukit Duri maupun Ciliwung Merdeka menerima “award“, penghargaan tingkat nasional dari Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI sebagai penggiat permukiman berkelanjutan kategori pemberdayaan komunitas lokal, sebagai “City Changer“!

 

Perlu dibedakan konsep desain “Kampung Susun Bukit Duri” (KSBD) dan “Kampung Susun Kampung Pulo” (KSKP). KSBD disetujui Jokowi dalam kunjungannya sehari sesudah diinagurasi sebagai gubernur DKI, bersama walikota, para kepala dinas, camat dan lurah tanggal 16 Oktober 2012. Ahok mengakui pernah menyetujui KSBD, tapi tidak disetujui Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC), di depan 10 perwakilan warga Kampung Pulo yang didampingi CM di Balai Kota pada tanggal 4 Agustus 2015. (Lihat video pertemuan Ciliwung Merdeka di Balai Kota berikut.)

 

Sesudah itu, sampai detik ini, sama sekali belum pernah ada pertemuan dan pembicaraan dengan pihak gubernur soal KSBD karena beliau menolak berdialog.

 

Sedang desain konsep KSKP diajukan sebagai solusi alternatif oleh CM dan Mitra, dengan tujuan agar warga Kampung Pulo tidak kehilangan hak kepemilikannya atas tanah dan rumah mereka sehubungan dengan adanya Perda 1 tahun 2014.

 

Meskipun komunitas warga Kampung Pulo sudah berhasil menunjukan surat bukti kepemilikan tanah, dan surat bukti kependudukan (KTP, pembayaran pajak PBB, listrik, air), serta surat pernyataan resmi dari Badan Pertanahan Negara (BPN) bahwa bidang-bidang tanah di trase sungai di Kampung Pulo adalah tanah warga dan komunitas warga juga  sedang mengajukan gugatan hukum di PTUN dan sidang sedang berlangsung, namun pada tanggal 20 Agustus 2015 dengan mengerahkan pasukan gabungan Satpol PP, Polisi dan Militer (seluruhnya 2.500 personil) Pemprov DKI tetap melakukan penggusuran paksa di 530 bidang dengan jumlah 1.040 KK warga di trase sungai Ciliwung di Kampung Pulo,  dalam rangka pembangunan proyek normalisasi sungai Ciliwung.

 

Soal KSKP, di Balai Kota pada tgl 18 September 2015, CM dan Mitra (Forum Kampung Kota atau FKK) ditawari dan diundang oleh gubernur melalui Sunny Tanuwidjaja, staf gubernur untuk mempresentasikan konsep desain “Kampung Susun Berbasiskan Komunitas sebagai Situs Budaya Keanekaragaman Warga Jakarta di Kampung Pulo”. Gubernur sangat kagum bahkan meminta dibuatkan konsep desain serupa untuk tiga kampung lain di Jakarta, namum partisipasi warga dan keterlibatan CM dan arsitek-arsitek FKK ditolak. Yang akan mengerjakan JakPro dan dananya kata gubernur bukan dari APBD tapi dari kewajiban pengembang. Rencananya groundbreaking 1 Januari 2016. Diperintahkan Ibu Ika Lestari Kepala Dinas Perumahan DKI, untuk menindaklanjuti. (Lihat pertemuan Komunitas Ciliwung Merdeka dengan Gubernur DKI, tanggal 18 September 2015.)

 

Kemudian hanya dua kali ada pertemuan dengan Dinas Perumahan. Tidak ada hasil atau keputusan apa-apa, karena justru internal Pemprov DKI sebagian besar tidak paham dengan apa yang dimaui gubernur.

 

Dua bulan kemudian datang utusan gubernur, bernama Fahmi Idris, yang mengatakan bahwa soal rencana konsep desain KSKP, gubernur memang telah mengeluarkan visi besarnya. Tetapi aparat pelaksana Pemprov DKI di bawahnya tidak berani melaksanakannya karena belum ada alas regulasinya. Kemudian CM diminta membuat draft konsep Pergub Khusus pembangunan Kampung Susun Kampung Pulo. Draft lalu disusun/dibuat oleh para lawyer CM. Tapi de facto sampai sekarang tidak terjadi apa-apa, dengan rencana pembangunan KSKP. Justru berita dan fitnah yang simpang siur yang dikembangkan terhadap Sandyawan dan Ciliwung Merdeka.

 

?Coretan di dinding rumah warga: Lo kira kucing main usir aja? (dok. Sindonews).

 

Pada tanggal 28 September 2016, sebagaimana di Kampung Pulo, kembali Pemprov DKI melakukan penggusuran paksa di Bukit Duri, khususnya RW 10, 11 dan 12. Meskipun gugatan “Class Action” dari 102 warga mewakili kepemilikan 102 bidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sudah diterima dan sedang berlangsung (sidang ke-8) dan gugatan tentang keputusan tata usaha negara Pemprov DKI di PTUN juga sedang berlangsung. Komunitas warga Bukit Duri melakukan perlawanan yang penuh harga diri, gerakan aktif tanpa kekerasan (“active non-violence movement“).

 

Awal Nafas Lega Warga Berdaya

 

Pada hari Kamis, 5 Januari 2017, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan keseluruhan gugatan warga Bukit Duri terkait sejumlah surat peringatan (SP) penggusuran yang dikeluarkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Jakarta Selatan beberapa bulan lalu. Dalam putusan yang dibacakan majelis hakim, PTUN menyatakan membatalkan SP tersebut karena dinilai tidak sah dan melanggar hukum. “Terhadap objek sengketa objek sengketa (SP1, SP2, dan SP3), majelis menyatakan telah melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata majelis PTUN Jakarta yang dipimpin hakim Baiq Yuliani, dalam salinan putusan yang sudah kami diterima.

 

Selain membatalkan tiga SP yang diterbitkan Satpol PP Jakarta Selatan, majelis hakim PTUN juga mengakui hak kepemilikan warga Bukit Duri atas tanah yang dirampas oleh Pemprov DKI, beberapa bulan lalu.

 

Dalam pertimbangan hukumnya, majelis mengatakan tanah yang digunakan pemerintah pusat dan Pemprov DKI serta Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) adalah tanah milik warga Bukit Duri yang telah dimiliki secara turun temurun. “Majelis berpendapat, kepemilikan tanah-tanah warga Bukit Duri sudah sesuai dengan UU No. 2/2012 juncto Perpres No. 71/2012,” ungkap hakim.

 

PTUN menilai penerbitan SP1, SP2, dan SP3 oleh Satpol PP Jakarta Selatan telah menyalahi izin lingkungan, izin kelayakan lingkungan, dan amdal (analisis mengenai dampak lingkungan). Di samping itu, ketiga SP tersebut juga bertentangan dengan UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Perpres No. 71/2012, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU HAM.

 

Dalam pertimbangannya, majelis hakim berpendapat, Pemprov DKI Jakarta wajib memberikan ganti rugi yang layak kepada warga Bukit Duri akibat dari diterbitkannya objek sengketa (SP1, SP2, dan SP3) mulai dari dihancurkannya rumah-rumah warga, hingga dirampasnya tanah-tanah warga tanpa kompensasi yang layak. Majelis hakim PTUN juga menilai pelaksanaan pembebasan tanah warga Bukit Duri tidak berdasarkan pada tahap-tahap yang diperintahkan dalam UU Pengadaan Tanah.

 

Tahap-tahap itu antara lain melakukan inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah; penilaian ganti kerugian; musyawarah penetapan ganti kerugian; pemberian ganti kerugian, dan; pelepasan tanah instansi. Kemudian saya mendengar kepastian: Pemprov DKI, melalui Pemkot Jakarta Selatan telah menyatakan banding (meskipun sampai detik ini belum juga menyerahkan memori banding).

 

Adakah Pemprov DKI akan melakukan pembangkangan hukum seperti Pemda Jawa Tengah dalam kasus gugatan hukum di PTUN warga petani pegunungan Kendeng melawan pendirian pabrik Semen, yang meskipun sudah ada putusan kemenangan warga di Mahkamah Agung, tetap saja pembangunan pabrik semen dilanjutkan. Logika yang kami dengar begini: “Betapa pun panjang dan benar perjuangan warga korban penggusuran, berdasarkan putusan hukum sekalipun, tapi de facto bertentangan dengan narasi besar, “the big picture” pembangunan kota besar, demi kepentingan umum bangsa dan negara, demi kenaikan devisa negara, maka rakyat harus rela berkorban!”. Jangan bicara lagi prinsip keadilan sosial dan hak-hak asasi manusia.

 

Siapapun gubernur yang bakal terpilih dalam Pilkada DKI 2017 yang akan datang, kalau ternyata kemudian pemimpin ibukota ini justru berpegang teguh pada prinsip-prinsip neoliberalisme, kapitalisme brutal di atas, saya yakin akan senantiasa ditentang oleh warga masyarakatnya sendiri, baik secara diam-diam maupun secara terbuka. Saya tetap akan berusaha sekuat daya untuk menghayati prinsip “kemanusiaan yang adil dan beradab”, dengan tetap berada di tengah warga yang merindukan benar-benar terwujudnya "right to the city" (hak atas kota) yang berkeadilan, inklusif dan berkelanjutan..!

 

 

I. SANDYAWAN SUMARDI

Ciliwung Merdeka

Ikuti tulisan menarik Sandyawan Sumardi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB