Sebuah Hikayat Klasik: Perselingkuhan Negara dan Korporasi dalam Konflik Masyarakat Adat
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBKetidakadilan pada masyarakat adat akan terus berlangsung dalam lingkaran modernitas
"Jagai linoa lollong bonena, Kammayatoppa langi'ka,rupa tau siagang boronga",
(Jagalah dunia beserta seluruh isinya,langit, umat manusia dan hutan)"
Pasang ri Kajang
Ketidakadilan terhadap masyarakat adat akan terus berlangsung dalam lingkaran modernitas. Ketika arus kapitalisme begitu kuat yang tak mampu dibatasi oleh negara sekalipun apalagi sebuah komunitas dalam negara karena pengakuan dan tunduknya lembaga tertinggi tersebut akan dominasi modal. Ketersinggungan antara kepentingan modal dan masyarakat adat sesungguhnya disebabkan karena kepentingan kapitalis global dan regional dalam proses eksploitasi sumber daya alam dan takdir tuhan telah menempatkan masyarakat masyarakat adat yang penuh kesahajaan untuk berada dalam lingkaran wilayah tersebut.
Esensi menjadi masyarakat adat hanya dalam batasan pandangan hidup, hak atas hutan, adat istiadat dan lebih bersifat mistik-relijius dimana kapital atau modal menjadi sesuatu yang tidak dianggap penting. Identitas identitas masyarakat adat tersebut merupakan pola hubungan kerinduan dan keyakinan mereka tentang kesatuan diri dengan Sang Pencipta dan alam semesta yang menjadikan masyarakat adat sangat sederhana sekaligus mengagumkan. Kesahajaan masyarakat adat dalam kesederhanan dan dengan segala keterbatasanya inilah yang memudahkan kelompok superoritas (masyakarkat modern/kelompok kepentingan) jika bertatap muka dengan masyarakat adat. Tesis dan antithesis antara "power versus powerless groups" dan "superioritas vs inferioritas" yang diatur sedemikian rupa oleh kelompok yang pemilik kepentingan karena posisi kelas yang lebih tinggi (dalam persepektif modernitas) masih saja masif terus menyeret masyarakat adat dalam polemik yang selalu saja merugikan masyarakat adat, dan ironisnya, negara dalam konflik masyarakat adat seakan akan memberikan legitimasi dan pengistimewaan kepada korporasi sehingga semakin memperkukuh posisi superioritasnya.
Pengakuan akan eksistensi masyarakat adat sesungguhnya telah banyak dibahas dan dituangkan dalam pengakuan modern berupa pasal-pasal baik itu ditingkat internasional maupun tertuang dalam konstitusi Republik Indonesia yang dimaksudkan untuk menjamin dan melindungi masyarakat adat dari kelompok superioritas dan masyrakat adat dalam cita-cita ideal menjadi terlindungi dan masyarakat adat tidak termasuk dalam kategori inferior atau powerless group. Ditingkat internasional, konvensi 107 "Indigenous and Tribal Populations Convention" dan konvensi 169 "ILO Convention on Indigenous and Tribal Peoples" pada tahun 1989 telah menggariskan isu vital, dan memberikan pengakuan kepada "indigenous peoples" dan "tribal peoples"[1]. Pada tahun 2007 PBB dalam "United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples" melahirkan 46 pasal pasal yang katanya akan melindungi dan menjamin hak hak masyarakat adat di seluruh dunia[2].
Di Indonesia sendiri pengakuan masyarakat adat telah dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 periode pertama BAB VI pasal 18, yang dituliskan bahwa: "Dalam territoir Negara indonesia terdapat +/- 250 "Zelfbesturende landschappen" dan Volksgemeenschappen seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut"[3].Kemudian setelah amandemen UUD 1945 sampai amandemen ke IV, UUD yang berkaitan dengan masyarakat adat berada dalam BAB VI, pasal 18B ayat 2 yang dituliskan bahwa "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang". Terdapat juga dalam pasal 28A mengenai hak asasi manusia, pada BAB XIII pasal ayat 32 tentang kebebasan masyarakat dalam memelihara dalam mengembangkan nilai-nilai budayanya[4] dan masih banyak yang lainya yang berupa peraturan menteri dll. Namun diantara ratusan pasal pasal yang tertuang dalam konstitusi Negara Republik Indonesia atau pun konvensi international, masyarakat adat masih saja mengalami penindasan dan menjadi hikayat ketidakadilan yang tidak romantis sama sekali. Di satu sisi Konstitusi yang tertulis dan jelas itu seakan-akan menjadi sebuah justifikasi terhadap masyarakat adat tapi pada saat direnungi kembali pasal-pasal dalam konstitusi tentang masyarakat adat yang diciptakan secara legal-formal hanya sekedar untuk ditulis, dicetak dan diajarkan di kampus-kampus untuk menjadi hikayat idealis dan kemudian dikebiri kembali dalam debat-debat pengadilan.
Perselingkuhan antara negara dalam kuasa politik dengan korporasi dalam dominasi modal sangat terang benderang di Indonesia. Lingkaran dominasi modal terbungkus rapi, menggerogoti kebijakan, dan semakin menjauhkan kedaulatan negara terhadap hak-hak masyarakat adat. Apalagi pada saat kita memaknai secara mendalam demokrasi Indonesia di era siapapun telah menjadi sebuah industri kapitalis, dimana demokrasi menjadi sebuah produk yang dapat diperjual belikan. Industri yang mendorong perebutan dukungan dari pemilik pemodal dan disitulah letak kongkalikong antara pemegang kekuasaan dan korporasi. Kekuasaan bertidak superpower dengan instrument struktur kuasa dalam konsep kenegaraan dan dengan instrument struktur kekuasaan tersebut itu jugalah aktor-aktor kekuasaan dalam negara bertindak hegemonik untuk mengeksploitasi masyarakat adat dan sumberdaya alam (hutan,mineral dll)karena adanya kepentingan terhadap modal yang dimiliki oleh korporasi. Demi kekuasaan yang akan diperoleh dan dalam upaya mempertahankannya, pemberian izin konsesi lahan (konsesi lahan: hikayat klasik perselingkuhan yang menyedihkan sekaligus memuakkan) dalam rangka perampasan hak-hak tanah adat menjadi komitmen yang cukup megelikan antara penguasa dan korporasi.
Sejarah masyarakat adat di Indonesia telah mengajarkan kita bahwa ketidakadilan, peminggiran, proses marginalisasi kepada masyarakat adat menjadi sebuah realitas. Wujud nyata kerja sama antar negara dan korporasi dalam konflik masyarakat adat tertuang dalam mahakarya yang ditulis oleh negara dan Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc pada tahun 1967. Tanah ulayat (bidang tanah yang di atasnya terdapat hak dari suatu masyarakat hukum adat tertentu) milik suku Amungme diberikan izin untuk ditambang oleh Freeport dengan cara melibatkan pengamanan kelompok militer. Masih teringat dalam benak penulis kata-kata salah satu tetua amungme "Tuwarek Narkime" dalam sebuah jurnal yang berjudul IN DONESIA KU-IN DONESIA MU.
Tuwarek Narkime mengatakan demikian "Saya selalu bertanya kepada Tuhan dalam pikiran dan doa-doa saya setiap hari, mengapa Tuhan menciptakan gunung-gunung batu dan salju yang indah itu di daerah Suku Amungme? Apakah karena sebab itu, kami orang Amungme harus terus-menerus ditekan, ditangkap, dan dibunuh tanpa alasan? Jika alasan itu yang kami maksudkan lebih baik musnahkan kami, enyahkan kami agar kalian bisa mengambil dan menguasai semua yang kami miliki-tanah kami, gunung kami, dan setiap penggal sumber daya kami. Sungguh, saya benar-benar marah kepada Tuhan. Mengapa Dia harus menempatkan segala gunung-gunung yang indah dan barang tambang itu di sini"[5].
Nostalgia terhadap kata-kata Tuwarek Narkime membawa kita pada pada kenyataan penindasan, perampasan dan ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat adat di Indonesia. Pengalaman pahit masyarakat adat di Indonesia tidak berhenti sampai disitu bahkan terus terjadi, misalnya mulai tahun 1982 hingga memuncak pada tahun 2004, di Sulawesi selatan lebih tepatnya di kabupaten bulukumba pengambilan paksa tanah adat suku kajang perkara seluas 275 hektar oleh PT Lonsum atau yang terjadi di sumatera sejak tahun 2009, konflik tanah adat antara masyarakat adat Padumaan Sipatuhuta melawan PT. Toba Pulp Lestari, Tbk (TPL) atau yang terjadi di jambi perampasan tanah, konflik agraria, dan kekerasan terhadap Suku Anak Dalam (SAD) yang terus berlangsung sejak 7 Desember 2013 dan masih banyak hikayat-hikayat perselingkuhan negara dan korporasi lainya dalam konflik masyarakat adat. Persetubuhan antara korporasi atas dominasi modalnya dan Negara sebagai pemegang struktur kekuasaan dalam konflik masyarakat adat akan selalu melahirkan sebuah hikayat pilu dan jika masih ada penyakalan, hal itu akan menjadi penyakalan akan esensi keadilan dan kemanusiaan.
Kompleksitas problematika konflik masyarakat adat yang diakibatkan oleh pembantahan esensial struktur kekuasaan dalam menjamin hak-hak masyarakat adat merupakan sebuah problematika yang harus segera diselesaikan dan aktor-aktor politik harus meniadakan hakikatnya sebagai manusia yang serakah, ada nilai-nilai kemanusiaan yang sekarat disana, sudah cukup penelitian, jurnal bahkan tulisan mengenai bobroknya sistem kapitalisme dan struktur kekuasaan di negeri ini. Apalagi ramai hari ini dalam berbagai media cetak dan online, kembali ada kisruh antara pemerintah Indonesia dengan Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. Pada episode kali ini pemerintah diharapkan dapat menunjukan esensi sebenarnya dari sebuah struktur kekuasaan Dalam episode kali ini, pemerintah diharapkan tidak hanya seakan akan membawa angin segar sekaligus tidak hanya sekedar menjadi pangeran pembela kebenaran dalam dongeng yang siap untuk mengusir Freeport di Indonesia. Ketakutan-ketakutan bahwa aktor-aktor kekuasaan dalam struktur kekuasaan sekarang ini sedang ingin membuat perjanjian baru yang memungkinkan mereka mendapatkan keuntungan yang lebih besar ataukah Freeport akan berganti wajah dengan wajah yang lain yang tidak berasal dari Amerika tidak boleh terjadi karena hikayat memilukan masyarakat adat bukanlah sebuah roman sastra bergaya prosa lama yang isinya berupa kisah apalagi sebuah dongeng, tapi itu adalah fakta.
Taufik Hidayat
Pascasarjana Jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia
[1] International Labour Organization, ILO Conventionon Indigenous and Tribal Peoples, 1989 (No. 169), Dumas-Thoutlet Imprimeurs, France, 2003.
[2] United Nations, United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, United Nations, 2008, Hlm.1-15.
[3] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Periode Pertama.
[4] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Amandemen ke IV.
[5] Komunitas Ganesha 10, IN DONESIA KU IN DONESIA MU, Institut Teknologi Bandung, 2001, hlm. 8.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Sebuah Hikayat Klasik: Perselingkuhan Negara dan Korporasi dalam Konflik Masyarakat Adat
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler