Pesantren, HAM, dan Perdamaian
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBHAM sulit diterima di pesantren karena pandangan umum HAM adalah produk sekular.
Bangsa yang beradab selalu hidup dengan menjunjung kemanusiaan. Karena alasan kemanusiaan-lah Tuhan menciptakan manusia. Manusia dilahirkan dengan derajat yang sama, yang membedakan adalah takwanya. Dari takwa itulah letak sumber kekuatan akan hadirnya kekuatan kemanusiaan universal. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.
Akhir-akhir ini banyak hal yang bisa kita ambil pelajaran dari peristiwa dan isu-isu yang berkembang saat ini. Kejadian yang mengarah pada menguatnya abrasi nilai kemanusiaan dan disintegrasi bangsa. Perincian yang bisa kita saksikan adalah terkait dengan peristiwa-peristiwa chaos seperti intoleransi, menuduh sesat, intimidasi, pembubaran kegiatan keagamaan dan—yang ramai dibicarakan saat ini—menyebar info hoax.
Kenyataan di atas selain dapat mengarah kepada disintegrasi dan surutnya nilai kemanusian, juga menjadi catatan buruk bagi keseriusan dalam menangani Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Catatan tentang penegakan HAM di Indonesia mendapat perhatian dari World Justice Project (WJP) yang memberikan perbandingan indeks negara hukum Indonesia dengan sejumlah negara di kawasan Asia Pasifik maupun negara lain di dunia.
WJP memberikan catatan indikator HAM dalam indeks negara hukum Indonesia yang dirilis pada tahun 2015 amat memburuk. Indeks perlindungan HAM Indonesia 2015 berada diperingkat ke-9 dari 15 negara di Asia Pasifik. Indonesia masih tertinggal dari Hongkong, Mongolia, Singapura, dan Thailand. Di tingkat global, Indonesia pada posisi ke 65 dari 99 negara tertinggal dari Guatemala, Sinegal dan Ukraina.
Masyarakat harus sadar bahwa masalah penegakan HAM ini adalah masalah kita bersama. Karena tujuan HAM adalah untuk mewujudkan perdamaian dunia dan kesejahteraan bersama. Sehingga mewujudkan HAM bukan hanya berkepentingan untuk menjaga kemapanan nasionalisme berbangsa tapi juga untuk kepentingan perdamaian dunia.
Konsepsi HAM progresif dan universal tercermin dalam pembukaan UUD 1945 Alenia IV menegaskan bahwa HAM tidak hanya untuk orang Indonesia tetapi untuk umat manusia: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Melalui Pembukaan UUD 1945 dinyatakan dalam alinea empat bahwa Negara Indonesia sebagai suatu persekutuan bersama bertujuan untuk melindungi warganya terutama dalam kaitannya dengan perlindungan hak-hak asasinya. Adapun tujuan negara yang merupakan tujuan yang tidak pernah berakhir (never ending goal) adalah sebagai berikut : melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; untuk memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Melihat betapa mulianya tujuan yang dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945 dalam kaitan perlindungan hak asasi masyarakatnya, maka sangat penting peran masyarakat dalam memahami sekaligus menjadikannya sebagai praktik sosial. Dalam kaitannya dengan ini, pesantren adalah bagian dari elemen bangsa yang memiliki peran penting dalam penegakan HAM.
Jumlah pesantren dengan kuantitas hampir mendekati angka 30 ribu yang tersebar di 33 provinsi sangat memungkinkan menjadi motor penggerak bagi penegakan HAM di Indonesia. Apalagi terdapat budaya patron klien bagi masyarakat yang berada disekitar pesantren terhadap institusi pesantren maupun kiai yang berada di pesantren. Hal ini sangat memudahkan bagi berkembangnya dan diterimanya sebuah ide maupun gerakan. Dengan demikian, menggerakkan praktik sosial ramah HAM di pesantren dalam mengokohkan Indonesia damai adalah ide yang strategis. Karena diperkirakan jumlah pesantren akan terus meningkat.
Analisis Praktik Sosial
Dalam sub bahasan ini, kajian akan kita fokus kepada analisis tentang interaksi dan kebudayaan dalam memahami upaya menggerakkan praktik sosial ramah HAM di pesantren. Kebudayaan adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap pola interaksi yang akan dilakukan oleh individu maupun kelompok dengan individu atau kelompok lainnya. Salah satu pandangan mengatakan bahwa kebudayaan terdiri dari nilai, kepercayaan, norma, rasionalisasi, simbol dan ideology (Michael Thompson, Ellis Richard and Aaron Wildavsky:1990). Dengan kata lain, kebudayaan yang menjadi bagian dari masyarakat akan sumber dari pemaknaan yang pada kemudian melahirkan tindakan. Sehingga praktik sosial yang ramah HAM akan sangat bergantung kepada bagaimana kebudayaan yang bernilai HAM itu terbentuk di sebuah masyarakat.
Pesantren sebagai bagian dari masyarakat memiliki subkultur tersendiri yang mencerminkan citra kepesantrenannya. Dikatakan subkultur karena pesantren sudah bisa disebut sebagai masyarakat dengan berbagai komponennya dan praktik sosialnya. Kiranya ada tiga aspek yang ditekankan di dalam pesantren untuk menjadikan pesantren sebagai peradaban percontohan. Tiga aspek tersebut berupa aspek moral, aspek intelektual dan aspek produksi sosial.
Aspek moral berisikan tempaan mental dan spiritual yang diberikan kepada masyarakat pesantren. Aspek ini mempunyai ikatan yang lebih terhadap wilayah kerohanian atau batiniah dibandingkan dengan wilayah fisik maupun materi. Bisa saja berhubungan dengan materi, namun hanyalah sebagai perantara untuk memenuhi tujuan kerohanian atau batiniahnya.
Aspek intelektual memungkinkan masyarakat pesantren dapat memahami realitas sosial secara metodologis. Sedang aspek produksi sosial adalah bagian manifestasi dari pergulatan aspek moral dan intelektual dalam mewujudkan hubungan yang baik kepada Pencipta dan kepada makhlukNya.
Dari ketiga aspek tersebut, kebudayaan dipesantren akan terus dimaknai dan direproduksi melalui tahapan-tahapan yang menyertai setiap individu maupun kelompok di pesantren. Dalam tahapan yang dilalui tidak lepas dari proses sosialisasi. Dalam proses sosialisasi individu akan memaknai dan bertindak sebagaimana yang terjadi dalam praktik sosial di lingkungannya. Selama berada dipesantren individu akan diperkenalkan dengan tradisi dan nilai yang berada di pesantren, termasuk juga ketiga aspek tadi.
Berkaitan dengan hal ini, pemikiran Mead tentang Mind, Self and Society, kita jadikan analisa mempertajam bagaimana praktek sosial bekerja di pesantren. Mead berpendapat bahwa pikiran (mind) muncul dan berkembang dalam proses sosial dan merupakan bagian integral dari proses sosial. Apa yang dipikirkan masyarakat pesantren adalah bagian dari makna-makan yang bersentuhan dengan realitas atau praktik sosial yang mereka hadapi.
Dalam konsep diri (self) ada tahapan play stage, game stage dan generalized others. Tahapan ini juga akan berlaku bagi masyarakat pesantren dalam membentuk perilakunya yang menjadi bagian dari produksi sosialnya. Seorang yang baru berada di pesantren akan melakukan hal-hal yang menjadi aturan di pesantren dengan melakukan peniruan-peniruan tanpa mengetahui alasannya inilah yang disebut tahapan play stage. Selanjutnya, dalam tahapan game stage, individu mulai mengetahui alasan-alasan dibalik kegiatan yang mereka lakukan. Individu mulai mengenal alasan dibalik praktik-praktik aspek moral yang ditempakan kepada mereka.
Selanjutnya individu akan mengetahui peranan yang dilakukan oleh orang lain melalui sosialisasi tahap ketiga, generalized others. Dalam tahap ini individu mengidentifikasikan diri dengan kelompoknya sehingga memunculkan in group feelling. Ia akan melakukan tindakan sebagaimana makna yang telah ia bangun yang berasal dari nilai-nilai di kelompoknya.
Disinilah kemudian masalah bisa muncul ketika praktik sosial individu dihadapkan dengan kelompok lain. Munculnya tindakan ekstrim adalah ketika in group felling menguat lebih-lebih ketika bersentuhan dengan basis yang sangat sensitif, yakni doktrin keagamaan. Dalam intensitas tertentu, sikap demikian akan memunculkan klaim kebenaran (truth claim) yang menegasikan terhadap kelompok lainnya. Untuk mengantisipasi hal tersebut, di pesantren di ajarkan tentang konsep dan amaliyah secara tawasuth (moderat), tasamuh (toleran) dan ta’adul (berkeadilan). Konsep ini dalam praktik sosialnya jelas-jelas bernafaskan penegakan HAM.
(Tantangan) Penerimaan HAM dalam Islam
Membahas hal yang berkaitan dengan pesantren, maka sangkut paut dengan Islam mestilah ada. Salah satu sumber kesulitan dalam usaha menunjang pelaksanaan dan perhatian kepada HAM pada masyarakat muslim, khususnya di pesantren adalah tentang pandangan HAM sebagai buatan Barat. Isu ini dengan mudahnya muncul sebagai jargon bahwa “HAM itu tidak islami”.
Penolakan terhadap DUHAM yang diresmikan 1948, didorong atas dasar bahwa DUHAM adalah produk sekularisme, sementara Islam bersifat sakral dan independen. Syariat yang selama ini dipelajari akan menjadi “kotor” jika dicampuradukkan dengan pemikiran Barat yang identik dengan non muslim dan praktek negara-negara Barat yang terkadang juga berstandar ganda dalam penerapan DUHAM sehingga nampak penyimpangannya. Munculah kemudian pemikiran alternatif yang mengkampanyekan bagaimana Islam bisa merumuskan HAM-nya sendiri tanpa dipengaruhi oleh pemikiran Barat.
Stereotipe ini kemudian diperparah dengan praktik-praktik pembelaan HAM yang cukup sensitif, yakni pengakuan terhadap LGBT. Penggiat HAM di seluruh dunia mengakui eksistensi LGBT setelah disahkannya resolusi PBB tentang persamaan hak Homoseksual pada tanggal 17 juni 2011 di Jenewa, Swiss. Sehingga isu ini dianggap sangat bertentangan dengan keyakinan dalam syariat islam khusus di kalangan pesantren. Dengan contoh ini, semakin menguat kecurigaan bahwa DUHAM diciptakan sengaja untuk merusak umat islam melalui strategi budaya dan hukum.
Jika kita ingat, memang kenangan pahit dari kolonialisme dan imperialisme masih sangat melekat terutama bagi negara-negara timur. Hal ini kita pahami sebagai hal cukup sulit dihilangkan dari ingatan dan pewarisannya turun temurun melalui berbagai hal. Sehingga kemungkinan perasangka yang keras kepada Barat ikut mengaburkan hal-hal yang sebenarnya tidak murni Barat semata, seperti ide tentang DUHAM.
Penting untuk disadari adalah hakikat yang diusung dalam HAM itu dengan menggali dan mengembangkan berbagai konsep yang secara potensial ada dalam sistem-sistem budaya yang berbeda-beda. Harapannya adalah, karena akhirnya manusia dan kemanusiaan itu pada hakikatnya sama dan satu, maka konsep-konsep kemanusiaan yang ada dalam berbagai sistem budaya tentu memiliki titik kesamaan antara satu dengan yang lainnya.
Tentang hal ini, Munawir Sadzali memberi komentar: Perkembangan di negara-negara Barat yang dulu tertiggal oleh dunia Islam saat ini berkembang sangat pesat dan berada jauh di depan negara-negara Islam. Munawir menegaskan, hal tersebut karena negara-negara Barat terus mencari dengan memanfaatkan akal budi yang merupakan pemberian Tuhan yang paling utama kepada manusia. Sementara itu pengembangan intelektual dalam dunia Islam boleh dikatakan sejak lama terhenti. Para pemikir Muslim sekarang tampak “ jera untuk berani berpikir”. Islam yang dulu di tangan Nabi merupakan ajaran yang revolosioner, sekarang mewakili aliran yang konservatif.
Ada beberapa alasan setidaknya kita menerima terhadap konsep DUHAM. Pertama, penghormatan atas HAM adalah cita-cita luhur semua agama manusia termasuk Islam. Sehingga dalam maqosid syariah islam terdapat kulliyatul khoms, berupa hifdz al dîn (hak beragama), hifdz al nafs (hak hidup), hifdz al á ql (hak atas pemikiran), Hifdz al nasl (hak berketurunan), dan Hifdz al mâ l (hak pengolahan kekayaan). Sementara DUHAM adalah salah satu wujud perumusan modernnya dalam bentuk prinsip-prinsip.
Semangat luhur HAM salah satunya juga tersirat dalam Al Quran QS. Al Baqoroh:2, yang mana dalam ayat tersebut tercantum larangan mencuri dan membunuh. Ini mengisyaratkan hak hidup dan memiliki harta. Begitu juga dokumen hadits Nabi sewaktu Haji Wada’ yang tertera bagaimana semangat tentang HAM di junjung tinggi.
Kedua, harmonisasi antara tradisi Islam dan konsep HAM modern adalah suatu yang niscaya, sehingga hukum Islam pra modern yang menghambat kemungkinan itu haruslah ditafsirkan ulang. Bukan dalam rangka menundukkannya di bawah prinsip HAM modern, melainkan karena ada masalah di sekitarnya yang menjadikan kaum muslim sulit merealisasikan cita-cita islam. Mereka yang mendukung gagasan HAM menegaskan bahwa hukum-hukum (Islam pra modern) itu adalah rumusan manusia, karena itu perumusannya kembali bukan tidak saja dibolehkan, bahkan diperlukan. Dengan cara ini, maka kompetensi syariat Islam yang diklaim universal dan berlaku sepanjang masa dan tempat (al islam sholih fii kulli zaman wal makan) dapat dibenarkan.
Ketiga, Dalam kaidah fiqh ada konsep maa laa yudroku kulluhu laa yutroku kulluhu (sesuatu yang tidak bisa diambil semuanya, jangan ditinggal semuanya). Hal ini mengisyaratkan kepada kita, meski ada hal yang tidak kita sepakati dari praktik dan resolusi yang muncul setelah DUHAM bukan berarti kita meninggalkan semua dan menolak mentah-mentah terhadap semangat HAM yang ada pada DUHAM. Perlu ada kompromi-kompromi karena DUHAM telah menjadi kesepakatan hukum.
Dalam alasan yang ketiga ini dapat dicontohkan sikap pemerintah Indonesia dalam meratifikasi HAM universal dengan membuat pembatasan pada pasal 28 J ayat 2 UUD 1945 “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Maka jika hal tersebut diatas dapat diterima, maka logikanya ialah bahwa manusia dan kemanusiaan adalah universal. Pun juga, tidak ada yang perlu dipertentangan antara syariat Islam dengan DUHAM karena dalam semangat hakekat sama, yakni persoalan kemanusiaan. Hal-hal yang berkaitan dengan praktik-praktik yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam adalah bagian dari proses yang harus terus didialogkan, bukan dengan kekerasan. Karena itu sangat perlu pendekatan dari berbagai sudut pandang sosial dan budaya.
Pesantren, HAM dan Kebangsaan
Nilai-nilai yang menjadi pedoman dan diajarkan di pesantren beserta dengan tradisinya yang selalu dibiasakan kepada masyarakat pesantren, terlahir sebagai nilai dan tradisi yang bernafaskan HAM dan kemanusiaan universal. Kehidupan di dalam pesantren dengan model pendidikan full day, mengajarkan dan membiasakan berbagai macam nilai kepekaan pada kemanusian. Sebut saja misalkan nilai kemandirian, kesederhanaan dan kepedulian bersama. Bagaimana bisa demikian?
Nilai kemandirian sebagai hal yang niscaya di dalam pesantren. Hal ini dikarenakan santri tidak lagi hidup bersama orang tua. Nilai ini menempa mereka menjadi pribadi yang tangguh untuk melaksanakan perjuangan kemanusiaan khususnya HAM. Kemandirian seorang santri dapat meningkatkan kepercayaan diri mereka dalam membela kebenaran dan keadilan yang selama ini mereka dapatkan dari pengajaran di pesantren.
Sedikit menyinggung tentang pengajaran, materi yang diajarkan di pesantren melalui kitab kuning secara garis besar mendorong terhadap kemanusiaan dan hidup berdampingan secara damai dan berkeadilan. Semangat inti yang diusung dalam tiga pokok materi utama, yakni tauhid, akhlak dan fiqh. Dalam materi tersebut, selain arah menciptakan hubungan yang baik terhadap Pencipta, juga titik tekannya adalah kepada hubungan yang harmonis dengan makhluknya dengan berprinsip kepada pencapaian kedamaian dan keadilan.
Selanjutnya, nilai kemandirian yang ditempa, diikuti dengan nilai kesederhanaan dalam segala aspek, seperti kesederhanaan dalam bersikap dan bergaya hidup. Nilai kesederhanaan ini menjadikan pribadi seorang santri lebih mudah mengarah pada mendahulukan kepentingan orang lain karena hidupnya sudah dicukupkan dengan kesederhanaan yang ada. Nilai kesederhanaan inilah yang dapat memupuk terhadap sikap kepedulian terhadap sesama, terhadap kemanusiaan bahkan lingkungan. Nilai kesederhanaan mencegah seseorang dari mengambil dan merampas hak orang lain. Selebihnya dalam nilai kesederhanaan jaminan atas pemenuhan kewajiban kepada orang lain menjadi semangat yang tak terelakkan karena kepedulian yang terus tumbuh dan berkembang semakin matang.
Selain sedikit dari sekian banyak nilai di dalam pesantren yang disebutkan diatas, sejumlah doktrin yang diketengahkan adalah wujud toleransi. Pengembangan dari prinsip tasamuh kiranya bisa dikaitkan dengan konsep yang disampaikan Kiai Ahmad Siddiq tentang persaudaraan. Dalam persaudaraan yang dikembangkan sebagai doktrin pesantren terdapat ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama umat Islam), ukhuwah wathoniyah (persaudaraan sebangsa), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia).
Dengan doktrin dan pengembangan konsep persaudaraan (ukhuwah) ini. Sangat memungkinkan bagi santri untuk menggerakkan sikap dan perjuangan menjunjung tinggi toleransi, sebagai salah satu semangat yang ada dalam DUHAM. Ditambahkan lagi dengan prinsip tawasuth (moderat) dan ta’adul (berkeadilan) semakin mengukuhkan bahwa pesantren sebenarnya adalah pembela prinsip HAM yang utama.
Pesantren Laboratorium HAM
Saat ini perlu ada langkah strategis upaya pesantren bukan hanya menggerakkan praktik sosial yang ramah HAM, lebih dari itu menjadikan pesantren sebagai laboratorium tempat lahirnya ilmu sosial yang ramah HAM. Hal ini akan semakin meneguhkan pesantren sebagai subkultur sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Meskipun pesantren tidak terdiri dari masyarakat semua budaya dan agama namun pesantren dapat menanamkan dasar-dasar dari nilai-nilai yang diusung oleh DUHAM.
Jika ilmu sosial yang ada selalu berelasi dengan kekuasaan yang ujung-ujungnya adalah modal, maka pesantren harus bisa melahirkan ilmu sosial ramah HAM yang lepas dari relasi-relasi kekuasaan. Sehingga dengan demikian pesantren perlu maelakukan revitalisasi subkultur pesantren sebagai bentuk mengawal kecenderungan pesantren yang kehilangan daya kreatifnya akibat dari melupakan tradisinya sendiri sebagai subkultur. Kencenderungan itu berupa menjiplak program-program pemerintahan berdasarkan pesanan penguasa.
Seharusnya dengan melakukan revitalisasi terhadap subkulturnya, pesantren secara mandiri dapat mengambil bagian dalam mengawal penegakkan role of low berupa: rule by the law (supremasi aturan hukum), equality before the law (kesamaan kedudukan didepan hukum), human rights protection (perlindungan hak asasi). Tentunya bukan sebagai unsur yang berada pada lingkaran penegak hukum tapi sebagai subkultur yang melahirkan ilmu sosial yang mengarah pada penegakan hukum. Dengan demikian daya kritis dan kemandirian pesantren bisa terus mewarnai penegakan HAM.
Dalam upaya mendorong kreatifitasnya, pesantren menjadikan fiqh sosial sebagai manhaj dan menjadi world view berbagai macam persoalan HAM di masyarakat, dengan menggunakan pendekatan ijtihad, maqosid syariah, dan maslahah mursalah. Sehingga lahirlah teori-teori sosial yang ramah HAM.
Upaya-upaya diatas diharapkan ke depan dapat menguatkan peran dan kontribusi pesantren dalam menjaga ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathoniyah, dan ukhuwah basyariyah yang dapat mengokohkan perdamaian yang berkeadilan bagi sesama umat Islam, sesama bangsa Indonesia dan sesama manusia diseluruh dunia.
Oleh: Rojabi Azharghany
Dosen IAI Nurul Jadid Paiton, Jawa Timur
Aktif di Pusat Studi Agama dan Multukulturalisme (PUSAM) Universitas Muhammadiyah Malang

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Pesantren, HAM, dan Perdamaian
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler