x

Iklan

Mahendra Ibn Muhammad Adam

Sejarah mengadili hukum dan ekonomi, sebab sejarah adalah takdir, di satu sisi. *blog: https://mahendros.wordpress.com/ *Twitter: @mahenunja - FB: Mahendra Ibn Muhammad Adam
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bukan Karena Anies

Kita harus lebih tertuju pada apa yang membuat Indonesia ini kuat, yaitu membina ruh, akal, dan jasmani insannya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kedatangan bangsa Eropa menjelajahi wilayah timur sekitar abad ke-15 untuk tujuan kekayaan (gold), kekuasaan (glory), dan penyebaran agama Kristen (gospel). Armada Belanda pada pada tanggal 22 Juni 1596 mencapai nusantara (Banten). Pada abad ini bahkan sejak abad ke-5 hingga ke-21 di nusantara terdapat beberapa kerajaan.

Untuk mewakili Belanda di wilayah nusantara maka dibentuklah suatu organisasi yang disingkat VOC (Vereenigde Oost Compagnie) atau Kongsi/Persatuan Dagang Hindia Timur. Wilayah nusantara dahulu disebut dengan Hindia Timur oleh bangsa Belanda. VOC mampu menguasai dan melemahkan nusantara dengan cara (1) tipudaya, bahkan membuat kerajaan-kerajaan di nusantara saling bermusuhan dan menanamkan kultur pesimisme dan konsumtif, (2) membunuh dengan senjata canggih dan benteng yang kuat, dan (3) mengambil dukungan keuangan dari pemilik bank/pencetak uang.

Pada 31 Desember 1799, VOC bangkrut karena korupsi dan kepemimpinan yang buruk. Sehingga yang mewakili Belanda di nusantara adalah pemerintah Belanda yang dipimpin seorang Gubernur Jenderal. Pemerintah Belanda mendapatkan keuntungan dari perdagangan, kerja paksa dan pajak yang diterapkan di nusantara. Wilayah kekuasaan Belanda di nusantara ini disebut Hindia Belanda.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebelum bangkit secara nasional (keseluruhan), telah terjadi berbagai perlawanan dari rakyat nusantara yang dipimpin atau dipelopori oleh Pattimura, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Ketut Gusti Jelantik, Sisimangaraja XII, Teuku Umar, Teuku Cik Di Tiro, Cut Nyak Dien dan lain-lain. Perlawanan tidak selalu dengan serangan fisik tapi ada pula dengan serangan pemikiran seperti membangun ekonomi, politik, sosial, dan mendidik masyarakat, seperti dilakukan oleh Ahmad Dahlan, Raden Ajeng Kartini, Dewi Sartika, Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi), Samanhudi, M. Husni Thamrin, dan lain-lain.

Ada pula perjuangan melalui organisasi bernama Budi Utomo yang didirikan oleh Wahidin Sudirohusodo. Organisasi lainnya adalah Syarikat Dagang Islam, Syarikat Islam, Muhammadiyah, Indische Partij, Perhimpinan Indonesia, Perguruan Taman Siswa, serta organisasi yang didirikan para pelajar dan mahasiswa (Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes dan lain-lain). Hingga terjadilah peristiwa semangat persatuan dan kesatuan di nusantara melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Pada Kongres Pemuda dinyanyikan pertama kali lagu “Indonesia Raya” ciptaan Wage Rudolf Supratman, yang mengandung pesan cinta Indonesia dan mencita-citakan Indonesia yang merdeka.

Memang, pada mulanya rakyat nusantara belum bersatu padu ketika melawan penjajah Belanda. Namun setelah bersumpah bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu (atau biasa disebut dengan Sumpah Pemuda), barulah perjuangan rakyat Indonesia lebih bersemangat persatuan dan kesatuan. Perjuangan yang bersifat kedaerahan mulai ditinggalkan.

Kekuasaan di nusantara mulai berubah ketika pasukan Jepang menyerbu pertahanan Belanda di Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan dan Jawa. Sehingga pada tanggal 5 Maret 1942 Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda Letnan Jenderal Ter Poorten mewakili angkatan Perang Sekutu (terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Belanda dan lain-lain) untuk menyerah kepada Angkatan Perang Jepang yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Hitoshi Imamura. Akhirnya pemerintahan Hindia Belanda yang dipimpin Gubernur Jenderal Tjarda van Stakenborg Stachouwer menyerahkan pemerintahan kepada Jepang. Berakhirlah kekuasaan Belanda di nusantara.

Dari tahun 1942 hingga tahun 1945 sudah banyak perlawanan rakyat terhadap  Jepang di beberapa wilayah nusantara seperti perlawanan yang dipelopori Teuku Abdul Jalil, K.H. Zainal Mustafa, Supriyadi dan lain-lain. Ada pula pemuda Indonesia yang menjadi pegawai kantor berita Domei milik Jepang untuk membantu kepentingan rakyat Indonesia. Serta ada pula pemuda Indonesia yang menjadi anggota angkatan laut Jepang, seperti Achmad Subarjo, Sudiro, Wikana dan lain-lain untuk membantu perjuangan rakyat Indonesia.

Pada tanggal 6 Agustus 1945 kota Hiroshima dijatuhi bom atom oleh Sekutu (yaitu Amerika Serikat). Bom atom kedua dijatuhkan di Kota Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945. Jepang menyerah pada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 sehingga terjadi kekosongan kekuasaan di nusantara. Hal ini dimanfaatkan oleh tokoh Indonesia untuk segera menyatakan kemerdekaan. Rapat pemuda menghasilkan usulan kepada Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Tapi Soekarno menolak, sehingga pada tanggal 16 Agustus 1945 Soekarno dan Hatta dibawa ke Rengasdengklok, Jawa Barat. Tujuannya agar Soekarno-Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan tanpa ada pengaruh dari Jepang.

Setelah musyawarah, terjadi kesepakatan antara golongan muda yang diwakili Wikana dan golongan tua yang diwakili Ahmad Subardjo untuk mengembalikan Soekarno-Hatta ke Jakarta. Malam menjelang pagi 17 Agustus tiba, diadakanlah rapat di rumah Laksamana Tadashi Maeda untuk merumuskan teks proklamasi. Sutan Sjahrir dan Chairul Saleh yang termsuk golongan muda terus bersemangat, begitu pula Sajuti Melik yang kebagian tugas mengetik teks proklamasi.

Akhirnya Soekarno Hatta mewakili rakyat Indonesia memproklamirkan (menyatakan) kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah menyiapkan berbagai hal yang mendukung seperti Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 melalui Rapat BPUPKI dan PPKI.

Tidak lama setelah proklamasi, pasukan sekutu yang berhasil mengalahkan Jepang mendarat di Jakarta bersama NICA (Netherlands Indies Civil Administration) atau Pemerintahan Sipil Belanda atas Indonesia. Kedatangan Sekutu dan NICA ini menimbulkan kemarahan rakyat karena Belanda ingin kembali menguasai Indonesia. Dari tahun 1945 hingga 1949 disebut sebagai masa mempertahankan kemerdekaan. Terjadilah peristiwa perlawanan di Surabaya, Ambarawa, Bandung, Medan dan lain-lain. Dari peristiwa perlawanan inilah 10 November kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan, dan 15 Desember dikenang sebagai Hari Infanteri.

Agresi Militer Belanda (1947-1948) pada akhirnya pun dipatahkan oleh pejuang-pejuang yang mempertahankan kemerdekaan hingga sampailah pada perundingan atau Konferensi Meja Bundar di Den Haag dan berujung pada peristiwa tanggal 27 Desember 1949, upacara pengakuan kedaulatan oleh Belanda atas Indonesia.

Demikianlah perjuangan hingga mempertahankan kemerdekaan yang telah mengorbankan nyawa, raga, pikiran sampai datangnya pertolongan Allah Subhanahuwata’ala. Sekarang, seperti koin dengan kedua sisinya, terlihat ‘layar’pada masa ini adalah mengisi kemerdekaan, sedangkan di sisi koin yang lain apa yang terlihat pada 19 April 2017 adalah tujuan yang melebihi glory, gold dan gospel yang agaknya terwakili oleh perlombaan pada PILKADA DKI Jakarta yang tersaksikan seksama menyemburkan butir uap air membentuk pelangi Habib Rizieq, Arifin Ilham, Abdullah Gymanstiar, Salim Segaf, Bachtiar Nasir, Ma’aruf Amin, Haedar Nashir, Said Aqil Siradj, Lukman Hakim Saifuddin, Basuki, Prabowo, Megawati, Anies, Gatot, Tito, maupun Joko Widodo sebagai tokoh dengan segala amanat dan wataknya—mulai dari ‘pasang badan’ menghadapi ketidakadilan penegakan hukum kasus Penistaan Agama hingga model perundingan-perundingan. Juga tidak ketinggalan, tersebutlah nama Syachrie Oemar Yunan, seorang syuhada pembela Qur’an.

Tujuan itulah yang mulia, yang membina tentara ikhlas-iah hingga menguak barisan-barisan munafik. Agaknya Habib Rizieq, Arifin Ilham, Bachtiar Nasir, Abdullah Gymanstiar, Haedar Nashir, Ma’aruf Amin, dan Salim Segaf ini sangat berpengaruh dalam menyuarakan aspirasi Islam sebagaimana Agus Salim, Wachid Hasyim, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Abdul Kahar Moezakir dalam panitia sembilan PPKI yang menghasilkan dasar negara Piagam Jakarta (Jakarta Charter), satu poinnya adalah “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Namun keutamaan manuver berpikir, harus lebih tertuju pada apa yang membuat Indonesia ini kuat, yaitu membina ruh, akal, dan jasmani insannya. Maka diharap utama kepada pemimpin muslim DKI Jakarta agar mewacanakan persaudaraan, peran aktif dalam dunia IPTEK dan menggerakkan spirit roda perekonomian yang tertegak atas landasan non-ribawi. Itulah yang dibenci VOC pada 4 abad yang lalu, yang telah menggunakan cara: (1) tipudaya, bahkan membuat kerajaan-kerajaan di nusantara saling bermusuhan dan menanamkan kultur pesimisme dan konsumtif, (2) membunuh dengan senjata canggih dan benteng yang kuat, dan (3) mengambil dukungan keuangan dari bankir.

Wahai tentara ikhlasiah, namamu tidak timbul di lembaran kertas perpustakaan umat! Wahai pemimpinku, apakah engkau hendak berniat melanjutkan gaya kolonialisme atau engkau hendak berniat berpidato selayaknya Bung Tomo dengan takbirnya yang mengguncang hati rakyat Surabaya agar berpalinglah hatimu dari gelapnya perbudakan menuju cahaya penghambaan kepada Allah semata? Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar!

Tugas berat mulai menghampirimu, menurut Survei 12-14 April 2017 oleh INDIKATOR dengan jumlah sampel 1000 responden yang dipilih dengan metode stratified systematic sampling dan berhasil mewawancarai 495 responden sekadar menjadi wawasan. Survei itu menunjukkan masyarakat Jakarta puas dengan kinerja Basuki Thahja Purnama sebagai gubernur DKI Jakarta (mencapai angka 76 persen). Berdasarkan survei itu juga menunjukkan bahwa pasangan Anies-Sandi mengungguli pasangan Basuki-Djarot jika dilakukan pemungutan suara saat itu.

(Lihat gambar di atas! Dibuat oleh anak SD kelas 3. Ia membuat bangunan Masjid dengan semangat. Semoga Pak Anies juga demikian, membangun Batavia Berkeadilan, Batavia bahagia, dan Batavia sejahtera)

Nah, hasil Quick Qount Pilkada DKI Jakarta putaran kedua 19 April 2017 versi Saifulmuljani Research & Consulting, Voxpol Center dan Charta Politika menunjukkan kemenangan pasangan Anies-Sandi di seluruh wilayah, mulai dari Jakarta Pusat, Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu, Jakarta Selatan, Jakarta Timur maupun Jakarta Barat (namun masih menunggu hasil resmi dari KPU). Kemenangan itu juga terlihat dari quick count versi Litbang Kompas, Indobarometer, dan Populi Center. Kemenangan ini bukan semata karena Anies. Tapi karena perjuangan yang ikhlas sebagaimana pejuang-pejuang anti-imperialisme. Keberkahan ini juga tampaknya lanjutan dari kisah keberkahan kedatangan Zakir Naik yang membawa pesan Qur'an dan kisah 15 orang yang kemudian bersyahadat dalam ceramahnya di Indonesia sebelum pilkada beberapa waktu yang lalu.

Menarik juga, temuan survei 12-14 April 2017 (INDIKATOR), menunjukkan 56 persen atau mayoritas warga Jakarta tidak setuju dengan pendapat bahwa Muslim yang memilih Basuki akan berdosa. Pun cukup banyak yang tidak setuju dengan pengumuman dari sejumlah Masjid di Jakarta yang menolak untuk mensholatkan jenazah muslim pendukung Basuki. Ini sekadar menjadi wawasan dan agaknya menunjukkan kebutuhan yang mendesak agar ulama-ulama lebih giat mengupayakan penerangan berkenaan kepemimpinan Islam.

Ikuti tulisan menarik Mahendra Ibn Muhammad Adam lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu