Oleh Gunoto Saparie
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih sedikit dengan cara mengurangi digit (angka nol) tanpa mengubah nilai tukarnya. Ketika terjadi redenominasi, data keuangan yang dipengaruhi oleh perubahan tersebut harus disesuaikan.
Redenominasi adalah penyederhanaan jumlah digit pada denominasi atau pecahan rupiah tanpa mengurangi daya beli, harga atau nilai tukar mata uang kita terhadap barang atau jasa. Wacananya adalah mengurangi tiga nol di belakang uang rupiah. Contohnya, uang nominal Rp 50.000. Setelah redenominasi menjadi Rp 50, tanpa mengurangi nilai uang terhadap barang atau jasa.
Kebijakan redenominasi atau penyederhanaan nilai nominal rupiah ini memang lebih baik katimbang mencetak uang baru. Kebijakan ini penting untuk meningkatkan kepercayaan terhadap mata uang rupiah. Penyesuaian nilai (value) mata uang rupiah itu lebih penting katimbang sekadar mengganti motif atau gambar supaya rupiah tidak dianggap "murahan" oleh negara lain.
Kalau dihitung terhadap dolar Amerika Serikat (AS), ternyata hanya rupiah yang memiliki banyak angka nol di belakang. Tentu saja hal itu sangat tidak efisien. Mata uang kita terkesan murah sekali atau tidak punya nilai di pasar internasional. Angka nominalnya sangat besar, tetapi nilainya sangat rendah. Sebagai contoh, sekarang ini 1 dolar setara dengan Rp 13.200. Jika kita memiliki uang 100.000 (dolar), kita bisa membangun rumah mewah. Namun, jika kita memiliki uang 100.000 (rupiah), kita hanya bisa membeli satu keping seng saja.
Sesungguhnya banyaknya angka nol di uang rupiah telah banyak dikeluhkan oleh para bankir dan pelaku dunia usaha, terutama yang melakukan ekspor dan impor. Akuntansi atau pembukuan dengan banyak nol ini juga dianggap tidak efisien.
Dengan redenominasi, diperkirakan volatilitas kurs rupiah tidak akan separah sekarang. Gejolak kurs rupiah terhadap dolar terkadang dipengaruhi efek psikologis. Penurunan rupiah sebesar Rp 25 saja, oleh orang asing dianggap sebagai nilai yang besar, sehingga mereka tidak percaya pada rupiah dan enggan menyimpan lama-lama.
Rancangan Undang-undang (RUU) redenominasi Rupiah sebenarnya telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2017. Tapi hingga kini, belum terdengar rencana selanjutnya. Bahkan pembahasan RUU ini terancam molor hingga 2020. Hal ini karena DPR sibuk dan lebih fokus dengan kegaduhan politik. Pembenahan rupiah sebagai mata uang nasional ternyata belum dianggap penting dan mendesak oleh DPR, sehingga wacana redenominasi pun tidak perlu dibicarakan dalam waktu dekat ini.
Kebijakan redenominasi rupiah dapat menumbuhkan kembali apresiasi kita terhadap uang receh. Padahal, uang receh meroketkan inflasi yang membebani masyarakat. Sebagai ilustrasi, kita andaikan kenaikan harga BBM akan menaikkan tarif angkutan umum 10 persen. Namun, di lapangan, jika kita naik angkutan umum bertarif Rp 2.000, yang terjadi bukanlah kenaikan tarif menjadi Rp 2.200 (10 persen), melainkan Rp 2.500. Hal ini karena uang Rp 200 dianggap remeh lagi, susah persediaannya untuk ditransaksikan. Akhirnya, terjadi pembulatan ke atas sebesar Rp 500 (25 persen) dari Rp 2.000, bukannya 10 persen seperti diproyeksikan.
Dalam konteks tersebut, redenominasi mampu memuliakan uang receh. Karena redenominasi meniscayakan penataan pencetakan uang secara radikal dengan pencetakan mata uang baru. Dengan demikian, Bank Indonesia dan pemerintah bisa meracik ramuan pas pasokan uang receh dan uang besar secara proporsional. Dengan cukupnya pasokan uang receh akan meniadakan dalih ”sulit recehan” bagi pihak yang suka membulatkan kenaikan harga.
Persoalannya,redenominasi memang bukanlah obat mujarab yang dalam semalam bisa meningkatkan perekonomian Indonesia. Rencana pemerintah melakukan redenominasi tentu memerlukan waktu panjang, mengingat beberapa tahapan perlu dilakukan. Mulai dari sosialisasi, masa transisi, penarikan rupiah lama, dan menghilangkan kata “baru” di mata uang. Sosialisasi ini perlu dilakukan secara gencar terutama kepada kalangan menengah dan bawah yang belum tersentuh.
Tentui saja redenominasi ini perlu didukung oleh semua pihak, karena terdapat beberapa manfaat yang bisa kita peroleh diantaranya adalah proses transaksi lebih mudah dan dapat meningkatkan produktivitas. Proses transaksi bisnis, akuntansi, perbankan akan merasakan manfaatnya, karena nilai uang berkurang nolnya, sehingga menjadi lebih sederhana.
*Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Orwil Jawa Tengah
Ikuti tulisan menarik gunoto saparie lainnya di sini.