x

Bung Karno saat membacakan teks proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1745. foto: IPPHOS

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Soekarno-Hatta: Manusia Gagasan, Manusia Aksi

Figur pergerakan seperti Soekarno dan Hatta adalah manusia gagasan sekaligus manusia aksi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 
“Politikus memikirkan pemilu yang akan datang, negarawan memikirkan generasi yang akan datang.”
--James Freeman Clarke (1810-1888)

 

Di hadapan pengadilan kolonial Belanda di Bandung, 1930, Bung Karno menyampaikan pembelaannya, Indonesia Menggugat. (Judul pembelaan ini kemudian menjadi nama gedung tempat Bung Karno diadili yang hingga kini masih tegak berdiri di Jalan Proklamasi No. 5). Apapun pembelaan yang ia sampaikan, Bung Karno dan kawan-kawan tahu bahwa mereka tetap akan masuk ke dalam penjara. Namun, dengan membacakan pledoi yang mereka susun sendiri, dunia akan tahu sikap bangsa ini terhadap kolonialisme Belanda.

Bung Karno melihat bahwa kolonialisme membawa serta kapitalisme. Oleh sebab itu, dengan lantang, Bung Karno melontarkan kritik lewat pledoinya: “Kapitalisme adalah suatu pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi.” Bung Karno memberi tekanan: “Kapitalisme mengarah kepada pemiskinan.” Dari masa kini, menyaksikan praktik ekonomi yang sedang berlangsung, bagaimana kita becermin kepada kritik Bung Karno itu?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam pikiran Bung Karno, kolonialisme dan kapitalisme menyengsarakan kehidupan rakyat banyak. Dalam ikhtiarnya menemukan gagasan yang tepat bagi manusia Indonesia, Bung Karno muda memelajari gagasan-gagasan besar dunia. Tidak heran bila ia begitu fasih mengutip Ernest Renan, Karl Marx, Adam Smith, hingga Jamaluddin al-Afghani. Hingga kemudian, Bung Karno muda mengonstruksi gagasannya sendiri yang ia anggap cocok untuk manusia Indonesia, dari sosok Marhaen yang ia anggap mewakili manusia Indonesia hingga Pancasila.

Sekitar dua tahun lebih awal dibandingkan pengadilan Bung Karno di Bandung itu, Bung Hatta mengajukan pembelaan di hadapan pengadilan kolonial di Den Haag, Belanda. Dalam pledoi yang diberi judul Indonesia Merdeka itu, Bung Hatta mengritik keras kolonialisme dan imperialisme. “Lebih suka kami melihat Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada melihatnya sebagai embel-embel abadi daripada suatu negara asing,” kata Bung Hatta.

Seperti juga Bung Karno, Bung Hatta melakukan pula pengembaraan intelektual dan berkenalan dengan banyak pikiran dunia di masa itu maupun masa-masa sebelumnya. Perkenalannya dengan pemikir Yunani, yang kemudian ia tuangkan dalam buku Alam Pikiran Yunani, turut membentuk cara berpikir Bung Hatta. Tapi perjumpaannya dengan gagasan Karl Marx dan Adam Smith—dua ekonom yang pemikirannya niscaya ia pelajari sebagai mahasiswa ekonomi di Belanda—membuat Bung Hatta mengerti benar bagaimana kapitalisme bekerja.

Sikap radikal Bung Hatta, seperti juga Bung Karno dan Sutan Sjahrir,  sudah terlihat sejak usia muda. Bung Hatta, pada usia 21 tahun, telah menulis Indonesia di Tengah-tengah Revolusi Asia. Revolusi yang berlangsung di Indonesia, kata Bung Hatta, tidak bisa dilepaskan dari pergolakan bangsa-bangsa Asia yang sedang berusaha membebaskan diri dari kolonialisme. Datangnya kesadaran untuk menjadi manusia merdeka tidak dapat dibendung.

Zaman memang telah berubah, tapi kita tak bisa melupakan pertautan historis dengan mereka yang merintis jalan dan menegakkan Republik ini. Di usia muda, sosok-sosok perintis dan pendiri Republik ini telah memperlihatkan kejelasan tujuan perjuangan mereka, pendirian mereka, dan keteguhan integritas mereka. Sutan Sjahrir selalu mengumandangkan ide-ide tentang demokrasi yang bermartabat. Meskipun beberapa kali masuk dan keluar penjara kolonial—bahkan juga di masa Orde Lama, namun keyakinan Sjahrir kepada demokrasi tidak luntur sebagaimana ia tuangkan dalam Pikiran dan Perjuangan maupun Renungan Indonesia.

Tan Malaka, yang lebih tua dari mereka bertiga, mengenal dekat beragam pemikiran ketika itu. Sembari menjalani perjuangan bawah tanah, Tan Malaka menyempatkan diri menuangkan pikirannya ke dalam tulisan. Lahirlah Massa Actie, Gerilya Politik dan Ekonomi, Madilog, hingga catatan hariannya, Dari Penjara ke Penjara.

Dalam Massa Actie, Tan Malaka berbicara tengan dua tombak Revolusi Indonesia, yaitu mengusir imperialisme Barat dan mengikis sisa-sisa feodalisme. Yang satu datang dari luar dan yang satu lagi berasal dari dalam negeri sendiri. Revolusi ini, kata Tan Malaka, bila berhasil dilaksanakan akan mendatangkan perubahan yang berarti dan menyeluruh dalam politik, ekonomi, sosial, dan bahkan mental—Tan Malaka sudah berbicara perihal revolusi mental puluhan tahun yang lampau.

Dalam usia 27 tahun, pada 1924, Tan Malaka menerbitkan risalah Menuju Republik Indonesia yang memuat konsep negara Indonesia yang tengah diperjuangkan. Karya ini mendahului pledoi Bung Hatta di Den Haag maupun Bung Karno di Bandung. Karya-karya mereka, bersama buah pikir H.O.S. Tjokroaminoto, Tirto Adhi Soerjo—yang menerbitkan beberapa suratkabar dan mendirikan Sarikat Dagang Islam, Moh. Yamin, dan banyak lagi, telah memberi warna pada fondasi Indonesia merdeka.

Zaman terus bergerak dan berubah, namun tautan historis ini tak bisa dihapus. Mereka menetapkan tujuan perjuangan yang jelas dan berjuang dengan integritas yang mereka jaga sekuat mungkin. Setiap Agustus adalah momen untuk becermin kepada sejarah, sebab di sanalah kita akan mendapati sejumlah perbedaan sepak terjang perintis kemerdekaan dengan elite politik masa sekarang. Setidaknya ada empat perbedaan yang dapat disebutkan:

Pertama, Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, dan lain-lain terjun ke dunia politik untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Mereka memikirkan gambaran Indonesia Merdeka yang dicita-citakan dan berjuang mewujudkannya. Adakah politikus masa kini yang punya gagasan jelas tenntang Indonesia masa depan—setengah abad mendatang?

Kedua, gagasan dan sikap pilihan mereka dituangkan dalam tulisan, sehingga siapapun dapat membaca dan memahaminya. Mereka menulis karena mengerti benar apa yang mereka pikirkan. Mereka punya cita-cita untuk beberapa generasi Indonesia mendatang dan berusaha memberi landasannya, bahkan memperjuangkannya. Mereka ‘men of ideas’, manusia gagasan sekaligus manusia aksi.

Ketiga, mereka tidak berusaha mengambil keuntungan ekonomis saat berjuang maupun saat berkuasa setelah kemerdekaan. Tan Malaka terus-menerus hidup dalam kemiskinan. Bung Hatta dan Bung Sjahrir hidup pas-pasan, bahkan Bung Hatta pensiun dalam keterbatasan ekonomi dan menolak jabatan komisaris perusahaan. Bandingkan dengan elite politik sekarang yang berlomba-lomba menguasai ekonomi, mereka menyatukan kekuatan politik dan ekonomi di satu tangan.

Keempat, mereka teguh pendirian. Mereka tidak akan menggoyahkan integritas sendiri untuk dipertukarkan dengan jabatan maupun kue bisnis. Mereka teguh pendirian bila tawaran jabatan maupun kue ekonomi melanggar prinsip-prinsip mereka.

Para perintis dan pendiri Republik itu bukanlah politikus seperti yang digambarkan James Freeman Clarke: “Politikus memikirkan pemilu yang akan datang, negarawan memikirkan generasi yang akan datang.” **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler