x

Toko waralaba Seven Eleven di Cikini, Jakarta. ANTARA/Prasetyo Utomo

Iklan

Tiffani Angelica

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Regulasi Membingungkan, Bisnis Seven Eleven Menjadi Sasaran

Tutupnya Seven Eleven menjadi PR baru bagi pemerintah untuk terus memperbaharui regulasi, sehingga dapat memenuhi inovasi bisnis.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Minuman baru bernama Slurpee dengan berbagai varian rasa, saus keju yang membanjiri bungkus Cheetos atau makanan cepat saji lainnya, bisa dinikmati dalam waktu tanpa batas (24 jam) di meja dan kursi dengan fasilitas stopkontak, merupakan daya tarik tersediri bagi pengunjung. Keunikan pelayanan dan produk yang baru hadir tersebut  ditawarkan perusahaan ritel yang berhasil masuk ke Indonesia pada tahun 2009, 7-Eleven. Minimarket sekaligus convinience store ini berhasil menggaet hati masyarakat, sampai menanamkan gaya hidup "nongkrong" bagi berbagai kalangan, terutama anak muda. Tren “nongkrong” yang menjadi gaya hidup baru pada saat itu, secara antusias dilirik oleh beberapa kompetitor sebagai peluang baru untuk mengembangkan sayap bisnis ritelnya. Hal ini dapat dilihat dari minimarket seperti alfamart dan indomart yang juga membuka beberapa gerai dengan sajian menu makanan siap saji beserta peralatan bagi pengunjung untuk betah singgah di gerainya. Melihat antusiasme dari para konsumen menyambut hadirnya konsep minimarket tersebut, para pelaku bisnis tidak pernah memikirkan berakhirnya eksistensi perusahaan waralaba, 7-Eleven.

Hal ini menuai banyak pertanyaan di berbagai benak orang, terutama mereka yang pernah menjadi pencinta makanan dan tempat tersebut. Para pakar dan pemangku kepentingan pun menjadi sumber yang tepat untuk memberikan komentar dan penekanan mengenai model bisnis yang tepatdi tengah persaingan usaha yang kompetitif. Seolah inovasi dan eksistensi tidak dapat berjalan bersamaan dalam bisnis di Indonesia, hal ini juga berbentrokan dengan regulasi yang kurang dinamis.Originalitas dan inovasi interpreuner terbaru seolah menakutkan para inovator yang melihat peluang bisnis. Tutupnya salah satu perusahaan ritel yang sudah beridiri cukup lama ini membuat beberapa orang menebak-nebak penyebabnya. Tepat tanggal 30 Juni 2017, perusahaan yang merauk keuntungan banyak pada masanya, tak mampu lagi bersaing dengan perusahaan peritel modern lain, yang justru mengambil sedikit ide dari inovasinya.

Segel, kosong, dan gelap menjadi tampilan gerai-gerai Sevel membawa kekecewaan beberapa orang yang hanya membawa kocek tak lebih dari dua puluh ribu rupiah dan ingin bercanda gurau sambil menghirup slurpee ataupun chitato dengan keju sepuasnya. Bersamaan dengan kekecewaan dan pertanyaan yang muncul di benak para pelanggan, pengamat bisnis pun menjelaskan bahwa perusahan Seven Eleven ini tidak memiliki spesifikasi target pasar yang jelas. Ketiadaan target konsumen yang lebih spesifik menyebabkan ketidakseimbangan antara profit yang diharapkan dan beban yang dikeluarkan.  Benar saja,jam operasional yang tak kenal kata lelah (24 jam), gerai yang cukup luas dengan fasilitas tempat duduk dan meja yang cukup banyak, serta lapangan parkir yang tak kalah luas, justru menjadi salah satu penyebab tutupnya usaha "inovatif" ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di lain sisi, menjual makanan dan minuman kemasan dan cepat saji yang dapat langsung dinikmati di kursi, meja, internet, serta stopkontak yang disediakan mempersulit izin usaha inovatif ini.  Regulasi yang tidak terlalu dinamis mengatur perkembangan usaha, menjadi salah satu rumor penyebab tutupnya Seven Eleven, yaitu izin usaha.  Konsep baru ini memanjakan para konsumen, namun menimbulkan kebingungan bagi para regulator untuk mengklasifikasi jenis izin usaha, izin ritel atau izin restoran. Lebih daripada rasa kepuasan atas kebutuhan konsumen, ataupun regulasi yang lama mengikutinya akibat panjangnya birokrasi, bisnis tetaplah bisnis alias uang. Tolak ukur keberhasilan sebuah bisnis diukur dari seberapa besar pelipatgandaan modal yang diberikan dan terus berputar. 

Mungkin sekarang waktunya perusahaan waralaba pelopor minuman slurpee angkat kaki dari industri ritel Indonesia. Saat yang tepat juga untuk para calon interpreneur melihat pembelajaran dari tragedi ini ataupun justru para regulator yang harus memperbaiki diri untuk gerak cepat (gercep) mengikuti modernisasi perusahaan ritel dengan segala inovasi cemerlangnya untuk berkompetisi.  Ketika inovasi dan regulasi berjalan bersama untuk saling mendukung, bisnis inovatif seperti Seven Eleven bisa hadir dan langgeng menawarkan pelayanannya di tanah air ini. Pada akhirnya, dapat ditarik kesimpilan bahwa saat ini industri sejenis seven eleven dan Indonesia memang belum berjodoh, keduanya harus sama-sama saling memperbaiki. 

Ikuti tulisan menarik Tiffani Angelica lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler