independen,komitmen, orisinil
Mengecam Hilangnya Nilai Spiritualisme Reformasi
Selasa, 14 Mei 2024 20:31 WIB
Perlu penguatan nilai dan daya juang untuk membangkitkan kembali semangat reformasi. Ini menjadi tugas berat seluruh anak bangsa.
Dalam titik klimaks sejarah bangsa Indonesia, kita harus menyatakan diri sebagai negara yang telah gagal menuju masyarakat madani (civil society) dan menuju neegara demokrasi. Indonesia saat ini berada di bagian garis akhir perjuangan yang melelahkan dan merisaukan. Pada akhirnya semuanya melupakan sejarah bagaimana proses modernisasi demokrasi itu dibangun dan diperjuangkan.
Demokrasi Indonesia bisa dikaitkan dengan kejadian bersejarah di bulan Mei ini. Ada yang sangat menarik jika jeli mempertajam sorotan kita peristiwa apa yang terjadi pada tanggal 13 Mei. Dua kejadian yang sama di tanggal yang sama di dua negara tetangg, yakni Indonesia dan Malaysia. Kedua negara ini pada waktu yang sama mengalami trauma dan luka politik yang sangat mendalam.
Di negara jiran Malaysia, 13 Mei adalah hari kelam bagi pecahnya persaudaraan bangsa Malaysia saat itu. Terjadi peristiwa sejarah yang sangat primitif yakni terjadinya terjadinya rasial antara etnis Tionghoa dan orang Melayu. Peristiwa rasial itu terjadi di jantung kota Malaysia yang terjadi di Kuala Lumpur.
Kisah kelam pilu bagi bangsa Malaysia terjadi pada tanggal 13 Mei 1969 dengan kejadian paling brutal sepanjang sejarah Malaysia. Kerusuhan tersebut yang telah merenggut nyawa sebanyak 184 orang. Peristiwa ini tidak hanya bersumber dari kisruh persaingan etnis tetapi juga dipicu oleh utusan politik.
Selama kampanye Pemilu 1969, para calon serta anggota-anggota partai politik, khususnya dari partai oposisi, mengangkat soal-soal sensitif yang berkaitan dengan bahasa nasional (Bahasa Melayu), kedudukan istimewa orang Melayu (Bumiputera) dan hak kerakyatan warga non-Melayu. Hal ini menimbulkan sentimen rasial dan kemiskinan.
Disebutkannya jika "Pilihan Raya Umum 10 Mei 1969" merupakan satu titik hitam dalam sejarah negara Malaysia.
Sistem keuangan global terjadi dan pada akhirnya memporak-porandakan sistem keuangan dan juga politik di banyak negara. Kegagalan rejim ekonomi liberal tersebut menimpa banyak negara termasuk Indonesia.
Rejim ekonomi dunia tidak bisa menjadi acuan bagi tata kelola sistem keuangan global. Krisis keuangan Asia contoh konkrit rejim ekonomi liberal gagal dan berakhirnya terjadinya krisis keuangan yang menerpa hampir seluruh Asia Tenggara pada bulan Juli 1997 dan menimbulkan ketakutan bahkan ekonomi dunia akan runtuh akibat penularan keuangan.
Krisis moneter tahun 1997 memicu peristiwa tragis di Indonesia. Masa sangat kelam bagi kemanusiaan. Bagas Indonesia tiba-tiba hilang nilai kemanusiaan dan juga solidaritas dan keutuhannya sebagi bagian anak bangsa Indonesia. Keseluruhan akhir peristiwa Bulan Mei disebabkan oleh konflik politik, kekerasan fisik dan juga penderita psikologis bagi sebagian anak bangsa.
Ketidakberdayaan pemerintah untuk menjaga stabilitas politik, keamanan dan juga ekonomi pada akhirnya memicu diberlakukannya dahsyat. Adanya krisis ekonomi kemudian meluas hingga ranah politik, akhirnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah pun menghilang. Akhirnya pembebasan tidak dapat dielakkan.
Catatan sejarah yang ditulis dari berbagai sumber media memberikan rentetan peristiwa demi peristiwa yang begitu menegangkan dan menyeramkan. Sampai pada tanggal 12 Mei 1998 terjadi retensi besar-besaran di depan Universitas Trisakti, Jakarta.
Dalam peristiwa ini merenggut nyawa enam orang pelajar akibat tembakan aparat keamanan. Mereka antara lain Elang Mulya Lesmana, Hery Hertanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan.
Dikutip dari Pasti Bisa Sejarah Indonesia untuk SMA/MA Kelas XII, Tim Ganesha Operation (2017), pada tanggal tersebut, siswa bentrok dengan aparat keamanan hingga terjadi peristiwa tragis, yang disebut Tragedi Trisakti.
Tragedi Trisakti bagaikan air bah tsunami. Kerusuhan tanggal 12-13 Mei 1998 terjadi di kota Jakarta dan pada akhirnya menjadi ladang subur bagi pergerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa panas pada tanggal 12 Mei 1998.
Kemudian pada tanggal 13 Mei 1998, mahasiswa Universitas Trisakti kembali melakukan kejahatan. Hal itu dilakukan sebagai bentuk protes atas tindakan-tindakan represif yang dilakukan oleh aparat.
Aksinya mencapai titik yang berujung ricuh. Bahkan intimidasi tersebut dirusak dengan perusakan pos polisi hingga pembakaran pom bensin. Aksi yang awalnya terjadi di Universitas Trisakti, kemudian meluas hingga ke arah utara dan timur ibu kota. Kerusuhan tersebut berlangsung cukup lama. Aksi terus berlanjut hingga tanggal 15 Mei 1998.
Peristiwa yang dikenal dengan nama Tragedi Trisakti ini membuat mahasiswa di mana-mana tersulut dan melakukan aksi yang lebih besar pada 13-14 Mei 1998, seperti di kantor DPRD Jawa Tengah.
Aksi penjarahan dan pembakaran di pertokoan pun mewarnai di berbagai daerah. Puncaknya pada tanggal 18 Mei 1998, mahasiswa berhasil menduduki atap gedung DPR/MPR RI di Senayan.
Pada hari yang sama, Ketua MPR/DPR Harmoko, menyarankan presiden untuk merendahkan diri. Namun Soeharto masih belum mau mundur. Pada tanggal 19 Mei 1998, beberapa menteri kabinet Soeharto memutuskan mundur dari jabatannya.
Soeharto akhirnya mundur dari jabatannya di depan Mahkamah Agung pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 10.00 pagi. Soeharto kemudian menunjuk wakilnya, BJ Habibie untuk menggantikan posisinya.
Di Istana Merdeka, Kamis, pukul 09.05 Soeharto mengumumkan mundur dari kursi Presiden dan BJ. Habibie disumpah menjadi Presiden RI ketiga.
Catatan kritis sejarah Kerusuhan Mei 1998 dan Gerakan Reformasi adalah peristiwa paling buram dan bar-bar dalam dinamika politik dan juga demokrasi Indonesia. Namun demikian, sejarah telah membayar mahal untuk bercerita dan berkorban untuk proses modernisasi moral, etika dan juga demokrasi sendiri.
Yang patut diperhatikan adalah mahalnya pengorbanan perjuangan demokrasi dengan berhasil menumbangkan rezim Orde Baru pada saat itu, disadari atau tidak oleh kita bahwa dalam kenyataan saat ini spiritualisme reformasi sangat minimalis. Justru sebaliknya, gagasan berbagai macam bentuk reformasi dalam jangka waktu 24 tahun lamanya tidak begitu nyata lagi, kabur, surut bahkan sudah terasa hilang.
Dualitas keniscayaan masyarakat Indonesia sedang terjadi. Pertama, sudah kehilangan ruh dan semangat reformasi. Kedua, baik masyarakat dan juga entitas panggung pemegang bangsa Indonesia sedang kehilangan jati dirinya. Instrumen pelaku pengelola negara dan juga pendukungnya sudah tidak mengenal sejarah dan juga manifesto kehidupan politik para leluhur bangsa.
Oleh karena itu wajar jika Indonesia sedang terjadi peristiwa sejarah yang sangat komplek dan berputar. Hilangnya identitas leluhur bangsa dan juga telah terjangkit virus liberalis atau sekulerisme yang telah menyentuh kehidupan pribadi dan merembet ke ekosistem politik dan sosial.
Modernitas peristiwa dan juga kebijakan baik yang dilakukan pemerintah dan juga entitas masyarakat sipil tidak berhasil menemukan jati diri dan juga keberhasilan nyata. Terjadinya krisis politik identitas dan krisis kemanusiaan dalam berpikir dan bertindak.
Sepatutnya jika saat ini banyak pihak sudah melupakan sejarah reformasi dan nilai dan perjuangannya. Ada dampak reformasi jika adanya semangat kesengajaan dibungkam dan dibunuh secara pelan-pelan. Dinamika politik praktis menghalangi dan juga menghalalkan untuk menyembunyikan ataupun melalaikan spiritualisme reformasi untuk rujukan jihad politik dan kemanusiaan.
Distorsi semangat reformasi inilah yang akan kita tuntut dan juga terus pertanyaan kepada rejim yang sedang aktif termasuk rejim akan berkuasa saat ini "Prabowo -Gibran". Hati-hati kalian ya.

Penulis, Pengamat Politik dan Sosial
2 Pengikut

Yusril Bilang Orang Pintar Tergusur Artis Di DPR
2 hari laluBaca Juga
Artikel Terpopuler