x

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Muliaman Hadad bersama para anggota Dewan Komisioner OJK lainnya dalam konferensi pers akhir tahun OJK di Gedung OJK, Pasar Baru, Jakarta Pusat, 30 Desember 2016. Tempo/Angelina Anjar Sawitri

Iklan

gunoto saparie

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Upaya Mengerek Inklusi Keuangan

Penerapan inklusi keuangan akan sangat sulit jika tingkat literasi di masyarakat, khususnya di daerah, masih rendah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh Gunoto Saparie

Inklusi keuangan adalah ketersediaan akses pada berbagai lembaga, produk dan layanan jasa keuangan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Inklusi keuangan merupakan upaya meningkatkan akses masyarakat terhadap lembaga keuangan formal yang dapat memberikan manfaat terhadap peningkatan kesejahteraan.

Program inklusi keuangan ini dimotori Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan kementerian/lembaga dan didukung penuh industri jasa keuangan (IJK). Pemerintah sangat serius meningkatkan inklusi keuangan. Buktinya, Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden RI Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI). Inklusi keuangan didesain agar lebih banyak masyarakat (berpenghasilan rendah) yang mengakses produk/layanan jasa keuangan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengerek inklusi keuangan. Selain menerbitkan peraturan terkait inklusi keuangan, OJK bersama IJK kompak menggarapnya. Bagi IJK, upaya peningkatan inklusi keuangan adalah investasi yang akan besar hasilnya. Ada pengembangan materi literasi keuangan untuk jenjang pendidikan formal dari tingkat SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Contoh program lainnya adalah simpanan pelajar, asuransi mikro, reksadana ritel, penyaluran bantuan sosial nontunai sampai optimalisasi aset wakaf.

Beberapa program dan kegiatan inklusi keuangan OJK seperti Jaring (Jangkau, Sinergi dan Guideline), Laku (Layanan Keuangan) Mikro, Laku Pandai (Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif) dan Simpanan Pelajar (Simpel). Selain itu, masih terkait inklusi keuangan, OJK bersama Kementerian Dalam Negeri mendirikan tim percepatan akses keuangan daerah (TPKAD).

Penerapan inklusi keuangan akan sangat sulit jika tingkat literasi di masyarakat, khususnya di daerah, masih rendah. Oleh karena itu, OJK terus menggenjot sosialisasi keuangan di daerah-daerah, baik melalui pertemuan-pertemuan tingkat warga sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi.

Istilah inklusi keuangan mendunia setelah krisis ekonomi dunia pada tahun 2008 menimbulkan dampak negatif kepada warga dengan pendapatan rendah dan tidak teratur, tinggal di daerah terpencil, kelompok disabilitas, buruh, dan masyarakat pinggiran. Program ini disepakati pada pertemuan KTT G20 di Pittsburgh, Amerika Serikat, tahun 2009 dan dilanjutkan KTT G20 di Toronto, AS, pada tahun 2010 di mana saat itu konferensi menghasilkan sembilan prinsip inklusi keuangan inovatif (nine principles for innovative financial inclusion), meliputi kepemimpinan, keberagaman, inovasi, perlindungan, pemberdayaan, kooperasi, pengetahuan, kesetaraan, dan kerangka kebijakan (framework).

Dua Sisi Mata Uang

Menurut Kepala Departemen Literasi dan Inklusi Keuangan OJK Agus Sugiarto, pencapaian target inklusi keuangan harus juga dibarengi dengan upaya peningkatan literasi keuangan bagi masyarakat. Literasi dan inklusi keuangan ibarat dua sisi mata uang. Kalau hanya inklusi saja, maka akan menuai masalah customer protection (perlindungan nasabah).

Keuangan inklusif didefinisikan sebagai kondisi ketika setiap anggota masyarakat mempunyai akses terhadap berbagai layanan keuangan formal yang berkualitas secara tepat waktu, lancar, dan aman dengan biaya terjangkau sesuai kebutuhan dan kemampuan. Akses masyarakat Indonesia terhadap layanan keuangan masih relatif rendah. Survei Bank Dunia pada 2014 menunjukkan bahwa baru sekira 37 persen penduduk Indonesia yang memiliki rekening bank, 27 persen memiliki simpanan formal dan 13 persen memiliki pinjaman formal.

Survei Otoritas Jasa Keuangan pada 2016 juga menunjukkan hanya 28,9 penduduk dewasa memahami produk-produk perbankan. Untuk meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif yang menargetkan 75 persen populasi dewasa dapat mengakses layanan keuangan formal pada 2019.  Guna mencapai target inklusi keuangan 75% pada 2019, pemerintah telah menyiapkan lima pilar pendukung, yaitu edukasi keuangan, hak properti masyarakat, fasilitas intermediasi dan saluran distribusi keuangan, layanan keuangan pada sektor pemerintah, dan perlindungan konsumen.

Dengan mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan peneliti Bank Dunia, ada beberapa penyebab rendahnya inklusi keuangan yang berlaku universal, antara lain karena faktor jarak sehingga aksesnya tidak mudah, kesulitan dalam memenuhi persyaratan dokumentasi dari pihak bank, dan masalah kepercayaan kepada bank.

Mendekatkan Diri

Oleh karena itu, perbankan nasional diharapkan lebih mendekatkan diri kepada masyarakat yang belum terjangkau oleh akses perbankan. Misalnya, melalui perluasan jaringan layanan, baik secara fisik berupa kantor cabang, cabang pembantu, maupun membuka kios-kios layanan. Di samping itu, dapat juga dilakukan melalui perluasan jaringan secara branchless melalui layanan transaksi secara elektronik dan daring.

Hal lain yang dapat dilakukan oleh pihak perbankan adalah dengan melakukan redesain produk perbankan, baik kredit, simpanan, maupun jasa. Redesain tersebut dapat dilakukan, misalnya, melalui penyederhanaan proses dan pemenuhan persyaratan administrasi yang disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan kemampuan nasabah.

Sektor perbankan memiliki peran sangat strategis sebagai salah satu aktor dalam kegiatan inklusi keuangan ini. Hasil survei Bank Indonesia (BI) menyebutkan rumah tangga yang memiliki tabungan, baik pada lembaga keuangan bank (LKB), lembaga keuangan nonbank (LKNB) dan nonlembaga keuangan (NLK) tercatat 48 persen. Bank agaknya masih menjadi pilihan rumah tangga untuk menyimpan uang, yakni 44,23 persen. Akan tetapi, hasil penyigian yang dilakukan BI setidak-tidaknya menggambarkan masih banyak masyarakat yang belum terjangkau layanan lembaga keuangan formal, utamanya bank.

 

*Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Tengah

Ikuti tulisan menarik gunoto saparie lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler