x

Iklan

Lukman

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Upah dan Ketenagakerjaan dalam Islam

Pengupahan karyawan atau buruh merupakan bentuk pemberian kompensasi yang diberikan oleh majikan kepada karyawan. Kompensasi tersebut bersifat financial da

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam usaha bisnis elemen terpenting adalah ketenagakerjaan, dimana tenaga kerja adalah motor dari sebuah usaha untuk menentukan kelangsungan sebuah usaha tersebut, karena sebuah produksi baik barang atau jasa memerlukan faktor pendukung untuk memproduksi barang dan jasa tersebut, maka disinilah peran pekerja begitu berharga dalam perusahaan. Tenaga kerja dan upah tidak dapat dipisahkan. Keduanya selalu menjadi tema menarik untuk dikaji.

Pengupahan karyawan atau buruh merupakan bentuk pemberian kompensasi yang diberikan oleh majikan kepada karyawan. Kompensasi tersebut bersifat financial dan merupakan yang utama dari bentuk-bentuk kompensasi yang ada bagi karyawan (Susilo Martoyo, 1987: 130). Upah adalah imbalan atas tenaga yang dikeluarkan oleh pekerja yang diberikan oleh pengusaha atas suatu pekerjaan yang dilakukan dan dinyatakan dalam bentuk uang. Pemberian besarnya upah yang dibayarkan pengusaha kepada pekerja sesuai dengan perjanjian yang telah sepakati diantara kedua belah pihak (Baqir Syarif, 2007: 250).

Upah merupakan unsur utama pendapatan mereka sehingga upah pekerja atau buruh selalu menjadi polemik dan isu sentral dalam ketenagakerjaan, hal itu disebabkan karena seorang majikan terkadang memberikan upah yang tidak sesuai, dalam hal ini, keadilan menuntut agar semua pekerja diperlakukan sesuai dengan haknya masing-masing, baik sebagai pekerja maupun sebagai manusia, mereka tidak boleh dirugikan, dan perlu diperlakukan secara sama tanpa diskriminasi yang tidak rasional.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lalu islam menjawab dari polemik-polemik diatas, sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya:

“Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar dibatasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan” (QS. Al-Jaatsiyah: 22)

Dan juga Allah SWT berfiman yang artinya:

“Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang soleh, maka Allah akan memberikan kepada mereka dengan sempurna pahala amalan-amalan mereka dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Ali Imran: 57).

Dua ayat diatas menjelaskan bahwa Islam datang dengan tegas mendeklarasikan sikap anti perbudakan untuk membangun tatanan kehidupan masyarakat yang toleran dan berkeadilan. Islam tidak mentolelir sistem perbudakan dengan alasan apapun terlebih lagi dengan adanya praktek jual beli pekerja dengan mengabaikan hak-hak pekerja yang sangat tidak menghargai nilai kemanusiaan, dan Islam menempatkan setiap manusia apapun jenis profesinya dalam posisi yang mulia dan hormat. Islam tidak membeda-bedakan antara pekerjaan. Setiap manusia akan mendapatkan imbalan dari apa yang telah dikerjakannya dan masing masing tidak akan dirugikan.

Lalu ayat diatas menjamin tentang upah yang layak kepada setiap pekerja sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan dalam proses produksi. Sementara majikan harus menerima keuntungannya sesuai dengan modal dan tenaganya terhadap produksi.

Jika para pekerja tidak menerima upah secara adil dan pantas, maka dampaknya tidak hanya akan mempengaruhi daya beli yang akhirnya juga akan mempengaruhi standar penghidupan pekerja serta keluarganya. Disamping itu, ketidakadilan terhadap golongan pekerja akan menyebabkan rasa tidak senang dan kekacauan dikalangan mereka dan bisa menimbulkan aksi terhadap industri dalam bentuk aksi pemogokan kerja.

Dan Rasulullah SAW menganjurkan majikan untuk membayarkan upah para pekerja setelah mereka selesai melakukan pekerjaannya, Rasulullah SAW bersabda, yang artinya:

Dari Ibnu Umar ra. berkata: Rasulullah SAW bersabda: Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”. (H.R. Ibnu Majjah). Dan pada bab inihadis dari Abi Hurairah ra. Menurut Abi Ya?la dan Baihaqi, dan hadis dari Jabir menurut Tabrani semuanya Dhaif (Kahar Masyhur, 1992: 515).

Ketentuan tersebut untuk menghilangkan kebingungan, kerancuan, dan keraguan pekerja atau kekhawatirannya bahwa upah mereka akan dibayarkan, atau akan mengalami keterlambatan tanpa adanya alasan yang dibenarkan. Namun, umat Islam diberikan kebebasan untuk menentukan waktu pembayaran upah sesuai dengan kesepakatan antara pekerja dengan yang memperkerjakan.

Dalam kandungan dari hadist tersebut sangatlah jelas dalam memberikan gambaran bahwa jika mempekerjaan seorang pekerja hendaklah dijelaskan terlebih dahulu upah yang akan diterimanya dan membayarkan upahnya sebelum keringat pekerja kering. Sehingga kedua belah pihak sama-sama mengerti atau tidak merasa akan dirugikan.

Konsep upah dalam Islam harus adil dan layak. Dimana adil dalam konsep upah ini memiliki dua makna, pertama; adil bermakna jelas dan transparan. Adil dengan arti ini bermaksud; waktu pembayaran upah harus jelas. Keterlambatan membayar upah dikategorikan sebagai perbuatan zalim dan orang yang tidak membayar upah pekerja termasuk orang yang dimusuhi oleh Nabi SAW di hari kiamat nanti. Kedua, adil bermakna proporsional, maksudya; pekerjaan seseorang akan dibalas menurut berat pekerjaannya itu.

 

Daftar Pustaka:

Susilo Martoyo, Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: PT. BPFE, 1987.

Baqir Syarif al-Qarasyi, Huququl Amil fil Islam, Terj. Ali Yahya, “Keringat Buruh”, Cetakan Pertama, Jakarta: Al-Huda, 2007.

Kahar Masyhur, Bulughul Maram, Jakarta: PT Rineka Cipta, 992.

 

Ikuti tulisan menarik Lukman lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler