x

Iklan

gunoto saparie

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

In Memoriam Djohan Effendi

Ia gemar mempelajari berbagai hal. Selain mengaji Alquran, Djohan kecil juga keranjingan membaca biografi tokoh dunia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menteri Sekretaris Negara di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Djohan Effendi, meninggal dunia karena sakit di Nursing Home McKellar Centre Geelong, Australia, Jumat, 17 November 2017 pukul 22.00 waktu setempat. Djohan lahir Kandangan, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, pada 1 Oktober 1939.

Saya mengenal Djohan sebagai sosok aktivis Islam liberal melalui berbagai pemikiran dan tulisannya sejak masih menjadi mahasiswa di  Yogyakarta. Nama Djohan masuk dalam buku 50 Tokoh Liberal di Indonesia untuk kategori pionir atau pelopor gerakan Islam liberal bersama dengan antara lain Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Harun Nasution, dan Ahmad Wahib. Meskipun selepas kuliah Djohan memilih jalan karier birokrat di Departeman (kini Kementerian) Agama, ia tetap mempertahankan pemikiran-pemikirannya yang progresif.

Sosok Djohan memang terbuka, dan itu sudah berakar pada dirinya sejak kecil. Ia gemar mempelajari berbagai hal. Selain mengaji Alquran, Djohan kecil juga keranjingan membaca biografi tokoh dunia. Ketekunan menyimak buku itu diwariskan ibunya, yang sekalipun pedagang kecil, getol membaca. Buku Sang Pelintas Batas : Biografi Djohan Effendi menunjukkan hal itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Setelah menamatkan pendidikan dasarnya, atas biaya ikatan dinas pemerintah, Djohan melanjutkan ke Pendidikan Guru Agama (PGA) di Banjarmasin. Setelah itu, Djohan melanjutkan studi ke Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) Yogyakarta. Di sana, Djohan mulai mendalami polemik filosofis antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Ia merenungkan sejumlah konsep keimanan yang sangat abstrak, seperti keabadian alam, takdir, kebebasan manusia, kekuasaan Tuhan.

Ketika penggembaraan intelektualitas menemui kebimbangan, Djohan berkenalan dengan buku-buku Ahmadiyah karya Muhammad Ali. Ia lalu bertemu dengan Muhammad Irsjad dan Ahmad Djojosugito dua tokoh Ahmadiyah Lahore. Djohan tertarik pada cara interpretasi Ahmadiyah yang sangat rasional, sekaligus spiritualistik. Kegandrungan mempelajari Ahmadiyah tersebut membuat Djohan dituduh sebagai pengikut kelompok keagamaan asal India itu.

Setamat dari PHIN, Djohan sempat menjadi “birokrat lokal”. Selama dua tahun, ia bekerja sebagai pegawai Departemen Agama di Amuntai-Kalimantan Selatan. Kesempatan untuk menimba ilmu kembali terbuka ketika Djohan mendapat tugas belajar ke Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kesempatan itu digunakannya untuk mendalami kajian tafsir.

Lulus IAIN, dua tahun kemudian, Djohan ditempatkan di Sekretariat Jenderal Departemen Agama. Tak lama di sana, lalu diangkat menjadi staf pribadi Menteri Agama Mukti Ali. Lima tahun menjadi staf menteri, Djohan sempat dikaryakan ke Sekretaris Negara. Kehadirannya di Setneg, khusus untuk membantu menyusun pidato-pidato mantan Presiden Soeharto.

Pada 1993, ia meraih gelar ahli peneliti utama Departemen Agama, setingkat dengan profesor atau guru besar di perguruan tinggi. Dalam pidato sambutan penganugerahan gelarnya, pemikiran moderat Djohan lagi-lagi mengemuka. Djohan menyinggung-nyinggung keberadaan kelompok penganut minoritas yang sering mendapat perlakukan tidak adil, seperti Konghucu dan Bahai. “Saya sempat disuruh menghapus bagian pidato itu. Tapi saya tidak mau,” tandasnya.

Semasa Tarmidzi Taher menjadi Menteri Agama (1993-1998), posisi Djohan di Depag sempat menjadi tidak jelas. Karier Djohan sebagai penulis pidato Presiden pun tamat ketika ia “nekat” mendampingi KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berkunjung ke Israel, 1994. Kunjungan itu ditentang keras oleh sejumlah kelompok Islam. Bahkan, Moerdiono, Sekretaris Negara saat itu, juga ikut menyesalkannya.

Atas permintaan Menteri Agama saat itu, Malik Fadjar, sejak 20 Oktober 1998, Djohan diangkat sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Kabalitbang) Departemen Agama. Selama menjadi Kabalitbang, Djohan tinggal di kantornya, Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Namun, karena Djohan juga masih mahasiswa, setiap tiga bulan sekali, ia harus terbang ke Australia. Selain untuk keperluan studi, bagi Djohan, Australia sekaligus menjadi tempat melepas kangen. Sang istri dan tiga anaknya tinggal di sana. Disertasinya berjudul “Progresif Tradisional: Studi Pemikiran Kalangan Muda NU, Kiai Muda NU, dan Wanita NU”.

Djohan Effendi dikenal sebagai sosok yang pendiam dan lembut. Ia tidak banyak omong dan lebih senang mendengarkan. Kalau berbicara seperlunya saja. Djohan juga jarang tertawa terbahak-bahak dengan mulut terbuka lebar. Ia hanya tersenyum kecil jika mendengar sesuatu yang oleh rekan-rekan ngobrol-nya dianggap lucu. Penampilan Djohan memang terkesan sebagai orang yang selalu serius. Dalam praktik hidup sehari-hari, Djohan juga sangat sederhana dan asketik, bahkan cenderung menghindar dari kegiatan-kegiatan yang berbau hura-hura dan pesta.

Pemikiran Djohan memang terbang dan mengembara ke mana-mana. Ia tak bisa lagi dikurung dan dihentikan dalam satu pemahaman keagamaan saja. Apalagi kini baginya, “…semua pendapat tidaklah mutlak. Kebenarannya bersifat relatif. Organisasi keagamaan bukanlah bagian dari agama dan karena itu menjadi anggota organisasi keagamaan bukanlah bagian dari keberagamaan melainkan sekadar kegiatan sosial. … semua faham atau mazhab tidak seluruhnya benar dan tidak seluruhnya salah. Ia merasa bebas untuk mengambil mana yang kuanggap benar dari faham atau mazhab apapun…” Djohan telah menjadi pluralis sejati. Selamat jalan, Djohan.

Oleh Gunoto Saparie

Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jawa Tengah

Ikuti tulisan menarik gunoto saparie lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler