x

Iklan

Halia Asriyani

Mahasiswa Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Petani Muda dan Masa Depan Pangan

Kondisi petani lokal di tengah gempuran pangan impor.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Saya ingin anak saya tidak jadi petani seperti saya. Cukup saya yang merasakan susahnya. Mereka harus jadi orang sukses.” Demikian jawaban Pak Jafar Sena, seorang petani di Kelurahan Noling, Kecamatan Bua Ponrang, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan ketika saya menanyakan harapannya terhadap masa depan anak. Pak Jafar adalah salah satu petani kakao yang menjadi narasumber saya ketika melakukan sebuah penelitian pada awal 2016 lalu.

Pak Jafar bersama istri setiap hari bekerja membanting tulang di kebun milik mereka demi memenuhi kebutuhan hidup, juga membiayai anak mereka yang tengah menyelesaikan pendidikannya di kota. Bukan hanya orangtua seperti Pak Jafar, anak muda sendiri yang saya temui pun kian enggan turun ke sawah, ladang atau kebun untuk menghasilkan pangan. Profesi sebagai petani semakin hari, semakin tak menarik di mata mereka.  Alasannya karena  tidak menjanjikan lagi. Ini seperti yang diungkap oleh Dani dan Sandi, dua pemuda desa yang juga saya wawancarai ketika itu. Mereka ingin jadi apa saja, asal tak jadi petani.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam dekade terakhir, kondisi pangan memang terancam. Sejak April 2015, majalah National Geographic merilis data yang mengkhawatirkan ketersediaan pangan pada tahun 2050. Ketika populasi manusia di dunia meningkat hingga 35% sehinga membutuhkan 100 milyar ton bahan pangan per tahun. Sementara itu, jumlah petani pangan di Indonesia semakin menurun. Penurunan terbesar justru terjadi di kelompok petani sawah pada kisaran usia 35 tahun yang masuk golongan petani muda.

Meskipun di Indonesia, kedaulatan pangan telah menjadi pilihan kebijakan, namun dalam implementasinya masih belum juga banyak berubah sejak Orde Baru. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2016 menyebutkan bahwa peranan komoditi pangan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibanding peran komoditi non pangan seperti perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Di sisi lain, sektor pertanian yang semestinya menjadi tulang punggung mengatasi persoalan kemiskinan dan kelaparan justru menurun. BPS mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia pada tahun 2013 mencapai 28.070.000 jiwa. Dari jumlah tersebut, 17.740.000 diantaranya adalah penduduk desa yang mayoritas petani. Kontribusi sektor pertanian sendiri pada Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional di tahun 2005 mencapai 13%, namun pada tahun 2013 merosot menjadi 10%.

Pemerintah Indonesia sendiri, berkali-kali dengan bangga menyatakan bahwa pangan kita cukup, namun jumlah penduduk yang terus meningkat, semakin menurunnya jumlah para penghasil pangan, laju alih fungsi lahan yang menyebabkan hilangnya lahan pangan, hingga kerusakan lahan pertanian sebenarnya sudah mencapai titik yang membahayakan.

Menurut laporan mingguan Majalah Geotimes pada 25 Agustus 2014 ada 26,14 juta petani kecil yang kepemilikan lahannya tidak mencapai 1 hektar. Rata-rata tiap rumah tangga petani menggarap 0,89 hektar. Persoalan keterbatasan lahan ini bisa diakibatkan oleh rusaknya lahan yang disebabkan karena penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang berlebihan sehingga merusak unsur hara tanah. Selain itu, alih fungsi lahan untuk pembangunan infrastruktur, perumahan dan pabrik-pabrik. Termasuk pabrik-pabrik agroindustri yang terus melindas tanah-tanah pertanian di pinggiran kota. Korbannya, antara tahun 2003-2013, lima juta keluarga tani terpaksa keluar dari lahannya.

Tidak sampai di situ, persaingan antara pangan lokal dan impor pun menjadi salah satu dilema tersendiri bagi petani. Angka impor pangan selama sepuluh tahun terakhir menunjukkan lonjakan hingga 346 persen dan akan terus meningkat. Sejak 1992 melalui Asean Free Trade Area di mana Indonesia menjadi salah satu negara yang mengambil bagian dalam panggung perdagangan bebas di ASEAN menambah semaraknya gempuran terhadap petani. Belum lagi tantangan untuk menghasilkan pangan semakin sulit dengan dampak perubahan iklim, para petani juga harus menghadapi persaingan dengan pangan-pangan impor yang konon berkualitas lebih tinggi. Berdiri sejak Januari 1995, sebuah organisasi bernama World Trade Organization yang memayungi perdagangan bebas di berbagai negara pun menandai upaya untuk meniadakan hambatan dalam perdagangan ineternasional. Lengkaplah sudah tantangan yang harus dihadapi para petani.

Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hartanti, menegaskan banyaknya kerja sama perdagangan membuat Indonesia tersandera dalam skema perdagangan bebas. Padahal, perdagangan bebas membatasi peran negara berkembang untuk memperkuat petani lokal.

Dia mencontohkan beberapa peraturan, misalnya penghapusan domestic support seperti subsidi dan intervensi harga oleh negara dilarang. Di sisi lain, petani lokal juga harus berhadapan dengan produk impor.

“Pemerintah harus konsisten memperjuangkan subsidi untuk petani kecil pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-11 WTO yang akan dilangsungkan pada Desember 2017 ini di Argentina nanti. Jika tidak, petani lokal makin terjepit oleh perdagangan bebas,” tegasnya.

Dilansir oleh igj.or.id, terdapat lima Peraturan WTO yang perlu diubah untuk memungkinkan kedaulatan pangan dari semua negara, termasuk Indonesia. Diantaranya;

  • Pemberian otorisasi ulang pengecualian GATT tentang proteksi impor produk-produk pertanian.
  • Reformasi definisi dumping di GATT dan perjanjian anti-dumping.
  • Menghapuskan perbedaan antara subsidi dalam perjanjian di bidang pertanian sesuai dengan dugaan tingkat distorsi perdagangan.
  • Menulis ulang perjanjian di bidang pertanian pasal 9 “Semua subsidi domestik untuk produk ekspor adalah subsidi ekspor"
  • Mengubah peraturan perjanjian di bidang pertanian tentang saham publik.

Jika potensi akan pertanian semakin besar dan mampu mensejahterakan petani, secara otomatis generasi muda akan tertarik untuk bertani. Masa depan pertanian yang sangat berkaitan erat dengan ketersediaan pangan tentu saja bergantung dari generasi muda. Jika tidak segera disikapi, maka gempuran impor pangan akan semakin besar dan menyebabkan kehancuran bagi petani lokal kita. Tentu hal ini harus didukung pula dengan kebijakan dari pemerintah terkait pangan lokal. Pemerintah perlu tegas dalam mendukung terwujudnya kedaulatan pangan yang berbasis lokal. Sedang kita sendiri, yang berperan sebagai konsumen pangan, seharusnya menjadi konsumen yang mencintai pangan lokal. Itulah yang bisa kita lakukan sebagai upaya menyelamatkan masa depan pertanian kita.

Jika melihat kondisi pertanian hari ini, Pak Jafar tentu bukan satu-satunya petani yang berpikir agar anaknya tak melanjutkan profesinya. Wajar pula jika dua pemuda, Sandi dan Dani, tidak tertarik untuk melanjutkan pekerjaan orang tua mereka sebagai petani. Lantas jika semua pemuda memikirkan hal yang sama, seperti apakah masa depan pertanian kita?

Masalah pertanian sesungguhnya bukan hanya masalah petani saja, melainkan masalah seluruh masyarakat. Pertanian sebaiknya jangan disempitkan artinya sebatas produksi pangan, tapi merupakan kehidupan itu sendiri.

 

 Sumber foto: httpkotakkartun.blogspot.co.id200711petani-hidup-kita.html

 

#LokalatauImpor

Halia Asriyani (Mahasiswa Program Pascasarjana Fakultas Hukum, Jurusan Hukum Sumber Daya Alam, Universitas Indonesia)

 

Ikuti tulisan menarik Halia Asriyani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler