x

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Penderitaan Di Bawah Laut Yang Gelap ~ Stanley Adi Prasetyo

Dengan mudah kita tahu bahwa cerita dalam novel ini tak lain adalah kisah penculikan aktivis pada 1998 yang merupakan buntut dari Peristiwa Kudatuli.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul Buku:

Laut Bercerita

 

Penulis: Leila S. Chudori

Tebal: 379 halaman

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta

 

Cerita dimulai dari Seyegan, sebuah rumah hantu di pojok terpencil di Yogyakarta. Sekelompok mahasiswa dengan latar belakang yang berbeda dan dinamika masing-masing memilih tinggal bersama untuk belajar. Mereka melahap berbagai buku mulai karya Ernesto Laclau, Ralph Miliband, Ben Anderson, hingga novel Pramoedya Ananta Toer. Mereka membangun komunitas belajar dan kemudian menemukan idealisme sekaligus bermimpi tentang Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang bebas penindasan.

“Kita harus bergerak. Tak cukup hanya sibuk berduel kalimat di sisni. Kita adalah generasi yang harus bergerak, bukan hanya mendiskusikan undang-undang yang mengekang kita selama puluhantahun di bawah tekanan satu jempol,” begitu kira kira semangat anak-anak muda itu (hal. 47).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagian prolog novel ini, sebetulnya sudah mengajak kita, para pembaca, untuk masuk mengarah pada kisah sejumlah aktivis mahasiswa yang harus berurusan dengan si Mata Merah dengan dua pembantunya, si Manusia Pohon dan si Raksasa. Kumpulan anak muda ini ibarat menjadi mainan bagi si Manusia Pohon dan kawan-kawannya nun jauh dan gelap di bawah laut. Sebuah tempat tersembunyi yang jauh dari keramaian.

Nama-nama anak muda itu adalah Naratama, Sunu, Alex, Kinan, dan Daniel serta teman-temannya. Mereka membuat kelompok studi dan kemudian berlanjut dengan bergabungnya para anak muda lain yang punya mimpi sama dan kemudian membuat kelompok perjuangan bernama Winatra. Nama Winatra dan keterlibatan mereka di dalamnya ini yang rupanya membuat mereka harus tidur di atas velbed dengan kedua tangan membeku  terikat.

Siraman air bercampur es batu membangunkan mereka dari sejumlah tidur akibat kerasnya hempasan ombak yang menerpa. Pukulan, tamparan, tendangan, pecut listrik adalah makanan sehari-hari yang diterima Naratama dan kawan-kawan selama di bawah laut. Belum lagi ancaman psikologis termasuk Andelina dan Yunita, dua semut merah yang suka menyantap bola mata manusia di pertintonkan dengan senyum merekah oleh si Mata Merah.

Naratama dan kawan-kawannya harus menghadapi sejumlah deburan ombak siksa dari. Bagi si Mata Merah dan gerombolannya Naratama dkk tak lebih adalah batu kerikil kecil. Celakanya kerikil kecil itu mengganggu sosok penguasa saat itu.  “Kenapa kalian berniat mengganti presiden? Urusan apa kalian anak-anak kecil mau mengganti presiden?”

Rupanya, si Mata Merah dan teman-temannya berupaya mencari si Dalang. Si Dalang ini dianggap sebagai tokoh yang berbahaya dan digambarkan akan membuat revolusi dengan menggulingkan penguasa yang sudah hampir 32 tahun menguasai tampuk kekuasaan. Si Dalang tetu saja tak pernah ditemukan karena Si Dalang tak lain adalah pikiran dan cita-cita yang ada dalam dada dan pikiran banyak anak kecil, sebagaimana Naratama dan kawan-kawan.

Membaca buku ini, kita tak perlu mengernyitkan dahi. Dengan mudah kita tahu bahwa cerita dalam novel ini tak lain adalah kisah penculikan aktivis pada 1998 yang merupakan buntut dari Peristiwa Kudatuli (Kerusuhan 27 Juli 1996). Melihat nama-nama dan waktu kejadian, kita dengan mudah akan menarik benang merah bahwa novel ini bukan sekadar cerita fiksi. Nama Naratama dan kawan-kawan adalah nama para survivor yang bisa memandang batas laut di bawah sinar matahari, ada nama lain yang disebut yang mungkin hilang tertelan ombak.

Seorang kritikus sastra Indonesia, pernah mengritik bahwa di jaman Orde Baru tak banyak sastrawan Indonesia menghasilkan karya-karya sastra yang sarat nilai kemanusiaan. Hal ini paradoksal dibangdingkan dengan jaman Orde Lama yang dulu membungkam para sastrawan yang tak setuju dengan gagasan Nasakom. Leila S. Chudori adalah salah satu orang yang mematahkan kritik tersebut. Ini adalah vovel ke dua setelah Pulang yang cerita tentang nasih para eksil Indonesia.

Indonesia adalah bangsa yang mengalami berbagai deburan ombak drama dan tragedi yang bisa menghasilkan berbagai karya sastra, bukan hanya laporan-laporan pelanggaran HAM yang tak pernah ditundak-lanjuti baik secra hukum maupun politik. Buku ini menjawab ibarat tetesan air sejuh di tengah dahaga padang pasir.***

 

Stanley Adi Prasetyo, mantan Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

 

 

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu