Mengapa Tata Kelola Pangan Carut Marut ?

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pangan adalah hidup matinya suatu bangsa "pesan dari Bung Karno".

 

Pangan khususnya beras mendapat perhatian lebih dari Bung Karno, karena menyangkut hidup orang banyak. Ia mengingatkan dengan bicara panjang lebar soal pangan dan masa depan bangsa dalam Dekarasi Ekonomi (Dekon) tahun 1960. "Pidato saya ini mengenai hidup matinya bangsa kita di kemudian hari.  Soal memenuhi keperluan pangan harus mendapat prioritas utama, karena rakyat yang diharuskan ikut serta di dalam gerakan produksi sehebat-hebatnya itu, harus ada jaminan pangan, khususnya beras,". Pernyataan yang sama juga dating dari Henry Alfred Kissinger"Control oil and you control the nations; control food and you control the people". Artinya, kontrol minyak maka Anda akan kendalikan negara; kontrol pangan maka Anda akan mengendalikan rakyat.

Untuk menjawab pertanyaan perihal carut marut tata kelola pangan tanah air, mari kita simak pernyataan pernyataan Dirut BULOG, Djarot Kusumayakti pada saat wawancara dengan harian “Rakyat Merdeka” tanggal 09 februari 2018. Ada beberapa kata kunci yang patut kita beri perhatian lebih sebagai gambaran kinerja tata kelola pangan nasional. Semuanya akan saya rangkaikan dengan peristiwa pangan yang telah terjadi selama ini. Sehingga diharapkan terdapat benang merah untuk perbaikan tata kelola pangan tanah air ke depannya.

Pertama, ketika ditanya soal polemik impor beras, ia menjawab bahwa “Perum Bulog melihat bahwa tata kelola pangan nasional  masih karut marut. Buruknya manajemen cadangan beras dan keterpaduan data menjadi alasan. Sebagai stabilisator, Bulog tak punya banyak kewenangan dalam menjalankan tugasnya”. Ia melanjutkan “seharusnya Bulog mendapatkan wewenang tambahan untuk mengelola pangan nasional. Kami bicara apapun termasuk komoditi, bicara waktu. Misalnya mau impor salah ini mau panen raya karena waktu bisa bergeser-geser. karena terlalu banyak atasan, serta banyak diskusi dan justru harus disederhanakan”.

Kata kunci pertama adalah terkait buruknya tata kelola pangan yang dicerminkan dengan manajemen cadangan beras dan ketidak akuratan data produksi. Semua pernyataan ini benar adanya, sangatlah beralasan dan sesuai dengan fakta yang terjadi selama ini. Mulai dari Polemik apakah kita surplus produksi, impor beras 500 ribu ton dari Thailand dan Vietnam sampai penunjukkan BUMN PPI sebagai pengimpor beras. Hingga pada akhirnya, Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengeluarkan pernyataan untuk meminta semua pihak berhenti memperdebatkan surplus tidaknya produksi beras. Ia mengatakan bahwa pemerintah melakukan impor beras sebanyak 500.000 ton, merupakan upaya untuk meredam kenaikan harga beras.

Dua Kementerian yang sedang berpolemik saat itu adalah Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Masing-masing memiliki pendapat dan bertahan dengan argumentasinya. Kementerian Pertanian tetap ngotot bahwa kita tidak perlu impor beras karena surplus produksi melimpah. Disisi lain Kementerian Perdagangan juga tetap bersikukuh melakukan impor beras sebanyak 500 ribu ton dari Thailand dan Vietnam, karena melihat harga di pasar terus merangkak naik sedangkan stok cadangan beras di gudang Bulog menipis.

Cadangan beras pemerintah (CBP) menyatu dengan stok BULOG. Dari berbagai penelitian serta berdasarkan time series data idealnya berkisar 1,5 hingga 3 juta ton dalam satu periode Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). CBP adalah sejumlah beras tertentu milik Pemerintah yang sumber dananya berasal dari APBN dan dikelola oleh BULOG.  Beras cadangan ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap kebutuhan beras dan dalam rangka mengantisipasi masalah kekurangan pangan, gejolak harga, keadaan darurat akibat bencana dan kerawanan pangan serta memenuhi kesepakatan Cadangan Beras Darurat ASEAN (ASEAN Emergency Rice Reserve, AERR).

(https://www.kompasiana.com/julkhaidar/5a179f67b156700a2c6d0403/berapa-lama-cadangan-beras-pemerintah-bertahan)

Disisi lain, Menurut Dwi Andreas Sentosa data produksi yang di klaim Menteri Pertanian surplus beras sebanyak 17,6 juta ton pada akhir 2017 telah membuat pemerintah terlena. “karena datanya kacau balau, tidak akurat yang menyebabkan tata kelola pangan kita menjadi kacau balau pula hingga menjadi biang keladi kisruh isu soal beras. Kementan menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dari melonjaknya harga beras diawal tahun. Hal  ini semakin sangat subjektif lagi ketika data produksi padi 75% nya berasal dari Kementan dan 25% dari mantra statistic BPS. Dimana data luas panen dan produktivitas digabung menjadi satu data nasional yang merupakan data produksi padi”.

Dari penjabaran diatas, sudah terlihat jelas disini titik terang letak carut marut tata kelola pangan. Dengan stock yang hanya dibawah 1 juta ton, sebenarnya sudah terang benderang kebijakan antisipasi apa yang seharusnya diambil pemerintah. Sinyal-sinyal ini sebenarnya sudah terdeteksi jauh hari sebelumnya.  Trend kenaikan harga beras di pasaran sudah kelihatan, ditambah dengan menurunnya stock beras di pasar induk cipinang, gangguan serangan hama wereng, hingga rendahnya serapan Bulog.  Namun karena adanya kepentingan ego sektoral, maka terjadilah ketidaksinkronan antar pemerintah itu sendiri yang dalam hal ini Kementerian Pertanian dan Perdagangan.

Carut marutnya pengelolaan pangan tanah air tambah semakin terlihat, ketika diawal dengan menunjuk PT PPI sebagai pengimpor beras bukan Bulog. Walaupun kebijakan tersebut tiba-tiba dibatalkan karena banyak masukan dari berbagai pihak dengan alasan ketidak pahaman. Secara tidak langsung, inilah refleksi atau gambaran sebenarnya akan lemahnya koordinasi dan komunikasi antar lembaga yang ada dalam pemerintahan saat ini. Oleh karena itulah wajar jika Dirut Bulog menyatakan bahwa tata kelola pangan tanah air masih carut marut dengan mencotohkan kasus impor beras. Banyaknya Kementerian sebagai atasan  untuk dikoordinasikan yang memerlukan diskusi panjang lebar tentu akan membutuhkan waktu sehingga keputusan yang diambil tidak cepat dan momennya tidak tepat lagi.  

Sebab itulah, birokrasi tata kelola pangan yang panjang harus segera disederhanakan. Bagaimana caranya ? tentu dengan mempercepat pembentukan Badan Pangan Nasional sebagai amanat Undang Undang Pangan No 18 Tahun 2012, sebagai pembuat kebijakan pangan satu pintu. Jika sudah terbentuk, maka polemik atau kisruh tata kelola pangan air  pasti tidak akan terjadi. Apalagi masalah overlapping antar kebijakan pangan satu dengan kebijakan pangan yang lain. Hal ini tidak lain dan tidak bukan karena pembuat kebijakan tunggal terkait masalah pangan nasional merupakan kewenangan lembaga pangan yang satu ini dan negeri ini memang membutuhkannya.

Pernyataan kedua, ketika Dirut Bulog mencontohkan Bank Indonesia sebagai lembaga Negara independen yang berperan dalam stabilisasi moneter. Pengatur uang itu BI bisa bagus. Pengatur komoditi kok tidak bisa bagus. Oleh karena itu, Perum Bulog meminta agar pemerintah memberi tambahan kewenangan kepada Bulog, agar dapat menjalankan fungsinya sebagai stabilisator pangan.

Pertanyaannya sekarang, mengapa Dirut Bulog menyamakan mengatur pangan dengan tugas Bank Indonesia ? Jawabannya tentu karena pengaruh pangan jauh lebih besar terhadap perekonomian daripada pengaruh moneter. Jika BI diberikan kewenangan lebih, seharusnya BULOG harus juga diberikan kewenangan lebih dalam mengatur tata kelola pangan.

Di Indonesia, Inflasi volatile food merupakan inflasi yang bersumber oleh sejumlah komoditas bahan pangan. Inflasi ini menyumbang secara signifikan dalam menentukan tingkat laju inflasi di Indonesia. Tentunya inflasi ini  dipengaruhi tingkat harga pangan. Porsi sumbangannya yang sangat besar terhadap inflasi dan responnya yang cepat terhadap berbagai shocks menjadikannya sebagai leading indicators inflasi. Komoditas bahan pangan tersebut yang memberikan kontribusi yang besar dalam laju inflasi volatile food adalah beras. Sejarah telah membuktikan, bahwa beras sangat powerfull untuk menjadi lokomotif atau pemicu kenaikan harga bahan pangan lainnya.

Bagi negara berkembang Indonesia, pasar produk makanan (pangan) merupakan salah satu pasar barang yang memegang peran kunci dalam penentuan laju inflasi. Pada periode 2002-2007, rata-rata kontribusi kelompok makanan terhadap laju inflasi mencapai lebih dari 50% (Bank Indonesia, 2007). Beras memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap laju inflasi di Indonesia sebesar 24 persen dan 45 persen dari total foodintake atau sekitar 80 persen dari sumber karbohidrat utama. (BPS, 2012).

(https://www.kompasiana.com/julkhaidar/5a3cdaf016835f62e6286cb5/world-bank-inflasi-pangan-rendah-bukti-kerja-Bulog).

Jika Bulog diberikan kewenangan lebih dalam mengelola pangan tanah air, maka fungsi stabilisasi dapat berjalan maksimal. Hal ini sangat wajar jika mengingat kekuatan BULOG yang sudah mempunyai pengalaman 50 tahun mengurusi pangan, jaringan kantor dan gudang beras yang tersebar di seluruh Provinsi, serta SDM yang tangguh hingga tersebar sampai daerah kecil perbatasan. Mobilisasi pergerakan barang dari daerah surplus ke daerah deficit, antar provinsi, antar pulau akan cepat dilakukan tanpa membutuhkan waktu banyak untuk sekedar diskusi dan koordinasi. Mobilisasi seperti inilah yang sangat dirasakan masyarakat sebagai bentuk hadirnya keadilan pemerintah ditengah-tengah mereka. Betapa masyarakat miskin di Provinsi defisit yang jauh disana, dapat merasakan harga pangan yang  sama dengan Provinsi lainnya.

Selain menjaga rasa keadilan masyarakat Indonesia dalam memperoleh harga pangan yang sama, disisi lain Bulog juga menjaga semangat petani yang menanam. Kegundahan petani karena takut harganya jatuh ketika panen raya tidak akan terjadi karena Bulog sudah siap membeli dan menampung hasil jerih payah mereka. Kejadian petani tidak mau memanen hingga membiarkannya menjadi  busuk di ladang karena rugi hingga tahun depan tidak mau menanam kembali juga tidak akan terdengar.

Semuanya ini bisa dilakukan jika Bulog diberikan kewenangan lebih dan kemudahan dalam melaksanakan fungsinya sebagai stabilisator harga. Distribusi atau perpindahan pangan dari daerah surplus ke daerah defisit bukanlah hal mudah dilakukan, jika mengingat Negara kita sebagian besar lautan dengan ribuan pulau membentang. Disinilah dibutuhkannya pengalaman dan keahlian manajemen stock apalagi mendistribusikan produk pertanian yang terkenal dengan sifat perishable ataumudah rusak.  Fungsi stabilisator harus dimainkan disini, karena ada dua pihak yang harus diselamatkan yaitu petani dan konsumen dalam hal ini masyarakat Indonesia.

Semua ini tentu tidak bisa dilakukan oleh pemerintah daerah maupun institusi lain yang bukan ahlinya.  Oleh itulah sebabnya mengapa BULOG harus diberikan kewenangan lebih, jika mengingat pengelolaan pangan harus dilakukan terpusat dan satu pintu. Tidak lain dan tidak bukan agar tata kelola pangan di tanah air bisa berjalan efektif dan efisien serta menghindari tata kelola pangan yang carut marut. Semoga kejadian demi kejadian pangan belakangan dapat membukakan mata semua pihak akan pentingnya lembaga pangan yang handal di negeri ini.

*) Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya

Bagikan Artikel Ini
img-content
julkhaidar romadhon

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Simalakama Swasembada Beras

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
img-content

Kenaikan Harga Beras Membuat Gerah Istana

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler