x

Iklan

julkhaidar romadhon

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Simalakama Swasembada Beras

Itulah resiko besar yang harus ditanggung pemerintah, jika menggunakan "single indicator"keberhasilan swasembada diukur dari tidak adanya impor.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Target swasembada beras sudah dicanangkan Presiden Jokowi akan tercapai dalam waktu tiga tahun pemerintahannya. Indikator keberhasilan swasembada pada pemerintahan sekarang diukur dari tidak adanya impor. Jangka waktu tiga tahun yang ditargetkan berarti jatuh tempo pada tahun 2018. Namun kenyataannya apa yang terjadi sekarang?  Seperti yang terjadi akhir-akhir ini, impor akhirnya dilakukan pada detik terakhir saat menjelang panen raya. Padahal seharusnya, impor sudah dilakukan beberapa bulan sebelum panen raya agar tidak mengganggu harga jual gabah beras petani. Tak ayal lagi, akhirnya indicator itu menjadi boomerang tersendiri bagi pemerintah.

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian selalu mengkampanyekan bahwa negeri ini surplus beras. Bahkan mereka mengklaim, kelebihan beras mencapai puluhan juta ton. Lebih hebatnya lagi, untuk mempertegas kita sudah swasembada beras, Kementan mempublikasikan ekspor beras ke Negara tetangga. Luar biasa pencitraannya, berbanding terbalik dengan fakta di lapangan. Ekspor baru hangat-hangatnya, eh ternyata impor lebih dahsyat lagi volumenya. Ironi?

Itulah resiko besar yang harus ditanggung pemerintah, jika menggunakan "single indicator"keberhasilan swasembada. Ibarat buah "simalakama" jika dimakan mati bapak, namun jika tidak dimakan mati emak. Serba sulit dan dilema memang.  Jika impor tetap dilakukan maka "borok" ketahuan namun jika tidak melakukan impor, dampak dari pertaruhan ini sangat besar sekali. Dampak urutannya antara lain adalah harga beras tinggi lalu menggerek inflasi, daya beli melemah, rakyat menjerit kelaparan, ekonomi stagnan, demo dimana-mana, kerusuhan social akhirnya mengganggu stabilitas pemerintahan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Orang awam mungkin termakan opini bahwa kita memang swasembada beras. Seluruh media memberitakan panen raya dimana-mana bahkan langsung dihadiri oleh sejumlah pejabat Negara. Jadi wajar, jika masyarakat mempertanyakan Kementerian Perdagangan memutuskan untuk mengimpor beras 500 ribu ton dari Thailand dan Vietnam. Padahal kalau masyarakat lebih cermat sedikit, bahwa selama ini kita hanyalah menonton sebuah pertunjukkan drama sandiwara. Bagaimana mungkin, sesama pemerintah saling silang pendapat. Pasti sudah ada koordinasi terlebih dahulu. Namun, sengaja diperlihatkan untuk menghindari tuduhan kesalahan hanya ditujukan pada satu kementerian saja.

Peringatan Awal Harga Beras Naik

Sebenarnya, peringatan awal naiknya harga beras sudah banyak disampaikan oleh para ahli dan pelaku di bidang perberasan. Prof Dwi Andreas Sentosa pernah mengatakan bahwa dalam penelitiannya selama pertengahan tahun 2017, ia menemukan ada lebih 400 ribu hektar sawah yang terserang hama wereng. Namun, semua ini ditampik Kementan yang hanya menganggap angin lalu saja. Bahkan dengan percaya dirinya mengumumkan ke publik bahwa hanya sebagian kecil saja yang terserang hama dan tidak akan menurunkan proyeksi angka produksi. Justru dilain kesempatan, mereka terus mengumumkan telah tercapainya luas tambah tanam di seluruh Provinsi Indonesia untuk mencapai target swasembada pangan.

Early warning systemyang lain adalah kenaikan harga beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) Jakarta. Pada akhir tahun diantara bulan November dan Desember 2017, tanda-tanda kenaikan harga beras sudah kelihatan. Selama ini pasokan aman tiap harinya ke PIBC adalah 3.000 ton, namun drastis berkurang dan terus menurun hingga dibawah 2 ribu ton per hari. Bahkan, stock aman minimal pun jauh dibawah standar yaitu 30 ribu ton. Seharusnya, tanda-tanda alam ini sudah cukup untuk meyakinkan pemerintah bahwa negeri ini memang sedang mengalami masalah pasokan beras. Sehingga, pada saat inilah momen yang tepat untuk memutuskan adanya impor atau tidak. Petani pun tidak akan marah, karena pada bulan ini memang masa-masa paceklik dan masa tanam. Mereka juga konsumen pada masa ini dan sangat tercekik dengan tingginya harga beras.

Namun pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian, tetap tidak menerima tanda-tanda alam tersebut. Masukan mereka anggap angin lalu yang pergi begitu saja. Biarkan anjing menggonggong dan kapila tetap berlalu. Mereka tetap menentang teori ekonomi yang mengatakan jika pasokan beras bertambah maka harga beras dengan sendirinya akan turun. Apa mungkin, teori ini tidak berlaku di Indonesia? Jangan-jangan Kementerian Pertanian sudah menemukan teori baru? Mudah-mudahan kita tunggu saja teori baru tersebut yang pasti bisa menggetarkan dunia. 

Harga beras yang semakin tinggi, tentu membuat Kementerian Perdagangan kelabakan. Pada bulan-bulan November, Desember hingga sekarang bulan Maret 2018, sudah ribuan ton beras digelontorkan untuk meredam kenaikan harga beras. Namun hasilnya nihil. Beras tetap tidak beranjak stabil tinggi, padahal sudah memasuki panen raya. Lalu apa yang salah?  

Overestimate Data Pangan

Dalam takshow interaktif yang bertema 'Mudah Mainkan Data Pangan' (17/1/2018) yang diselenggarakan Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (PATAKA), Khudori selaku Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia berujar bahwa berdasarkan perbandingan dengan sejumlah data lain, serta keadaan di lapangan, maka data yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian terkait stok pangan dalam negeri terlihat kurang tepat.

Ia mengungkapkan bahwa Badan Pusat Statistik (BPS), seharusnya bisa mengakhiri puasa dari merilis data tahun ini, di tengah data pangan, khususnya beras yang dianggap kurang valid oleh sejumlah pihak. "Saya tidak melakukan kajian sendiri, tapi yang saya sampaikan tadi kan kesimpulannya kan sama. Semua kajian, termasuk sekarang, yang dilakukan BPS dengan melakukan kerangka sample area (KSA) itu, kesimpulannya sama, laporan produksi padi lebih tinggi dari yang sesungguhnya. Bedanya, hanya angkanya saja, berapa persen. Kesimpulannya sama, overestimate,"

Sehingga kurang validnya data ini, kata Khudori, berimplikasi pada terganggunya pengambilan keputusan untuk mengantisipasi sejumlah hal yang mungkin terjadi seperti kenaikan harga beras yang melambung tinggi belakangan ini. Overestimate data juga disampaikan oleh Prof Dwi Andreas Sentosa. Berdasarkan citra satelit dari USDA, data produksi padi Indonesia selisih lebih kurang 30 persen dari data yang dilaporkan Kementerian Pertanian selama ini. Jadi sangat besar kemungkinan, harga beras yang melambung sudah bisa disebabkan karena produksi beras kita yang kurang.

Target swasembada beras yang diukur dari tidak adanya impor sudah membebani Kementerian Pertanian untuk mewujudkannya. Mereka seakan terperangkap dalam sebuah jebakan yang bernama swasembada. Sehingga sudah bisa dipastikan, berbagai macam cara akan dilakukan agar swasembada beras dapat terpenuhi. Apalagi dengan didukung dengan gelontoran dana yang sangat besar puluhan triliun tiap tahunnya. Pasti semua itu memerlukan bukti dan pertanggung jawaban dalam bentuk nyata. Bukti konkret itu tidak lain dan tidak bukan, beras dalam negeri melimpah dan harga yang terjangkau.

Namun, jika memang benar pemerintah belum bisa mewujudkannya, maka keterus-teranganlah jalan yang terbaik. Katakan sejujurnya kepada publik bahwa kita memang belum mampu dan masih tergantung kepada produksi beras negeri lain. Kemukakan saja ke publik, bahwa hama wereng dan cuaca yang tidak bersahabat sudah mengganggu produksi beras tanah air. Tidak perlu ditutupi dan membantah kenyataan demi sebuah pencitraan. Rakyat juga pasti mengerti, karena kita semua tinggal di tanah yang sama dekat dengan areal persawahan bukan di planet lain. Masyarakat juga pasti sudah melihat apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi jika kelemahan terus ditutupi maka pasti suatu saat akan ketahuan juga.

Kita harus ingat dengan kata bijak yang mengatakan "kita boleh salah namun kita tidak boleh berbohong". Pasti semua ingat apalagi pejabat di sejumlah Kementerian banyak yang bergelar akademik tinggi. Tentu kode etik ini pasti berlaku sama bahwa kejujuranlah diatas segalanya. Artinya, kita bukanlah makhluk sempurna pasti terdapat banyak kesalahan apalagi sebuah kebijakan yang dapat berubah-ubah.

*) Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya

Ikuti tulisan menarik julkhaidar romadhon lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu