Kenaikan Harga Beras Membuat Gerah Istana
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBresiden menginginkan agar harga pangan stabil sebelum memasuki bulan ramadhan yang tinggal beberapa bulan lagi.
Menko Perekonomian Darmin Nasution dipanggil ke Istana oleh Presiden Jokowi awal bulan maret ini. Presiden menginginkan agar harga pangan stabil sebelum memasuki bulan ramadhan yang tinggal beberapa bulan lagi. Pemerintah bekeinginan mengulangi kesuksesan pada tahun 2017 lalu, ketika harga pangan stabil bahkan diklaim paling stabil selama beberapa tahun terakhir.
Hingga awal Maret 2018, harga pangan terutama beras masih tinggi. Berdasarkan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, harga rata-rata beras medium saat ini sudah mencapai Rp 12 ribu per kilogram (kg). Padahal, menurut Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 57 Tahun 2017, HET beras ditetapkan sebesar Rp 9.450 per kg hingga Rp 10.250 per kg. Bahkan BPS juga mencatat kenaikan harga gabah petani sebesar 8,42 persen, beras grosir sebesar 3,7 persen dan beras eceran di angka 6,25 persen sepanjang bulan Januari.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa inflasi tercatat di angka 0,62 persen secara bulanan (month-to-month/mom) di bulan Januari 2018 yang didorong oleh inflasi beras. Hal itu tercermin dari angka inflasi bahan makanan di angka 2,34 persen di periode tersebut. Ya begitulah hebatnya beras, ia akan menjadi lokomotif kenaikan harga pangan yang lainnya jika tidak secepatnya diredam. Bahkan yang paling berbahaya adalah akan berujung kepada kerusuhan social. Oleh karena itulah, kenaikan harga beras yang terus menerus harus segera diredam pemerintah secepatnya.
Peringatan Keras Beras
Kenaikan harga beras tersebut menjadi "warning" awal, ada sesuatu yang salah dalam dunia perberasan tanah air. Istana semakin dibuat gerah, apalagi ditengah situasi panen raya yang didengung-dengungkan oleh Kementerian Pertanian. Fakta ini seolah-olah semakin membuktikan ke publik, bahwa memang benar panen yang selama ini hanyalah seremonial alias panen yang "dirayakan".
Namun apa mau dilacur, opini publik pun terpecah dan pemerintah daerah juga sudah termakan isu. Polemik beras impor yang didatangkan dari Vietnam dan Thailand terus menuai pertentangan. Mereka tetap berkeyakinan bahwa beras impor tidak diperlukan ditengah situasi panen raya yang terjadi dimana-mana. Hingga akhirnya yang terjadi sekarang adalah petani dan pemerintah daerah beramai-ramai menolak kedatangan beras impor masuk ke daerahnya. Untuk menenangkan agar situasi tidak bertambah panas, maka beras impor terus dikawal dan disegel oleh satgas pangan agar tidak merembes keluar.
Istana sekarang sedang menghadapi situasi simalakama. Ibarat senjata makan tuan, senjata yang dimainkan sudah menyerang balik. Andaikan, pemerintah dalam hal ini Kementan mengakui terus terang kekurangan beras akibat banyak yang gagal panen, tentu isu penolakan beras impor tidak terjadi. Beras-beras impor tersebut, bisa dipakai untuk operasi pasar dalam meredam kenaikan harga. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, beras impor tidak bisa keluar dan harga beras tidak mau turun alias tinggi.
Perbedaan Tahun 2017 dan 2018
Pemerintah tidak akan mencapai kesuksesannya dalam menjaga kestabilan harga pangan tahun 2018 ini seperti pada tahun 2017. Mengapa? karena ada perbedaan yang sangat signifikan dari kebijakan pangan yang ditempuh pemerintah sendiri. Kebijakan apa itu? penghapusan rastra dan menggantinya dengan program bantuan social (bansos) rastra dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT)
Program Raskin dimulai pada waktu terjadi krisis pangan pada tahun 1998. Dimana pada tahun tersebut, berbarengan dengan krisis moneter, meningkatnya suhu politik dan kemarau panjang. Untuk mengatasi krisis pangan serta menghindari kemungkinan terjadinya krisis sosial, maka pemerintah mengambil kebijakan untuk memberikan subsidi pangan bagi masyarakat melalui Operasi Pasar Khusus (OPK). Seiring berjalannya waktu, ternyata program pemberian subsidi pangan ini begitu efektif meringankan beban pengeluaran masyarakat.
Mengingat anggaran yang terbatas serta banyak masyarakat umumnya yang membutuhkan, maka pada tahun 2002 program tersebut sedikit dimodifikasi. Modifikasi program dilakukan lebih selektif lagi dengan menerapkan system targeting, yaitu membatasi sasaran hanya membantu kebutuhan pangan bagi Rumah Tangga Miskin (RTM) saja. Sejak itu program ini menjadi lebih terkenal dengan nama Program Raskin, yaitu subsidi beras yang diperuntukkan bagi masyarakat miskin.
Pada tahun 2008 program ini kemudian berubah nama menjadi Program Subsidi Beras Bagi Masyarakat Berpendapatan Rendah. Dengan demikian rumah tangga sasaran program ini tidak hanya Rumah Tangga Miskin saja, tetapi meliputi Rumah Tangga Rentan atau Hampir Miskin.
Artinya adalah jika selama ini sebanyak 15,5 juta masyarakat miskin menerima beras raskin, atau ekuivalen dengan sebanyak 2,78 juta ton beras maka jika rastra dihapuskan maka akan terjadi peningkatan permintaan beras ke pasaran umum sebanyak 2,78 juta ton juga. Selanjutnya adalah tentu akan terjadi lonjakan permintaan yang linier denga peningkatan harga. Pelajaran semacam ini anak SMP pun bisa menebaknya, tak perlu lulusan luar negeri atau orang-orang pintar betul. Fenomena alam dan hokum ekonomi biasa dan sederhana.
Namun yang terjadi sekarang adalah pemerintah tetap saja ngotot untuk menguji kebenaran teori tersebut. Sekarang bisa kita buktikan kebenarannya, istana dibuat kelabakan. Mungkin tak terhitung lagi, berapa kali rapat, FGD atau diskusi publik, rapat koordinasi antar kementerian untuk mengatasi kenaikan harga beras. Coba kita bayangkan berapa energi, waktu, serta biaya yang keluar sia-sia tanpa ada hasil. Andaikan pemerintah tidak memaksakan atau ngotot program pangan baru, tentu kejadiannya tidak akan seperti yang sekarang.
Program apa itu? ya, Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Bahkan diawal tahun 2017, sudah didengungkan program BPNT akan dilakukan massif pada tahun 2018. Ini terlihat juga dari pidato Presiden Jokowi pada tanggal 16 Agustus 2017 yang mengatakan bahwa subsidi rastra ke BPNT dengan Rp 110 ribu per kepala keluarga (KK). Namun, akhir Desember Presiden menunda pelaksanaanya pada tahun 2018 dikarenakan belum ada kesiapan dan kelemahan disana-sini. Dikarenakan anggaran subsidi rastra dari Kementerian Keuangan sudah dialihkan kepada Kemensos yang mengelola BPNT, maka skema penyaluran rastra yang dipakai adalah Bantuan Sosial (Bansos) Rastra dan BPNT.
Awal tahun 2017 akan dilakukan ujicoba system voucher pangan di 44 kota besar di Indonesia. Dengan berbekal uang Rp. 110.000,- per bulan, masyarakat yang mendapatkan voucher pangan dapat menukarkannya dengan pangan pokok selain beras yaitu telur, susu maupun daging pada warung yang telah ditunjuk. Voucher pangan mengadopsi system subsidi pangan yang berlaku di negeri Paman Sam Amerika Serikat. Negara asal Bapak pencetus ide pasar bebas ini menamainya dengan "food stamp". Food stamp atau kupon makanan tersedia untuk membantu para warga dengan penghasilan rendah membeli makanan.
Apa kelemahan dua program ini ?
Program Rastra dan Bansos rastra serta BPNT sangat jauh berbeda. Dalam program Rastra kuantum beras yang diberikan kepada masyarakat miskin sebanyak 15 kg. Sedangkan pada bansos ratra hanya 10 kg, namun pada program BPNT masyarakat dibebaskan membeli ke pasaran umum. Jadi nampak jelas ketiga perbedaannya.
Secara sederhananya, dengan kuantum beras 15 kg, berarti permintaan beras ke pasaran umum semakin berkurang dengan hitungan akumulasi bantuan pemerintah per tahun 2,7 juta ton. Coba bandingkan dengan bansos rastra yang hanya 10 kg dan cuma 6 bulan penyaluran. Ini berarti dalam satu tahun hanya 1 juta ton beras saja yang disalurkan. Apalagi pada program BPNT yang membebaskan masyarakat sesuai mekanisme pasar atau harga yang berlaku di pasaran. Sudah pasti tekanan permintaan beras ke pasaran akan semakin tinggi dan harga beras semakin melambung tinggi. Dan situasi ini persis seperti yang terjadi sekarang.
Stabilisasi harga sangat dibutuhkan negeri ini dalam menjalankan aktivitas perekonomiannya. Beras merupakan makanan pokok yang sangat powerfull dan sudah menjadi rahasia umum sebagai lokomotif kenaikan harga pangan lainnya. Dengan sedikitnya jumlah gabah/beras yang diserap BULOG, ini berarti stok beras yang dikuasai oleh BULOG akan sedikit. Stok yang kecil akan membuat langkah BULOG dalam hal menstabilkan harga tidak akan menjadi leluasa.
Program raskin/rastra dan operasi pasar merupakan senjata utama andalan pemerintah untuk menstabilkan harga beras di pasaran. Dengan hilangnya senjata utama raskin sebagai penstabil harga, dapat dipastikan harga menjadi tidak akan terkontrol. Jika harga yang tinggi sudah tidak bisa dikendalikan lagi maka kerusuhan sosial lah yang akan muncul dan ini akan ditebus dengan obat yang sangat mahal harganya. Inflasi yang tinggi akan membuat masyarakat kesulitan untuk membeli kebutuhan pokok, akibatnya adalah rakyat miskin di negeri ini akan bertambah banyak.
Yang ingin saya tekankan disini, perbedaan dari ketiga kebijakan pangan yang diambil adalah terletak pada intervensi pemerintah. Semakin pemerintah mengurangi intervensi atau menari diri untuk ambil bagian dalam struktur pasar beras, maka semakin kecil pula pemerintah mampu mengendalikan harga beras. Intervensi pemerintah yang besar adalah pada program rastra dan inilah kata kunci keberhasilan pemerintah mengendalikan harga pangan pada tahun 2017 bukan bansos rastra dan BPNT. Masih ada waktu bagi pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan yang ada, sebelum hal-hal yang tidak diiginkan terjadi semakin parah.
Penulis juga sudah beberapa kali mengingatkan pemerintah akan pentingnya program rastra dalam mengendalikan harga beras. Program BPNT memang bertujuan baik, namun belum saatnya untuk diterapkan di negeri ini. Butuh waktu puluhan tahun, agar konsep ini bisa berjalan persis sama dengan konsep food stampnya Amerika. Republik ini baru merdeka 70 tahun, sehingga belum bisa disamakan dengan Negara paman sam yang sudah merdeka ratusan tahun.
*) Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Simalakama Swasembada Beras
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBKenaikan Harga Beras Membuat Gerah Istana
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler