x

Iklan

Syarif Yunus

Pemerhati pendidikan dan pekerja sosial yang apa adanya
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengapa Kau Lupakan Pepatah ?

Belum berkuku hendak mencubit. Terlalu banyak orang zaman now lupakan pepatah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ketika hidup patah tanpa pepatah...

"Belum berkuku hendak mencubit" begitu kata pepatah. Artinya kira-kira, belum apa-apa belum berkuasa sudah pandai cari-cari salahnya orang. Boleh juga sih diartikan, "belum apa-apa saja sudah pengen melukai". Apalagi kalo sudah jadi apa-apa ya?

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pepatah. Orang zaman now udah banyak yang gak peduli sama pepatah. Padahal isi pepatah itu nasehat, pesan-pesan baik. Buat apa? Ya tentu buat diambil hikmahnya, direnungi maknanya.

Pepatah bisa juga jadi peringatan. Agar manusia tidak terlalu "menuhankan" otak atau pikiran. Atau minimal, tidak selalu membenarkan perilakunya.

 

Zaman now. Banyak orang berpikir dan mendambakan hidup tenang dan harmoni. Tapi perilakunya malah menebar kebencian, saling mengumbar aib, menghakimi satu sama lain, menghujat lalu memvonis orang lain.

 

Pengen hidup lebih baik. Tapi sayang, gak sedikit orang gagal melepaskan diri dari pikiran keliru. Ngotot dan tekun dalam memperjuangkan pikiran yang gak sepenuhnya benar. Lalu bilang, orang lain salah dia yang benar.

 

Jika ada "perselingkuhan" pikiran baik dengan kebencian dan kemarahan di satu pembaringan. Itulah yang terjadi di zaman now. Belum juga pilpres dimulai, anyak yang udah cari strategi untuk saling mengalahkan, meruntuhkan.

 

Yah, mau gimana lagi. Namanya manusia. Emang udah kodratnya, manusia itu hidup di atas 2 azas; kalo gak naluri ya akal.

Naluri itulah yang bikin manusia berjuang mati-matian untuk merebut apa yang dikehendaki. Mereka bergerak demi nafsu, selera, keinginan, dan kepentingan pribadinya.

Akal itulah yang memberi kekuatan untuk mengatur cara-cara yang bisa ditempuh agar naluri, nafsu dan kepentingan pribadi bisa berlangsung mulus. Mereka bergerak untuk menghindar dari kekalahan, dari penghancuran yang tidak wajar. 

 

Apakah itu baik? Gak tau, baik tidaknya. Karena "kebaikan" di mata mereka HANYA objek nafsu dan selera semata; dan yang terpenting kepentingan mereka terpenuhi dan terhindar dari kematian yang mengerikan.

 

Ketika naluri dan akal berpadu, bersinergi. Di situlah manusia gak akan pernah istirahat dari kecemasan dan arogansu yang dia bangun sendiri. Menjadikan mereka selalu gak puas, dan ingin menang sendiri. Naluri dan akal kalo udah ngumpul, seremnya luar biasa. Mereka akan berbohong dan saling menipu satu sama lainnya. Itulah inti hidup di atas "keinginan yang gak pernah berhenti akan kekuasaan dan kekuasaan" (restless desire of power after power).

 

Adalah wajar di zaman now. 

Setiap orang selalu melihat orang lain sebagai ancaman, sebagai serigala yang siap memangsa dirinya (homo homini lupus). Itu karena nafsu untuk berkuasa, naluri untuk menyisihkan orang lain.

 

 

Lha ini tulisan kenapa jadi ngelantur ya. Maaf deh ya. Kembali ke pepatah, alias peribahasa. Dulu nenek moyang kita, dibesarkan oleh banyak pepatah. Agar hidupnya hati-hati, ada wejangan yang dijadikan pegangan. Kalo sekarang, kita hidup di era milenial di era digital. Era di mana tanpa belajar pun semua orang bisa dan boleh "berceramah". Eranya "banyak omong tanpa perlu dilakonin". Itulah era "memberi pelajaran" tanpa perlu "mempelajarinya apalagi melakoninya".   

 

Kita, udah hampir lupa pepatah. Nasehat yang harusnya bikin eling, bikin mawas diri.

- Awak yang tidak pandai menari malah dibilang "lantai yang terjungkat".

- Gajah bertengger di pelupuk mata tiada tampak, tapi "kuman di seberang lautan tampak".

- Bagai balam dengan ketitiran

 

Itu semua hanya pepatah. Tapi jika diartikan semuanya, kira-kira. "Kita gak tahu apa-apa, tapi yang disalahin orang lain terus. Maka wajar, kesalahan orang yang sedikit tampak, tetapi kesalahan sendiri yang sangat besar, gak kelihatan. Akhirnya, selalu berselisih hingga gak mampu lagi bersatu-padu".

 

Jika dinasehati susah. Maka pepatah-lah yang bisa jadi obatnya. Maka pepatah, harus tetap ada di tengah antara naluri dan akal manusia. 

Zaman now ya udah begini adanya. Tapi zaman now harus paham. Sama sekali gak cukup punya pikiran yang bagus kalo gak mampu menggunakannya dengan baik.

 

Kembalilah ke pepatah agar kita tidak patah... ciamikk

Ikuti tulisan menarik Syarif Yunus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu