x

Iklan

Putu Suasta

Politisi Demokrat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 12 Mei 2019 23:12 WIB

Mengulik Etika Politik Penyelenggaraan Pilpres 2019

Essai Politik

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 tinggal penghitungan suara. Meski hitung cepat telah memperlihatkan hasil  siapa yang keluar sebagai pemenang, namun keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap menjadi penentu formal. Rasanya tidak berlebihan menyebut  Pilpres 2019 sebagai hajatan demokrasi paling riuh yang pernah terjadi di negeri ini jika kita perbadingkan dengan sederan pemilu sebelumnya. Publik menjadi begitu antusias ‘terlibat’ dalam hajatan politik ini. Eforia politik praktis terutama dari simpatisan mengemuka sebagai kesadaran politik yang mulai masif.

Keriuhan Pilpres 2019 menjadi begitu terasa mengingat semakin terbuka lebarnya kran demokrasi. Orang-orang makin mudah dan berani bersuara; publik makin terang-terangan memperlihatkan keberpihakannya, suatu sikap politik yang berani berseberangan yang sangat tak mungkin diperlihatkan di masa Orde Baru (ORBA). Tiap orang merdeka memperlihatkan preferensi politiknya di ruang-ruang publik.

Eforia politik Pilpres 2019 itu makin riuh di ruang-ruang media sosial (facebook, twitter, WhatsApp dan beberapa yang lain) dan media massa digital. Boleh dikata, dunia internet paling memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam pergerakan demokrasi. Itu karena tak dapat dihindari bahwa hari ini adalah era digital di mana kelebatan informasi telah mencapai kecepatan dalam hitungan detik, terlepas dari apakah kita sudah siap memanfaatkan era digital ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Prospek Demokrasi

Illustrasi

Salah satu yang menarik dicermati dari peristiwa Pilpres 2019 ini adalah kualitas sikap kita memperlakukan demokrasi yang menjadi parameter untuk menentukan seberapa besar kedewasaan kita berjalan di atas sistem itu. Karena yang terimplikasi dari demokrasi adalah cerminan dari watak pengusungnya, sebagaimana yang diungkapkan George Bernard Shaw,: “Demokrasi adalah sarana yang menjamin bahwa kita akan mendapatkan pemerintahan yang senilai dengan nilai kita sebenarnya.” Jika kita berlaku buruk (terhadap sistem demokrasi), maka itu yang tergambar pada diri kita. 

Demokrasi adalah komitmen politis. Sistem ini dapat berjalan sebagaimana watak demokrasi ketika masa-masa 1945—1965, kemudian ‘dijedai’ era ORAB di mana yang terjadi ialah pseudodemokrasi; seoalah-olah demokrasi namun yang sesungguhnya ialah totalitarianistik! Baru kemudian demokrasi kembali mendapatkan hakikatnya selepas 1998. Hanya saja, kita sungguh-sungguh belum siap menjalani sebagaimana yang diharapkan. Semua saluran politik dan kebebasan sebagai kaum sipil terlihat kebablasan! Segala centang perentang; bingung, gagap dan bodoh! 

Satu dasawarsa pasca-1998 belum juga menunjukkan sedikit pun supremasi sipil dalam berdemokrasi. Pemahaman sistem bernegara, cara memahami persoalan-persoalan publik, penyampaian statemen-statemen politik, korupsi yang makin menggila, menjamunnya media massa-media massa yang terang-terangan berafiliasi kepada organisasi politik tertentu yang kemudian akhirnya berguguran satu per satu; adalah parameter yang memperlihatkan betapa masih jauhnya kita berjalan di sistem demokrasi. 

Kita berharap sejalan dengan perkembangan waktu, kita semakin lebih baik berjalan di sistem ini. Karena bagaimana pun, demokrasi adalah sistem yang paling realistis diterapkan di Republik ini mengingat kebhinekaan kita sebagai bangsa; karena demokrasi adalah sistem di mana semua berpulang kepada kita semua. 

Noda Demokrasi

Tapi Pilpres 2019 yang berjalan di atas rel demokrasi nampaknya masih belum memuaskan banyak pihak. Keberbedaan pilihan tak terlihat berlangsung dewasa. Bahkan cenderung menajam dan meruncing kepada hal-hal yang mengkhawatirkan. Perseteruan sengit itu bukan saja terjadi di ranah dunia nyata, melainkan juga di dunia maya. Medium yang disebut terakhir malah lebih ‘mengerikan’. Di dunia maya (media sosial) menjadi lebih tak terkontrol dalam membela pilihan politiknya. Hampir sulit ditemukan adanya kejernihan berdemokrasi dalam pesta demokrasi Pilpres ini. 

Pilpres 2019 menjadi sangat ternoda oleh cyber war. Ungkapan-ungkapan emosional, kotor dan tuduhan mengejala di dunia maya. Tambah pula hoax yang makin berani, meme yang satirik, statemen-statemen para politikus yang jauh dari keberadaban dan pembelaan-pembelaan yang sentimentil dan emosinal, semua menjadi chaos bagi mereka yang berharap kedewasaan demokrasi. Banyak keadaban yang dipinggirkan dalam memperjuangkan pilihan politiknya. Seakan demokrasi ialah kebebasan tanpa batas. 

Majalah Tempo (3—9 Desember 2018) bahkan mengangkat peristiwa cyber war itu dalam laporan utamanya dengan judul yang menohok, “Mulutmu Harimaumu”. Dalam pengantar laporan utamanya, Tempo menyebutkan: Dari kampanye pemilihan presiden 2019 yang telah berlangsung lebih dari tiga bulan, muncul fenomena yang mencemaskan: perang kata. Dua kubu yang berlaga saling mencaci hampir setiap hari. Strategi kampanye seperti ini penuh mudarat, melupakan adu program dan akhirnya merusak mutu demokrasi. (Tempo, 3-9 Desember 2018, hal. 27). 

Tak heran kalau kemudian pihak Polri banyak menangani kasus-kasus menyalahgunakan dunia maya ini. Kasus-kasus seperti penghinaan, ujaran kebencian, tuduhan, hoax, adalah kasus paling banyak yang ditangani pihak kepolisian. Berdasarkan data yang diperoleh Okezone dari Direktorat Tindak Pidana Kejahatan Siber (Dit Tipidsiber) Bareskrim Polri sepanjang 2017, yakni Januari-Oktober, jajaran Polri di Indonesia menangani 1.763 kasus kejahatan siber (cyber crime). Kasus-kasus siber itu makin menjadi-jadi hingga saat ini. Mereka yang terjerat pada UU ITE bukan saja kalangan politikus dan selebriti, juga tak kurang pihak awam. 

Demokrasi yang menjanjikan kebebasan nampaknya seperti mau diubah menjadi rimba belantara. Dan kehadiran internet terasa lebih mendukung maksud tersebut. Inilah sebabnya mengapa pemerintah bergegas menyusun UU ITE No. 11 Tahun 2008, yakni suatu undang-undang tentang informasi dan transaksi elektronik yang kemudian direvisi pada 2016. Menurut pengamat, kasus yang terjerat dalam UU ITE ini sangat kecil peluang untuk lepas dari jeratan undang-undang tersebut mengingat jejak digital sangat sulit dikelabuhi. 

Dengan gambaran seperti itu, kita belum bisa melihat demokrasi berjalan baik di negeri ini. Eforia demokrasi masih sebatas kegaduhan sentimental. Praktik politik uang yang berlangsung sepanjang pileg, pilgub, pilpres, hanya menggiring publik kepada kepentingan-kepentingan pragmatisme. Dengan sendirinya pula ongkos politik menjadi sangat mahal dan pada gilirannya praktik demokrasi menjadi ‘hitungan-hitungan dagang’; uang keluar dan uang harus kembali lebih banyak. 

Wahyudi Kumotomo, Guru Besar Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univeristas Gajah Mada dalam rubrik Kolom di Tempo (25 November 2018) mengungkapkan, demokrasi sudah pasti tidak akan berjalan apabila manfaat intrinsik sudah dikotori oleh parameter-parameter material sehingga pada titik ekstrem orang menggunakan prinsip “one million one vote”, satu juta rupiah bernilai satu suara. Wahyudi lebih menjauhi mencermati bahwa itulah masalah pokok yang terjadi di Indonesia. Prinsip one man one vote tidak berlaku karena wujud kesadaran politik warga pemilih telah terjerembab kepada kepentingan pragamatisme material. Warga pemilih tidak mampu lagi membedakan mana tujuan jangka pendek dan mana tujuan jangka panjang. 

Absennya Etika Politik

Ada yang hilang dalam sistem demokrasi kita, yakni etika. Suatu paradoks bahwa sebuah bangsa yang dikenal karena tata adab dan budayanya yang luhur menjadi berbanding terbalik dalam menerima demokrasi. Pilpres 2019 ini adalah representasi dari realitas paradoksal itu. Hingga pada peristiwa Pilpres 2019 ini, peristiwa politik yang berjalan di atas rel demokrasi sungguh-sungguh mempresentasikan ‘menepinya’ aspek etika dalam berdemokrasi. 

Makin sirnanya etika ketika telah terbangun anggapan yang berkembang bawa politik ialah perihal kepentingan dan karena itu tujuanlah menjadi hal utama. Sikap seperti ini telah terpupuk sejak beberapa kali pemilu pasca-1998 untuk kemudian tertanam kuat dalam partisipasi publik dalam peristiwa-peristwa politik. Banyaknya kasus-kasus politik dalam pemilu, kasus-kasus tertangkapnya sejumlah politikus oleh KPK, mengindikasikan terjadinya dekadensi moral dalam praktik-praktik politik kita. 

Politik kekuasaan tak berdiri sendiri. Politik kekuasaan ialah ruang lingkup yang hampir menyeluruh menyentuh hajat hidup masyarakat. Ia mendapatkan sisi baiknya dalam kelahiran politik kekuasaan pada awalnya. Dalam The Republic, Plato mengungkapkan bahwa politik kekuasaan menegaskan kebajikan menyeluruh dari keadilan yang dicapai dengan menyelaraskan tiga unsur lainnya: kebijaksanaan, pengendalian diri dan keberanian. Jelaslah di sini Plato menekankan aspek yang sangat kuat perihal moral. Sekali lagi, politik mempunyai tujuan yang indah, bukan lagi sekadar ‘tujuan tercapai’, melainkan bagaimana ‘moralitas’ dipertahankan dalam rangkaian proses politik. 

Tapi politik hanyalah suatu rumusan. Dari suatu rumusan ia bisa menjadi suatu sistem. Namun ia pun  bisa ‘dibengkokkan’ oleh siapa pun, kapan pun, di mana pun. Tergantung kepentingannya apa, tergantung siapa yang membangun komitmen dan dalam suatu keadaan bagaimana ia diterapkan. Dan di sinilah persoalannya. Masyarakat kita yang belum terbangun bagus adab politiknya memahami  politik sebagai kepentingan pragmatisme. Ini bukan saja terjadi di tingkat awam, namun juga dianut oleh sejumlah elit-elit politik. 

pragmatisme berkecenderungan ‘memelihara’ cara hidup yang penuh dengan kompromi-kompromi. Saat sesuatu ditawarkan yang dirasakan tak ada hubungan hidup, mereka bisa sangat permisif, realistis dan tak peduli. Asal memenuhi kepentingan hari ini, mereka akan mengambilnya dengan rasa tak bersalah. Sikap seperti inilah yang kemudian menjadi penghambat tujuan-tujuan luhur demokrasi. Mereka tentu menjadi jauh dari kesadaran bahwa politik kekuasaan bukan belaka urusan kaum politikus, tetapi sesungguhnya menjadi urusan ‘hajat hidup orang banyak’ mengingat politik kekuasaan bersangkutan dengan kebijakan-kebijakan publik. 

Lumpuhnya aspek moralitas dalam politik akan menciderai demokrasi. Jika keadaan ini terjadi, maka suatu bangsa akan sulit menentukan arah masa depan mereka. Sebetulnya inilah yang mengejala dalam politik kotemporer kita hari ini. Hampir tak ditemui gambaran tata adab dan perilaku kesatria dalam dunia perpolitikkan kita hari ini. Sifat-sifat yang hipokrit, saling melempar kesalahan, cyber crime yang  dengan kuantitas yang signifikan, hoax yang kejam, ujaran kebencian yang terang-terangan secara psikososial sesungguhnya menjadi gambaran ‘masyarakat yang sakit’. 

Inilah cerminan yang kita dapati dari peristiwa Pilpres 2019. Sejauh ini dunia politik kita masih jauh dari elegansi dan supremasi keadaban. Politik kita hari ini masih soal jargon-jargon kosong, hipokrasi, kejahatan uang dan kejahatan siber dan perilaku yang babar. Akal sehat belum sepenuhnya menjadi pegangan analitik dalam mendeskripsikan persoalan-persoalan politik, terutama politik kekuasaan. Inilah akibatnya kalau terpinggirnya moral dalam dunia politik. Mereka yang memperlakukan politik dan moral secara terpisah, ujar John Morley, tak akan pernah mampu memahami keduanya. (PS/07052019)

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Putu Suasta lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu