x

Cover foto Buku Tan Tjeng Bok

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 15 Juli 2019 13:05 WIB

Resensi Buku: Tan Tjeng Bok - Seniman Tiga Jaman yang Juga Pejuang Kemerdekaan

Kisah hidup, karier dan perjuangan Tan Tjeng Bok bagi kemerdekaan Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Tan Tjeng Bok

Penulis: Fandy Hutari dan Deddy Otara

Tahun Terbit: 2019

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

Tebal: xxi + 167

ISBN: 978-602-481-135-8

 

Membaca kisah hidup Tan Tjeng Bok adalah membaca sebuah profesi yang dijalani karena cinta.

Bagi mereka yang pernah muda di era tahun 1920 sampai dengan akhir tahun 70-an pasti mengenal Tan Tjeng Bok. Tokoh hiburan yang piawai main sandiwara, menyanyi dan bermain film ini juga dikenal dengan nama Pak Item. Buku karya Fandy Hutari dan Deddy Otara ini tidak saja membahas karier Tan Tjeng Bok sebagai seorang aktor sandiwara, penyanyi, pelawak dan aktor film, tetapi juga membahas peran Tjeng Bok dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Tan Tjeng Bok lahir dari ayah Tionghoa dan ibu Betawi. Tjeng Bok lahir di Jakarta pada tahun 1898 dan meninggal di Jakarta pada tanggal 17 Februari 1985. Masa kecil Tjeng Bok tidak terlalu jelas. Ayah dan ibunya bercerai saat ia berusia 3 tahun. Ia ikut ibunya yang menjadi buruh cuci. Namun di usia sekolah ia tinggal bersama ayahnya di Bandung. Tjeng Bok lebih suka menyanyi daripada sekolah. Keinginannya untuk menjadi penyanyi membuat ayahnya marah. Akhirnya ia diusir oleh ayahnya karena tertarik menjadi penyanyi keroncong.

Sejak diusir dari rumah ia bekerja apa saja. Kerja di rumah bilyard, bioskop orion, mengamen dan bergabung dengan beberapa rombongan sandiwara kecil. Tjeng Bok tetap bernyanyi di antara kerjanya itu. Sampai suatu hari ia bertemu dengan orang Inggris yang menawarinya untuk belajar menyanyi ke luar negeri. Namun tawaran tersebut ditolaknya.

Tjeng Bok besar bersama Dardanella. Dardanella adalah rombongan tonil (sandiwara) Melayu yang dipimpin oleh Piedro, seorang keturunan Rusia. Salah satu versi mengatakan bahwa Tjeng Bok bergabung dengan Dardanella saat tonil ini bermain di Sidoarjo, Jawa Timur. Kemampuan menyanyi dan bermain anggar membuat Tjeng Bok menjadi sangat terkenal di panggung Dardanella.

Di masa kecil Tjeng Bok dilatih bela diri oleh ayahnya. Kemampuan beladirinya itulah yang dengan polesan dari Piedro membuat ia menjadi seorang pemain anggar yang piawai. Permainan anggarnya selalu dinantikan oleh para penonton Dardanella.

Bersama Dardanella Tjeng Bok menjadi seorang seniman yang sangat terkenal, kaya raya dan menjadi playboy. Ia hidup mewah dan berfoya-foya. Ia memiliki mobil Roll Royce Studebaker 8 silinder. Ia memacari dan menikahi banyak sekali wanita. Hubungannya dengan Dardanella berakhir karena Tjeng Bok menikahi ibu Piedro. Ia sempat bergabung dengan rombongan tonil Miss Riboet Orion. Setelah keluar dari Miss Riboet Orion, ia menjadi penyanyi di Nederlands Indische Radio Omroep Masstschappij (NIROM).

Setelah lepas dari rombongan sandiwara, Tjeng Bok menyeberang ke dunia film. Ia pertama kali main di film Serigala Item. Mula-mula Tjeng Bok mengalami kesulitan bermain film. Namun atas arahan dari Tan Tjoei Hock, sang sutradara, Tjeng Bok menjadi aktor yang moncer. Antara tahun 1950 sampai dengan akhir 1970-an, Tjeng Bok membintangi banyak film.

Sejak bertemu dengan Bing Slamet, Tjeng Bok ikut melawak. Ia sering melawak bersama dengan Kwartet Jaya (Bing Slamet, Ateng, Iskhak dan Edy Sud).

Setelah merekam suaranya di piringan hitam saat masih bersama Dardanella, Tjeng Bok juga melakukan rekaman suara dalam format pita kaset. Sejak tahun 1973, Tjeng Bok masuk dunia rekaman. Ia menghasilkan cukup banyak kaset rekaman. Tjeng Bok adalah penyanyi kesukaan Presiden Soekarno. Soekarno sering mengundang Tjeng Bok ke Istana untuk menyanyi keroncong (hal. 72).

Tjeng Bok mendapat penghargaan dari Gubernur Ali Sadikin bersama 15 seniman lainnya pada perayaan Ulang Tahun Jakarta ke 445. Penghargaan dari Gubernur DKI ini digunakannya untuk membeli rumah (hal. 84).

Tjeng Bok juga mendapatkan penghargaan Budaya Parama Dharma dari Presiden Megawati pada tahun 2003. Penghargaan ini diberikan sebagai tanda kehormatan bagi seniman yang telah memberikan dharmabakti dan kesetiaannya terhadap bangsa dan negara Indonesia (hal. xxi).

 

Tjeng Bok dan perjuangan kemerdekaan Indonesia

Selain sebagai seniman yang sangat berhasil, Tan Tjeng Bok ternyata juga adalah seorang pejuang kemerdekaan. Bersama Dardanella ia menyuarakan anti kolonialisme dan anti fedoalisme. Saat awal kemerdekaan ia mengumpulkan dana untuk perjuangan dan menghibur para pejuang di garis depan bersama dengan Bung Tomo.

Dardanella adalah kelompok sandiwara yang menaruh perhatian kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Piedro sendiri sangat mengagumi Soekarno. Demikianpun Tan Tjeng Bok. Ia juga sangat benci kepada Belanda. Kebenciannya kepada Belanda adalah kebencian pribadi. Kebenciannya bermula saat ia masih kecil (usia 11 tahun). Saat terjadi kebakaran, ia ingin menjemput ibunya yang rumahnya dekat dengan pabrik yang terbakar tersebut. Tak sengaja ia menginjak selang air pemadam kebakaran. Ia dipukuli oleh Belanda, meski ia sudah menjelaskan bahwa ia ingin menyelamatkan ibunya (hal. 42).

Tjeng Bong masuk dalam daftar hitam polisi karena dianggap sebagai agitator yang menyebarkan isu politik ke panggung (hal. 43). Tjeng Bok sering menyelipkan dialog-dialog yang berbau perlawanan terhadap kolonialisme dan feodalisme di atas panggung. Bahkan ia harus berurusan dengan polisi karena dianggap menyinggung para tuan tanah dalam pentasnya di Mangga Besar. Meski akhirnya dibebaskan, tetapi Tjeng Bok tidak kapok. Ia tetap melakukan agitasi melalui pentas. Akhirnya ia kembali ditangkap polisi. Bahkan pementasan Dardanella pernah diboikot oleh para tuan tanah di Tegal, karena dianggap mengkritik mereka. Tjeng Bok juga ditangkap polisi di Sawahlunto lantaran dianggap menghasut penonton.

Pada jaman Jepang Tjeng Bok kucing-kucingan menghindari Jepang karena tidak mampu membayar biaya pendaftaran sebagai orang China. Untuk mengontrol orang asing, Jepang mewajibkan semua orang China untuk mendaftarkan diri dengan membayar cukup mahal.

Pada awal Kemerdekaan, tepatnya tahun 1947, Tjeng Bok membentuk kelompok sandiwara dengan nama Merdeka. Tujuan sandiwara ini adalah untuk mengumpulkan dana buat perjuangan (hal. 59). Saat itu NKRI yang masih sangat muda itu berkonflik dengan Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia. Tjeng Bok sering ditangkap Belanda karena dianggap mengkritik melalui pementasan ludruk, sandiwara dan kethoprak (hal. 60). Pada masa agresi I ini Tjeng Bok pernah ditipu oleh orang Afrika suruhan Belanda. Ia dibawa ke Lahat untuk menghibur tentara Belanda. Janji bayaran tinggi ternyata tidak pernah tergenapi. Akhirnya saat kembali ke Jakarta Tjeng Bok berhasil melarikan diri.

Bukan hanya mendirikan kelompok sandiwara untuk pengumpulan dana perjuangan, Tjeng Bok juga memimpin bagian kesenian dari Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) pimpinan Bong Tomo. Tugas utamanya adalah menghibur para pejuang yang berada di garis depan (hal. 60).

Sisi Tjeng Bok sebagai seniman dan tukang kawin sudah banyak dikenal oleh khalayak. Namun perannya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia masihlah gelap. Buku ini menunjukkan bahwa sang seniman hebat itu ternyata juga seorang pejuang yang anti kolonialisme dan feodalisme. Meski tak ikut mengangkat senjata, tetapi perannya dalam menyuarakan kemerdekaan sangatlah nyata.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu