x

Iklan

Fadli Hafizulhaq

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 Agustus 2019

Kamis, 29 Agustus 2019 15:26 WIB

Geram dan Gigil Generasi Muda Setelah 74 Tahun Kemerdekaan Indonesia

Artikel ini membahas peranan pemuda dalam demokrasi dan politik Indonesia dari dulu hingga sekarang. Selian itu, di dalam artikel juga diulas permasalahan demokrasi Indonesia kekinian

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Adalah hal yang lumrah ketika generasi muda merasa geram terhadap generasi tua. Ini bukan persoalan tidak menghormati kaum tua, hanya saja kaum muda kerap punya ide yang out of the box, brilliant atau bagaimana pun cara kita menyebutnya dalam istilah asing lainnya.

Berhubung masih dalam suasana perayaan kemerdekaan, sebenarnya ada sebuah kisah menarik tentang “konflik” yang terjadi pra-proklamasi kemerdekaan itu.

Tak banyak orang yang ingat, 74 tahun lalu Soekarno dan Mohammad Hatta pernah “diculik” oleh sejumlah pemuda untuk dibawa ke Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat. Konon, asbab dari peristiwa penculikan itu adalah adanya “cekcok” antara golongan muda dengan golongan tua—yang direpresentasikan oleh Soekarno-Hatta.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada saat itu, golongan tua ingin proklamasi didiskusikan terlebih dahulu dengan PPKI—Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, bentukan Jepang. Alhasil mereka dicap kejepang-jepangan oleh golongan muda yang ingin supaya proklamasi dipercepat.

Sejurus anda mungkin menilai kaum muda ini kok “ngotot” sekali ya—sampai menculik segala, namun tujuan penculikan itu sebenarnya agar golongan muda maupun tua tidak terpengaruh Jepang dan segera melakukan proklamasi kemerdekaan. Singkat cerita, akhirnya didapatkan kesepakatan bahwa proklamasi akan dilaksanakan pada 17 Agustus 1945 di Jakarta.

Peristiwa Rengasdengklok adalah salah satu bentuk “kegeraman” kaum muda terhadap kaum tua dalam hal mengelola negara. Pertanyaannya, bagaimana sikap golongan muda pasca-kemerdekaan?

74 Tahun Berlalu, Masih Geram Seperti Dahulu

Tak ada yang berubah sebenarnya, meski sekian dekade telah berlalu, golongan muda masih seperti itu: suka geram dan tak sabaran seperti dahulu.

Peristiwa Rengasdenglok bukanlah yang pertama dan satu-satunya dalam bab kegeraman ini. Sebelum perstiwa itu, perwujudan kegeraman pemuda akan kondisi bangsa telah tampak pada Kongres Pemuda Indonesia I, II dan III hingga peristiwa Sumpah Pemuda. Sementara itu, kegeraman pemuda pasca-kemerdekaan bisa dilihat pada peranan mereka dalam pembangunan politik di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya perwakilan kaum muda yang ikut serta mengelola pemerintahan Indonesia—tercatatlah nama Abdul Wahid Hasyim, Wikana, Soepeno hingga Sumitro Djojohadikusumo dalam sejarah.

Namun, bagaimana dengan generasi muda Indonesia kekinian? Apakah geramnya masih sama? Ataukah sudah menjadi apatis dengan kondisi bangsa?

Tak seperti dahulu, rekam jejak pemuda Indonesia saat ini sangat mudah dilacak. Berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK) membuat pemuda lebih gampang untuk tercelak. Di samping itu, mereka juga lebih mudah untuk bersuara. Pada Pemilihan Umum (Pemilu) yang lalu misalnya—khususnya Pemilihan Presiden (Pilpres). Faktanya baik sebelum, saat dan setelah pemilu, terjadi pembicaraan yang sangat hangat oleh warganet di media sosial, yang tentu saja didominasi oleh golongan muda.

Ada banyak hal yang menarik untuk dikupas mengenai pemilu yang lalu—tentu selain munculnya kaum “Cebong” dan “Kampret” yang sengitnya perdebatan mereka hanya bisa dikalahkan oleh perdebatan kaum “Bumi Bulat” dan “Bumi Datar”.

Berbagai persoalan bisa dikeluarkan dari kontestasi politik yang lalu. Salah satu yang mencolok adalah adanya serangkaian “drama” klaim kemenangan antar kontestan, yang kemudian dilanjutkan ke persidangan yang menghabiskan sekian hari dan sekian malam. Selain itu, pemilihan yang lalu kurang greget karena yang maju dia-dia juga. Minimnya pasangan calon yang disuguhkan untuk dipilih rakyat ini tidak bisa lepas dari campur tangan partai politik yang mengobok ulang presidential threshold.

Masalahnya tidak berhenti di situ, meskipun hasil pemilihan sudah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), bobroknya demokrasi Indonesia semakin menjadi-jadi. Kini, deretan partai politik yang dulunya oposisi berlomba-lomba mengirim sinyal untuk merapat pada pihak pemenang. satu lagi yang mulai tampak nyata saat ini adalah berkembangnya politik oligarki, di mana kekuasaan menumpuk pada segelintir elite politik.

Lantas, dengan kondisi yang seperti itu apa yang harus generasi muda lakukan?

Maka, adalah hal yang lumrah ketika generasi muda merasa geram terhadap generasi tua. Hingga muncul berbagai spekulasi di pikiran mereka, seperti “Mengurus negara kok tidak bisa”, “Itu wakil rakyat kerjaannya apaan? Tidur di ruang sidang?”, “Ya Tuhan, setak becus itukah mereka mengurus negeri ini” dan sebagainya.

Banyak hal yang sebenarnya ingin disampaikan oleh generasi muda Indonesia saat ini, namun seringkali di tengah kegeraman mereka itu, ada gigil yang merongrong tubuh dan pemikiran mereka.

Adakah saya akan baik-baik saja jika saya mengatakan ini? Adakah mereka mendengar suara saya yang hanya rakyat kecil ini?

Atau adakah anak muda Indonesia lainnya yang berani bersuara dengan menuliskan kegeramannya? Paling tidak, jika belum mampu menulis, mereka bisa membagikannya. Kepada anda, dan seluruh khalayak di muka dunia. Ya, tidak terkecuali tulisan ini--jika menurut anda layak untuk dibagi.

Ikuti tulisan menarik Fadli Hafizulhaq lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler