x

Seorang melintas di depan meteran gas yang terpasang di dinding rumah susun di Surabaya, Jawa Timur, 7 Mei 2019. Jaringan gas bumi PGN pun mulai masuk sejak beberapa tahun lalu. Para pemilik usaha ini mengaku sejak menggunakan gas bumi, produksi kue mereka tidak mengalami kendala lagi terutama terkait bahan bakar. ANTARA FOTO/Zabur Karuru

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 13 Oktober 2019 19:30 WIB

Revolusi Mental Ternyata memang Diperlukan

Kita membutuhkan sesuatu yang lebih sederhana tapi lebih mengena, yakni memulihkan budi pekerti kita dan mendahulukan adab ketimbang ilmu, harta, dan kuasa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Membaca beragam kabar dan menyaksikan berbagai tayangan berita di bermacam media akhir-akhir ini membuat saya semakin yakin bahwa revolusi mental memang kita perlukan. Lihatlah, dalam beberapa hari terakhir ini kita disuguhi peristiwa yang membuat dahi mengerenyit ‘kok sebegitunya’. Dua di antara sekian peristiwa yang menarik perhatian masyarakat itu ialah ‘diem-dieman ala elite politik’ padahal sudah bertatap muka di hadapan umum dan ‘sesepuh masyarakat yang ditunjuk-tunjuk dan disebut sesat’.

Barangkali, kepekaan nurani kita semakin tergerus oleh semakin kuatnya kebiasaan kita untuk memperlihatkan ketidaksukaan di muka umum, mengejek dan bahkan memaki di hadapan banyak orang dianggap lumrah, hingga mengabaikan orang yang seharusnya memperoleh perhatian hanya karena ia orang kebanyakan. Orang ramai pun kembali teringat pada sebuah istilah yang cukup lama jarang disebut, yaitu ‘budi pekerti’. Istilah yang di zaman old dianggap penting itu rupa-rupanya sudah lama kita tinggalkan dan tanggalkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kita sibuk mengejar ilmu pengetahuan, walau tak kunjung membuahkan hasil yang hebat, seakan ilmu lebih penting ketimbang budi pekerti. Kita lupa pada kearifan lama yang diwariskan orang tua kita tentang pentingnya adab sebelum ilmu. Kira-kira pesannya begini: setinggi apapun ilmumu, jika tanpa disertai adab, maka hanya keangkuhan yang mengemuka—merasa paling pintar, paling paham, paling benar, dan membodohkan-bodohkan orang lain serta membodohi orang lain.

Kita kini semakin terlihat sebagai manusia yang rasa empatinya kian menipis. Melihat orang lain tengah mengalami musibah—entah sakit, kecelakaan, atau terjerat perkara hukum—kita merasa senang menertawakannya, mengejek, mengungkit-ungkit keburukannya, bahkan juga memakinya [bayangkan, sudah sakit masih juga diejek dan dibuli]. Begitu enteng semua itu meluncur dari mulut dan jemari kita, seolah tanpa beban.

Seiring dengan menipisnya rasa empati kita pada kesulitan orang lain, kian tidak peduli kita kepada sesama manusia. Jika kita sedang berkuasa, kita jumawa dan merasa berhak untuk berbuat apa saja yang kita mau dan suka. Tatkala sedang di atas angin, kita memandang rendah dan remeh orang lain [lihat tuh, orang-orang pada ngantri ingin ketemu kita]. Kita sibuk menimbun kekayaan karena kekayaan adalah simbol kekuasaan. Kita lantas terbiasa menghina orang dengan cara membeli sikapnya dengan sedikit uang.

Mengingat semua itu, rasa-rasanya kita memang memerlukan ‘revolusi mental’—istilah ini sempat memenuhi ruang-ruang media beberapa tahun lalu untuk kemudian surut entah kenapa dan entah apa yang tersisa. Walaupun sudah jarang disebut, tapi revolusi mental itu kelihatannya ada benarnya juga. Hanya saja, mulai dari mana dan dari siapa—rakyat mah perlu teladan, misalnya saja dari elite politik sendiri.

Namasanya saja revolusi, jadi perubahannya radikal—sayangnya, istilah radikal kerap salah pakai, sering disalahpahami, dan dikonotasikan sebagai sesuatu yang buruk, padahal mungkin yang dimaksud bukan radikal, melainkan ekstrim. Perubahan yang radikal itu umpamanya yang tadinya arogan, merasa paling tahu, paling kuasa, paling benar lantas berubah jadi rendah hati, mau mendengarkan, mau mengakui bila ada kebenaran di pihak lain, berempati pada yang lemah.

Dalam konteks revolusi mental, ketika adab selama ini dikalahkan oleh harta dan kuasa, maka adab harus dikembalikan ke tempat yang selayaknya. Caranya ya itu tadi revolusi mental—sebagai jargon, kata-kata ini memang terdengar keren, tapi alangkah menyedihkan bahwa kenyataannya hingga kini masih jauh panggang dari api. Seiring perjalanan waktu, jargon itu malah kian sayup-sayup terdengar.

Sebenarnyalah kita tidak memerlukan revolusi—terlebih lagi, istilah ini cenderung stigmatis, membikin orang takut begitu mendengar istilahnya. Kita membutuhkan sesuatu yang lebih sederhana tapi lebih mengena, yakni memulihkan budi pekerti kita dan mendahulukan adab ketimbang ilmu, harta, dan kuasa. Orang-orang arif mengatakan, tiga hal itu berpotensi menjadi bahaya manakala tidak dibekali adab. Di saat seperti sekarang, memulihkan budi pekerti perlu kita ikhtiarkan bersama agar bangsa ini kembali berjalan di rel yang benar.

Berawal dari adab, manusia kembali kepada adab. Orang yang sudah mencapai tataran sangat tinggi dalam ilmu, kekayaan, maupun kekuasaan, ia akan kembali kepada adab bila ingin tetap jadi manusia. Ketika berkuasa, kaya-raya, dan tinggi ilmu, ia tidak merasa yang paling hebat. Ia akan mengatakan tidak tahu sekalipun ia tahu lebih dalam dibanding orang lain, sebab pengakuan dari orang lain tidak lagi penting, sebab ia telah melampau dunia. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB