x

Kekuasaan

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 31 Desember 2019 04:35 WIB

Sepanjang Tahun 2019, Indonesia adalah Negeri Penuh Kekuasaan

Dari pemimpin hingga rakyat biasa, sepanjang tahun 2019, tak lepas dari kekuasaan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penuh "kekuasaan" itulah catatan utama yang dapat saya ungkap dari berbagai "drama kehidupan" di Indonesia. 

Dari rakyat biasa hingga rakyat yang diberikan wewenang berkuasa, ternyata semua menjadi "aktor" kekuasaan di negeri nusantara ini. 

Rakyat biasa akhirnya memanfaatkan sarana-sarana umum untuk menguasai berbagai persoalan di negeri ini melalui medsos dan medion dengan berbagai kritik, komentar, hujatan, sumpah serapah, berseteru, melontar ujaran kebencian, melempar hoax dengan tanpa sekat batasan kelompok umur dan pendidikan karena dipicu oleh pengaruh  kekuasaan para elite partai politik yang sengaja dihembuskan dan "digoreng". 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam berbagai persoalan, merasa benar sendiri, merasa hebat sendiri, tak santun, tak empati, dan membuat semuanya menjadi "serba tak sosial" melalui sarana medos dan medion. 

Di berbagai bidang, politik, sosial, ekonomi, budaya, hingga olah raga seperti sepak bola dan lainnya, semua juga merasa "menguasai".

Para elite partai politik pun dengan "pangungnya sendiri" saling serang dan tikam dalam unjuk kekuasaannya yang didukung penuh oleh media massa, hingga mereka menjadi aktor-aktor baru layar kaca. 

Namun, saat tampil "dipanggung" bahasa tubuh dan kata-katanya sangat menonjolkan "kekuasaan" yang membikin "ngenes" pemirsa. 

Sementara media massa juga tak pernah mau tertinggal untuk andil dalam "kekuasaan" pemberitaan yang tak memedulikan lagi imbas dari apa yang diapungkan ke hadapan rakyat, terus membombardir pikiran rakyat setiap detik demi detik. 

Tiada detik tanpa masalah ketika kita membuka medion Indonesia. Semua masalah yang terus dimunculkan karena media massa "berkuasa" atas pemberitaannya. 

Begitu pun dewan yang seharusnya mewakili rakyat, lebih banyak berkuasa atas kepentingan diri dan partainya dengan bersembunyi di balik kata-kata "perwakilan rakyat". 

Tak terhitung kecewanya rakyat atas kinerja DPR yang katanya bekerja mewakili rakyat. Tetapi mereka tetap merasa berkuasa atas segala tindakannya karena memiliki wewenang mewakili rakyat, berkuasa untuk rakyat. 

Setali tiga uang, hampir semua lembaga/instansi pelat merah (pemerintah), begitu berkuasa "menguasai" uang dan hajat hidup rakyat serta menjadikan "uang rakyat untuk "bancakan" diri, kelompok, dan golongannya. 

Sementara pemimpin bangsa ini, Presiden dan Kabinetnya, tak henti unjuk gigi dalam bagi-bagi kue kekuasaan, berebut kue kekuasaan untuk diri, kelompok dan golonganya. 

Tak lupa pula menggunakan sarana kekuasaan untuk membuat rakyat biasa berteriak karena iuran terkait hajat hidup orang banyak juga dinaikkan. 

Hebatnya, semua keputusan tetap dilaksanakan meski, rakyat tahu, pemimpin bisa mendengar, tidak buta, dan juga tak tuli, serta punya hati. 

Ada mahasiswa yang memiliki kekuasaan membela rakyat, namun kekuasaan mahasiswa akhirnya dimandulkan oleh pemilik kekuasaan karena "ancaman". Demonstrasi mahasiswa pun gagal. Namun, mahasiswa juga tetap memaksakan kekuasaannya membela rakyat disimpan, dan diam. 

Memang, kekuasaan adalah kewenangan yang bisa didapatkan oleh seseorang/kelompok untuk menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak bisa dijalankan melebihi ke wenangan yang didapat atau kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku orang/kelompok sesuai dengan keinginan dari pelaku (Miriam Budiarjo,2002). 

Lalu, kekuasaan juga merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain agar berpikir dan perprilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi (Ramlan Surbakti,1992). 

Dari kedua teori kekuasaan tersebut, tak pelak, pemimpin yang memberikan teladan tentang "kekuasaan negatif" hasilnya, ilmu kekuasaan yang turun hingga sampai ke ranah terendah "rakyat biasa", menjadi contoh kekuasaan yang tidak dapat dikendalikan. 

Semua menjadi merasa memiliki kekuasaan berdasarkan fungsi dan kedudukannya. Barangkali dengan kondisi ini, sepanjang tahun 2019, saya mencoba membuat definisi baru, bahwa kekuasaan adalah berbuat/bertindak sesuka pikiran dan hatinya, asal sesuai dengan aturan, meski merugikan orang lain, yang penting menguntungkan diri dan keluarga, kelompok/kolega, dan golongannya. 

Prek apa itu perasaan, meski dapat mendengar, dapat melihat, dan memiliki hati, tetapi kekuasaan adalah "dewa".

Luar biasa, sepanjang tahun 2019, di Indonesia penuh dengan kekuasaan. 

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu