x

Iklan

Jhoni Arifin Tarigan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 5 Januari 2020

Rabu, 8 Januari 2020 08:10 WIB

Inti NDP: Beriman, Berilmu, Beramal

Bacaan wajib kader HMI

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Baca : Latar Belakang Perumusan NDP HMI

Kalau teman-teman melihat NDP (Nilai Dasar Perjuangan), tentu saja dibagi-bagi menjadi beberapa bagian. Yang pertama “Dasar kepercayaan”, Kemanusiaan”, “Kemerdekaan Manusia”, “Ikhtiar dan Takdir”. ini tentu saja banyak sekali unsur dan tulisan H. Agus Salim; Filsafat tentang Tauhid, Takdir dan Tawakal misalnya.

Kemudian “Ketuhanan Yang Maha Esa dan Prikemanusiaan”, atau “Individu dan Masyarakat”, “Keadilan Sosial” dan “Keadilan Ekonomi”, “Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan”, lalu kesimpulandan penutup. Saya tidak akan menerangkan semua NDP. “Dengan demikian sikap hidup manusia menjadi sangat sederhana. Yaitu beriman, berilmu dan beramal”. Ya, biasa, kalau suatu ungkapan yang sudah menjadi klise, itu tidak menggugah apa-apa. Apa makna beriman, berilmu, beramal, saya kira itu telah menjadi kata-kata harian.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya kira hidup beriman, tentu saja personal, pribadi sifatnya. Setiap manusia itu harus menyadari, tidak bisa tidak harus punya nilai. Oleh karena itu iman adalah primer. Iman adalah segalanya. Oleh karena iman di situ adalah sandaran nilai kita. ini kemudian diungkapkan secara panjang lebar dalam bab Dasar-dasar Kepercayaan. Kenapa manusia memiliki kepercayaan. Di situ, misalnya, kita menghadapi satu dilema; satu dilema pada manusia, yang dikembangkan dalam Syahadat Laillaha ilallah. Tiada Tuhan melainkan Allah. Di sini kita bagi dalam dua, nafyu dan itsbat. Artinya negasi dan afirmasi. Jadi tidak ada Tuhan melainkan Allah. Mengenai soal ini, saya prnah terlibat dalam polemik tentang Allah ini, bisa tidak diterjemahkan dengan Tuhan? Saya berpendapat bisa, tapi banyak sekali orang berpendapat tidak bisa. Kemudian ada polemik yang saya tidak begitu suka.

Memang para ulama berselisih mengenai makna Allah ini. Maksudnya ada yang berpendapat bahwa Allah ini suatu isim jamid, yaitu bahwa memang Allah itu begitu adanya yang berpendapat bahwa ini sebetulnya berasal dan al-ilaah. kemudian menjadi Allah. Jadi menurut mereka yang berpendapat isim jamid tidak dapat diterjemahkan Allah. Allah tetap Allah. Dan itu banyak pengikutnya.

Buya Hamka juga pernah mempunyai persoalan, ketika ditanya orang, “Mengapa Buya Hamka suka bilang Tuhan, kan tidak boleh? Dan mengapa suka bilang sembahyang, bukan sholat?” Hamka menjawab, “Boleh, sebab Allah itu memang Tuhan, dan sholat juga bisa diterjemahkan menjadi sembahyang”. Beliau mengutip bahwa dulu di Malaya, Allah itu diterjemahkan dengan Dewata Raya dan para ulama tidak keberatan.

Tapi sebelum Buya Hamka atau orang Indonesia, yang menghadapi masalah terjemahan ini ialah orang Persi sebetulnya. Sebab bangsa Muslim yang pertama bukan orang Arab itu, yang besar adalah orang Persi. Memang sebelum itu orang Syiria, Mesir, semua bukan Arab. Tetapi mungkin karena latar belakang kultural mereka itu tidak begitu kuat, maka mereka ter-Arabkan sama sekali. Sehingga orang Mesir sekarang sudah tidak ada lagi. Mereka semua menjadi orang Arab. Termasuk Khadafi yang keturunan Kartago, itu juga menjadi orang Arab.

Kalau dari sejarah, Khadafi itu lebih dekat dengan orang-orang Yunani, orang Romawi dan sebagainya sebagai keturunan Kartago. Libya bukan tempatnya orang-orang Kartago dulu dan mereka itu lebih banyak orang-orang Quraisy. Tetapi mereka menjadi Arab dan berbahasa Arab. Maka yang disebut bangsa-bangsa Arab itu, secara darah sebetulnya sebagian besar bukan orang-orang Arab, tetapi orang yang berbahasa Arab.

Bangsa Muslim yang pertama bukan Arab dan sampai sekarang tidak berhasil di-Arabkan adalah bangsa Persi. Padahal secara geografis itu paling dekat dengan dunia Arab. Mengapa? karena latar belakang kebudayaan Persi yang besar itu, sehingga mereka tidak bisa di-Arabkan. Oleh karena itu, bangsa Persilah yang pertama kali menghadapi masalah terjemahan ini, sebab Islam datang dengan berbahasa Arab. Sehingga mazhab Hanafi yang Abu Hanifah itu sendiri orang Persi—berpendapat, sembahyang dalam terjemahan itu boleh. Itulah sebabnya mengapa orang-orang Persi selalu menggunakan Khoda untuk Allah.

Kita mengetahui bahwa bahasa Persi itu adalah satu rumpun dengan bahasa Jerman, Inggris dan Sansekerta. Sehingga Baitullah misalnya, mereka terjemahkan menjadi Khanih-e Khoda. Maka dari itu, ketika zaman modern sekarang ini dan umat Islam mulai menyebar ke mana-mana termasuk ke negeri-negeri Barat, maka ada persoalan, yaitu kalau Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, misalnya, bagaimana menerjemahkan? Apakah Allah harus diterjemahkan menjadi God, ataukah tidak. Itu sudah ada dua pendapat. Misalnya, The Meaning of the Glorious Qur’an tidak menerjemahkan perkataan AlIah. Sama sekali tidak.

Tetapi sebaliknya Yusuf Ali yang orang Pakistan, yang tafsirnya juga diterbitkan oleh Rabithah Alam Islami di Mekkah, menerjemahkan Allah dengan God Sehingga dalam terjemahan dia, itu tidak ada sama sekali perkataan Allah, karena jadi “God” semua. Dan Khomaeni yang sekarang mendirikan negara Islam di Iran, Konstitusinya dalam versi bahasa Inggris, menerjemahkan la ilaaha illa-Allah dengan “there is no god but God.” Ini penting, mengapa ulasan ini agak panjang karena ada implikasinya. Yaitu salah satu problem kita di Indonesia ini ialah bahwa tradisi intelektual Islam kita masih muda sekali, sehingga orang sering kehilangan jejak, akhirnya bingung.

Buku Yusuf Ali yang saya beli di Mekkah yaitu ketika saya mengadakan kunjungan ke beberapa negara ke Timur Tengah diberi pengantar dari Sekjen Rabihtah Alam Islami. Kita bisa melihat sekarang di sini misalnya perkataan Lailhaiila-Allah bagaimana diterjemahkan. Begitu juga dalam tafsir Muhammad Asad atau dalam konstitusinya Khomeini. Kita boleh tidak setuju dengan ajaran Syi’ah, tetapi jangan phobia. Justru bobot NDP sebetulnya untuk menghilangkan itu. Sedangkan Islam itu sendiri berada di tengah umat manusia.

Jadi kita ini harus Muslim di tengah umat Islam itu sendiri. Oleh karena itu, mungkin saudara-saudara juga tahu bahwa saya selalu mengatakan tidak setuju dengan sensor. Orang boleh tidak dengan tidak setuju dengan suatu paham, tetapi jangan menyensor.

Karena itu sebenamya, di Indonesia kata Allah itu diterjemahakan menjadi kata Tuhan. Menurut saya bisa. Khomeini saja bisa, kok, mengapa kita tidak bisa? Itu Yusuf bisa, bahkan itu diterbitkan oleh Rabitah Alam Islami. Jadi tiada Tuhan dengan t kecil (tuhan), kecuali Tuhan itu bisa. Waktu itu saya tidak tahu, bahwa Buya Hamka pernah menerangkan hal ini, sehingga ketika saya terlibat dalam polemik itu ada seorang teman yang bersuka rela memberikan kepada saya copy dari polemik Buya Hamka dengan seseorang melalui sura tmenyurat. Dan sekarang sudah diterbitkan dalam sebuah buku, yaitu Hamka Menjawab Masalah-masalah Agama.

Dalam psikologi agama ada yang disebut convert complex. Convert artinya orang yang baru saja memeluk agama. Lalu kompleks, perasaan sebagai agamawan baru. Misalnya, di masyarakat ada saja bekas tokoh yang kurang senang pada agama, lalu menjadi fundamentalistik sekali.

Nah, karena tradisi intelektual kita itu begitu muda, begitu rapuh, kita sering kehilangan jejak. Kemudian bingung. Ada cerita menyangkut dua orang Minang: H. Agus Salim dan Sutan Takdir Alisyahbana. Sudah tahulah Takdir Alisyahbana, seorang yang mengaku sebagai orang yang modern dan sangat rasionalistik, oleh karena itu, dia pengagum Ibnu Rusd. Dia selalu bilang, dunia ini kan persoalan pertengkaran antara Ghazali dan Ibnu Rusd. Karena di dunia Islam Ghazali yang menang dan didunia Barat Ibnu Rusd yang menang, maka akhirnya Ibnu Rusd yang menjajah Ghazali. Jadi Indonesia dijajah Belanda itu sebetulnya Ghazali dijajah Ibnu Rusd, menurut Takdir Alisyahbana. Karena apa? Ghazali mewakili mistisisme, intuisisme, sedangkan Ibnu Rusd mewakili rasionalisme.

Ada betulnya juga, meskipun tidak seluruhnya. Suatu saat pak Takdir konon menggugat H. Agus Salim. Katanya begini, “Pak Haji, pak haji ini kan orang terpelajar sekali, masa masih biasa sembahyang. Artinya, kok masih mempercayai agama?” Lalu dibilang oleh H. Agus Salim, “Maksud saudara apa?“. “Maksud saya, sebagai orang terpelajar saya tidak nembenarkan sesuatu kecuali kalau saya paham betul”. Betul, memang begitu. Qur’an sendiri menyatakan begitu. Akan tetapi begini, kita kan terbatas, karena terbatas kalau rasio kita sudah pol begitu, maka sebagian kita serahkan kepada iman.” Jadi masalah iman itu adalah bagian dari pada hidup dan itu adalah kewajiban dari pada rasional kita.

Rupanya Takdir belum puas dengan jawaban itu. Lalu Salim membuat jawaban yang lucu dan benar. Dia bilang begini, “Begini aja deh, Takdir kan orang Minang. Kan suka pulang ke Minangkabau, pulang ampung, naik apa?” “Naik kapal” jawab Takdir. Rupanya waktu itu belum bisa naik pesawat, pesawat belum begitu banyak.

“Nah," kata Agus Salim,“ Kamu naik kapal itu menyalahi prinsipmu. Kamu tidak akan menerima sesuatu kecuali kalau paham seluruhnya. Jadi asumsinya, kalau kamu naik kapal, adalah kalau sudah paham tentang seluruhnya yang ada dalam kapal itu. Termasuk bagaimana kapal dibikin, bagaimana menjalankannya bagaimana kompasnya, bagaimana ini dan sebagainya. Nah begitu ketika kamu menginjakkan kaki ke geladak kapal Tanjung Priok, itu kan sudah ada masalah iman. Kamu percaya kepada nakhoda, kamu percaya kepada yang bikin kapal ini bahwa ini nanti tidak pecah di Selat Sunda dan kamu kemudian tenggelam. Percaya, percaya dan semua deretan kepercayaan."

Agus Salim melanjutkan, “Sedikit sekali yang kamu ketahui tentang kapal. Paling-paling bagaimana tiketnya dijual di loketnya saja yang kamu tahu. Pembuatan tiket juga kamu tidak tahu” katanya. Lalu Salim bilang begini, “Seandainya kamu konsisten dengan jalan pikiran kamu, hai, Takdir, mustinya kamu pulang ke Minang itu berenang. Ya, begitu, sebab berenang itu yang paling memungkinkan usahamu. Itu saja masih banyak sekali masalah. Bagaimana gerak tangan kamu saja mungkin kamu tidak paham,” katanya.

Lalu ini yang menarik, “Nanti kalau kamu berenang, di Selat Sunda kamu di ombang-ambing ombak dan kamu akan berpegang pada apa saja yang ada. Dalam keadaan panik, kamu akan berpegang pada apa saja yang ada. Untung kalau kamu ketemu balok yang mengambang. Akan tetapi kalau kamu ketemu ranting, itu pun akan kamu pegang. Ketemu barang-barang kuning juga kamu pegang,” kata Agus Salim.

Nah inilah yang saya maksudkan. Dalam keadaan panik orang sering kehilangan jejak, sering kita berpegang kepada suatu masalah secara harga mati. Padahal itu ranting, kalau kita pegang akan tenggelam lagi kita nanti. ini maksud saya. Jadi kembali lagi pada laa ilaaha illa-Allah di sini memang ada dilema. Dilemanya, sebagaimana sudah menjadi kenyataan, manusia itu hidup tidak mungkin tanpa kepercayaan. Terlalu banyak Tuhan. Itu problemanya. Jadi sebetulnya kalau kita membaca alQur’an, problemnya itu bukan bagaimana membikin manusia percaya pada Tuhan, tetapi bagaimana membebaskan manusia dari percaya kepada terlalu banyak Tuhan. Karena itu memang ada tema ateisme dalam al-Qur’an, yaitu dahriyyah tapi kecil sekali.

Ateisme itu satu hal yang tidak mungkin. Justru yang ada dan sangat banyak terjadi pada manusia ialah politeisme. Problema manusia sebetulnya bukan ateisme yang utama, tetapi politeisme. Oleh karena itu tema-tema al-Qur’an itu yang dicerminkan dalam perkataan laa ilaaha ila-Allah, ialah usaha dan ajaran menghancurkan politeisme. Dan kalau nenghancurkan politeisme kita pergunakan politeisme dalam bahasa sekarang, akan berbunyi, “Bebaskan dirimu dan belenggu-belenggu yang menjerat dirimu sendiri.” Sebab semua kepercayaan dan sistem kepercayaan itu membelenggu.

Tetapi kalau manusia tidak memiliki kepercayaan sama sekali juga tidak mungkin. Oleh karena itu harus ada kepercayaan, tetapi kepercayaan itu harus sedemikian rupa sehingga tidak membelenggu kita, bahkan menyelamatkan kita. Itulah kepercayaan kepada Allah, satu-satunya Tuhan, yang Allah ini adalah the High God, Tuhan Yang Maha Tinggi. Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu Allah lain dengan Zeus dan Indra yang merupakan mitologi. Orang Yunani kuno itu dulu percaya pada Zeus. Dan Zeus itu nama dewa dalam mitotologi mereka. Orang Mesir, Ra, kemudian orang India, Indra.

Jadi masalahnya begini, manusia ini tidak mungkin hidup kecuali kalau mempunyai kepercayaan. Akan tetapi kalau terlalu banyak yang dipercayai, akan menjerat manusia sendiri, dan tidak akan banyak membuat kemajuan. Sementara itu manusia tidak mungkin hidup tanpa kepercayaan. Oleh karena itu dari sekian banyak kepercayaan harus disisakan yang paling benar, yaitu lailaaha ha-Allah ini. Ini keterangan yang banyak sekali, akan tetapi saya mau meloncat sedikit kepada isolasi agama.

Agama Islam itu satu rumpun dengan agama Yahudi dan Kristen yang disebut agama Ibrahim. Nah,kita masih mewarisi ajaran Nabi Ibrahim, yaitu Inni Wajjahtu wajhia lillàdzi Fatharassamawati wal ardha, Hanifam muslima wama ana minal musyrikin. Itu suatu pernyataan Ibrahim setelah “eksperimennya” dalam mencari Tuhan. Itu dalam aI-Qur’an yaitu ketika Ibrahim melihat bintang itu hilang, dia bilang, ah, tidak mungkin Tuhan kok tenggelam, ini bukan Tuhan.

Setelah melihat bulan, kemudian mendapatkan matahari itu lebih besar. Dia pun bilang inilah Tuhan. Pokoknya setelah eksperimen melalui bintang, bulan, matahari, yaitu gejala-gejala alam. Kalau di sini ada masalah pembebasan, masalah negatif, masalah karena manusia itu cenderung untuk menjadikan apa saja yang memenuhi syarat sebagai misteri/sebagai Tuhan; sesuatu yang mengandung misteri, sesuatu yang mengandung kehebatan sesuatu yang mengandung rasa ingin tahu. Kalau sebuah gunung yang setiap kali meletus dan membawa bencana tidak bisa diterangkan oleh orang, maka mereka melihatnya sebagai misteri dan kemudian menyembahnya. Inilah akar tentang syirik sebetulnya.

Jadi, syirik itu sebetulnya kelanjutan mitologi. Barangkali kita sudah mempelajari bagaimana lahirnya mitologi. Oleh karena itu, mitologi secara bahasa lain boleh dikatakan sebagai kecenderungan manusia untuk menuju sesuatu yang tidak dipahami. Begitulah kira-kira. Pemimpin yang kita agung agungkan, akhirnya berkembang menjadi mitologi terhadap pemimpin kita itu. Nah, kalau kita menganut mitologi, maka suatu mitos itu pasti menjerat kita. Kalau misalnya, kita memitoskan gunung, maka tertutup kemungkinan bagi kita mempelajari apa sebetulnya hakikatnya. Gunung itu mengandung sebuah kekuatan misterius, yang setiap kali meletus akan menghancurkan sekian banyak orang, sawah ladang dan sebagainya. Oleh karena itu pendekatan kita kepada gunung itu mengarah kepada pendekatan keagamaan; disembah. Nah, itulah contoh mitologi yang menyeret kita.

Jadi artinya, suatu mitologi menutup kemungkinan suatu objek untuk diteliti secara ilmiah. Seorang ahli vulkanologi misalnya, melihat itu sebagai sesuatu yang biasa, tidak lagi mengandung misteri. Begitulah kira-kira. Sebab untuk syarat sebagai tuhan haruslah misteri, tidak bisa dipahami.

Jangan lupa bahwa kita masih banyak mewarisi mengapa hari itu tujuh. Dan Tuhan itu diandaikan bintang-bintang atau benda-benda langit. Jadi yang paling besar adalah matahari, kemudian yang kedua adalah rembulan, kemudian bintang seperti mars, venus dan sebagainya. Itu sebabnya kemudian orang-orang Babilonia menyediakan setiap hari satu tahun. Nah, itu masih bisa dilihat sampai sekarang. Misalnya namanya dalam bahasa Inggris, seperti Sunday, itu artinya hari matahari. Waktu itu orang menyembah matahari. Monday artinya hari rembulan. Kalau dalam bahasa Francis itu lebih kentara lagi: Mardi (hari mars), Mercredi (hari merkurius), Jeuvi (hari jupiter), Vendredi (hari venus), Saturday (hari saturnus).

Baru ketika bangsa Semit, bangsa Semit yang sudah bertauhid yang dimulai oleh Ibrahim mengambil alih, mitos itu dihapus dan kemudian nama hari yang tujuh diganti dengan angka. Ahad, Senin, Selasa, itu maksudnya satu, dua, tiga, dst. tapi hari Sabtunya tetap dipertahankan. Jadi artinya kalau Ibrahim dahulu itu ada pikiran atau usaha begitu, ada pikiran untuk menyembah bintang, itu sebetulnya karena ia memang orang Babilonia.

Tapi kemudian lihat kesimpulannya, ketika matahari tenggelam, diabilang “ah masa tuhan tenggelam“ Nah, lalu dia pun bilang,“ Inni wajjahtu wajhia lilladzi fatharassamaawaati wal ard”. Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi ini. Jadi, “Janganlah kamu bersujud kepada matahari dan rembulan, tapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya.”

Nah, jadi meskipun matahari itu sampai sekarang belum seluruhnya kita pahami, artinya masih mengandung misteri, ada potensi untuk paham. Karena itu matahari tidak akan memenuhi syarat sebagai Tuhan, karena suatu saat akan dipahami manusia. Begitu juga seluruh alam ini. Di situlah kita bisa melihat mengapa Allah menjanjikan: “Kami akan perlihatkan tanda-tanda-Ku seluruh cakrawala dan dalam diri mereka sendiri, sehingga terlihat bagi mereka bahwa Allah itu benar”. Artinya, orang akan haqqul yaqin bahwa Allah itu benar bila seluruh alam ini sudah dipahami, bisa dipahami, sehingga tidak tersisa misteri lagi.

Dengan perkataan lain bahwa Allah itu Allah, oleh karena itu yang tidak bisa dipahami manusia. Tuhan itu adalah yang tidak mungkin dipahami manusia, dan sebetulnya konteks ketuhan menurut Tauhid itu adalah konteks mengenai misteri, laisa kamislihi syai’un (tiada sesuatu yang sebanding dengan Dia). Jadi Dia tidak bisa digambarkan, tidak dapat dipahami. Sebab Allah itu mutlak. Perkataa nmemahami Tuhan itu kontradiksi inter-minus. Sebab memahami berarti mengetahui batas-batasnya. Jadi, kalau memahami Tuhan berarti sudah apriori bahwa Tuhan terbatas, terjangkau oleh kita.

Oleh karena itu, kalau Allah itu memang mutlak, maka dia tidak dapat dipahami. Sebetulnya ini kontroversi yang lama di kalangan umat Islam. Yaitu antara Mu’tazilah dan Asy’ary mengenai isu mengenai apakah manusia itu bisa melihat Tuhan atau tidak, di surga nanti. Menurut Mu’tazilah tetap tidak bisa, sedangkan menurut asy’ariyah bisa, meskipun selalu ditutup dengan bila kaifa, tanpa bagaimana. Jadi sebetulnya antara keduanya tidak ada perbedaan. Kalau tanpa bagaimana berarti tanpa bisa diketahui sendiri. Mengetahui tanpa bisa diketahui. Mengetahui tanpa bisa mengetahui bagaimana mengetahui itu. Itu bila kaifa dari sistem Asy’ariyah yang banyak dianut sebagian dari kita yang berpaham Sunni.

Yang jelas adalah bahwa dalam al-Qur’an, ajaran yang dominan itu bukan tentang mengetahui Tuhan, tapi mendekatkan. Jadi taqarrub itu, mendekati Tuhan. Allah asal tujuan dan segala yang ada dalam hidup ini. Oleh karena itu, perjalanan hidup kita sebetulnya menuju kepada Allah. Maka dan itu sebutlah di sini dalam bahasa yang sedikit kontemporer: kesadaran mengorientasikan hidup kepada Allah. Oleh karena itu, seluruh perbuatan kita haruslah Lillaahi ta‘ala. Jadi justru harus menuju pada Allah Subhanahu Wata’ala. Dan ini yang kita ungkapkan dengan berbagai ungkapan, termasuk ridho, ridhollah. Dalam al-Qur’an disebutkan “mencari muka Tuhan”. Jadi kita itu memang mencari muka, yaitu mencari muka Tuhan, artinya bagaimana melakukan sesuatu yang berkenan pada Tuhan, mendapatkan ridho-Nya.

Kita menuju kepada Allah, jadi selalu mendekat, taqarrub kepada Allah. Nah, kita mendekati Tuhan itu adalah dinamis; iman itu dinamis, bisa berkurang dan bisa bertambah. Artinya dinamis, sebab manusia itu dengan segala keterbatasannya kemungkinan besar dia membuat kesalahan. Oleh karena itu dia harus mengikuti garis yang lurus membentang antara dirinyya dan Allah, yaitu Alshshirot al-mustaqiim.

Jalan yang lurus, lurus itu terhimpit dengan hati nurani kita, dengan fitrah kita. Sudah banyak sekali diterangkan dalam NDP tentang peranan hati nurani yang kadang-kadang disebut juga dhamier dan sebagainya itu. Dhamier, fitrah atau hati nurani itu adalah kesadaran yang dalam pada dir ikita tentang apa yang baik dan buruk, dan apa yang benar dan salah. Itu tentu saja tidak bisa dibiarkan sendirian, tapi harus ditolong oleh suatu ajaran. Di sini kemudian ajaran agama untuk menguatkan apa yang ada pada hati nurani. Oleh arena itu menurut Ibnu Taymiyyah agama itu tiada lain adalah fitrah yang diwahyukan, atau fitrah yang diturunkan. Selain ada fitrah yang diciptakan pada diri kita, juga ada fitrah yang diwahyukan. Itulah agama.

Jadi artinya agama itu adalah fitrah yang diturunkan dari langit oleh Allah Subhanahu Wataala, untuk memperkuat fitrah yang ada dalam diri kita sendiri. Mungkin teman-teman juga pernah mendengar Robinson Cruso.

Robinson Cruso adalah novel yang dikarang Daniel Deboe, menceritakan tentang seseorang yang terdampar di pulau dan hidup sendiri dengan segala romantikanya. Itu sebetulnya adalah plagiat dari seorang filsuf muslim, namanya Ibn Thufayl, yaitu suatu karya yang namanya Al-Hay, Ibnu Yaqdzan. ”Orang Hidup, Anak kesadarannnya sendiri.”

Ini sebetulnya sebuah kisah filosofis berdasarkan konsep tentang fitrah itu. Karena manusia itu—seperti dikatakan oleh hadits “alwaladu yuladu ‘ala al-fitra”‘ dilahirkan dalam keadaan suci. Maka seorang filsuf Muslim ini membuat hipotesa kalau seandainya manusia itu hidup dengan konsisten mendengarkan kesadarannya sendiri dan bebas dan polusi budaya, polusi kultural (orang ini dikatakan bagai hidup di sebuah pulau sendirian). Kalau orang ini masih seperti itu, dia akan menjadi manusia sempurna: insan kamil. Maka sebetulnya novel ini yang berurusan dengan persoalan insan kamil dalam konsep sufi itu. Inilah yang diplagiat oleh Daniel Deboe dan menjadi Robinson Cruso. Sebetulnya ada urusannya dengan fitrah ini.

Jadi fitrah itu kemudian diperkuat oleh agama. Nah agama ini yang kemudian memberi kesadaran tentang bagaimana Allah itu harus dipersepsi, misalnya dengan ayat-ayat dan Tauhid dan sebagainya itu. Dan manusia harus berjalan pada jalan ini menuju kepada Allah. Tapi karena Allah itu mutlak,maka Dia bakalan tidak bisa dicapai. Kita tidak akan bisa mencapai Tuhan dalam arti menguasai. Sebab itu akan berarti Tuhan itu terbatas.

Jadi kontradiksi lagi dengan pemutlakan Tuhan. ini mempunyai implikasi bahasa kebenaran yang ada pada benak manusia itu tidak pernah merupakan kebenaran mutlak, sebab keterbatasan kita. Akan tetapi, tidak berarti bahwa kebenaran yang ada dari kita itu lalu kita buang begitu saja, karena relatif. Itu tidak bisa tidak. Misalnya saja kita dari Jakarta mau ke Bandung. Tentu saja sebagai analogi, Bandung menjadi tujuan kita. Tapi dari Jakarta tidak bisa begitu saja kita loncat ke Bandung. Kita harus melalui Cibinong, melalui Bogor, melalui Puncak dan sebagainya. Nah itulah yang kita alami dalam hidup, yaitu Cibinong, Bogor, Cianjur, sampai Padalarang dan sebagainya.

Akan tetapi tidak berarti karena itu kita tahu Cibinong bukan Bandung maka sudahlah kita tak usah ke Cibinong karena tujuannya Bandung. Soalnya ialah Bandung tidak bisa dicapai, kecuali melalui Cibinong. Kebenaran mutlak tidak bisa dicapai kecuali dengan eksperimen relatif, kecuali dengan mengalami kebenaran-kebenaran relatif. Jadi kebenaran relatif apa pun yang kita alami, itu harus kita pegang, tetapi karena pada waktu yang sama kita tahu bahwa ini kebenaran yang relatif, maka kita harus nemegangnya sedemikian rupa sehingga harga tidak mati. Karena kita tahu Cibinong bukan tujuan kita, Cibinong harus kita lewati, tetapi kita harus segera menuju Bogor, segera menuju ke Puncak, ke Padalarang dan seterusnya.

Nah, oleh karena itu dinamis. Di sini lalu kemudian bergerak terus menerus. Itulah sebabnya mengapa agama itu, agama Islam terutama, selalu dilukiskan sebagai jalan. Ini penting sekali. Kita melihat, agama Islam itu dulu selalu disebut sebagai jalan. Shirat itu artinya jalan. Kalau ada dongeng al-shirotal-mustaqim itu adalah titian rambut dibelah tujuh yang membentang dintara dunia dan surga dan di bawahnya api neraka, itu berasal dari Persi, dan agama Zoroaster. Kemudian tadi syari’ah itu juga jalan. Kemudian ada lagi, maslak itu juga jalan. Jadi agama itu dilukiskan sebagai jalan oleh karena mendekati Tuhan itu tidak harus sekali jadi, tetapi harus berproses.

Dalam proses inilah pentingnya ijtihad. Maka dari itu kemudian ijtihad harus terus menerus dilakukan. Karena, Tuhan tidak pernah bisa untuk dicapai tapi kita harus dituntut untuk mendekatkan diri pada Tuhan, semakin dekat, maka ada proses dinamis,dan itu jadi ijtihad.

Sebetulnya akar ijtthad itu ialah j, h, dan d. Jadi sama dengan jihad. Satu akar kata dengan jihad. Satu akar juga dengan juhd, juga dengan mujahadah, yang semua itu sebetulnya sama dengan jihad. Jadi mengandung makna bekerja keras, bekerja dengan sungguh-sungguh. Mujahadah. Lalu di sini, “walladziina jaahadu fina lanah diyannahum subulana “, Barang siapa bersungguh-sungguh berusaha untuk mendekatai Tuhan, maka akan Tuhan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan.

Nah kebetulan ke Cibubur ini tadi saya melewati Jagorawi. Sedikit Jagorawi ini jalan ashshirotolmustaqim, tetapi di situ banyak jalur. Misalnya yang sudah matang dalam Islam, itu ada jalur sufi, jalur fiqh, dll. Orang yang versi ke-Islamannya itu sufisme apakah anda akan mengatakan bahwa orang-orang sufi itu sesat? Saya kira kita tidak berhak mengatakan begitu. Ada yang persepsinya kepada Islam itu hukum.

Jadi, masalah agama adalah masalah hukum. Ada yang persepsinya teologis, mutakallimun, ada yang persepsinya masalah filsafat dan banyak sekali jalan-jalannya menuju Tuhan ini. Juga disebutkan, jalan menuju Tuhan itu subulussalam “berbagai jalan menuju keselamatan”. Mengapa begitu’. Jadi dengan iman kita mengorientasikan hidup kita kepada Allah Innalillahiwainnailaihirojiun.

Kemudian, berilmu, karena perjalanan menuju Allah itu meskipun mengikuti al-shirot almustaqim dan berhimpit dengan hati nurani kita, tapi disitu ada masalah perkembangan. Oleh karena itu harus berilmu, harus mujahadah. Jihad atau mujahadah di sini ada kaitannya dengan ilmu pengetahuan. Semua itu tentu saja tidak mempunyai arti apa-apa, sebelum kita amalkan, kita wujudkan dalam amal perbuatan itu.

Maka dari itu ideologi misalnya, tidak bisa menjadi mutlak. Ideologi itu berkembang, ilmu pengetahuan pun berkembang, tidak ada yang benar-benar mutlak. Lihat saja itu dulu, pada zaman sahabat, itu tidak ada sifat dua puluh. Maka sifat dua puluh itu muncul oleh Asy’ari oleh karena ada persoalan yaitu bagaimana membendung pengaruh dari hellenisme melalui filsafat Yunani, yang pada waktu itu mulai gejala mengancam Islam itu sendiri. Maka kemudian dia tampil dengan sifat dua puluh itu.

Saya terangkan begitu, dengan kata lain kita harus menyejarah, bersatu dengan suatu konsep historis dan karena itu kita menjadi dinamis, terus berkembang, tidak ada yang harga mati. Oleh karena itu, orientasi hidup kepada Allah yang dalam bahasa agamanya beriman kepada Allah itu sering kali dalam al-Qur’an itu dikontraskan dengan beriman kepada Thaghut.

Thaghut itu siapa? Thaghut itu tiada lain adalah tirani, sikap-sikap tirani. Tiranisme. Kenapa disebut tirani? Yang disebut tirani adalah sikap memaksakan suatu kehendak kepada orang lain. Oleh sebab itu, Nabi atau Rasulullah sendiri sudah diingatkan, kamu jangan jadi tiran. “Innama anta muzakkir, lasta alaihim biimushaitir” Hai Muhammad, kamu itu cuma memperingatkan, tidak untuk mengancam orang, memaksa orang.

Muhammad itu manusia biasa, maka itu suatu saat juga tergoda untuk memaksakan pahamnya kepada oranglain. Lalu Allah pun turun dengan Firmannya yang berat sekali pada surat Yunus ayat 101. “Kalau seandainya Tuhanmu mau hai Muhammad, menghendaki semua manusia tanpa kecuali akan beriman, apakah kamu akan memaksa setiap orang supaya menjadi beriman? ”Tidak boleh, sebab walaupun dia rasul Allah, kalau dia sudah memaksa, dia sudah terjerembab kedalam tirani. Thaghut.

Tentu saja tirani yang paling berbahaya ialah tirani politik. Artinya tirani yang asasi betul. Oleh karena itu tokoh simbol dari pada tiranisme dalam al-Qur’an itu selalu Fir’aun. Agama Islam adalah agama yang sama sekali tidak membenarkan tirani, oleh karena itu salah satu konsekuensi berorientasi hidup kepada Allah itu adalah sikap-sikap demokratis, sikap bermusyawarah dan sebagainya. Jadi, begitu kira-kira cakupan seluruhnya itu.

Titik berat argumen dalam NDP itu sebetulnya demikian. Di dalam NDP kita tidak berbicara mengenai bagaimana orang sholat, bagaimana orang zakat dan sebagainya, tetapi kita membatasi pembicaraan kepada hal-hal prinsipil dan strategis, yaitu nilai-nilai dasar yang akan langsung mempengaruhi cara berpilki rkita, pandangan hidup kita.

Sumber : Disalin dari Hasil-hasil Kongres HMI ke-XXX di Ambon

Ikuti tulisan menarik Jhoni Arifin Tarigan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu