110 Tahun dari Ranah Minang Membangun Tanah Air
Senin, 16 Maret 2020 07:05 WIBPenyikapan ideal atas primordialisme kesukuan dan nasionalisme
Peminat pada Pemikiran Bung Hatta
Pada medio tahun 2010, Penulis berkesempatan mengunjungi Sumatera Barat, menghadiri resepsi pernikahan kerabat. Penulis yang berasal Kudus, Jawa Tengah, tentu takjub dengan salah satu identitas masyarakat Minang, yakni Jembatan Kelok 9. Usut punya usut, jembatan ini dibangun pada era kolonial Belanda tahun 1910. Jembatan sepanjang 2,5 kilometer ini memiliki konstruksi unik, membentang nan meliuk-liuk yang ditopang 30 pilar amat kokoh dengan ketinggian 10-15 meter.
Untuk kali pertama itulah, penulis bertandang ke ranah Minang. Menjejak pesona ragam budayanya yang khas beserta artefak di dalamnya. Ada dalil ingin mengindonesia. Meneguhkan bahwa Indonesia tidaklah Jawa sentris. Lantaran Indonesia adalah imaji kesatuan dari beragam tipikal etnis yang justru memberikan kekayaan kultural. Tidak sedikit tokoh-tokoh perancang-pembangun Republik datang dari Minangkabau. Tersebutlah di antaranya, Agus Salim, Moh Hatta, Tan Malaka, dan Muhammad Yamin.
Menariknya, menurut amatan penulis, ada penabalan yang sulit dilepaskan --dan memang sekiranya tidak perlu untuk dilepas-hilangkan— sekaligus peleburan berkait identitas, yakni, unsur etnisitas keminangkabauan vis a vis keindonesiaan. Dengan kata lain, keduanya mampu mencirikan dua identitas tersebut secara bersamaan tanpa tumpang tindih atau saling menegasi.
Watak kedaerahan tetap tertampil apik seraya tetap menunjukkan adanya kesederajatan dalam bingkai keindonesiaan. Penanda inilah yang bagi penulis terlihat dari banyaknya atributif artefak di tanah Minang sebagaimana tamsil Jembatan Kelok 9.
Jembatan Kelok 9 perlu penulis untuk ulang-ulang, lantaran ada sisi historis yang patut disunggi tinggi. Yakni, kebanggaan bahwa jembatan tersebut adalah karya anak bangsa. Sisi kebanggaan masyarakat Minang beserta menjadi sisi kebanggaan masyarakat Indonesia –macam penulis. Pun, tak terkecuali peranan amat besar PT. Semen Padang (SP) dalam torehan pembangunan jembatan tersebut beserta segala infrastruktur lainnya di ranah Minang. Kokohnya Jembatan Kelok 9 yang dibangun jauh sebelum kemerdekaan Indonesia turut memantik narasi serupa berkait soalan identitas yang juga secara rancak dibangun oleh SP.
SP berdiri pada tahun 1910. Konklusinya, pertama, ia telah menyatu dengan masyarakat Minang. Kedua, boleh dikata sebagai perusahaan semen paling Indonesia. Selain ikut serta dalam gerak pembangunan infrastruktur di masa-masa kolonial, SP senyatanya korporasi semen pertama di Nusantara, bahkan pertama di kawasan Asia Tenggara.
Di masa-masa kolonial, Jembatan Kelok 9 tentulah memiliki andil besar sebagai penyambung arus perdagangan –sebagai penanda kemajuan ekonomi orang Minang— dan pergerakan menyongsong kemerdekaan di bagian Sumatera pada umumnya seperti artefak rumah pengasingan Soekarno di Bengkulu.
Ketiga, SP tak segan “keluar” dari keminangan sentris; berikhtiar menegaskan bahwa SP juga menjadi kebanggaan masyarakat lintas etnis di Sumatera dan Indonesia. Tentunya langkah ini tidak lagi melulu bicara soal korporasi-bisnis persemenan/profit; melainkan bertujuan lebih besar: menubuhkan rasa keindonesiaan.
SP menjadi bagian penting program Siswa Mengenal Nusantara. Sekolah-sekolah di Sumatera Barat mendapat jatah berkunjung ke Donggala, misalnya. Putra-putri Minang ini, lewat peran SP tersebut, belajar menjadi sepenuh Indonesia dengan belajar langsung pada seluk-beluk adat-istiadat masyarakat Sulawesi.
Pun sebaliknya; SP merupakan tuan rumah menyambut hangat kunjungan siswa-siswi Papua yang amat menikmati betul citarasa rendang dan bermain saluang secara langsung di tanah Minang. Pada babakan peningkatan kesejahteraan masyarakat, SP sejak tahun 1987 telah berpunya UKM binaan. Hingga kini, lebih dari enam ribu UKM binaan yang dipunya. Menariknya, ribuan UKM tersebut tidak serta merta berada di Sumatera Barat, tapi tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Pun di bidang pendidikan, SP tidak saja memberikan bantuan pendidikan berlokus di Padang, melainkan melintas batas provinsi; tidak berhenti pada Sumatera Barat. Program beasiswa tidak saja berlangsung temporal, melainkan kontinu dengan nominal milyaran rupiah. Perhatian berlebih juga ditibakan pada sektor olahraga. Selain kepada pelajar, beasiswa juga tertuju pada atlet-atlet berprestasi.
Gelaran Tour de Singkarak, misalnya, adalah jejak ada semangat yang dibangun oleh SP. Tidak melulu soal olahraganya sendiri, tapi ada spirit mengenalkan sisi melik ranah Minang kepada dunia internasional sebagai destinasi wisata unggulan. Tidak terkecuali dengan olahraga sepak bola. SP memiliki Semen Padang FC. Bagi penulis –sebagai orang Jawa--, Semen Padang FC bahkan tidak terimajinasi dengan korporasi SP. Dengan kata lain, Semen Padang FC seakan menubuh dengan masyarakat Minang. Sekaligus uniknya, Semen Padang FC tampak menjadi satunya-satunya klub sepakbola profesional di Tanah Air yang tak lekang waktu tersematkan identitas nama sebuah korporasi.
Sudah 110 tahun SP menjejak bumi Minang. Awalnya tercatat bernama NV Nederlandsch-Indische Portland Cement Maatschappij (NIPCM). Barulah pada pasca-kemerdekaan, atau 5 Juli 1958, berganti nama menjadi Semen Padang seiring kebijakan nasionalisasi aset. Penisbatan “Padang” sebenarnya telah diwujudkan pada tahun 1950. Hal ini menandakan ada upaya cergas untuk buru-buru menghapus atribut kolonialisme.
Menariknya, meski telah berulang kali logo SP mengalami perubahan, tapi identitas nama “Semen Padang” atau pelabelan “Padang” tidak pernah terganti; tetap kokoh. Lantas, mengapa SP masih menggunakan tahun 1910 sebagai tonggak berdiri dalam ulang tahunnya yang seakan masih menyisakan kesan warisan kolonialisme? Hemat penulis, mulai tahun 1910 hingga 1950, ada narasi perihal kontribusi besar orang-orang Minangkabau dalam mempertahankan roda perekonomian kala itu. Sebagai perusahaan semen pertama, pun tentunya sedikit-banyak turut menjaid bagian membangun infrastruktur di Pulau Jawa. Faktor historis inilah kiranya yang membuat “SP” kala itu tidak bisa diartikan sekadar sebuah perusahan milik asing.
Karena itu, kita patut mengapresiasi eksistensi dan peranan SP; utamanya bisa menjadi referensi perihal sebuah korporasi yang selain punya nilai histori tinggi, juga pertautannya dengan masyarakat sekitar. Timbal balik ke lingkungan, berpacu dalam derap pembangunan negeri. Menunjukkan lokalitas atau tepatnya kekhasan daerah seraya tetap menyorongkan nasionalisme dan keindonesiaan; sebagaimana terlihat pada logo SP.
Selain memasang gambar rumah gadang, logo SP juga didominasi warna merah dan putih. Dari SP, penulis mendapatkan pembelajaran berharga tentang menyikapi identitas; bagaimana menampilkan jati diri kesukuan/daerah tapi tetap bisa menjadi Indonesia.
SP kiranya akan terus besar dan kian menginternasional, tapi sekali lagi tetap berpijak pada lokalitas dan ciri khas keminangkabauan. SP tampak bakal terus mengenalkan surga tersembunyi lain di Sumatera Barat dan Pulau Sumatera pada umumnya –sebagai wilayah operasi pemasarannya-- ke masyarakat dunia. Dan, jalan ini sama artinya SP turut mengenalkan pesona Indonesia yang tidak hanya soal Jawa dan Bali.
Penulis lantas teringat adagium yang populer di abad ke- 19: “Molukken is het verleden, Java is het heden. En Sumatera is de toekomst” alias “Maluku adalah masa lampau, Jawa adalah masa kini, sedangkan Sumatera merupakan masa depan”. Walhasil, 110 tahun usia PT Semen Padang adalah tentang hikayat, pencapaian, sekaligus optimisme menyongsong apa yang dinamakan “masa depan” pada adagium itu, yakni kesinambungan pada “masa kini” dari usia seabad sepuluh tahun sebagai “masa lampau”.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
110 Tahun dari Ranah Minang Membangun Tanah Air
Senin, 16 Maret 2020 07:05 WIBGlobalisasi, Nasionalisme, Kesukuan
Senin, 9 Maret 2020 13:41 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler