Boeing 747 "Jumbo Jet", Pelopor Transportasi Udara Massal, Oleh: Eduard Lukman  

Senin, 6 April 2020 11:30 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Pesawat Boeing 747-8 Freighter
Iklan

Cepatnya mobilitas manusia dan barang ke seluruh penjuru dunia dimungkinkan oleh moda transportasi udara. Sejarah transportasi massal via duara tak akan pernah melupakan peran Boeing 747, si jumbo jet.

 

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Oleh: Eduard Lukman (Editor Majalah Kedirgantaraan ANGKASA (1989-2003)

 

*Pengajar kuliah Komunikasi Antar-budaya pada Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (1990-2018)

 Menyebar dan meluasnya wabah Covid-19  ke berbagai pelosok dunia, dengan cepat, dipengaruhi oleh besar dan derasnya mobilitas  manusia di muka bumi ini.

Cepatnya mobilitas manusia dan barang ke seluruh penjuru dunia ini, dimungkinkan oleh moda transportasi udara. Penggunaan pesawat terbang pengangkut komersial bermesin jet di awal dan pertengahan 1950an, semakin mempersingkat lama perjalanan.  Dibanding pesawat penumpang  menggunakan baling-baling, pesawat jet komersial masa itu umumnya sudah mampu terbang 800 hingga 900km per jam, artinya satu setengah kali lebih cepat, bahkan ada yang lebih.

Kendati demikian, di era itu kapasitas pesawat jet komersial yang masih relatif terbatas, belumlah memungkinkan angkutan udara menjadi massal.  Sebagai ilustrasi, pesawat jet komersial Inggris pertama yang operasional di awal 1950an, de Havilland Comet, daya angkutnya cuma sekitar 100 penumpang, sementara pesawat jet komersial produk Uni Soviet Tupolev Tu-104 maksimum juga hanya memuat 100 orang.  Boeing 707, yang ukurannya lebih besar, kapasitas penuhnya berkisar 200 orang.

Mengingat biayanya yang tidak murah, melakukan  perjalanan jauh dengan cepat menggunakan pesawat jet masih merupakan kemewahan bagi banyak orang.

Pesawat Gajah

Peluang  menjadikan pesawat udara sebagai alat transportasi yang mulai relatif terjangkau banyak kalangan, sehingga menjadi alat  angkutan  massal, barulah dimungkinkan dengan kehadiran sebuah pesawat jet komersial  bertubuh luar biasa besar di banding pesawat-pesawat kontemporer saat itu. Itulah 747 buatan firma tersohor Amerika Serikat, Boeing.

Dimensi pesawat itu memang luar biasa untuk ukuran waktu itu. Boeing 747 varian awal memiliki rentang sayap sekitar 60 meter, dengan panjang kurang lebih 70 meter, bobot maksimalnya bisa mencapai lebih dari 350 ton. Diperlukan empat mesin jet turbofan bertenaga sangat kuat untuk menerbangkan benda seberat itu dengan kecepatan jelajah sekitar 900km per jam sejauh 10.000 kilometer tanpa henti.

Bandingkan dengan "kakak" nya yang saat itu sudah tergolong besar, Boeing 707, yang rentang sayapnya kurang lebih 44 meter, panjang 46 meter, dengan berat maksimum 150 ton (lihat misalnya, Jim Winchester, The Encyclopedia of Modern Aircraft, 2006).

Varian awal 747 sebetulnya dirancang untuk bisa memuat kurang lebih 500 penumpang. Namun kebanyakan maskapai penerbangan memakai konfigurasi untuk 350 hingga sekitar 400 orang.    

Selanjutnya: Revolusi penerbangan komersial

<--more-->

Dari segi penampilan, Boeing 747 jelas tidak bisa dikatakan menarik. Badannya yang tampak "bengkak", bertambah aneh dengan "benjolan" di bagian depan atas, memanjang mulai dari belakang kokpit. Pesawat-pesawat jet komersial yang  sudah aktif saat itu, seperti Boeing 707, Douglas DC-8, atau Vickers VC-10, jelas lebih tampan. Apalagi jika kemudian disandingkan dengan pesawat jet penumpang supersonik Concorde, yang bentuknya elegan dan futuristik. Airbus A380 yang kemudian merebut tahta pesawat penumpang terbesar, juga jelas lebih sedap dipandang. 

Boeing 747 awalnya adalah rancangan Boeing dalam persaingan untuk memenuhi kebutuhan Angkatan Udara AS akan pesawat jet angkut berat militer. Bulan September 1965, Lockheed ditetapkan sebagai pemenang, desain firma tersebut akhirnya menjelma menjadi pesawat yang juga fenomenal, C-5 Galaxy.

Berbekal rancangan yang tersisih oleh Lockheed, Boeing kemudian berkolaborasi dengan maskapai penerbangan AS ternama saat itu, Pan American (Pan Am). Pan Am melihat prospek besarnya pasar transportasi udara dunia.  Lahirlah 747, yang terbang perdana 9 Februari 1969, dan mulai dioperasikan Pan Am, 21 Januari 1970.

Penampang kabin Boeing 747 yang begitu lebar, mempopulerkan istilah pesawat penumpang berbadan lebar (widebody airliner). Namun julukan yang melekat pada pesawat berbadan "bongsor" itu adalah "Jumbo Jet".  Sampai-sampai majalah aviasi Aerospace edisi  Oktober 1993 menyimpulkan: "Jika Anda menanyakan pada seseorang apa asosiasi orang tersebut terhadap kata Jumbo, besar kemungkinan dia akan menghubungkan kata tersebut dengan Boeing 747, dan bukannya dengan gajah."

Mass Travel

Setelah Pan Am, Boeing kemudian kebanjiran pesanan. Kapasitas angkut Boeing 747  Jumbo Jet yang begitu besar telah memungkinkan turunnya ongkos per penumpang.

Terjadilah revolusi dalam dunia penerbangan komersial, harga tiket dapat ditekan, sehingga penerbangan tidak lagi eksklusif bagi kaum berada (The Big Birds of Its Time, edisi khusus majalah kedirgantaraan ANGKASA, 2007). Artinya banyak orang telah mempunyai akses untuk bepergian lebih jauh, lebih cepat, dan lebih nyaman. Dengan demikian Boeing 747 telah mengubah "air travel" menjadi "mass travel" (R.G Grant, Flight: The Complete History of Aviation, 2017).

Di puncak masa jayanya, begitu dominannya 747, sehingga pernah ada kalkulasi bahwa setiap saat di atas bumi ini berseliweran tidak kurang dari 350 Boeing 747 membawa 150 ribu penumpang ke berbagai pelosok dunia. (Clive Irving, Jumbo, dalam majalah  Aviation History,  edisi September 2018).

Selanjutnya: Pendorong Interaksi Budaya dan Saat Kritis

<--more-->

Interaksi Antar-Budaya

Kehadiran Boeing 747 sebagai "people mover" dengan cepat secara besar-besaran, rupanya juga membawa implikasi luas pada interaksi antar-manusia antar-bangsa. Pakar kajian Komunikasi antar-budaya menegaskan bahwa kontak manusia dari berbagai bangsa dengan beragam budaya  difasilitasi kemajuan pesat teknologi komunikasi dan transportasi, terutama angkutan udara (lihat misalnya  Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, Communication Between Cultures, 2001, 2010).  

Budaya yang sangat beragam itu, tentulah berimplikasi pada kompleksnya komunikasi antar-budaya. Karena itu meningkatnya frekuensi serta intensitas kontak dan interaksi manusia sejagat, menjadikan kajian Komunikasi Antar-budaya semakin perlu dan penting (lihat misalnya: Samovar, Porter, dan Edwin R. McDaniel, Intercultural Communication: A Reader, 2012).   

Memang kontak virtual makin dominan saat ini, namun kontak dan interaksi langsung antar-manusia dianggap tidak tergantikan. Sedikit banyak Boeing 747 telah memelopori memperbesar kesempatan itu. Tantangannya adalah bagaimana mengarahkan interaksi manusia yang berbeda budaya itu, menjadi hubungan yang  penuh pengertian dan respek, di tengah perbedaan (lihat misalnya Samovar, Porter, dan McDaniel, Communication Between Cultures, 2010).

Kenangan Saat Krisis

Total produksi Boeing 747, termasuk varian terakhir 747-8 yang tidak begitu bagus penjualannya, diperkirakan mencapai lebih dari 1500 pesawat (majalah Aviation History, edisi September 2018). Bandingkan dengan Airbus A380 yang baru mencapai angka sekitar 300 pesawat, dan bahkan sudah terancam ditutup jalur produksinya di tahun 2021 (majalah aviasi AIR International, June 2019).

Mendekati masa 50 tahun operasionalnya, Boeing 747 mulai memudar. Berbagai maskapai penerbangan secara bertahap mengoperasikan pesawat lebih modern, kian efisien, makin irit bahan bakarnya.  Banyak maskapai kini memilih menggunakan pesawat bermesin dua, yang sangat efisien dan dapat diandalkan, sehingga memangkas biaya operasional.

Maraknya pandemi Covid-19  saat ini mendera bisnis transportasi udara. Perusahaan-perusahaan penerbangan mengalami krisis berat. Salah satu upaya utama mengurangi dan meredam luas dan cepatnya penyebaran wabah tersebut, adalah mengurangi (bahkan di beberapa tempat menutup) arus mobilitas manusia. Bagi bisnis transportasi, termasuk udara, ini pukulan sangat telak.

Di tengah keprihatinan ini, kita mengenang Boeing 747 yang memiliki keunikan tersendiri dalam sejarah transportasi udara, sebagai salah satu wahana utama yang telah mempermudah dan memperbesar arus mobilitas dan interaksi manusia.

Tempat dan peranan Boeing 747 di dunia kedirgantaraan, sudahlah jelas. Seperti kata Clive Irving (dalam majalah Aviation History, edisi September 2018): "It was the first jet to truly democratize air travel." Si "Gajah" tercatat sebagai pelopor transportasi udara massal.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Indonesiana

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler