KRL Berhenti atau Tidak? Mesti Bijak di Tengah Pandemi yang Rumit

Jumat, 17 April 2020 15:12 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

KRL menjadi moda transportasi sangat vital bagi mereka, guna menunjang keberlangsungan hidup keluarganya. Pemerintah tentu tetap harus memikirkan bagaimana masyarakat yang masih bisa bekerja tak harus menjadikan bantuan sosial sebagai gantungan utama. Inilah rupanya yang mungkin menjadikan langkah pemerintah menjadi sangat berhati-hati dalam mengambil kebijakan terkait transportasi publik.

Sebuah teks whatssapp masuk ke HP saya. Pengirimnya, mantan asisten rumah tangga saya. “Tukang bangunan dan cuci gosok,” tulis dia seraya menyertakan emoji nyengir.  Dia mengirim pesan untuk membalas status saya yang memasang gambar sebuah gunung es hanya kelihatan sedikit puncaknya di atas permukaan air. Sedangkan badan gunung, yang ukurannya jauh lebih besar,  tidak kelihatan karena berada di bawah permukaan air.

Puncak gunung es tersebut ada tulisan “Kasihan Ojol”.  Tulisan tersebut mengacu pada seringnya pembahasan dampak wabah Covid-19, dengan mengangkat kisah para pengojek online, yang menurun drastis penghasilann ya. Adapun di badan gunung di bawah permukaan air bertuliskan berbagai profesi  lain, yang masih jarang diangkat kisahnya.  Profesi tersebut antara lain guru les privat, pedagang kaki lima, tukang becak, pebengkel, pemilik dan karyawan penginapan, pengusaha penginapan,  dan pegawai toko oleh-oleh.

Karena tukang bangunan dan cuci gosok tidak masuk di dalamnya, maka mantan ART keluarga saya tersebut mengirimnya pesan. Sejak berhenti menjadi ART karena hamil anak ketiga, dia memang memutuskan hanya menerima jasa cuci dan setrika pakaian saja. Pelanggannya kebanyakan adalah pasangan keluarga yang bekerja kantoran.

Karena banyak pelanggannya yang akhirnya bekerja dari rumah, maka pesangan cuci dan setrika pun menjadi merosot. Banyak pelanggannya yang memutuskan untuk mencuci dan setrika sendiri. Adapun suaminya adalah tukang bangunan. Order untuk membangun rumah, toko, atau perkantoran hampir tak ada lagi.

Tentu saja masih banyak profesi lain yang terdampak wabah covid-19 ini. Beruntung sejumlah profesi masih bisa memberikan penghasilan karena sangat dibutuhkan masyarakat atau dunia kerja, khususnya di kota-kota besar. Misalnya office boy/girl, pekerja pom bensin, pekerja minimarket, tenaga kontrak di pabrik atau perkantoran, tenaga medis dan lain-lain.

Banyak di antara mereka menggunakan angkutan umum untuk menuju tempatnya bekerja.  Bagi yang bekerja di DKI Jakarta dan tinggal di wilayah sekitarnya (Jawa Barat dan Banten), hingga hari ini (17/4) masih beruntung karena meski dibatasi, mereka masih bisa menuju tempat mereka bekerja dengan menggunakan KRL (kereta rel listrik), atau pun busway.  

Kendati dibatasi sejalan dengan penerapan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di DKI Jakarta, masih beroperasionalnya KRL misalnya, sangat disyukuri para pegawai atau pedagang yang tinggal di Maja atau Rangkasbitung, Banten yang perlu ke Jakarta. Ongkos transport mereka jauh lebih murah dengan naik KRL.

 

Berdasarkan data PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) pda 2019, mayoritas penumpang moda transportasi ini adalah pegawai swasta (65 persen). Tingkat pendidikan terbanyak penumpang KRL adalah lulusan SMA (57 Persen). Mayoritas penumang KRL berpenghasilan Rp3 juta-Rp4 juta sebulan (32 persen).

Penumpang KRL dengan pengeluaran rata-rata per bula Rp2 juta-Rp3 juta per bulan menjadi mayoritas (35 persen). Dan, sebanyak 47 persen penumpang KRL menghabiskan Rp5.000-Rp7.500 biaya transportasi pribadi untuk KRL per hari.  Lalu, sebanyak 36 persen penumpang KRL rata-rata memiliki 4 orang anggota di keluarganya.

Dengan profil tersebut terlihat, bahwa penggguna KRL adalah mayoritas masyarakat berpenghasilan rendah. KRL menjadi moda transportasi sangat vital bagi mereka, guna menunjang keberlangsungan hidup keluarganya.

Selanjutnya: Protes pengguna KRL

<--more-->

Tak heran, ketika lima Kepala Daerah di Bogor, Depok, dan Bekasi – yang kemudian diperkuat Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, dan Gubernur DKI Anies Baswedan, mengusulkan penghentian operasi KRL,  banyak pengguna KRL yang memprotes. 

Budi, seorang pekerja lepas di salah satu perusahaan otomotif meyatakan hal senada. "Kereta diberhentikan sementara? Ya, tidak setuju. Sementara aktivitas Jakarta ke Bekasi, Bogor, gimana? Busway saja sudah dikurangi. Lalu yang kerja bagaimana?" ujarnya kepada rri.co.id.  Baginya, KRL merupakan moda transportasi praktis dan ekonomis andalan rakyat, sehingga tidak boleh dihentikan

Penolakan pengguna KRL juga bergema di media sosial. Misalnya, @yohanna30486141 dalam akun twitternya menulis,"Iya jangn distop doong...kami jg bagian medis susaah klo ga ada transportasi." Adapun @1506Weetea menulis,"Saya dan banyak pengguna commuter lainnya yang berharap banget agar KRL tetap beroperasi...kami juga sadar tetap ikut protokol yang berlaku di dalam menggunakan KRL...mohon pihak yang terkait memikirkan kami yang tetap harus bekerja di tengah pandemi ini."

Ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia, dr Pandu Riono, pun tak sepakat dengan penghentian tersebut. Menurut dia, penghentian operasional Kereta Rel Listrik atau KRL secara total guna memutus mata rantai penyebaran Covid -19 akan mengganggu pekerja di sektor vital. "Transportasi umum harus tetap jalan, karena mengangkut pekerja-pekerja informal yang membuat semua kehidupan berjalan," katanya seperti dikutip wartaekonomi .

Salah satu dampak terburuknya adalah terganggunya akses tenaga medis, petugas keamanan dan penyedia logistik dari dan luar Jakarta. Dia paham, apabila operasional KRL dihentikan sementara waktu akan berguna untuk memutus mata rantai virus. Namun hal itu harus dibuat pengecualian bagi dokter, perawat, TNI, Polisi dan sebagainya.

Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) juga tak sepakat. "Sebenarnya yang harus dihentikan adalah kegiatannya dan bukan transportasinya," kata Kepala Bidang Advokasi MTI, Djoko Setijowarno, di Jakarta. Djoko mencatat, kapasitas angkut KRL pada jam sibuk dengan 'headway' setiap lima menit tercatat sekitar 17 ribu penumpang di saat PSBB.  Jika ditutup, bagaimana dengan nasib warga yang masih harus bekerja di Jakarta.

Sebenarnya, PSBB telah berhasil menekan jumlah penumpang KRL, secara drastis. Merujuk pada keterangan Vice President Komunikasi KCI, Ernie Sylviane Purba, jumlah pengguna KRL dalam kondisi normal mencapai angka 1,1 juta penumpang per hari. Kini rata-rata berkisar antara 170 ribu-175 ribu orang per hari.  Di sisi lain, KCI  pun telah menerapkan protokol kesehatan dalam memberikan layanan. Jaga jarak dalam antrian maupun di dalam gerbong kereta api sebisa mungkin terus diterapkan.

Dengan data-data semacam itu, tidak mengherankan jika pemerintah pusat tak mau gegabah menghentikan operasi KRL.  Pemerintah tentu sangat ingin menjaga keselamatan masyarakat. Berbagai upaya penanganan wabah Covid-19 pun telah dilakukan.

Di sisi lain, pemerintah tentu tetap harus memikirkan keberlangsung hidup masyarakat juga, khususnya yang paling rentan perekonomiannya. Skema jaring pengaman sosial telah ditetapkan, dan mulai dijalankan. Bantuan sosial di beberapa tempat telah digelontorkan.

Namun, pemerintah tentu tetap harus memikirkan bagaimana masyarakat yang masih bisa bekerja tak harus menjadikan bantuan sosial sebagai gantungan utama. Inilah rupanya yang mungkin menjadikan langkah pemerintah menjadi sangat berhati-hati dalam mengambil kebijakan terkait transportasi publik.

Masyarakat yang sudah berat memerangi wabah, perlu dibantu agar tak kian berat dalam menjalani kehidupan. Bijak di tengah pandemi penyakit yang sangat mudah menular memang sulit dan rumit.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Thonthowi

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler