Anak Perlu Pengalaman "Gila", agar Mandiri Setelah Dewasa

Selasa, 21 April 2020 06:03 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pengalaman anak di masa kecil punya efek besar ketika dewasa. Anak yang selalu dilayani di masa keci, tak punya pengalaman “menantang”, cenderung cari aman hingga dewasa. Kelak, ketika menua, dsn tak ada abang atau orang tua yang menjaga lagi, siapa yang akan melayaninya?

Anak-anak protes saat melihat emaknya bermain game balap motor. “Ummi kan perempuan, masak main kebut-kebutan gitu!”

Ternyata sebagai generasi alfa, mereka lumayan ketinggalan zaman.

Aku bukan perempuan yang sibuk minta disamakan dengan laki-laki, meski dulu sekali suami sering menyebutku feminis. Entah belakangan aku lebih kalem atau dia yang akhirnya insaf, sekarang tak pernah lagi ucapan itu keluar dari lisannya.

Waktu si sulung masih kecil, psikolog menyarankanku mengurangi memberinya makanan merah dan barang-barang berwarna merah cerah. Alasannya, daging merah dan warna merah cerah yang melekat padanya (baju, mainan, dll) bisa meningkatkan gairahnya untuk terus bergerak.

Anakku superaktif, tapi tidak masuk pada level hiper. Sebenarnya hanya sedikit lebih aktif dari anak lain, tapi aku khawatir mengingat tubuhnya yang waktu itu mungil sekali. Sulit diberi makan, dari yang berat sampai sekadar camilan.

Cemas tak imbang antara nutrisi yang masuk dengan energi yang keluar. Dan memang juga berbahaya bagi jantung, jika tak terpenuhi waktu istirahatnya. Apalagi balita membutuhkan waktu istirahat jauh lebih banyak dari orang dewasa.

Dari warna merah untuk keinginan terus aktif, sampailah kami pada diskusi mengenai warna dan mainan anak. Lewat panjang lebar penjelasan psikolog, kusadari cara mainku semasa kecil dulu ternyata sudah tepat.

Aku sempat bermain boneka. Hanya satu yang kupunya, bahannya plastik. Dari reliefnya, boneka itu dicirikan pakai rok dan bersepatu. Setiap hari boneka yang sekujur tubuhnya berwarna merah itu tersenyum, dengan bentuk tubuh kaku.

Selanjutnya: Jejak pengalaman masa kecil saat dewasa

<--more-->

Setelah agak besar, aku bermain sepeda. Dari lepas tangan sampai bonceng empat. Bukti sejarahnya masih ada di lututku sampai sekarang. Pohon jambu di depan dan samping rumah kami juga pernah kujelajahi semua.

Terkesan tomboi, tapi menurut psikolog, itu sebenarnya adalah kebutuhan semua anak-anak. Beruntungnya kebutuhanku telah terpenuhi di masa kecil itu.

Ternyata, pengalaman di masa kecil akan nampak setelah dewasa. Tidak semua orang menyadarinya, bahkan sebagian menganggap tak masuk akal.

Misalnya ketika aku ditinggal lama oleh suami, dan ini sering terjadi. Satu sampai enam bulan suami harus keluar kota untuk urusan pekerjaan, aku masih bisa angkat galon sendiri. Urus rumah dan anak sendiri. Insyaallah tidak menyusahkan orang lain.

Jika tak benar-benar terpaksa, sungkan rasanya untuk meminta tolong orang lain. Khawatirkan merepotkan.

Tapi tidak demikian dengan salah seorang temanku yang secara usia lebih senior. Menurutnya, jika kita sungkan meminta tolong, artinya kita pun tak suka menolong orang lain.

Karena dia bukan orang bijak, quote-nya kuingat tapi tak ingin kupraktikkan. Tetap masuk dalam benakku, apa iya aku tak suka menolong orang lain? Mungkin ada benarnya. Tapi jika karena suka menolong orang lalu tak sungkan meminta tolong. Ah, berat.

Temanku ini memang punya teman lebih banyak dariku. Banyak faktor, salah satunya karena kedudukan. Dan usia juga tentunya. Aku belum lahir dia sudah punya teman. Dalam lima tahun jarak usia kami, sudah punya berapa dia.

Selanjutnya: Dampak anak yang selalu dilayani

<--more-->

Tapi maaf, dari sekian banyak temannya, tidak sedikit yang kerap mengeluh karena temanku ini dianggap sering menyusahkan mereka. Kuketahui dari cerita mereka sendiri, sampai ada yang curi-curi bikin status. Sindiran ala emak-emaklah.

Bahkan salah seorang teman dekatnya pernah ngomel di depanku, “Si N ini kalo suaminyo di luar kota, pasti kito semua jadi korban. Ikut repot dibuatnyo!”

Padahal dia bukan tipikal penggosip, loh. Mungkin saking bosannya.

Suatu hari, teman yang tak pernah sungkan minta tolong ini bercerita. Waktu kecil, ia sangat dijaga oleh abang-abangnya. Tak boleh main jorok, tak boleh belajar naik sepeda. Sebagai adik perempuan, semua urusannya dilayani.

Nah, itulah hasil positif dari main ala cowok yang dulu kulakoni. Sulit menjelaskan apa hubungannya. Tapi menurut psikolog anakku dulu, didukung artikel dan buku psikologi yang pernah kubaca, itulah faktanya.

Anak yang begitu dilayani, tak punya pengalaman “menantang”, cenderung cari aman hingga dewasa. Masalahnya, ketika menua, tak ada abang yang menjaga kita lagi.

Lalu apa hubungannya dengan game ngebut? Itu hanya pelampiasan emosi saja.  Tak ada urusan dengan gender. Kalau ada game banting-banting kuali, barangkali itu yang kupilih. Dan itu tak bisa kujelaskan pada bocah sembilan dan enam tahun di rumah ini.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
syarifah lestari

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler