Anak-anak protes saat melihat emaknya bermain game balap motor. “Ummi kan perempuan, masak main kebut-kebutan gitu!”
Ternyata sebagai generasi alfa, mereka lumayan ketinggalan zaman.
Aku bukan perempuan yang sibuk minta disamakan dengan laki-laki, meski dulu sekali suami sering menyebutku feminis. Entah belakangan aku lebih kalem atau dia yang akhirnya insaf, sekarang tak pernah lagi ucapan itu keluar dari lisannya.
Waktu si sulung masih kecil, psikolog menyarankanku mengurangi memberinya makanan merah dan barang-barang berwarna merah cerah. Alasannya, daging merah dan warna merah cerah yang melekat padanya (baju, mainan, dll) bisa meningkatkan gairahnya untuk terus bergerak.
Anakku superaktif, tapi tidak masuk pada level hiper. Sebenarnya hanya sedikit lebih aktif dari anak lain, tapi aku khawatir mengingat tubuhnya yang waktu itu mungil sekali. Sulit diberi makan, dari yang berat sampai sekadar camilan.
Cemas tak imbang antara nutrisi yang masuk dengan energi yang keluar. Dan memang juga berbahaya bagi jantung, jika tak terpenuhi waktu istirahatnya. Apalagi balita membutuhkan waktu istirahat jauh lebih banyak dari orang dewasa.
Dari warna merah untuk keinginan terus aktif, sampailah kami pada diskusi mengenai warna dan mainan anak. Lewat panjang lebar penjelasan psikolog, kusadari cara mainku semasa kecil dulu ternyata sudah tepat.
Aku sempat bermain boneka. Hanya satu yang kupunya, bahannya plastik. Dari reliefnya, boneka itu dicirikan pakai rok dan bersepatu. Setiap hari boneka yang sekujur tubuhnya berwarna merah itu tersenyum, dengan bentuk tubuh kaku.
Selanjutnya: Jejak pengalaman masa kecil saat dewasa
Ikuti tulisan menarik syarifah lestari lainnya di sini.