x

Suasana swalayan yang beroperasi di ITC Roxy Mas, Jakarta, Kamis, 16 April 2020. Sementara itu swalayan yang menjual kebutuhan sehari-hari tetap buka dengan pembatasan waktu operasional. TEMPO/Muhammad Hidayat

Iklan

syarifah lestari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 April 2020

Senin, 20 April 2020 14:36 WIB

Manusia Itu, Tahu Panik, Tak Tahu Lalai

Naik turun kewaspadaan masyarakat Indonesia

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ketika Presiden menyampaikan kasus pertama Covid-19, pasar tradisional di dekat rumahku tak menampakkan perubahan. Kami masih santuy, Depok kan jauh!

Begitu salah seorang Sekda kabupaten positif Covid-19, pasar langsung diserbu pembeli. Swalayan besar diserbu pengunjung, beli kebutuhan ini itu bersiap lockdown sendiri.

Harga-harga mulai naik karena serbuan orang panik membuat banyak barang akhirnya hilang dari pasaran. Gula lenyap, cabai hilang, dll. Aku masih santai, mau panik juga butuh modal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berikutnya, angka positif masih di 1 itu saja. Alhamdulillah sudah sebulan Indonesia (sadar) dimasuki virus corona, Kota Jambi masih nol. ODP dan PDP untuk provinsi banyak, kebanyakan di daerah.

Pasar yang sempat sepi, ramai lagi. Swalayan aku kurang tahu, karena tak pernah ke sana lagi. Untuk pasar tradisional, jika aku dipanggil ke rumah kakak yang tak jauh, aku harus melewatinya.

Atau jika harus membuang sampah, lokasi bak umumnya tepat di depan pasar. Jadi terlihatlah orang yang mulai lupa dengan corona dan Covid-19-nya. Kesana kemari dengan rokok di jari, jelas gak maskeran, kan.

Anak-anak bermain di luar seperti tidak terjadi apa-apa. Pokoknya semua normal. Malah aku ikut terpengaruh melihatnya, seolah corona itu dongeng yang jauh. Tak sampai ke Jambi.

Dua masjid di dekat rumah juga masih rutin dipakai Jumatan. Suamiku yang juga mendapat jadwal khutbah, memilih mundur dengan alasan patuh pada MUI.

Lalu semua berubah lagi...

Beberapa hari lalu, tahu-tahu medsos dan aplikasi chatting ramai dengan berita tambahan satu pasien positif Covid-19. Orangnya di kota, bukan di daerah seperti pasien-pasien sebelumnya. Maka kepanikan makin menjadi-jadi.

Besoknya, yang positif bertambah satu lagi. Total dua orang positif Covid-19 di Kota Jambi. Di skala provinsi, ada 8 orang.

Sekarang yang semula menenangkan orang lain ikut goyah juga. Aku termasuk yang demikian. Bukan karena tak yakin lagi, tapi jika ditenangkan, kebanyakan orang malah lalai.

Maksud hati agar tak jadi stres, apa daya mereka malah kelewat santai malah bolak-balik bertandang. Suamiku tegas-tegas memperlihatkan tangkapan layar chatroom-nya di status.

Dalam percakapan itu, suami menolak seseorang yang hendak bertamu. Biasanya, beliau suka memuliakan tamu, karena tamu datang bersama berkah. Tapi kali ini kondisinya berbeda, lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya.

Aku tak sampai menolak begitu, tapi beberapa kali dalam grup keluarga kusebutkan, kami tidak menerima tamu. Sebab kadang anakku refleks mencium tangan, tamu disuruh cuci tangan malah ketawa. Mending gak usah datang, kan?

Lalu datanglah tamu yang cukup menyenangkan. Bukan tamu-tamu amat sih, keluarga juga. Ia membawakan sate ayam siap panggang. Tidak banyak, hanya beberapa tusuk. Tapi tak bisa disebut sedikit juga.

Aku dengan suka cita menerima. “Ayam dari mana?” tanyaku.

“Itu, kan ayam lagi murah. Jadi Y beli banyak, lalu dibagi ke N.”

“Trus?”

“Sama si N dibuat sate, dikirim balik ke Y. Tapi kulkas Y sudah penuh, tiga-tiganya full terisi stok makanan. Karena dak muat, jadi dibagi-bagi lagi satenya.”

Oh iya deh, sedekah tak sengaja. Gara-gara orang kaya panik, kulkas tiga biji penuh. Sampai-sampai sate seplastik saja tak bisa masuk lagi. Untung rasanya enak!

Ikuti tulisan menarik syarifah lestari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB