x

Ilustrasi Pria Melarikan Diri. Karya Gerd Altmann dari Pixabay

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 6 Desember 2020 06:40 WIB

Pejabat Korupsi? Jangan Salahkan Rolex dan Louis Vuitton

Hasrat akan gaya hidup mewah mungkin dipengaruhi oleh lingkungan tempat seorang pejabat berada. Ada yang tidak terpengaruh, seperti Bung Hatta dan Hoegeng, namun banyak yang goyah oleh kilauan berlian dan lembaran dolar. Namun, jika seorang pejabat korupsi, tetap saja jangan menyalahkan Rolex ataupun LouisVuitton. Salahkan mereka yang tergoda dan tidak tahan untuk tetap hidup sederhana.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Salah satu isu menarik di balik kasus beberapa penegak hukum yang terseret pelarian Djoko Tjandra maupun penangkapan menteri kabinet kerja baru-baru ini ialah perkara gaya hidup. Mulai dari wajah yang glowing mengkilat, rekening gendut yang terisi mata uang asing, hingga koleksi tas Louis Vuitton dan sepeda berharga ratusan juta adalah perkara gaya hidup yang wah dan mewah.

Di mata para pelaku itu, kedudukan tertentu harus diasosiasikan dengan gaya hidup tertentu. Sebagai pejabat dengan posisi tertentu, mereka barangkali merasa minder bila ‘tidak nyambung’ ketika diajak ngobrol oleh sejawatnya tentang arloji merk tertentu yang harganya puluhan hingga ratusan juta. Ketika diangkat jadi menteri, misalnya, mereka mungkin juga mendadak mengidap rasa rendah diri bahwa ternyata bawahan mereka memiliki mobil mewah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apa yang terbayang di benak mereka kemudian ialah berusaha menemukan peluang dan kesempatan pada jabatannya untuk melakukan korupsi. Kata ‘berusaha’ menunjukkan sifat pro-aktif, artinya apabila peluang itu kecil, mereka akan berusaha memperbesar peluang itu dengan menciptakan, misalnya saja, aturan atau kebijakan tertentu. Aturan ekspor hanya melalui satu perusahaan kurir adalah contohnya. Jika ingin menggelar kompetisi bisnis yang fair dan menekan peluang korupsi atau suap, maka eksportir mestinya diberi kebebasan untuk memilih perusahaan pengirim yang mereka inginkan.

Korupsi memang memerlukan peluang dan kesempatan, namun korupsi pertama-tama dan terutama didorong hasrat dan motif. Jika peluang tidak ada, maka hasrat dan motif akan memunculkan inisiatif untuk menciptakan peluang, contohnya melalui kebijakan baru. Bahkan hasrat pelaku merupakan daya dorong yang utama bagi terjadinya korupsi, sebab tidak setiap kesempatan dan peluang yang ada akan dimanfaatkan oleh orang-orang yang amanah. Hanya orang yang memiliki hasrat korupsi yang akan memanfaatkan peluang itu.

Kembali mengambil contoh masa lalu, orang-orang seperti Bung Hatta dan Hoegeng memiliki peluang untuk korup dengan jabatan wakil presiden dan kapolri yang mereka sandang. Namun, kedua figur tersebut tidak pernah diketahui melakukan praktik korupsi. Bahkan korupsi dengan cara yang sangat halus pun tidak mereka lakukan.

Gaji Bung Hatta secara teratur dipotong untuk membayar pinjaman kepada negara, padahal itu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, bukan untuk membeli barang mewah untuk memenuhi hasrat akan gaya hidup mewah. Isteri Hoegeng pun berjualan bunga untuk menambah pemasukan rumah tangga, dan sumber penghasilan inipun terpaksa ditutup oleh suaminya ketika Hoegeng diangkat menjadi Dirjen Imigrasi. Hoegeng tidak ingin ada konflik kepentingan antara bisnis isterinya dan jabatannya.

Begitulah pelajarannya: ada orang sederhana yang teguh bersikap jujur dan tidak mau mengorupsi uang negara sekalipun ia tengah memegang jabatan; di sisi lain, ada orang yang sudah kaya tapi melakukan korupsi tatkala diamanahi jabatan publik. Bahkan, manakala ia tidak sedang memegang jabatan, ia akan berusaha memengaruhi orang-orang yang tengah memegang jabatan untuk korup melalui penyalahgunaan wewenang.

Hasrat untuk hidup mewah merupakan faktor kunci di balik aksi korupsi. Sebagian orang melakukannya karena dorongan untuk tampil lebih pantas sebagai pejabat publik. Ini mungkin alasan sederhana, namun cukup kuat dalam mendorong orang-orang untuk mencoba melakukan korupsi. Misalnya, isteri mengeluh malu saat bertemu dengan isteri-isteri pejabat di bawah suaminya hanya karena tasnya kalah kelas atau perhiasannya kalah berkilau.

Hasrat akan gaya hidup wah dan mewah mungkin dipengaruhi oleh lingkungan tempat seseorang berada—ada yang tidak terpengaruh, seperti Bung Hatta dan Hoegeng, namun banyak yang goyah oleh kilauan berlian, dolar, jam tangan Rolex, tas Louis Vuitton, hingga sepeda Brompton. Namun, jika seorang pejabat korupsi, tetap saja jangan menyalahkan Rolex ataupun LouisVuitton. Salahkan mereka yang tergoda dan tidak tahan untuk tetap hidup sederhana. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler